2006:388 menguraikan bahwa secara leksikologi, semantik leksikal mencakup beberapa komponen yang berkaitan dengan hal- hal kebahasaan, seperti makna
dan referensi. Berikutnya denotasi dan konotasi, analisis ekstensinol, dan analisis intensional, dan analisis komponensial, selanjutnya metonimi dan metafora.
Terakhir kesinoniman, keantoniman, kehomoniman, dan kehiponiman. Komponen yang berkaitan dengan hal-hal kebahasaan yang akan diuraikan
hanya sebatas pada makna dan referensi, denotasi dan konotasi, serta metonimi dan metafora. Ini dilakukan karena kebutuhan kajian metafora hanya kepada ke
enam komponen tersebut.
2.4.1 Makna dan Referensi
Referensi dalam terminologi linguistik menurut Lyons 1995:417 merupakan hubungan antara kata dan benda, peristiwa, perbuatan atau kualitas
yang ditandakan kepadanya. Verhaar menjelaskan 2006:389 bahwa referensi berhubungan erat dengan makna, oleh sebab itu referensi merupakan salah satu
sifat makna leksikal. Walaupun referensi dan makna berhungungan erat namun keterkaitan makna dan referensi menggambarkan dua arti yang agak berbeda,
misalnya kata buku mengandung makna tertentu, dan kata buku juga memiliki sifat yang disebut referensi, yaitu kemampuan kata buku mengacu pada bahan
bacaan tertentu. Perbedaan antara referensi dan makna dapat digambarkan pada, misalnya tuturan saya membaca buku, maka bukulah yang saya baca, bukan
makna kata buku yang saya baca. Terminologi referensi mengandung dua arti referensi yang agak berbeda.
Pertama referensi ekstralingual di mana perujukan terjadi kepada sesuatu di luar
Universitas Sumatera Utara
bahasa , sebagai contoh, Saya membeli buku. Bentuk buku merujuk kepada benda yang berada di luar bahasa atau di luar tuturan. Inilah yang disebut
sebagai referensi ekstralingual. Kedua referensi intralingual di mana perujukan terjadi di dalam bahasa itu sendiri, sebagai contoh, Saya membeli buku kemarin
dan saya menitipkannya pada Rini. Bentuk nya pada tututran ini bereferensi ke kata buku yang ada pada tuturan pertama. Bentuk referensi yang terdapat pada
kalimat ini disebut sebagai referensi intralingual.
2.4.2 Denotasi dan Konotasi
Terminologi denotasi dan konotasi di pustaka semantik sangat lazim dibedakan. Pengertian tentang denotasi dihubungkan dengan referensi
ekstralingual. Makna kata dirujuk dari suatu keadaan, benda atau situasi di luar bahasa itu. Sedangkan konotasi menerangkan arti kata yang bereferensi kepada
penilaian afektif dan emosional penutur, dan adakalanya pula merupakan lingkaran gagasan dan perasaan yang ditimbulkan oleh kata tersebut, sebagai
contoh makna denotasi dari kata wanita ‘manusia perempuan atau lawan dari manusia laki-laki’, secara konotatif makna kata wanita dapat dijabarkan sebagai,
perempuan, istri, bibik, janda, nenek dan semua hal yang dapat menimbulkan interpretasi dari kata tersebut.
Makna denotasi dan makna konotasi sebuah kata pada hakikatnya tidak sama. Makna denotasi adalah makna kata murni tanpa ada pengaruh perasaan
dan emosi manusia, sedangkan makna konotasi merupakan pancaran interpretasi makna yang berada dalam pikiran manusia tentang makna kata tersebut, sebagai
contoh kata langsing dan kurus, makna dari kedua kata tersebut pada dasarnya
Universitas Sumatera Utara
sama yaitu merujuk kepada ringannya konsentrasi timbangan berat badan manusia. Akan tetapi makna konotasi kedua kata tersebut berbeda dalam
pandangan manusia. Kata langsing merujuk kepada timbangan berat badan manusia yang menjadi keinginan atau idaman manusia, sebaliknya kata kurus
merujuk kepada timbangan berat badan manusia yang pada umumnya kurang diinginkan oleh manusia sebab badan kurus, adakalanya disebabkan oleh
penyakit atau kekurangan asupan makanan. Dalam membedakan denotasi dan konotasi Verhaar 2006: 390
memberikan contoh kata penjara. Kata penjara mempunyai makna denotasi yang mempunyai kemampuan untuk bereferensi pada sebuah penjara, yaitu
bangunan yang digunakan untuk tempat tinggal para narapidana. Secara konotasi makna penjara menggambarkan sesuatu yang sifatnya negatif. Hampir
semua penutur bahasa mempunyai anggapan negatif terhadap kata penjara
disebabkan bayangan tentang kesengsaraan hidup terkurung di dalam penjara. 2.5 Kajian Relevan
Penelitian tentang ungkapan Bahasa Aceh pernah dilakukan oleh Athaillah dan Faridan 1984 dengan judul penelitian Ungkapan Tradisional sebagai
Sumber Informasi Kebudayaan Daerah Istimewa Aceh. Penelitian ini mengungkap masalah yang berkaitan dengan pengklasifikasian ungkapan
tradisional yang berlaku pada masyarakat Aceh secara keseluruhan. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori James Dananjaya 1982 tentang
metode pengumpulan folklore bagi pengarsipan. Dari hasil penelitian ini diperoleh klasifikasi ungkapan tradisional berdasarkan penggunaan dalam
Universitas Sumatera Utara
kehidupan sosial masyarakat tersebut yaitu; ungkapan yang bersifat mendidik atau pendidikan, ungkapan yang digunakan dalam upacara perkawinan, ungkapan yang
digunakan dalam upacara kematian pada zaman dahulu, ungkapan yang digunakan pada upacara pertanian, dan ungkapan yang digunakan pada upacara
tolak bala. Penelitian yang dilakukan oleh Athaillah dan Faridan bermanfaat bagi
penelitian metafora Bahasa Aceh di Desa Trumon sebagai bahan pembanding. Walaupun ke dua-dua kajian ini sama-sama mengkaji ungkapan-ungkapan bahasa
Aceh, namun ke duanya berbeda karena penelitian yang dilakukan oleh Athaillah dan Faridan mengkaji semua bentuk ungkapan, termasuk kedalamnya bentuk
puisi, sajak dan pribahasa dengan menyertakan arti kiasannya tanpa menjelaskan keterkaitannya dengan lingkungan alamnya dan kognitif masyarakat tuturnya.
Selain itu penelitian ini dilakukan pada lokasi yang berbeda. Athaillah dan Faridan melakukannya di Lhokseumawe, Matang, Kabupaten Aceh Utara,
sedangkan penelitian metafora Bahasa Aceh di Desa Trumon dilakukan di Desa Trumon Kabupaten Aceh Selatan, dan teori yang diaplikasikan pada penelitian
bertumpu kepada teori ekolinguistik. Kajian ekolinguistik yang dilakukan oleh Mbete 2002 dengan topik
penelitian Ungkapan-Ungkapan dalam Bahasa Lio dan Fungsinya dalam Melestarikan Lingkungan. Penelitian ini bertumpu pada tiga masalah pokok, yang
berkaitan dengan pertama bagaimana bentuk ungkapan verbal etnik Lio dalam kaitan fungsionalnya dengan pemeliharaan lingkungan. Ke dua, bagaimana fungsi,
makna, dan nilai-nilai yang terkandung dalam ungkapan-ungkapan tersebut.
Universitas Sumatera Utara
Berikutnya bagaimana kaitannya dengan sistem budaya masyarakatnya. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori dalam perspektif linguistik
budaya, khususnya etnografi berbahasa yang digunakan dalam konteks sosial budaya seperti dalam ritual keadatan, yang mengemban tujuan tertentu dan
merupakan sumber budaya sherzer, 1977 . Kajian ini merupakan Kajian Isi content analysis dengan karakteristik data berupa data verbal yang berkaitan
dengan makna-makna yang terkandung dalam teks dan konteks pemakaian tersebut.
Dari hasil penelitin ini diperoleh satu bentuk kebertahanan bahasa Lio yang berkaitan dengan lingkungan alam. Ini berlangsung disebabkan kandungan
nilai, norma, dan fungsi penting ungkapan-ungkapan budaya verbal masyarakat etnik Lio secara kognitif dan konseptual cukup potensial dalam kaitan dengan
pelestarian lingkungan alam dan lingkungan sosial. Ungkapan-ungkapan verbal yang berfungsi sebagai pemeliharaan keharmonisan hubungan manusia dengan
alam semesta, terutama hubungan dengan Yang Maha Kuasa tetap dijunjung tinggi dan diikuti dengan ungkapan–ungkapan verbal kepada leluhur yang secara
genitis melahirkan mereka. Ungkapan-ungkapan verbal yang berfungsi melestarikan lahan dengan
menggunakan teknik tradisional yang mendukung lingkungan alam, seterusnya ungkapan verbal yang mengamanatkan pemeliharan hutan lindung, sumber air,
dan pelestarian pantai, dan laut yang diamanatkan oleh leluhur mereka masih digunakan oleh hanya sebagian dari mereka yang mengakibatkan kepedulian
terhadap amanat ini mulai bergeser. Hal ini disebabkan merosotnya pemahaman
Universitas Sumatera Utara
nilai dan norma pelestarian lingkungan akibat dari terjadinya kesenjangan kebahasaan antargenerasi.
Penelitian ini ditempatkan sebagai kajian relevan dengan penelitian metefora Bahasa Aceh di Desa Trumon disebabkan kedua- dua penelitian sama-
sama berfokus kepada ungkapan-ungkapan bahasa yang berhubungan dan berkaitan dengan lingkungan alam, ekologi dan sosio kultural, sehingga penelitian
yang dilakukakan oleh Mbete ini dapat dijadikan bahan masukan dalam pemerkayaan penelitian. Kendatipun demikian, penelitian metefora Bahasa Aceh
di Desa Trumon tidak menggunakan teori dalam perspektif linguistik budaya, tetapi penelitian ini mengaplikasikan kolaborasi teori yang bersesuaian dengan
data yang diperoleh di lapangan. Teori-teori tersebut adalah metafora konseptual linguistik kognitif Kovecses 2006 berkolaborasi dengan teori tiga dimensi
praksis sosial Lindo dan Jeppe 2000 dan parameter ekolinguistik Haugen 1972, sehingga hasil penelitian ini memberikan gambaran keterkaitan antara
bahasa, lingkungan alam dan lingkungan sosial manusia pemilik bahasa tersebut yang berlabel kajian ekolinguistik.
Penelitian yang dilakukan oleh Mishra 2009, berkenaan dengan kegiatan ritual agama dan mitos pada suku-suku di India dengan judul, Sacred Worldview
in Tribal Memory: Sustaining Nature through Cultural Actions. Penelitian ini berusaha memecahkan permasalahan penggunaan ungkapan verbal yang berkaitan
dengan ritual agama dan mitos dalam kehidupan sosial masyarakat asli India. Ke dua bagaimana keterhubungan antara agama dan mitos dengan lingkungan alam di
sekitar mereka. Dalam memecahkan ke dua-dua masalah tersebut Mishra melalui
Universitas Sumatera Utara
kajian ekolinguistik, menitik-beratkan pada teori tiga dimensi praksis sosial dan teori sosiolinguistik. Teori yang digunakan tentang kebertahanan bahasa yang
berkaitan dengan lingkungan alam dan lingkungan sosial penutur asli dan perkembangan teknologi, melalui metode discovery and invention Mishra 2009
dengan sumber data yang diperoleh secara langsung saat penelitian dilakukaknnya serta mengaitkannya dengan mitos dan agama pada penduduk asli India.
Penelitian ini menemukan bahwa ritual agama dan mitos berfungsi sebagai perekat dalam menyatukan pikiran dan tindakan penduduk asli India,
dengan menghubungkan yang bernyawa dan yang tidak, serta mengaitkan masa lalu dan masa sekarang yang menyatu dengan alam sekitar mereka dalam
ungkapan verbal, melalui doa dan harapan. Setiap kata mengandung makna yang dihubungkan dengan keempat hal tersebut. Namun seiring dengan perkembangan
pengetahuan dan teknologi, pengadaan transfortasi moderen dan ekploitasi lahan memaksa masyarakat lokal menerima budaya baru dan hampir melupakan alam
yang tadinya merupakan bagian yang sarat dengan mitos dari sosio-kultural mereka.
Selanjutnya masuknya bahasa asing yang berimbas pula kepada masuknya budaya asing mengakibatkan bahasa dan budaya lokal semakin terdesak yang
bermuara kepada pemusnahan tradisi lisan yang sarat dengan kearifan lokal. Kesemuanya ini menimbulkan perubahan prilaku penduduk asli dalam
memerlakukan alam dan sumber daya yang mereka miliki. Penelitian yang sudah dilakukan oleh Mishra ini dapat dijadikan bahan
pembanding bagi penelitian metafora Bahasa Aceh di Desa Trumon disebabkan
Universitas Sumatera Utara
kedua- duanya merupakan penelitian yang berada di bawah payung ekolinguistik. Di mana ke duanya sama-sama berfokus kepada ungkapan-ungkapan bahasa yang
berhubungan dan berkaitan dengan lingkungan alam, ekologi dan sosio kultural, namun penelitian yang di lakukan oleh Mishra ini tidak dapat sepenuhnya
dijadikan bahan masukan pada penelitian metefora Bahasa Aceh di Desa Trumon, sebab penelitian tersebut hanya menitik beratkan penelitian pada ungkapan-
ungkapan verbal yang ada hubungannya dengan mitos dan agama saja, serta menjelaskan ketergusuran bentuk ungkapan-ungkapan tersebut disebabkan oleh
moderenisasi, kemajuan teknologi yang merusak hubungan harmonis antara mitos lingkungan alam, budaya masyarakat, bahasa dan agama mereka, sedangkan
penelitian metafora Bahasa Aceh di Desa Trumon menelusuri semua bentuk ungkapan yang dikodekan ke dalam metafora yang bernuansa lingkungan alam
tempat masyarakat tutur itu berada, tanpa harus memilah-milahnya hanya pada mitos dan agama. Selain itu penelitian metefora Bahasa Aceh di Desa Trumon
tidak berupaya mengaji pola pemertahanan, ketergerusan, dan pelesapan ungkapan-ungkapan. Sehingga teori sosiolinguistik tentang pemertahanan bahasa
yang diaplikasikan oleh Mishra tidak digunakan pada penelitian metafora Bahasa Aceh di Desa Trumon. Penelitian ini menggunakan teori metafora konseptual
linguistik kognitif Kovecses 2006 berkolaborasi dengan teori tiga dimensi praksis sosial Lindo dan Jeppe 2000 dan parameter ekolinguistik Haugen
1972, sedangkan Mishra hanya menggunakan teori sosiolinguistik yang berkaitan dengan pola pemertahanan bahasa.
Universitas Sumatera Utara
Kajian ekolinguistik yang dilakukan pula oleh Mbete 2009 tentang Ragam Bahasa Bali Yang Sekarang Tidak Umum Dipergunakan. Penelitian ini
mengkaji masalah yang berkaitan dengan pengaruh perilaku manusia terhadap ekologi yang berimbas kepada bergesernya nilai-nilai budaya, dan sekaligus
mengakibatkan perubahan unsur bahasa, terutama pada leksikon. Hasil penelitian ini menyimpulkan dari fakta-fakta yang diperolehnya bahwa bahasa itu tidak
hanya semata-mata dipengaruhi oleh manusia, tetapi ekologinya pun turut menunjang. Segala perubahan yang terjadi di dalam ekologi yang menunjang
bahasa itu sendiri niscaya akan menyebabkan perubahan pada bahasa tersebut. Salah satu contoh yang sangat jelas terlihat saat ini di Bali adalah akibat dari
penyusutan lahan sawah dan subak. Subak dan sawah adalah kesatuan hegemoni yang banyak melahirkan budaya di Bali. Jadi, dengan menyusutnya jumlah
apalagi hilangnya subak dan menyusutnya lahan persawahan sudah tentu mengubah bahasa yang dipergunakan secara keseluruhan. Seperti istilah tenggala
yang berati bajak digantikan oleh traktor sehingga disambut balik oleh generasi saat ini mengenal istilah bajak menjadi traktor atau dalam bahasa Bali menjadi
traktor karena yang acap dilihat mereka saat ini adalah petani membajak sawah dengan mempergunakan traktor.
Kebermanfaatan penelitian ini kepada penelitian metafora Bahasa Aceh di Desa Trumon terletak pada kesamaan di mana ke dua-duanya merupakan kajian
ekolinguistik, yang menjadikan bahasa, ekosistem dan manusia sebagai lahan penelitian, sehingga hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan masukan pada
penelitian metafora Bahasa Aceh di Desa Trumon. Walaupun kedua-dua berada di
Universitas Sumatera Utara
bawah payung ekolinguistik namun ke dua-duanya tetap berbeda karena penelitian metafora Bahasa Aceh di Desa Trumon tidak mengkaji tentang perubahan,
ketergeruran unsur-unsur leksikal Bahasa Aceh di Desa Trumon. Kajian metafora dilakukan oleh Siregar 2005 dengan judul topik bahasan
“Jeruk Kok Minum Jeruk”: Gejala Metaforisasi dan Metonimisasi dalam Bahasa Indonesia”. Penelitian ini berfokus pada metaforisasi konseptualisasi logika
semantic yang berlaku untuk manusia ke dalam struktur konseptual benda. Teori yang digunakan sebagai landasan adalah teori metafora dari Lakoff 1993.
Siregar menjelaskan bahwa metaforisasi jeruk kok minum jeruk ditandai dengan pemetaan makna dari struktur konseptual sumber X kepada stuktur konseptual
lainnya Y. Y dimaksud adalah BUAH yang dipetakan sebagai X yaitu MANUSIA. MANUSIA sebagai ranah konseptual sumber dipetakan kepada
BUAH sebagai ranah konseptual sasaran. Metaforisasi ini melibatkan konseptualisasi logika semantik dan prakmatik yang berlaku untuk MANUSIA ke
dalam struktur konseptual BUAH, yaitu JERUK. Metafora Jeruk kok minum jeruk yang diperoleh dari iklan komersial dari
produk minuman yang berasal dari jeruk berusaha menggambarkan secara visual animasi sebuah jeruk ingin minum sari jeruk yang dipromosikan. Kemungkinan
pesan iklan yang ingin disampaikan adalah kenikmatan yang luar biasa dari sari jeruk tersebut sehingga jeruk sendiripun ingin meminumnya.
Penelitian ini bermanfaat bagi penelitian metafora Bahasa Aceh di Desa Trumon sebagai bahan masukan karena ke dua-duanya sama-sama meneliti
metafora, namun demikian terjadi perbedaan di antara keduanya disebabkan oleh,
Universitas Sumatera Utara
penelitian yang dilakukan oleh Siregar terhadap gejala metaforisasi dan metonimisasi yang terjadi pada metafora Jeruk kok minum jeruk menggunakan
teori Lakoff 1993, dan bukan merupakan kajian yang berada pada ranah kajian ekolinguistik, sedangkan penelitian Bahasa Aceh di Desa Trumon, merupakan
kajian yang berada pada ranah ekolinguistik. Kajian metafora ini mengupas masalah keterkaitan antara lingkungan alam sebagai ranah sumber dari lingkungan
alam yang dipetasilangkan kepada manusia dan perilakunya sebagai ranah target membentuk metafora, disebabkan oleh adanya kesamaan ciri yang telah diamati
sebagai suatu pengalaman empiris masyarakat tutur yang kemudian menjadi metafora atas dasar konvensi masyarakat tutur Aceh di Desa Trumon. Teori yang
diaplikasikan bukan teori teori Lakoff, 1993, tetapi teori Kovecses, 2006 berkolaborasi dengan teori tiga dimensi praksis sosial Lindo dan Jeppe, 2000
dan parameter ekolinguistik Haugen 1972. Kajian metafora yang dilakukan oleh Siregar 2007 dengan judul topik
bahasan Metaphors of Governance in The Language Of The Indonesian Press’. Pokok bahasan penelitian ini adalah tentang bentuk metafora yang selalu
ditampilkan dalam bahasa persuratkabaran Indonesia. Teori yang diaplikasikan pada penelitian ini adalah teori yang mengupas metafora generatif tentang isu
sosial dan politik Schon, 1979 dan Howe, 1988. Data diperoleh dari Kompas, Republika, dan Waspada. Siregar menjelaskan bahwa bahasa persuratkabaran
Indonesia banyak dibangun dalam konsep metafora. Bahasa yang digunakan untuk menjelaskan sesuatu yang berkenaan dengan konsep diintegrasi nasional,
pelaksanaan hukum,transparensi, dan akuntabilitas banyak menggunakan
Universitas Sumatera Utara
metafora POLITIK, WILAYAH, MANUSIA, ORGANISASI dan metafora PERISTIWA. Sehingga metafora Api banyak dikaitkan dengan politik seperti
POLITIK SEBAGAI API POLITICS AS FIRE, POLITIK MEMANAS, API PERJUANGAN.
Selain dari metafora API, metafora PIKIRAN juga banyak ditemukan dalam bahasa persuratkabaran Indonesia. Dalam hal ini PIKIRAN diasosiasikan
sebagai benda IDEAS AS THING, seperti MENANGKAP PIKIRAN, PIKIRAN BUNTU. Dan PIKIRAN SEBAGAI PERJALANAN IDEAS AS A JOURNEY.
JALAN PIKIRAN. Kesemua metafora ini banyak dikaitkan dengan hukum, demokrasi, dan reformasi.
Penelitian metafora yang dilakukan oleh Siregar dan penelitian metafora Bahasa Aceh di Desa Trumon sama-sama penelitian metafora yang melibatkan
keadaan dan manusia berikut perilakunya sebagai sasaran, namun kedua-dua penelitian ini saling berbeda disebabkan oleh penelitian yang dilakukan oleh
Siregar tersebut mengupas metafora yang berkaitan dengan metafora Penguasaan metaphors of governance sedangkan penelitian metafora Bahasa Aceh di Desa
Trumon yang penulis lakukan sedikitpun tidak melibatkan metafora Penguasaan metaphors of governance dalam kajian. Sehingga teori metafora generatif
tentang isu sosial dan politik Schon, 1979 dan Howe, 1988 tidak dapat diaplikasikan dalam penelitian metafora Bahasa Aceh di Desa Trumon. Kendati
demikian teori tersebut dapat dijadikan bahan bandingan untuk penelitian ini.
Universitas Sumatera Utara
BAB III TEORI DAN KERANGKA KONSEPTUAL
3.1 Kerangka Teori
Kajian ini berada di bawah payung ekolinguistik dan metode penelitian dialakukan melalui pendekatan kualitatif, maka pengaanalisisan data secara
induktif. Penyesuaian teori yang digunakan pada analisis ini beranjak dari data dan bukan melalui konsep sebelum penelitian.
Teori yang tepat yang dapat diaplikasikan untuk kajian metafora ini dalam lingkup ekolinguistik adalah kolaborasi dari teori ekolingistik yaitu tiga dimensi
praksis sosial, parameter ekolinguistik keberagaman, keterhubungan, lingkungan, dan teori linguistik kognitif tentang metafora konseptual. Ketiga
teori ini dapat berkolaborasi disebabkan oleh kesesuaian data yang menuntutnya demikian dan ketiga teori ini dapat saling mendukung untuk pemecahan semua
permasalan dalam penelitian ini. Penelitian bahasa yang berkaitan dengan lingkungan baik lingkungan alam
maupun lingkungan sosial harus dipandang melalui tiga dimensi praksis sosial yaitu, dimensi ideologikal, dimensi sosiologikal, dan dimensi biological. Tidak
ada satupun kajian bahasa yang dapat dilakukan secara mono dimensi atau mono logical, periksa Lindo dan Jeppe 2000:10-11.
Dalam kolaborasi tersebut diaplikasikan juga teori linguistik kognitif tentang metafora karena terminologi tentang konsep metafora mengacu kepada
terminologi kogntif linguistik yaitu ranah sumber, ranah target, pemetaan silang, dan klasifikasi metafora, hubungan ontologis dan hubungan epistemik.
Universitas Sumatera Utara