1
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG PENULISAN
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen menyatakan bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas
utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan
formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Konsep ini mengandung beberapa hal penting yaitu pertama, guru adalah tenaga pendidik yang profesional,
artinya seorang guru adalah tenaga pengajar yang sungguh-sungguh menguasai bidang kerjanya yang diperoleh dengan menempuh berbagai jenjang pendidikan
yang menunjang keahliannya. Kedua, tugas utama seorang guru adalah mengembangkan pengetahuan, sikap, dan keterampilan peserta didik lewat proses
mengajarnya. Ketiga, guru merupakan salah satu komponen penentu keberhasilan dan peningkatan mutu pendidikan peserta didik melalui berbagai proses
pengajaran yang dilaksanakan di sekolah, sebab guru merupakan ujung tombak yang berhubungan langsung dengan siswa sebagai subjek dan objek belajar.
Kondisi tenaga pendidik di negeri ini, khususnya pada beberapa tahun terakhir belum sesuai dengan ketentuan dan harapan undang-undang di atas.
Penyebab ketidaksesuaian harapan undang-undang dengan tenaga pendidik di Indonesia, di antaranya: pertama karena asas sentralisme dan sistem kekuasaan,
2
penyelenggaraan pendidikan nasional selama ini cenderung menuruti garis petunjuk dari atas atau indoktrinasi. Segala sesuatu telah disiapkan dalam bentuk
petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis sehingga tidak ada tempat untuk berpikir alternatif Kompas, 10 Oktober 1998. Sejumlah tokoh pendidikan
mengkritik secara tajam sistem pendidikan di Indonesia yang serba seragam, baik dalam kurikulum, ujian akhir, maupun kegiatan belajar mengajar di sekolah yang
berakibat pada kurang optimalnya peran guru dalam merealisasikan kompetensi- kompetensi yang dimilikinya Kompas, 26 Juni 1998.
Kedua , guru merupakan salah satu komponen penentu keberhasilan dalam
dunia pendidikan. Oleh karena itu Komarudin Hidayat berpendapat bahwa “yang paling menentukan keberhasilan sebuah sekolah adalah kualitas guru. Guru
yangmenguasai materi bidang studi, guru masuk kelas dengan antusias dan cinta, serta kreatif dalam menerapkan dan menggali metode yang cocok untuk kondisi
kelasnya” Kompas, 6 Desember 2005:7. Maka dari itu kemajuan pendidikan ada pada kualitas guru, yang kemudian akan berandil besar pada kemajuan bangsa.
Sebaliknya rendahnya kualitas guru akan mengakibatkan keterpurukan mutu pendidikan dan akan menjadi bumerang besar bagi bangsa.
Ketiga, dalam harian Kompas, 5 September 2001, diberitakan bahwa
Menteri Pendidikan Nasional Mendiknas yang pada waktu itu dijabat oleh Abdul Malik Fajar mengaku kebenaran penilaian bahwa sistem pendidikan di
Indonesia terburuk di kawasan Asia. Penilaian tersebut merupakan hasil survei Political and Economic Risk Consultancy
PERC. Dari 12 negara yang disurvei oleh lembaga yang berkantor pusat di Hongkong itu, menyebutkan bahwa Korea
3
Selatan memiliki sistem pendidikan terbaik, disusul Singapura, Jepang, Taiwan, India, Cina dan Malaysia. Indonesia menduduki urutan ke-12 di bawah Vietnam.
Suparno, 2002:9. Masalah-masalah dalam dunia pendidikan timbul dari berbagai faktor.
Faktor pertama adalah pemerintah. Dalam menyikapi masalah kependidikan, pemerintah telah berupaya memperbaiki mutu pendidikan yang masih rendah
dengan mengeluarkan Undang-undang No 202003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan membentuk BSNP Badan Standarisasi Nasional Pendidikan,
Kompas 6 Desember 2005:7. Namun upaya standarisasi ujian dan kelulusan secara nasional justru menimbulkan masalah karena tingkat pendidikan di tanah
air amat beragam. Penetapan standarisasi ujian nasional untuk peningkatan mutu pendidikan tersebut melahirkan berbagai pandangan dan bahkan penolakan
terhadap Ujian Nasional UN sendiri. Menurut Udin S.Winataputra, Dekan FIKIP UT, pendidikan yang serba seragam itu perlu dikaji ulang karena tidak
sesuai dengan kemampuan manusia yang tidak seragam dan keadaan daerah yang tidak sama. Sementara Abdul Hadi, seorang sastrawan, berpendapat bahwa
“pendidikan yang serba seragam itu tidak perlu. Pendidikan harus menghargai keberagaman, termasuk kurikulum.” Selain itu keterbatasan kemampuan dan
wawasan pengajar serta perbedaan fasilitas pendidikan di pusat dan di daerah telah menyebabkan hasil kegiatan belajar pun berbeda Kompas, 22 Oktober
2005:12. Banyak orang atau lembaga menilai keberhasilan peserta didik diukur
menurut hal-hal yang mudah diamati: seperti nilai rapor, STTB, dan NEM.
4
Mereka banyak melupakan hal-hal yang mengembangkan rasa, kepekaan hati, imajinasi, unsur sosial: solidaritas dan keterlibatan. Bila peserta didik tidak
memperoleh nilai yang tinggi dikatakan tidak akan memiliki masa depan yang cerah. Keadaan ini semakin sulit dibenahi oleh karena suasana kreatif dan bebas
berpikir tidak dikondisikan di sekolah. Dari pihak siswa, tidak ada usaha bertanya, atau menantang pelajaran. Prestasi peserta didik terbatas pada memproduksi
informasi yang telah didapat. Akibatnya peserta didik tidak termotivasi belajar mandiri. Proses semacam ini bukan merupakan cara untuk membantu peserta
dalam mengembangkan diri, membebaskan diri dan menjadi dirinya sendiri sehingga dapat berpikir secara kritis dan kreatif.
Oleh karena itu, H.Moh.Ansyar Kompas 34-1998 mengatakan bahwa “Proses belajar-mengajar di sekolah dari pendidikan dasar hingga sekolah
menengah umum di Indonesia, belum menciptakan cara belajar yang bermakna. Kurikulum hanya dilihat sebagai substansi pengetahuan, tidak sebagai proses
untuk mengetahui, sehingga yang dihasilkan dun ia pendidikan hanya jago hafal”.
Selanjutnya dikatakan: “Kurikulum kita berpusat pada deposito pengetahuan dan mengabaikan perhatian pada upaya belajar sendiri. Proses belajar-mengajar yang
berwarna indoktrinasi dan otoriter yang mengakibatkan tertanamnya sikap bahwa materi yang diajarkan dalam buku teks seolah-olah merupakan suatu kebenaran
tanpa syarat. Guru di sini bukan sebagai tenaga pendidik tetapi hanya sebagai pemberi informasi.
Selain pemerintah dengan kurikulum yang diberlakukannya, keberhasilan program peningkatan mutu pendidikan di sekolah sangat ditentukan oleh
5
kemaksimalan peran dan fungsi setiap komponen pendidikan yang terlibat di dalamnya. Salah satu komponen yang berpengaruh di antaranya adalah guru
sebagai pengelola dan pelaksana pendidikan itu sendiri. Itu berarti bahwa guru memiliki peran dan pengaruh yang besar dalam penyelenggaraan pendidikan di
sekolah. Guru dalam konteks pendidikan mempunyai peran yang besar dan
strategis. Hal ini disebabkan karena guru menjadi “garda depan” yang langsung berhadapan dengan peserta didik dalam proses pelaksanaan pendidikan dalam
mentransformasi ilmu pengetahuan dan teknologi, sekaligus mendidik pribadi- pribadi manusia dengan nilai-nilai konstruktif Janawi, 2012:10. Untuk
melaksanakan tugasnya secara baik, guru perlu menguasai berbagai kompetensi terutama kompetensi pedagogik dan kompetensi profesionalnya di samping
kompetensi sosial dan kompetensi kepribadian yang juga penting. Guru dalam proses belajar harus memiliki kompetensi tersendiri guna
mencapai harapan yang dicita-citakan dalam melaksanakan pendidikan pada umumnya dan proses pembelajaran pada khususnya. Untuk itu dalam
melaksanakan tugas dan fungsinya, guru semestinya harus dapat membina dan mengembangkan kemampuan peserta didik secara profesional dalam setiap proses
pembelajaran. Dalam membina kemampuan peserta didik, seorang guru harus memiliki kompetensi tersendiri. Kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang
guru antara lain kompetensi personal, kompetensi pedagogik, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional. Namun dari keempat kompetensi ini yang menjadi
sorotan penulis dalam penulisan ini adalah kompetensi pedagogik karena
6
kompetensi ini merupakan jenis kompetensi yang sangat melekat pada diri seorang guru dan memiliki daya pengaruh yang sangat besar terhadap
keberlangsungan proses pendidikan. Kompetensi pedagogik meliputi pemahaman terhadap peserta didik,
perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang
dimilikinya. Berdasarkan pengelompokkan kompetensi pedagogik ini, maka seorang guru memiliki tugas yang sangat berat. Realita membuktikan bahwa
dalam me
n
jalankan tugas itu tidak semua guru dapat menjalankan tugas pengajaran dengan baik sehingga dapat meningkatkan minat dan daya serap siswa.
Oleh karena itu, guru dituntut untuk aktif, kreatif, inovatif, dan tidak menunggu. Guru harus memiliki ide dan kritis dengan situasi yang ada, bergerak dinamis dan
peka terhadap perkembangan zaman Suparno, 2004:vii Upaya meningkatkan kompetensi pedagogik guru dimaksud agar guru dapat mengetahui kompetensi
dirinya sehingga kemampuan yang dimiliki dapat diterapkan dalam gaya mengajar yang mampu mempengaruhi dan mmperkembangkan siswa dalam belajar. Untuk
mencapai kemahiran dan keterampilan mengajar yang profesional, maka diharapkan guru mampu menghasilkan siswayang berkualitas sehingga dapat
memasuki dunia kerja yang penuh kompetensi. Tuntutan untuk meningkatkan kualitas kompetensi pedagogik guru
dimaksudkan agar guru mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan jaman dan perubahan kurikulum yang harus menjadi perhatian khusus para tenaga
pendidik jika menginginkan para siswa tetap menaruh minat pada mata pelajaran
7
yang diikutinya. Strategi, pendekatan, dan model pembelajaran yang lama perlu diubah agar proses pembelajaran menjadi lebih menarik dan menyenangkan.
Materi pelajaran yang dirasa sulit dan abstrak perlu dikemas dan disajikan dengan menyesuaikan pada tingkat kemampuan siswa untuk menerima pelajaran. Kita
dapat melihat contoh kenyataan di dalam kelas ketika guru menjelaskan materi, siswa ribut dan asyik ngobrol dengan temannya, atau sering keluar kelas dengan
alasan pergi ke toilet, dan lain sebagainya, kita dapat menarik kesimpulan bahwa materi dan metode penyajian mata pelajaran atau strategi guru tidak lagi diminati
dan menarik perhatian siswa. Materi yang disajikan jauh dari pengalaman hidup harian siswa, metode penyajian klasikal yang membuat siswa tidak tertarik dan
merasa jenuh. Cara mengajar guru yang lebih menekankan kepenuhan keinginan dan
minat guru, kini harus diubah dengan menekankan pentingnya memperhatikan minat dan kebutuhan siswa dalam belajar. Menjawab kebutuhan siswa dalam
belajar menjadi orientasi dasar, karena siswa bukanlah bank tempat menampung segala macam ilmu yang ditransfer oleh guru-gurunya. Kritikan Paulo Freire,
seorang pemerhati pendidikan yang melihat kenyataan bahwa dalam proses belajar sering terjadi konsep bankingmasih terjadi di sekolah-sekolah jaman ini.
Konsep ini menekankan bahwa guru adalah segala-galanya di dalam kelas. Proses pembelajaran disajikan dengan mentransfer ilmu dari guru kepada siswa. Guru
lebih banyak berperan dan mengesampingkan kebutuhan siswa yang adalah subyek dalam kelas. Di sini bukan kebutuhan siswa yang dipenuhi tetapi minat
dan kebutuhan guru.
8
Pada umumnya, proses pendidikan dan pengajaran di sekolah-sekolah masih berjalan secara klasikal. Seorang guru harus menghadapi sejumlah besar
siswa dalam waktu, dengan materi dan metode yang sama Suryobroto, 1986:141. Dalam sistem klasikal tidak mudah bagi guru untuk memperhatikan
perbedaan keunikan setiap siswa secara lebih cermat. Oleh karena itu seorang guru sebaiknya berusaha menemukan perbedaan siswanya seawal mungkin
sehingga dapat menindaklanjutinya dengan cepat dan tepat, sehingga dalam proses pembelajaran siswa memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk aktif
berpartisipasi karena mereka tahu bahwa guru mereka mempertimbangkan kebutuhan mereka sebagai individu. Patut disadari bahwa siswa adalah seorang
pribadi yang memiliki keunikan dan kekhasan baik yang berasal dari diri sendiri maupun latar belakangnya. Peserta didik sebagai seorang individu berbeda dalam
banyak hal. Sisi ini sebenarnya yang harus mendapat perhatian dari para guru. Pengakuan penghargaan terhadap perbedaan-perbedaan individual anak ini
tentunya akan membawa konsekuensi lebih lanjut yaitu bahwa pendidikan harus memperhatikan perbedaan-perbedaan itu dan mengembangkan sejauh mungkin
apa yang dimiliki oleh anak itu Suryobroto, 1986:143. Dengan memiliki kompetensi pedagogik yang memadai, peran seorang
guru diharapkan memungkinan siswa dapat menaruh minat pada proses pembelajaran yang dilaksanakan. Demikian juga pada mata pelajaran pendidikan
agama Katolik. Guru agama Katolik harus menempatkan peserta didik sebagai subyek bukannya obyek belajar. Thomas Groome menekankan tiga hakikat
pendidikan iman yang salah satunya adalah kegiatan yang bersifat ontologis yakni
9
pendidikan harus berpusat pada pribadi manusia. Oleh karena itu, pendidikan iman harus sungguh bersifat manusiawi dan sekaligus ilahi sehingga diharapkan
dapat memperkembangkan nilai-nilai kemanusiaan, artinya memanusiakan manusia dan memperjuangkan budaya kehidupan budaya pro life. Hal ini
berarti, pendidikan sedapat mungkin memberdayakan peserta didik agar dapat mencapai kepenuhan dan kesempurnaan hidup seperti yang dikehendaki Allah
sendiri bdk. Yoh. 10:10b. Kepenuhan hidup berarti segala kerinduan terpenuhi, mereka bahagia karena dapat dengan bebas menumbuhkembangkan seluruh aspek
hidupnya secara utuh dan menyeluruh. Pendidikan agama di sekolah hendaknya dilaksanakan untuk memberdayakan peserta didik agar mereka dapat
memperkembangkan head kepala: intelek, pemikiran, akal budi, kehendak, keyakinan, pengakuan iman, heart hati: nilai estetis, perasaan, afeksi, kesadaran
dan hand tangan yang bergerak melakukan tindakan, keterampilan, komitmen, solidaritas.Intinya adalah mendorong siswa untuk menemukan makna atas materi
yang dipelajarinya Groome, 2003:11-14. Oleh karena itu penulis merasa perlu mengkaji sejauh mana penguasaan kompetensi pedagogik itu dapat menarik minat
siswa dalam mengikuti PAK yang dipaparkan dalam skripsi dengan judul:
PENGARUH KOMPETENSI
PEDAGOGIK GURU
PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK TERHADAP MINAT BELAJAR SISWA DALAM
MENGIKUTI PELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK DI SD JOANNES BOSCO, SD SANG TIMUR, DAN SD PANGUDI LUHUR
YOGYAKARTA.
10
B. RUMUSAN MASALAH