Kebijakan Umum Kehutanan TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kebijakan Umum Kehutanan

Situasi industri kayu bulat dan industri pengolahan tidak terlepas dari kebijakan pengelolaan kawasan dan sumberdaya hutan Indonesia yang mulai dilakukan sejak diterbitkannya Undang Undang Pokok Kehutanan No.5 tahun 1967 dan kebijakan pengusahaan hutan pada tahun 1970-an, serta peraturan- peraturan setelah itu. Menurut Ngadiono 2004 pengelolaan kawasan dan sumberdaya hutan di Indonesia mulai dari Orde Baru, atau lebih spesifik lagi mulai 1968, dapat dibagi menjadi empat periode pengelolaan yang masing- masing mempunyai penekanan yang berbeda antar yang satu dengan lainnya. Periode pertama antara tahun 1968 sampai 1980 pada saat Indonesia sedang mengejar pertumbuhan ekonomi, sumberdaya hutan dijadikan modal pembangunan dengan memanfaatkan kayu sebanyak-banyaknya melalui pengusahaan hutan yang difasilitasi oleh Undang-Undang No.1 tahun 1967 mengenai Penanaman Modal, dan Undang-Undang No. 5 tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Kehutanan. Kondisi ini terus berlanjut dengan berbagai penyempurnaan peraturan sampai dengan tahun 1980 di mana hampir semua kawasan Hutan Produksi HP dieksploitasi melalui pemberian Hak Pengusahaan Hutan HPH di mana setiap pemegang hak dibebani kewajiban untuk membayar Iuran Hak Pengusahaan Hutan IHPH atau license fee, Iuran Hasil Hutan IHH, dan Dana Jaminan Reboisasi DJR. Pada akhir periode ini kawasan HP menjadi semakin terdegradasi, dan penebangan untuk produksi kayu bulat semakin jauh dari infrastruktur karena pohon-pohon terdekat sudah mulai berkurang bahkan habis, sehingga biaya dan harga kayu bulat menjadi semakin tinggi. Dengan pengalaman itu maka pada periode kedua, yaitu antara tahun 1980 dan 1990 sumberdaya hutan ditempatkan sebagai suatu ekosistem yang diperlukan untuk menunjang kehidupan life supporting system. Dengan sistem ini tebangan dan produksi kayu bulat sangat dibatasi dengan berbagai peraturan, termasuk dengan diaplikasikannya Analisis Mengenai Dampak Lingkungan AMDAL. Periode ini ditandai dengan adanya penunjukkan kawasan hutan secara makro dan indikatif di tiap provinsi melalui Rencana Pengukuhan dan Penatagunaan Hutan, atau yang biasa disebut sebagai Tata Guna Hutan Kesepakatan TGHK. Pada periode ini pula pemerintah mulai memikirkan pembangunan industri pengolahan kayu primer guna memperoleh nilai tambah dan penyerapan tenaga kerja, sehingga ekspor dikurangi. Pada periode ketiga, yaitu antara tahun 1990 hingga 2000 kawasan hutan dan sumberdaya yang ada di atasnya dipandang sebagai bagian dari kesatuan ruang yang harus dikelola secara lestari dengan memperhatikan keamanan dan kenyaman lingkungan hidup. Periode ini ditandai dengan terbitnya Undang- Undang No.5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Habitatnya, serta Undang-Undang No.24 tahun 1992 mengenai Penataan Ruang. Dengan kedua Undang-Undang tersebut maka pengelolaan sumberdaya hutan menjadi semakin konservatif, sehingga target produksi kayu bulat menjadi semakin mengecil meskipun realisasinya masih tetap besar karena adanya peningkatan permintaan industri pengolahan kayu primer yang semakin berkembang. Pada periode keempat yaitu antara tahun 2000 hingga sekarang, seharusnya arah pengelolaan sumberdaya hutan yang lestari secara ekologis bisa dilanjutkan sehingga produksi hasil hutan merupakan bagian dari kesatuan pembangunan ruang wilayah. Namun pada periode ini terjadi perubahan politik yang besar di mana sebagian besar urusan kehutanan didesentralisasikan ke pemerintah daerah. Tabel 3. Deforestasi per Wilayah di Indonesia Tahun 2001-2005 Periode Luas Deforestasi hektar per Wilayah di Indonesia Sumatera Kalimntan Sulawesi Maluku Papua Jawa Bali Nusa Indonesia 2000- 2001 259 500 212 000 154 000 20 000 147 200 118 300 107 200 1 018 200 2001- 2002 202 600 129 700 150 400 41 400 160 500 142 100 99 600 926 300 2002- 2003 339 000 480 400 385 800 132 400 140 800 343 400 84 300 1 906 100 2003- 2004 208 700 173 300 41 500 10 600 100 800 71 700 28 100 634 700 2004- 2005 335 700 234 700 134 600 10 500 169 100 37 300 40 600 962 500 Jml 1 345 500 1 230 100 866 300 214 900 718 400 712 800 359 800 5 447 800 Rata- Rata 269 100 246 020 173 260 42 980 143 680 142 560 71 960 1 089 560 Sumber: Departemen Kehutanan, 2006 Secara khusus urusan produksi kayu menjadi wewenang dari pemerintah kabupaten, yang sayangnya pada suasana euphoria reformasi wewenang tersebut dilaksanakan secara berlebihan excessive sehingga menimbulkan berbagai kerusakan dan penurunan produktivitas hutan alam atau deforestasi Barr, 2006; dan Santoso, 2008, sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 3. Pada periode inilah selisih antara permintaan kayu bulat untuk industri pengolahan dengan penawaran legal dari kawasan hutan sangat besar, dan tebangan illegal marak terjadi di hampir semua provinsi. Ekploitasi sumberdaya hutan yang berlebihan menjadikan semakin menurunnya sumberdaya hutan yang dimiliki Indonesia. Secara ekonomi, eksploitasi sumberdaya hutan yang berlebihan dapat merupakan akibat dari tidak tercapainya kondisi pasar persaingan sempurna sebagai akibat dari adanya ketidaksimetrisan informasi asymmetrical information dalam perdagangan hasil hutan terutama kayu. Kondisi ini mendorong terjadinya kegagalan pasar, salah satu sumber terjadinya ketidaksimetrisan informasi ini adalah tingkat pengetahuan produsen dan konsumen kayu yang berbeda terhadap kualitas kayu. Faktor ini memungkinkan kayu dengan berbagai kualitas dijual pada tingkat harga yang sama dan konsumen tidak punya kemampuan untuk membedakan kualitas kayu tersebut. Sehingga pemasok kayu akan mengeksploitasi sumberdaya kayu dengan berbagai kualitas mulai dari yang paling rendah. Kaitannya dengan pencegahan pembalakan liar, pemerintah Indonesia telah melakukan berbagai upaya seperti penjaminan kepastian legalitas dan asal usul kayu. Upaya yang dilakukan dengan membangun sebuah inisiatif kerjasama antara negara-negara produsen dengan konsumen untuk bekerjasama dalam pemberantasan penebangan liar. Salah satu bentuk kerjasama tersebut adalah penerapan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu SVLK. Skema ini dibangun secara multipihak untuk menghindari terjadinya konflik kepentingan.

2.2. Studi Global Penawaran dan Permintaan Kayu Bulat