tidak manusiawi karena pada masa kehamilan dirinya mendapatkan perlakuan kasar dari suaminya yaitu ditampar, dipukul, ditendang, dihina, dicaci maki, direndahkan,
dan tidak diberi nafkah. Keduanya sangat membenci suaminya tersebut, tetapi terhadap bayi atau anak yang dilahirkan mereka memiliki pandangan yang berbeda.
Ibu A cenderung bertambah sayang kepada anaknya karena merasa anaknya tidak bersalah atas semua yang terjadi pada ibunya, sedangkan Ibu B. cenderung membenci
anak yang dilahirkan karena merasa anak tersebut adalah darah daging suaminya yang akan menurunkan sifat buruknya sebagai seorang penganiaya. Kebencian Ibu B.
pada bayinya dilampiaskan dengan membiarkan anaknya menangis keras tanpa segera ditolong, sering timbul perasaan gemas geram pada bayinya dengan
memukul bayi jika menangis terus menerus. Kadang Ibu B merasa menyesal telah melakukan hal tersebut pada bayinya, tetapi jika mengingat perilaku suaminya saat
sedang hamil dirinya tidak kuasa membendung perasaannya tersebut, apalagi suaminya kini jarang pulang di rumah, dan ketika pulang sering marah-marah.
1.2. Permasalahan
Berdasarkan uraian dan data-data di atas penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul: “Pola Interaksi Ibu Dan Bayi yang mengalami Kekerasan
Dalam Rumah Tangga KDRT Pada Masa Kehamilan di Kota Kisaran tahun 2014.”
Universitas Sumatera Utara
Meningkatnya kasus kekerasan dalam rumah tangga KDRT pada ibu hamil menyebabkan ibu hamil dapat mengalami komplikasi yang membahayakan ibu dan
janin. Bahaya yang terjadi pada ibu tidak saja bahaya fisik tetapi juga goncangan jiwa ibu hamil yang dapat mengganggu ikatan hubungan antara ibu dan bayi setelah
melahirkan. Pertanyaan penelitian ini adalah bagaimana pola interaksi ibu dan bayi yang mengalami Kekerasan Dalam Rumah Tangga KDRT pada masa kehamilan di
Kota Kisaran tahun 2014.
1.3. Tujuan Penelitian
Untuk menganalisis pola interaksi ibu dan bayi yang mengalami Kekerasan Dalam Rumah Tangga KDRT pada masa kehamilan di Kota Kisaran tahun 2014.
1.4. Manfaat Penelitian
1.4.1. Secara teoritis Secara teoritis hasil penelitian diharapkan dapat menjadi sumbangan teoritik
bagi ilmu kesehatan masyarakat dan memperkaya khasanah kesehatan reproduksi tentang kekerasan rumah tangga pada ibu hamil dan dampaknya
pada bayi yang dilahirkan.
1.5.2. Secara praktis Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai data dasar untuk penelitian
berikutnya terutama yang berhubungan dengan KDRT dan interaksi ibu-bayi yang dilahirkan.
Universitas Sumatera Utara
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kekerasan Dalam Rumah Tangga KDRT 2.1.1. Pengertian
Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 232004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga PKDRT, yang dimaksud dengan
kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik,
seksual, psikologis, danatau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan
hukum dalam lingkup rumah tangga. Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah jaminan yang diberikan oleh negara untuk mencegah terjadinya kekerasan
dalam rumah tangga, menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, dan melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga.
Kekerasan Dalam Rumah Tangga KDRT adalah setiap perbuatan pada seorang perempuan dan pihak-pihak yang tersubordinasi lainnya, yang berakibat
timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, ekonomi dan psikologis, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan atau
perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang dalam lingkup rumah tangga Sofyan, 2006.
Universitas Sumatera Utara
KDRT terhadap istri adalah segala bentuk tindak kekerasan yang dilakukan oleh suami terhadap istri yang berakibat menyakiti secara fisik, psikis, seksual dan
ekonomi, termasuk ancaman, perampasan kebebasan yang terjadi dalam rumah tangga atau keluarga. Selain itu, hubungan antara suami dan istri diwarnai dengan
penyiksaan secara verbal, tidak adanya kehangatan emosional, ketidaksetiaan dan menggunakan kekuasaan untuk mengendalikan istri Susilowati, 2008.
Secara empiris Kekerasan Dalam Rumah Tangga KDRT sudah lama berlangsung dalam masyarakat, hanya secara kuantitas belum diketahui jumlahnya,
seperti kekerasan suami terhadap istri atau suami terhadap anak. Bentuk kekerasannyapun beragam mulai dari penganiayaan, pemerkosaan dan sebagainya.
Disamping itu pemenuhan hak kaum perempuan yang rentan tidak hanya terbatas kepada perlindungan dalam rumah tangga, tetapi juga berhubungan dengan
reproduksi perempuan. Secara sosiologis sebagian besar kaum perempuan masih sangat dibatasi oleh budaya masyarakat, dimana peran tradisional masih melekat
kuat, yang mengindikasikan bahwa perempuan tidak lebih sebagai isteri atau ibu rumah tangga semata Rodiyah, 2012.
KDRT dapat terjadi dalam rumah tangga dari keluarga sederhana, miskin dan terbelakang maupun rumah tangga dari keluarga kaya, terdidik, terkenal, dan terpandang.
Tindak kekerasan ini dapat dilakukan oleh suami atau istri terhadap pasangan masing- masing, atau terhadap anak-anak, anggota keluarga yang lain, dan terhadap pembantu
mereka secara berlainan maupun bersamaan.
Universitas Sumatera Utara
2.1.2. Bentuk Kekerasan dalam Rumah tangga
Deklarasi tentang penghapusan kekerasan terhadap perempuan tahun 1993 menyatakan bahwa segala bentuk tindak kekerasan berbasis gender yang berakibat
atau mungkin berakibat menyakiti secara fisik, seksual, mental, atau penderitaan terhadap perempuan termasuk mengancam atau tindakan, pemaksaan atau
perampasan semena-mena kebebasan, baik yang terjadi di lingkungan masyarakat maupun dalam kehidupan pribadi Widyastuti, 2009.
Menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tindak kekerasan terhadap istri dalam rumah tangga dibedakan ke dalam 4 empat macam :
1. Kekerasan fisik Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau
luka berat. Prilaku kekerasan yang termasuk dalam golongan ini antara lain adalah menampar, memukul, meludahi, menarik rambut menjambak,
menendang, menyudut dengan rokok, memukulmelukai dengan senjata, dan sebagainya. Biasanya perlakuan ini akan nampak seperti bilur-bilur, muka lebam,
gigi patah atau bekas luka lainnya. 2. Kekerasan psikologis emosional
Kekerasan psikologis atau emosional adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak,
rasa tidak berdaya dan atau penderitaan psikis berat pada seseorang. Perilaku kekerasan yang termasuk penganiayaan secara emosional adalah
penghinaan, komentar-komentar yang menyakitkan atau merendahkan harga diri, mengisolir istri dari dunia luar, mengancam atau ,menakut-nakuti sebagai sarana
memaksakan kehendak.
Universitas Sumatera Utara
3. Kekerasan seksual Kekerasan jenis ini meliputi pengisolasian menjauhkan istri dari kebutuhan
batinnya, memaksa melakukan hubungan seksual, memaksa selera seksual sendiri, tidak memperhatikan kepuasan pihak istri.
4. Kekerasan ekonomi Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya,
padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada
orang tersebut. Contoh dari kekerasan jenis ini adalah tidak memberi nafkah istri, bahkan menghabiskan uang istri.
Banyak kasus terjadi kekerasan psikis berupa makian, hinaan ungkapan verbal sering berkembang menjadi kekerasan fisik. Pada awalnya mungkin belum
terjadi, tetapi ketidaksengajaan pria kemudian berlanjut pada tindakan kekerasan fisik secara nyata Widyastuti, 2009.
2.1.3. Siklus Kekerasan dalam KDRT
Relasi Personal sering disertai dengan siklus kekerasan, dengan pola berulang. Siklus kekerasan ini menyebabkan korban terus mengembangkan harapan dan
mempertahankan rasa cinta atau kasihan, membuatnya sulit keluar dari perangkap kekerasan Indrarani, 2012.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.1. Siklus Kekerasan
Siklus kekerasan umumnya bergulir sebagai berikut: 1.
Dimulai dengan individu tertarik dan mengembangkan hubungan. 2.
Individu dan pasangan mulai lebih mengenal satu sama lain, “tampil asli” dengan karakteristik dan tuntutan masing-masing, muncul konflik dan ketegangan.
3. Terjadi ledakan dalam bentuk kekerasan
4. Ketegangan mereda. Korban terkejut dan memaknai apa yang terjadi. Pelaku
bersikap ”baik” dan mungkin meminta maaf. 5.
Korban merasa ”berdosa” bila tidak memaafkan, korban menyalahkan diri sendiri karena merasa atau dianggap menjadi pemicu kejadian, korban
mengembangkan harapan akan hubungan yang lebih baik. 6.
Periode tenang tidak dapat bertahan. Kembali muncul konflik dan ketegangan, disusul ledakan kekerasan lagi, demikian seterusnya.
Universitas Sumatera Utara
7. Korban “terperangkap”, merasa bingung, takut, bersalah, tak berdaya, berharap
pelaku menepati janji untuk tidak melakukan kekerasan lagi, dan demikian seterusnya.
8. Bila tidak ada intervensi khusus internal, eksternal siklus kekerasan dapat terus
berputar dengan perguliran makin cepat, dan kekerasan makin intens. 9.
Sangat destruktif dan berdampak merugikan secara psikologis dan mungkin juga fisik Indrarani, 2012.
2.1.4. Penyebab Terjadinya KDRT
Zastrow Browker 1984 dalam Wahab 2010, menyatakan bahwa ada tiga teori utama yang mampu menjelaskan terjadinya kekerasan, yaitu teori biologis, teori
frustasi-agresi, dan teori kontrol. 1.
Teori biologis menjelaskan bahwa manusia, seperti juga hewan, memiliki suatu instink agresif yang sudah dibawa sejak lahir. Sigmund Freud menteorikan bahwa
manusia mempunyai suatu keinginan akan kematian yang mengarahkan manusia- manusia itu untuk menikmati tindakan melukai dan membunuh orang lain dan
dirinya sendiri. Robert Ardery yang menyarankan bahwa manusia memiliki instink untuk menaklukkan dan mengontrol wilayah, yang sering mengarahkan
pada perilaku konflik antar pribadi yang penuh kekerasan. Konrad Lorenz menegaskan bahwa agresi dan kekerasan adalah sangat berguna untuk survive.
Manusia dan hewan yang agresif lebih cocok untuk membuat keturunan dan survive, sementara itu manusia atau hewan yang kurang agresif memungkinkan
untuk mati satu demi satu. Agresi pada hakekatnya membantu untuk menegakkan
Universitas Sumatera Utara
suatu sistem dominan, dengan demikian memberikan struktur dan stabilitas untuk kelompok. Beberapa ahli teori biologis berhipotesis bahwa hormon seks pria
menyebabkan perilaku yang lebih agresif. Di sisi lain, ahli teori belajar berteori bahwa perbedaan perilaku agresif terutama disebabkan oleh perbedaan sosialisasi
terhadap pria dan wanita. 2.
Teori frustasi-agresi menyatakan bahwa kekerasan sebagai suatu cara untuk mengurangi ketegangan yang dihasilkan situasi frustasi. Teori ini berasal dari
suatu pendapat yang masuk akal bahwa seseorang yang frustasi sering menjadi terlibat dalam tindakan agresif. Orang frustasi sering menyerang sumber
frustasinya atau memindahkan frustasinya ke orang lain. Misalnya. Seorang remaja teenager yang diejek oleh orang lain mungkin membalas dendam, sama
halnya seekor binatang kesayangan yang digoda. Seorang pengangguran yang tidak dapat mendapatkan pekerjaan mungkin memukul istri dan anak-anaknya.
Suatu persoalan penting dengan teori ini, bahwa teori ini tidak menjelaskan mengapa frustasi mengarahkan terjadinya tindakan kekerasan pada sejumlah
orang, tidak pada orang lain. Diakui bahwa sebagian besar tindakan agresif dan kekerasan nampak tidak berkaitan dengan frustasi. Misalnya, seorang pembunuh
yang profesional tidak harus menjadi frustasi untuk melakukan penyerangan. 3.
Teori frustasi-kontrol sebagian besar dikembangkan oleh para psikolog, beberapa sosiolog telah menerapkan teori untuk suatu kelompok besar. Mereka
memperhatikan perkampungan miskin dan kotor di pusat kota dan dihuni oleh kaum minoritas telah menunjukkan angka kekerasan yang tinggi. Mereka
Universitas Sumatera Utara
berpendapat bahwa kemiskinan, kekurangan kesempatan, dan ketidakadilan lainnya di wilayah ini sangat membuat frustasi penduduknya. Penduduk semua
menginginkan semua benda yang mereka lihat dan dimiliki oleh orang lain, serta tak ada hak yang sah sedikitpun untuk menggunakannya. Akibatnya, mereka
frustasi dan berusaha untuk menyerangnya. Teori ini memberikan penjelasan yang masuk akal terhadap angka kekerasan yang tinggi bagi penduduk minoritas.
4. Ketiga, teori ini menjelaskan bahwa orang-orang yang hubungannya dengan
orang lain tidak memuaskan dan tidak tepat adalah mudah untuk terpaksa berbuat kekerasan ketika usaha-usahanya untuk berhubungan dengan orang lain
menghadapi situasi frustasi. Teori ini berpegang bahwa orang-orang yang memiliki hubungan erat dengan orang lain yang sangat berarti cenderung lebih
mampu dengan baik mengontrol dan mengendalikan perilakunya yang impulsif. Menurut Susilowati 2008, KDRT pada istri tidak akan terjadi jika tidak ada
penyebabnya. Di Indonesia, kekerasan pada perempuan merupakan salah satu budaya negatif yang tanpa disadari sebenarnya telah diturunkan secara turun temurun. Apa
saja penyebab kekerasan pada istri? Beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya kekerasan suami terhadap istri, antara lain:
1. Masyarakat membesarkan anak laki-laki dengan menumbuhkan keyakinan bahwa
anak laki-laki harus kuat, berani dan tidak toleran. 2.
Laki-laki dan perempuan tidak diposisikan setara dalam masyarakat. 3.
Persepsi mengenai kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga harus ditutup karena merupakan masalah keluarga dan bukan masalah sosial.
Universitas Sumatera Utara
4. Pemahaman yang keliru terhadap ajaran agama mengenai aturan mendidik istri,
kepatuhan istri pada suami, penghormatan posisi suami sehingga terjadi persepsi bahwa laki-laki boleh menguasai perempuan.
5. Budaya bahwa istri bergantung pada suami, khususnya ekonomi.
6. Kepribadian dan kondisi psikologis suami yang tidak stabil.
7. Pernah mengalami kekerasan pada masa kanak-kanak.
8. Budaya bahwa laki-laki dianggap superior dan perempuan inferior.
9. Melakukan imitasi, terutama anak laki-laki yang hidup dengan orang tua yang
sering melakukan kekerasan pada ibunya atau dirinya Susilowati, 2008. Pria kadang kehilangan kontrol terhadap arah hidup, maka pria mungkin
menggunakan sikap kekerasan untuk mengendalikan hidup orang lain, walaupun sikap itu salah. Adapun beberapa alasan yang menjadi penyebab pria menganiaya
wanita istri pasangannya meskipun alasan itu salah antara lain: Widyastuti, 2009. 1.
Tindakan kekerasan dapat mencapai suatu tujuan. a.
Bila terjadi konflik, tanpa harus musyawarah kekerasan merupakan cara cepat penyelesaian masalah.
b. Dengan melakukan perbuatan kekerasan, pria merasa hidup lebih ‘berarti’
karena dengan berkelahi maka pria merasa menjadi lebih digdaya. c.
Pada saat melakukan kekerasan pria merasa memperoleh ‘kemenangan’ dan mendapatkan apa yang dia harapkan, maka korban akan menghindari pada
konflik berikutnya karena untuk menghindari rasa sakit.
Universitas Sumatera Utara
2. Pria merasa berkuasa atas wanita. Bila pria merasa mempunyai istri ‘kuat’ maka
dia berusaha untuk melemahkan wanita agar merasa tergantung padanya atau membutuhkannya.
3. Ketidaktahuan pria. Bila latar belakang pria dari keluarga yang selalu
mengandalkan kekerasan sebagai satu-satunya jalan menyelesaikan masalah dan tidak mengerti cara lain maka kekerasan merupakan jalan pertama dan utama
baginya sebagai cara yang jitu setiap ada kesulitan atau tertekan karena memang dia tidak pernah belajar cara lain untuk bersikap Widyastuti, 2009.
2.1.5. Faktor yang Memengaruhi terjadinya KDRT
Menurut Sofyan 2006, faktor yang memengaruhi terjadinya kekerasan dalam rumah tangga adalah sebagai berikut :
1. Faktor Risiko KDRT
Faktor yang berperan di tiap tingkatan dalam penyalahgunaan pasangan oleh pria dijabarkan sebagai berikut :
a. Tingkat individu
Termasuk ke dalamnya adalah pernah mengalami kekerasan semasa kanak- kanak, menyaksikan kekerasan dalam rumah tangga antar ibu dan bapak, tidak
adanya atau penolakan terhadap figur ayah, atau kebiasaan minum alkohol. b.
Tingkat hubungan interaksi dengan pasangan Faktor penentunya antara lain konflik perkawinan dan kendali pria terhadap
harta dan pengambilan keputusan dalam keluarga.
Universitas Sumatera Utara
c. Tingkat lingkungan kecil
Pengisolasian perempuan dan kurangnya dukungan sosial, disamping kelompok pria sebaya yang menerima budaya kekerasan sangat berpengaruh
terhadap terjadinya kekerasan. d.
Tingkat masyarakat luas Faktor yang berpengaruh antar lain kakunya dan dipaksanya peran jender,
diterapkannya konsep maskulinitas yang berkaitan dengan kekerasan, kehormatan pria dan dominasi atas perempuan, toleransi terhadap hukuman
fisik bagi perempuan dan anak, menerima kekerasan sebagai sarana untuk mengacaukan hubungan dengan pasangan dan persepsi bahwa pria
mempunyai kepemilikan terhadap wanita. 2.
Faktor protektif KDRT a.
Tingkat individu Termasuk rasa percaya diri dan persepsi yang positif terhadap kemampuan
dan kendali diri. b.
Tingkat hubungan interaksi dengan pasangan Faktor protektif antara lain kesatuan keluarga yang kuat, hubungan antara
anak-orang tua baik, pengelolaan keuangan keluarga dilakukan suami istri. c.
Tingkat lingkungan kecil Kesatuan warga, kehadiran di sekolah, kewirausahaan yang ditujukan untuk
wanita, fasilitas di lingkungan pemukiman sarana, pelayanan kesehatan, tempat rekreasi merupakan hal-hal yang bersifat protektif.
Universitas Sumatera Utara
d. Tingkat masyarakat luas
Faktor protektif antara lain stabilitas politik, pengendalian pemakaian senjata, dan promosi kesetaraan jender dan anti kekerasan Sofyan, 2006.
2.1.6. Korban Kekerasan
Menurut Ciciek 2005, berdasarkan kenyataan di seluruh dunia, yang menjadi korban KDRT berasal dari semua golongan masyarakat. Data dan fakta tentang para
korban ini menunjukkan dengan gamblang bahwa semua perempuan dari berbagai lapisan sosial, golongan pekerjaan, suku, bangsa, budaya, agama maupun rentang usia
telah tertimpa musibah kekerasan. Korban kekerasan tetap mencoba bertahan walaupun telah berulang kali
menerima perlakuan kekerasan dari pasangan disebabkan oleh beberapa hal antara lain :
1. Takut pembalasan suami.
Banyak istri diancam dengan penganiayaan yang lebih kejam, bahkan pembunuhan, jika mereka berupaya meninggalkan rumah tangga. Menurut
laporan kepolisian, setengah dari istri yang berupaya meninggalkan perkawinan dibunuh oleh suaminya.
2. Tidak ada tempat berlindung
Banyak istri bergantung secara ekonomi kepada suami, sehingga tidak ada pilihan lain kecuali mencoba bertahan dalam derita yang berkepanjangan.
Universitas Sumatera Utara
3. Takut dicerca masyarakat
Banyak perempuan takut dicap sebagai perempuan tidak baik karena diketahui sebagai korban kekerasan akibat didera suami. Sebagian tidak siap dengan status
sosial sebagai janda, karena masyarakat menganggap rendah. 4.
Rasa percaya diri yang rendah Akibat penganiayaan baik secara jasmani, rohani maupun seksual, istri seringkali
merasa tidak berarti dan tidak percaya mempunyai kemampuan untuk mengatasi masalah.
5. Untuk kepentingan anak
Istri khawatir anak-anaknya akan mengalami penderitaan yang lebih buruk jika berpisah dari ayah mereka.
6. Sebagian istri tetap mencintai suami mereka
Mereka mendambakan berhentinya kekerasan, bukan putusnya perkawinan. Mereka berharap terus menerus agar suaminya berubah, menjadi baik kembali.
7. Mempertahankan perkawinan
Banyak istri yang percaya perkawinan itu sesuatu yang luhur dan perceraian adalah sesuatu yang buruk sehingga harus dihindari. Mereka beranggapan bahwa
lebih baik tetap menderita dalam perkawinan daripada bercerai karena tabu atau dilarang agama Ciciek, 2005.
Secara psikologis seorang perempuan yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga akan menampilkan karakteristik seperti: berusaha meminimalkan
kekerasan yang dialaminya, menyalahkan diri sendiri korban merasa sebagai
Universitas Sumatera Utara
penyebab terjadinya kekerasan yang dialami, dan ambivalensi dimana korban merasa bingung dengan suami dan beranggapan suami tidak ingin benar-benar melakukan
kekerasan terhadap dirinya Poerwandari, 2000.
2.1.7. Akibat Kekerasan
Menurut Hasanah, dkk 2003 dalam Saraswati 2009 menjelaskan dampak atau akibat yang ditimbulkan dari kekerasan dalam rumah tangga, seperti: terdapat
memar, atau lebam setelah terjadi kekerasan fisik. Adanya rasa malu, takut hilangnya konsep diri, dan tidak percaya diri adalah dampak yang ditimbulkan dari kekerasan
psikis, Terjadinya haid yang tidak teratur, dan sulit menikmati hubungan seksual adalah dampak yang ditimbulkan dari adanya kekerasan seksual. Menurut pasal 5
Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, kekerasan dalam rumah tangga, yaitu: penelantaran rumah tangga adalah tidak memberikan nafkah
kepada istri, membiarkan istri bekerja untuk kemudian penghasilannya dikuasai suami, bahkan mempekerjakan istri dan memanfaatkan ketergantungan istri secara
ekonomi untuk mengontrol kehidupannya. Menurut Sofyan 2006, kekerasan terhadap perempuan sangat merugikan
kesehatan reproduksi wanita di samping merugikan aspek-aspek kesejahteraan fisik dan mental emosional juga menambah resiko jangka panjang yaitu terjadinya
gangguan kesehatan lainnya. 1.
Akibat fisik a.
Kematian akibat kekerasan fisik, pembunuhan atau bunuh diri. b.
Trauma fisik berat: memar berat luar dalam, patah tulang, kecacatan.
Universitas Sumatera Utara
c. Trauma fisik dalam kehamilan, yang beresiko terhadap ibu dan janin.
d. Perlukaan trauma terhadap anak sebagai korban dalam kejadian kekerasan.
e. Kehamilan yang tidak diinginkan dan kehamilan dini akibat perkosaan atau
pergaulan bebas. f.
Tertular PMS AIDS. g.
Meningkatnya gangguan ginekologis, PMSIMS, infeksi saluran kencing dan gangguan pencernaan.
2. Akibat non fisik
a. Bunuh diri
b. Gangguan mental misalnya depresi, ketakutan dan cemas, rasa rendah diri,
kelelahan kronis, sulit tidur, mimpi buruk, disfungsi seksual, gangguan makan, dan lain-lain.
c. Pengaruh psikologis terhadap anak karena menyaksikan kekerasan.
3. Akibat dampak terhadap masyarakat
a. Bertambahnya biaya pemeliharaan kesehatan akibat dampak fisik nonfisik.
b. Efek terhadap produktivitas, misalnya mengakibatkan berkurangnya
kontribusi kepada masyarakat, kemampuan realisasi diri dan kinerja dan cuti sakit bertambah sering
4. Akibat dampak lain
a. Kehilangan nafsu makan.
b. Gangguan tidur insomnia, mimpi buruk, sulit tidur
Universitas Sumatera Utara
c. Terus menerus mengalami kecemasan dan ketakutan, hilangnya rasa percaya
diri. d.
Gangguan psikis berat e.
Kehilangan akal sehat f.
Tidak bisa percaya kepada apa yang terjadi g.
Curiga terus menerus paranoid.
2.1.8. Dampak KDRT pada Kesehatan Reproduksi
Kesehatan reproduksi menurut ICPD 1994 adalah suatu keadaan sejahtera fisik, mental dan sosial secara utuh, tidak semata-mata bebas dari penyakit atau kecacatan
dalam semua hal yang berkaitan dengan sistem reproduksi, serta fungsi dan prosesnya Widyastuti, 2009.
Sehubungan dengan dampak tindak kekerasan terhadap kehidupan seksual dan reproduksi perempuan, penelitian yang dilakukan oleh Rance 1994 yang dikutip oleh
Heise, Moore dan Toubia 1995 kekerasan dan dominasi laki-laki dapat membatasi dan membentuk kehidupan seksual dan reproduksi perempuan. Selain itu, laki-laki juga
sangat berpengaruh dalam pengambilan keputusan tentang alat kontrasepsi yang dipakai oleh pasangannya. Selanjutnya penelitian yang dilakukan di Norwegia oleh Schei dan
Bakketeig 1989 yang dikutip oleh Heise, Moore dan Toubia 1995 juga menyatakan bahwa perempuan yang tinggal dengan pasangan yang suka melakukan tindak kekerasan
menunjukkan masalah-masalah ginekologis yang lebih berat ketimbang dengan yang tinggal dengan pasangansuami normal; bahkan problem ginekologis ini bisa berlanjut
dalam rasa sakit terus menerus Sutrisminah, 2012.
Universitas Sumatera Utara
Tindak kekerasan terhadap istri perlu diungkap untuk mencari alternatif pemberdayaan bagi istri agar terhindar dari tindak kekerasan yang tidak semestinya
terjadi demi terwujudnya hak perempuan untuk memperoleh kesehatan reproduksi yang sehat. Perempuan terganggu kesehatan reproduksinya bila pada saat tidak hamil
mengalami gangguan menstruasi seperti menorrhagia, hipomenorrhagia atau metrorhagia bahkan wanita dapat mengalami menopause lebih awal, dapat mengalami
penurunan libido, ketidakmampuan mendapatkan orgasme, akibat tindak kekerasan yang dialaminya.
Dampak lain yang juga memengaruhi kesehatan organ reproduksi istri dalam rumah tangga diantaranya adalah perubahan pola fikir, emosi dan ekonomi keluarga.
Dampak terhadap pola fikir istri. Tindak kekerasan juga berakibat memengaruhi cara berfikir korban, misalnya tidak mampu berfikir secara jernih karena selalu merasa takut,
cenderung curiga paranoid, sulit mengambil keputusan, tidak bisa percaya kepada apa yang terjadi. Istri yang menjadi korban kekerasan memiliki masalah kesehatan fisik dan
mental dua kali lebih besar dibandingkan yang tidak menjadi korban termasuk tekanan mental, gangguan fisik, pusing, nyeri haid, terinfeksi penyakit menular.
Dampak terhadap ekonomi keluarga. Dampak lain dari tindakan kekerasan meskipun tidak selalu adalah persoalan ekonomi, menimpa tidak saja perempuan yang
tidak bekerja tetapi juga perempuan yang mencari nafkah. Seperti terputusnya akses ekonomi secara mendadak, kehilangan kendali ekonomi rumah tangga, biaya tak terduga
untuk hunian, kepindahan, pengobatan dan terapi serta ongkos perkara. Dampak terhadap status emosi istri. Istri dapat mengalami depresi, penyalahgunaan pemakaian zat-zat
Universitas Sumatera Utara
tertentu obat-obatan dan alkohol, kecemasan, percobaan bunuh diri, keadaan pasca trauma dan rendahnya kepercayaan diri Sutrisminah, 2012.
2.1.9. KDRT pada Ibu Hamil
Di seluruh dunia satu diantara empat perempuan hamil mengalami kekerasan fisik dan seksual oleh pasangannya. Pada saat hamil, dapat terjadi keguguran abortus,
persalinan imatur dan bayi meninggal dalam rahim. Pada saat bersalin, perempuan akan mengalami penyulit persalinan seperti hilangnya kontraksi uterus, persalinan lama,
persalinan dengan alat bahkan pembedahan. Hasil dari kehamilan dapat melahirkan bayi dengan BBLR, terbelakang mental, bayi lahir cacat fisik atau bayi lahir mati
Sutrisminah, 2012. Kekerasan dalam rumah tangga KDRT merupakan penyebab penting yang
menyebabkan kesakitan atau kematian pada wanita selama kehamilan. Banyak orang berpikir bahwa kekerasan akan berakhir jika seorang wanita dalam keadaan hamil.
Penelitian menunjukkan bahwa kehamilan dapat memperburuk tingkat kekerasan. Suatu hal yang perlu dipertimbangkan adalah bagaimana pasangan suami akan
memperlakukan calon anak jika mereka sudah memperlakukan istri dengan buruk Jennifer, 2008.
Kekerasan selama kehamilan juga dapat terjadi akibat peningkatan stres yang dialami oleh pria. Stres ini disebabkan oleh perasaan meningkatnya tanggungjawab
materi yang harus dipenuhi nantinya, yang akhirnya mengharuskan pria menambah pemasukan atau bekerja lebih. Stress juga terjadi akibat pasangan belum siap menjadi
seorang ayah, dan pria lebih enggan mencari bantuan untuk mengatasi stres atau
Universitas Sumatera Utara
kebutuhan emosional daripada wanita sehingga menimbulkan stres yang berkepanjangan Condon, 2004 dalam O’Reilly, 2007.
Jenis kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan suami pada istri saat mengalami kehamilan adalah sebagai berikut:
1. Kekerasan fisik
Kekerasan dalam rumah tangga dapat berupa penganiayaan fisik ibu hamil dengan bentuk yang bermacam-macam yaitu dengan cara melukai, menyiksa,
menganiaya ibu hamil menggunakan anggota tubuh pelaku tangan atau kaki mulai dari pukulan, jambakan rambut, cubitan, mendorong secara kasar,
penginjakan, pelemparan, cekikan, tamparan, tendangan, sampai penyiksaan dengan menggunakan alat seperti pentungan, gagang sapu, pisau, ban mobil,
setrika, sundutan rokok, siraman air keras, dan lain-lain. Tindakan tersebut dapat mengakibatkan rasa sakit, luka ringan sampai luka berat, kecacatan, mengalami
komplikasi kehamilan, kerusakan pada daerah alat kelamin istri, keguguran, pendarahan, bahkan ibu hamil dapat meninggal dunia.
2. Kekerasan psikologis
Tindakan kekerasan yang dilakukan dengan menyerang wilayah psikologis korban, bertujuan untuk merendahkan harga diri seorang istri baik melalui kata-
kata maupun perbuatan seperti mengumpat, membentak dengan kata-kata kasar, menghina, mengancam. Tindakan tersebut mengakibatkan ibu hamil menjadi
ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, ibu hamil mengalami depresi, stres, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan penderitaan psikis
berat pada ibu hamil.
Universitas Sumatera Utara
3. Kekerasan seksual
Penganiayaan atau penyerangan seksual oleh suami pada istri yang sedang hamil dengan cara memaksa hubungan seksual pada saat ibu hamil tidak menginginkan
berhubungan seksual dengan suami. Suami memaksa dengan mengancam istri pada saat hamil terutama pada saat hamil trimester II atau III agar mau melayani
kebutuhan seksual suami setiap saat. Kekerasan seksual dengan pemaksaan seringkali hanya memuaskan suami sedangkan istri lebih banyak mengalami
penderitaan dengan kondisi perut yang membesar. 4.
Kekerasan sosial dan ekonomi Tindakan kekerasan dilakukan oleh suami dengan cara membuat istri tergantung
secara ekonomi selama kehamilan, atau suami tidak memberikan nafkah lahiriah kepada istri yang sedang hamil, tidak memberikan kebutuhan selama ibu hamil
seperti susu ibu hamil, makanan yang bergizi bagi ibu hamil, suami mengontrol atau mengawasi penggunaan uang oleh istri selama kehamilan, suami membatasi
pengeluaran yang wajib dibeli setiap bulan, mengisolasi istri dari kehidupan sosial masyarakat karena suami takut perbuatannya terbongkar oleh orang lain,
melarang istri mengikuti kegiatan-kegiatan kemasyarakatan di lingkungan rumah, suami tidak mendukung atau melarang istri untuk melakukan pemeriksaan selama
kehamilan ke tenaga kesehatan, menelantarkan istri dengan tidak mencukupi kebutuhan ibu selama kehamilan.
Universitas Sumatera Utara
2.2. Interaksi Ibu Korban KDRT dengan Bayi yang Dilahirkan
Kekerasan suami pada istri selama kehamilan cenderung meningkat dengan berbagai alasan seperti: stres biopsikososial stres yang dipicu oleh hukum relasi
dengan orang lain dan akibat situasi sosial lainnya selama kehamilan mengganggu hubungan dan kemampuan koping, frustasi dan akhirnya melakukan kekerasan;
suami cemburu dengan janin yang dikandung pasangannya dan menjadikan pasangan sebagai sasaran kemarahan; marah pada janin yang belum lahir atau pada
pasangannya; kekerasan dilakukan suami karena bingung dan ingin mengakhiri kehamilan pasangannya. Hal tersebut akan berdampak negatif pada istri seperti istri
mengalami depresi pada masa nifas Handayani, 2006. Depresi masa nifas merupakan keadaan yang sangat serius, karena pada masa
ini ibu harus memerlukan istirahat dan dukungan dari orang-orang di sekitarnya. Biasanya penyebab depresi masa nifas yaitu berhubungan dengan kesibukan ibu
mengurus anak yang lain sebelum melahirkan anaknya, pengalaman ibu selama masa kehamilan seperti perbuatan suami yang kurang baik pada ibu selama masa
kehamilan dengan perilaku kekerasan. Gejala-gejala psikis dari ibu yang mengalami depresi yaitu tidak mau mengurus diri atau tidak mau mengurus bayinya, gampang
murung, mudah marah, dan terkadang mengalami halusinasi pendengaran Pieter, 2011.
Distres emosi pada ibu pasca melahirkan akibat perlakuan tindakan kekerasan pada masa kehamilan yang terus menerus terjadi akan menyebabkan risiko bunuh
diri, tidak menginginkan kehamilan dan melakukan kekerasan pada bayi yang
Universitas Sumatera Utara
dilahirkan Handayani, 2006. Kekerasan pada bayi ini diawali pada masa bayi, dimana pada saat bayi lahir, ibu mengalami perubahan fisik dan emosional, hal ini
dapat mengakibatkan ibu korban kekerasan pada saat hamil mengalami kesulitan menjalin hubungan atau berinteraksi dengan bayinya. Ibu juga dapat menjadi pelaku
kekerasan pada bayinya jika tidak dapat memperbaiki hubungan dengan suaminya Lowdermilk, 2000.
Dampak perilaku maladaptif ibu postpartum akan memengaruhi interaksi ibu dengan bayi, hal tersebut dapat menyebabkan kurangnya pemenuhan ASI bagi bayi
akibat ibu tidak mau menyusui bayinya, bayi tidak terawat, ditelantarkan, dibuang bahkan ada yang secara sengaja dibunuh oleh ibunya sendiri. Melalaikan bayi dan
keengganan ibu dalam memberikan asuhan pada bayi berkaitan erat dengan adanya kegelisahan, kecemasan dan penolakan ibu untuk dekat dengan bayinya. Kekerasan
dan penelantaran bayi dapat berdampak pada gangguan perkembangan antara lain kondisi gagal tumbuh tanpa penyakit organik, mudah terserang penyakit, atau muncul
masalah emosional Handayani, 2006. Kekerasan terhadap istri juga berdampak bagi anak-anaknya. Bagi yang masih
bayi, besar kemungkinan ia tidak lagi akan dapat merasakan nikmatnya air susu ibu ASI, sebab stress akan membuat produksi ASI berkurang bahkan berhenti. Belum
lagi dengan melemahnya kemampuan menguasai diri, baik dari suami maupun istri akan membuka kemungkinan mereka bertindak kejam terhadap anak. Kondisi ini
tentu tidak baik bagi anak, karena akan membuat mereka trauma baik fisik maupun psikis. Yang membuat mereka menjadi sering gugup, suka menyendiri, cemas, sering
Universitas Sumatera Utara
ngompol, gelisah, gagap, sering menderita gangguan perut, sakit kepala, asma, kejam pada binatang, suka memukul teman, dan sebagainya Adiningsih, 2005.
2.3. Kerangka Berfikir