Gender dan Media LANDASAN TEORITIS
sekaligus transfer nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat, termasuk nilai dan norma gender. Nilai dan norma tersebut ditransfer secara lugas
maupun secara tersembunyi, baik melalui buku-buku teks yang digunakan maupun pada suasana dan proses pembelajaran. Oleh karena itu, dalam lembaga
pendidikan, sebagai tempat mentransfer pengetahuan kepada masyarakat, mewujudkan keadilan gender merupakan hal yang niscaya. Untuk mengarah pada
terwujudnya keadilan gender yang dimaksud maka perlu; 1 memberlakukan keadilan gender dalam pendidikan dan menghilangkan pembedaan pada peserta
didik, 2 mengupayakan keadilan gender di kalangan staf dan pimpinan, dan 3 meredam sebab-sebab terjadinya kekerasan dan diskriminasi melalui materi
pengetahuan yang diajarkan, proses pembelajaran yang dilakukan, dan menentang segala ide dan pemikiran yang mengandung stereotipe negatif. Dari tiga hal
tersebut, maka hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pendidikan adalah bagaimana menyusun kurikulum dan membuat bahan ajar yang dapat
menciptakan relasi gender yang dinamis. Hingga saat ini masih banyak buku pelajaran di tingkat sekolah dasar
hingga tingkat menengah memanipulasi citra perempuan. Perempuan masih selalu digambarkan ada di lingkungan rumah tangga, pekerjaannya hanyalah sebagai ibu
rumah tangga yang bertugas memasak, menyapu, mengasuh anak, dan belanja kebutuhan rumah tangga. Walaupun dalam kenyataannya tidak ada lagi perbedaan
antara insinyur perempuan dan insinyur laki-laki atau antara dokter perempuan dengan dokter laki-laki, tetapi dalam buku Pelajaran Bahasa Indonesia misalnya,
profesi ini selalu digambarkan sebagai sosok laki-laki
24
. Stereotipe gender sampai saat ini juga masih terus ada dan terefleksikan
pada saat calon mahasiswa memilih dan menentukan spesialisasi di sekolah kejuruan dan universitas, yang tampaknya ada semacam diskriminasi atau bias
gender yang dilakukan secara sadar oleh calon mahasiswa berjenis kelamin perempuan maupun laki-laki. Ilmu sosial umumnya banyak diambil oleh siswa
perempuan, sedangkan bidang teknologi banyak dipelajari oleh siswa laki-laki UNICEF, 2007.
Lebih lanjut menurut Astuti dalam Margono, dalam evaluasi buku pelajaran Bahasa Indonesia dan Matematika SD, SLTP, dan SMA, terlihat bahwa
95 gambar-gambar dalam buku matematika adalah laki-laki. Apakah 95 laki-laki tersebut benar mempelajari matematika? Bila seseorang melihat
semuanya laki-laki, maka seakan-akan perempuan tidak wajib belajar matematika. Contoh lain, dalam buku-buku pelajaran pada umumnya aktivitas permainan anak
perempuan dan laki-laki digambarkan dengan pemisahan yang tegas, seperti anak laki-laki bermain mobil-mobilan, sepak bola, berlari-lari dan naik ke pohon,
sedangkan anak perempuan bermain boneka atau masak memasak. Dalam buku-buku pelajaran itu permainan anak laki-laki digambarkan dengan kegiatan
fisik aktif dan mobil, sedangkan anak perempuan gambaran fisiknya cenderung lebih pasif. Penanaman posisi yang keliru tersebut bias gender terus diacu
sebagai suatu hal yang wajar oleh peserta didik perempuan mahasiswi maupun laki-laki mahasiswa. Akibatnya, ketidakadilan gender terus berlangsung di
sekolah-sekolah hingga sekarang. Kondisi ini tentu saja memprihatinkan dan
24
Santi Dewiki, dkk, “Perspektif Gender dalam Bahan Ajar Cetak pada Pendidikan Jarak jauh”,
menjadi perhatian di kalangan pendidik sehingga menimbulkan pertanyaan, apakah kondisi seperti ini juga terdapat dalam buku-buku yang digunakan di
perguruan tinggi.