Dampak Keberlakuan Gender 1. Pengertian Gender
                                                                                merek a, tetapi di dorong untuk menikmati seksualitas mereka melalui mata pria”.
Petikan  kalimat  diatas  dinukil  dari  analisis  Janice  Winship  dalam  tulisannya “Sexsuality for Sale” 1980, ketika dia membongkar relasi-relasi ideologi gender
dan  kapitalisme  di  balik  penggambaran  dan  pencitraan  wanita  dalam  iklan  di majalah-majalah wanita
21
. Pencitraan perempuan yang terus-menerus dikonstruksi serta  disosialisasikan  lewat  atau  oleh  media  perlahan  tapi  pasti  telah  merubah
standar  budaya  mengenai  kecantikan  yang  mengendap  dalam  kesadaran  kita. Karena  itulah  pergeseran  citra  perempuan  ideal  yang  terus-menerus
dibombardirkan  lewat  media  harus  dipahami  sebagai  bagian  dari  pengukuhan ideologi  gender  dan  kapitalisme  yang  menjadikan  perempuan  sebagai  objek  dan
sekaligus komoditas. Kenyataan tersebut yang sesungguhnya telah berperan dalam menciptakan kekerasan berwajah baru.
Sementara itu Menurut Idi Subandy dalam bukunya Sirnanya Komunikasi Empatik,  didalam  ruang  publik  kekerasan  fisik  dan  psikologis  terhadap
perempuan hingga kini masih mewarnai karena ketimpangan relasi dan kekerasan tersebut semakin diperkukuh lagi dengan kekerasan simbolik symbolic violence
yang  berlangsung  di  ruang  publik,  dan  kekerasan  simbolik  itu  tumbuh  subur dalam  media.  Corak  dari  kekerasan  simbolik  tersebut  bisa  kita  temukan  dalam
bentuk  penggunaan  bahasa  dan  gambar  yang  muncul  dalam  media  yang memposisikan perempuan dalam stereotype body not brain.
22
20
Idi Subandi, Sirnanya Komunikasi Empatik, Bandung: Pustaka Bani Quraisy, h.116
21
Ibid, h.115
22
Idi Subandi, Sirnanya Komunikasi Empatik, Bandung: Pustaka Bani Quraisy, h.117
Di  antara  banyak  persoalan  media  massa  Indonesia  yang  tidak  sensitif gender  saat  ini,  setidaknya  terdapat  empat  isu  penting.  Pertama,  media  massa
masih  memberi  tempat  bagi  proses  legitimasi  bias  gender,  terutama  dalam menampilkan  representasi  perempuan.  Kenyataan  ini  dapat  dilihat  dari  berbagai
citra dan teks pemberitaan, iklan, film, sinetron dan produk media massa lainnya. Yang  ditampilkan  adalah  kondisi  perempuan  sebagai  objek,  dengan  visualisasi
dan  identifikasi  tubuh  seperti  molek,  seronok,  seksi,  dan  sejenisnya.  Dalam pemberitaan  kasus  kriminal,  perkosaan  misalnya,  perempuan  juga  sering
digambarkan sebagai sosok yang seolah ikut andil sehingga meyebabkan kasus itu terjadi,  bukan  murni  sebagai  korban  kejahatan  kaum  laki-laki.  Di  sisi  lain
penempatan positioning perempuan sebagai korban survivor atau saat menjadi pelakutersangka juga sarat dengan warna eksploitasi. Penggunaan kosakata masih
berorientasi  seksual  sex-oriented ,  seperti  “dipaksa  melayani  nafsu”,  “bertubuh
molek”, dan sebagainya.  Kedua,  dalam aktivitas jurnalisme sangat sedikit kaum perempuan  terlibat  menjadi  pekerja  media.  Persoalan  kuantitatif  ini  barangkali
tidak  terlalu  parah  bila  di  antara  jumlah  yang  sedikit  tersebut  para  jurnalis perempuan telah memiliki sensitifitas gender. Ironisnya, karena umumnya mereka
masuk dalam dunia jurnalistik yang sangat maskulin, ukuran-ukuran pemberitaan yang  digunakan  masih  menggunakan  ukuran  laki-laki  sebagai  pihak  dominan
dalam  pengambilan  keputusan.  Tulisan-tulisan  yang  disajikan  para  jurnalis pere
mpuan  pun  sudah  dikondisikan  dalam  “pola  laki-laki”  male  patterns. Seandainya  ada  jurnalis  perempuan  yang  concern  terhadap  sensitifitas  gender,
hanya  menempati  posisi  yang  kurang  penting  dalam  jajaran  dewan  pengurus media.  Bahkan  dalam  sejarah  pers  Indonesia,  nama-nama  tokoh  pers  pun