Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN
                                                                                objek  dan  dieksploitasi  tubuhnya,  gambar  yang  diperlihatkan  story  board perempuan dengan rok mini dan mengenakan baju dengan setengah dada terbuka.
Mata  kuliah  produksi  siaran  televisi  tersebut  merupakan  salah  satu  mata  kuliah yang  masuk  pada  kategori  mata  kuliah  keahlian  jurusan.  Seperti  yang  sudah
dikemukakan  diatas,  lulusan-lulusan  dari  jurusan  ini  dicetak  untuk  terjun  ke media.
Sehingga sangat
disayangkan apabila
lulusan-lulusan  tersebut memproduksi acara yang masih bias gender.
Lingkungan  kampus,  teknik  pengajaran,  kurikulum,  hingga  bahan  ajar kadang  masih  merepresentasikan  perempuan  dan  laki-laki  stereotype  khas
patriarki.  Hal  tersebut  memperlihatkan  bahwa  tidak  semua  ruang  lingkup akademis bisa mengakomodir kehausan terhadap pengetahuan diluar pengetahuan
yang  maskulin.  Tidak  heran  jika  atmosfir  lingkungan  seperti  itu  menjadikan orang-orang  yang  berada  didalamnya  menjadi  kaku  dan  kebal  terhadap  isu-isu
perempuan  dan  kesetaraan  gender.  Dampaknya  adalah  para  lulusan  FIDKOM yang  bergelut  di  bidang  media  tidak  mempunyai  ideologi  yang  berperspektif
gender  sehingga  menghasilkan  karya-karya  yang  bias  gender.  Menurut  Rocky Gerung dalam Jurnal Perempuan yang mengangkat tema Pengetahuan Perempuan,
hal  yang  membuat  konsep  gender  atau  Feminis  sulit  diterima  di  Universitas adalah:
6
1. Studi Gender masih dianggap keanehan akademis
2. Gender atau Feminis merupakan barang impor dari Barat
3. Divonis sebagai ajaran sesat dalam kerangka final agamis
6
Jurnal Perempuan, U iversitas da  Fe i is e , dalam Pengetahuan Perempuan,
Jakarta : PT. Percetakan Penebar Swadaya, 2004, edisi 48, h.70.
Pendidikan  formal  memang  bukan  satu-satunya  cara  untuk  menciptakan kehidupan yang berkesetaraan dan berkeadilan, namun tidak dapat dipungkiri jika
pendidikan formal merupakan senjata penting untuk menghancurkan patriarki. Hal tersebut  menjadi  penting  mengacu  pada  tiga  alasan  dasar.  Pertama,  lembaga
pendidikan  adalah  wadah  institusional  dimana  semua  baik  laki-laki  maupun perempuan  mengekspresikan  segala  potensinya,  mengaktualisasikan,  dan
mendefinisikan identitas dirinya. Kedua, lembaga pendidikan merupakan institusi dinamis  yang  menyiapkan,  memproduksi,  dan  mengembangkan  potensi
sumberdaya  manusia.  Ketiga,  lembaga  pendidikan  mereproduksi  ideologi  atau doktrin tertentu baik melalui proses kebijakan atau via inkulturasi atmosfer kerja.
Melalui pendidikan nilai-nilai diperkenalkan, ditransmisi, dan ditransformasikan,
7
dan  lulusan-lulusan  dari  perguruan  tinggi  pun  dianggap  orang-orang  yang mengetahui banyak hal  dan bisa menjadi  opinion leader  yang bisa merubah cara
pandang masyarakat umum. Pendidikan  merupakan  aktivitas  yang  khas  bagi  manusia  dalam  suatu
komunitas  masyarakat  dengan  tujuan  untuk  memanusiakan  manusia,  dan merupakan instrumen yang penting bagi pemberdayaan masyarakat, terutama bagi
masyarakat  yang  termarjinalkan.  Pendidikan  juga  merupakan  kunci  terwujudnya keadilan  gender  dalam  masyarakat,  karena  disamping  merupakan  alat  untuk
mentransfer  norma-norma  masyarakat,  pengetahuan  dan  kemampuan  manusia, juga sebagai alat untuk mengkaji dan menyampaikan ide-ide dan nilai baru.
Dengan  demikian,  lembaga  pendidikan  merupakan  sarana  formal  untuk sosialisasi  sekaligus  transfer  nilai-nilai  dan  norma-norma  yang  berlaku  dalam
7
Amelia Fauzia, dkk, Realita dan Cita Kesetaraan Gender di UIN Jakarta, Jakarta, McGill IAIN-Indonesia Social Equity Project, 2004, h.5.
masyarakat, termasuk nilai dan norma gender. Nilai dan norma tersebut ditransfer secara  lugas  maupun  secara  tersembunyi,  baik  melalui  buku-buku  teks  yang
digunakan maupun pada suasana dan proses pembelajaran. Oleh karena itu, dalam lembaga pendidikan, sebagai tempat mentransfer pengetahuan kepada masyarakat,
mewujudkan keadilan gender merupakan hal yang niscaya. Untuk mengarah pada terwujudnya  keadilan  gender  yang  dimaksud  maka  perlu;  1  memberlakukan
keadilan  gender  dalam  pendidikan  dan  menghilangkan  pembedaan  pada  peserta didik, 2 mengupayakan keadilan gender di kalangan staf dan pimpinan, dan 3
meredam  sebab-sebab  terjadinya  kekerasan  dan  diskriminasi  melalui  materi pengetahuan yang diajarkan, proses pembelajaran yang dilakukan, dan menentang
segala ide dan pemikiran yang mengandung stereotipe negatif.
8
Dari  tiga  hal  di  atas,  maka  hal-hal  yang  perlu  diperhatikan  dalam pendidikan adalah bagaimana menyusun kurikulum yang dapat menciptakan relasi
gender  yang  dinamis.  Maka  menjadi  penting  bagi  pihak  kampus  untuk mengintegrasikan  gender  dan  metodologi  feminis  dalam  mata  kuliah  yang  akan
diajarkan  kepada  peserta  didiknya.  Dengan  adanya  pengintegrasian  tersebut peserta  didik  akan  memiliki  pemahaman  menyangkut  konteks  sosial,  budaya,
hukum,  dan  politik  yang  melibatkan  perempuan  dan  laki-laki  didalamnya sehingga  tercipta  ilmu  pengetahuan  dan  pemahaman  yang  berkeadilan  dan
berkesetaraan.  Pengintegrasian  ini  bisa  disisipkan  pada  mata  kuliah  dasar  dan pengantar  beberapa  mata  kuliah  pokok  seperti  Agama,  Antropologi  agama,
pengantar  sosiologi,  komunikasi  antar  pribadi,  Komunikasi  Politik,  Komunikasi antar  agama  dan  budaya,  broadcasting,  produksi  siaran  televisi  dan  radio,  dan
8
Khusnul Khotimah, Urge si Kurikulu  Ge der , dalam Jurnal Insania, edisi sep-des
2008, h.1.
bahasa  jurnalistik.  Sedangkan  untuk  pengitegrasian  metodologi  feminis,  bisa dimasukkan  dalam  mata  kuliah  metodologi  penelitian  sosial  dan  metodologi
penelitian  komunikasi.  Dengan  mengenalkan  corak  penelitian  dan  mata  kuliah yang  sensitif  seperti  itu  diharapkan  para  lulusan  FIDKOM  terutama  Jurusan
Komunikasi  Penyiaran  Islam  yang  akan  bekerja  di  industri  media  massa mampu menciptakan  iklim  yang  berkesetaraan  dan  berkeadilan  bagi  pemberdayaan
perempuan. Dengan  demikian  peserta  didik  yang  bakal  menjadi  pekerja  media  dapat
menjadi  profesional  yang  mampu  menjadi  agen  perubahan  terhadap  lingkungan atau  kondisi  yang  patriarkis  bukan  malah  makin  menguatkan  akar  patriarki
dikalangan  para  intelek  dan  pekerja  professional.  Terlebih  lagi  Jurusan Komunikasi  Penyiaran  Islam  sudah  diperkuat  dengan  mata  kuliah-mata  kuliah
keagamaan  seperti  Tafsir  Al- Qur’an,  Hadits,  Tasawuf,  dan  sebagainya.  Itu
merupakan  kelebihan  yang  bisa  dijadikan  bekal  bagi  mahasiswa  untuk mengelaborasi  pemahaman  tentang  kajian  Gender,  Media  dan  Islam.  Bukankah
Islam agama yang sarat dengan nilai kesetaraan juga menjunjung Moral dan Hak Asasi.
9
Untuk itu media bisa dijadikan sarana dakwah bagi mahasiswa-mahasiswa tersebut dalam menyampaikan pesan-pesan Islam yang memanusiakan manusia.
Berdasarkan latar belakang diatas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian  dengan  judul
“Respon  Mahasiswa  terhadap  Sensitifitas  Gender pada Materi Kuliah di Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta ”
9
Leli Nurohmah dkk, Kesetaraan Kemajemukan dan Ham, Jakarta: Rahima, 2010, h. 32.