Perbedaan seks dan Gender
reformasi memberi ruang sebebas-bebasnya demi tersebarnya informasi, namun di sisi lain perspektif media dalam mengangkat persoalan gender masih sangat bias.
Menurut Mariana Amirudin dalam Jurnal Perempuan, faktor-faktor yang menunjukan hal tersebut adalah : kebebasan pers sarat mengangkat tayangan dan
pemberitaan yang penuh dengan tindakan kekerasan, menghakimi dan diskriminatif terhadap perempuan. Media lebih banyak melakukan pernyataan
moral dan sensasional daripada membawa esensi untuk mencari solusi persoalan.
19
Selanjutnya dikatakan, media mainstream sangat sedikit memberi tempat atau ruang untuk tayangan dan pemberitaan yang berpihak pada kebebasan
dalam arti hak warga Negara, terutama perempuan dengan alasan kebutuhan industri media dan mengatasnamakan bahwa masyarakat lebih menyukai
tayangan-tayangan kekerasan dan pelecehan terhadap perempuan, bahkan media mainstream menjadi pihak yang berkuasa atas pencitraan masyarakat dan
perempuan, dan meninggalkan kode etik jurnalistik sebagai salah satu mandat kebebasan pers.
Citra perempuan dalam media sesungguhnya berfungsi, sebagaimana dinyatakan oleh Karen Johnson dan Tom Ferguson dalam karya mereka
“Thrusting Ourselves: The Sourcebook on Psychology fo Women” 1990. Sebagai “cermin” wanita women’s mirror, namun sayangnya “cermin” itu tidak
dengan sendirinya menggambarkan kealamian dan keautentikan dunia wanita, karena tak jarang malah mempromosikan standar kehidupan yang tidak realistik.
20
“Wanita tidak hanya melihat diri mereka sebagaimana pria melihat
19
Jurnal Perempuan, Apa Kabar Media Kita?, Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2010, Edisi 67, h.6
merek a, tetapi di dorong untuk menikmati seksualitas mereka melalui mata pria”.
Petikan kalimat diatas dinukil dari analisis Janice Winship dalam tulisannya “Sexsuality for Sale” 1980, ketika dia membongkar relasi-relasi ideologi gender
dan kapitalisme di balik penggambaran dan pencitraan wanita dalam iklan di majalah-majalah wanita
21
. Pencitraan perempuan yang terus-menerus dikonstruksi serta disosialisasikan lewat atau oleh media perlahan tapi pasti telah merubah
standar budaya mengenai kecantikan yang mengendap dalam kesadaran kita. Karena itulah pergeseran citra perempuan ideal yang terus-menerus
dibombardirkan lewat media harus dipahami sebagai bagian dari pengukuhan ideologi gender dan kapitalisme yang menjadikan perempuan sebagai objek dan
sekaligus komoditas. Kenyataan tersebut yang sesungguhnya telah berperan dalam menciptakan kekerasan berwajah baru.
Sementara itu Menurut Idi Subandy dalam bukunya Sirnanya Komunikasi Empatik, didalam ruang publik kekerasan fisik dan psikologis terhadap
perempuan hingga kini masih mewarnai karena ketimpangan relasi dan kekerasan tersebut semakin diperkukuh lagi dengan kekerasan simbolik symbolic violence
yang berlangsung di ruang publik, dan kekerasan simbolik itu tumbuh subur dalam media. Corak dari kekerasan simbolik tersebut bisa kita temukan dalam
bentuk penggunaan bahasa dan gambar yang muncul dalam media yang memposisikan perempuan dalam stereotype body not brain.
22
20
Idi Subandi, Sirnanya Komunikasi Empatik, Bandung: Pustaka Bani Quraisy, h.116
21
Ibid, h.115
22
Idi Subandi, Sirnanya Komunikasi Empatik, Bandung: Pustaka Bani Quraisy, h.117