cenderung dihegemoni nama “laki-laki”. Ketiga, kepentingan ekonomi dan politik menuntut para pemilik media tunduk kepada industri atau pasar yang memang
lebih permisif terhadap jurnalisme yang tidak sensitif gender. Perempuan dan segala stereotipe-nya dalam pandangan media massa adalah komoditas yang laku
dijual. Media massa, di Indonesia, sebagai bagian dari lingkaran produksi yang berorientasi pasar menyadari adanya nilai jual yang dimiliki perempuan, terutama
sebagai pasar potensial. Kondisi kultural ini didukung pula oleh permasalahan kultural di level organisasional media, terutama masalah coorporate culture yang
masih sangat patriarkis. Keempat, regulasi media yang ada saaat ini tidak sensitif gender, Kode Etik Jurnalistik dan UU Pers misalnya, kurang memperhatikan
masalah-masalah perempuan dan media. Ditambah lagi, aturan-aturan normatif lainnya yang selama ini sudah ada pun kurang atau bahkan tidak ditaati oleh para
pekerja media.
23
D. Gender dan Pendidikan
Pendidikan merupakan aktivitas yang khas bagi manusia dalam suatu komunitas masyarakat dengan tujuan untuk memanusiakan manusia, dan
merupakan instrumen yang penting bagi pemberdayaan masyarakat, terutama bagi masyarakat yang termarjinalkan. Pendidikan juga merupakan kunci terwujudnya
keadilan gender dalam masyarakat, karena di samping merupakan alat untuk mentransfer norma-norma masyarakat, pengetahuan dan kemampuan manusia,
juga sebagai alat untuk mengkaji dan menyampaikan ide-ide dan nilai baru. Dengan demikian, lembaga pendidikan merupakan sarana formal untuk sosialisasi
23
Iwan Awaludin Yusuf, Jurnalis e “ensitif Gender:sekadar wacana? ,
http:bincangmedia.wordpress.com diakses pada 09 Mei 2011 pkl.16.50 Wib.
sekaligus transfer nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat, termasuk nilai dan norma gender. Nilai dan norma tersebut ditransfer secara lugas
maupun secara tersembunyi, baik melalui buku-buku teks yang digunakan maupun pada suasana dan proses pembelajaran. Oleh karena itu, dalam lembaga
pendidikan, sebagai tempat mentransfer pengetahuan kepada masyarakat, mewujudkan keadilan gender merupakan hal yang niscaya. Untuk mengarah pada
terwujudnya keadilan gender yang dimaksud maka perlu; 1 memberlakukan keadilan gender dalam pendidikan dan menghilangkan pembedaan pada peserta
didik, 2 mengupayakan keadilan gender di kalangan staf dan pimpinan, dan 3 meredam sebab-sebab terjadinya kekerasan dan diskriminasi melalui materi
pengetahuan yang diajarkan, proses pembelajaran yang dilakukan, dan menentang segala ide dan pemikiran yang mengandung stereotipe negatif. Dari tiga hal
tersebut, maka hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pendidikan adalah bagaimana menyusun kurikulum dan membuat bahan ajar yang dapat
menciptakan relasi gender yang dinamis. Hingga saat ini masih banyak buku pelajaran di tingkat sekolah dasar
hingga tingkat menengah memanipulasi citra perempuan. Perempuan masih selalu digambarkan ada di lingkungan rumah tangga, pekerjaannya hanyalah sebagai ibu
rumah tangga yang bertugas memasak, menyapu, mengasuh anak, dan belanja kebutuhan rumah tangga. Walaupun dalam kenyataannya tidak ada lagi perbedaan
antara insinyur perempuan dan insinyur laki-laki atau antara dokter perempuan dengan dokter laki-laki, tetapi dalam buku Pelajaran Bahasa Indonesia misalnya,