Stereotype Kekerasan Bentuk Ketidakadilan Gender
                                                                                Di  antara  banyak  persoalan  media  massa  Indonesia  yang  tidak  sensitif gender  saat  ini,  setidaknya  terdapat  empat  isu  penting.  Pertama,  media  massa
masih  memberi  tempat  bagi  proses  legitimasi  bias  gender,  terutama  dalam menampilkan  representasi  perempuan.  Kenyataan  ini  dapat  dilihat  dari  berbagai
citra dan teks pemberitaan, iklan, film, sinetron dan produk media massa lainnya. Yang  ditampilkan  adalah  kondisi  perempuan  sebagai  objek,  dengan  visualisasi
dan  identifikasi  tubuh  seperti  molek,  seronok,  seksi,  dan  sejenisnya.  Dalam pemberitaan  kasus  kriminal,  perkosaan  misalnya,  perempuan  juga  sering
digambarkan sebagai sosok yang seolah ikut andil sehingga meyebabkan kasus itu terjadi,  bukan  murni  sebagai  korban  kejahatan  kaum  laki-laki.  Di  sisi  lain
penempatan positioning perempuan sebagai korban survivor atau saat menjadi pelakutersangka juga sarat dengan warna eksploitasi. Penggunaan kosakata masih
berorientasi  seksual  sex-oriented ,  seperti  “dipaksa  melayani  nafsu”,  “bertubuh
molek”, dan sebagainya.  Kedua,  dalam aktivitas jurnalisme sangat sedikit kaum perempuan  terlibat  menjadi  pekerja  media.  Persoalan  kuantitatif  ini  barangkali
tidak  terlalu  parah  bila  di  antara  jumlah  yang  sedikit  tersebut  para  jurnalis perempuan telah memiliki sensitifitas gender. Ironisnya, karena umumnya mereka
masuk dalam dunia jurnalistik yang sangat maskulin, ukuran-ukuran pemberitaan yang  digunakan  masih  menggunakan  ukuran  laki-laki  sebagai  pihak  dominan
dalam  pengambilan  keputusan.  Tulisan-tulisan  yang  disajikan  para  jurnalis pere
mpuan  pun  sudah  dikondisikan  dalam  “pola  laki-laki”  male  patterns. Seandainya  ada  jurnalis  perempuan  yang  concern  terhadap  sensitifitas  gender,
hanya  menempati  posisi  yang  kurang  penting  dalam  jajaran  dewan  pengurus media.  Bahkan  dalam  sejarah  pers  Indonesia,  nama-nama  tokoh  pers  pun
cenderung dihegemoni nama “laki-laki”. Ketiga,  kepentingan ekonomi dan politik menuntut  para  pemilik  media  tunduk  kepada  industri  atau  pasar  yang  memang
lebih  permisif  terhadap  jurnalisme  yang  tidak  sensitif  gender.  Perempuan  dan segala stereotipe-nya dalam pandangan media massa adalah komoditas yang laku
dijual.  Media  massa,  di  Indonesia,  sebagai  bagian  dari  lingkaran  produksi  yang berorientasi pasar menyadari adanya nilai jual yang dimiliki perempuan, terutama
sebagai  pasar  potensial.  Kondisi  kultural  ini  didukung  pula  oleh  permasalahan kultural di level organisasional media, terutama masalah coorporate culture yang
masih sangat patriarkis. Keempat, regulasi media yang ada saaat ini tidak sensitif gender,  Kode  Etik  Jurnalistik  dan  UU  Pers  misalnya,  kurang  memperhatikan
masalah-masalah  perempuan  dan  media.  Ditambah  lagi,  aturan-aturan  normatif lainnya yang selama ini sudah ada pun kurang atau bahkan tidak ditaati oleh para
pekerja media.
23