Pembahasan Rekapitulasi Data Responden III Tom

C. Pembahasan

Sebelum menjadi Ateis, ketiga responden adalah pemeluk agama tertentu yang sama dengan keluarganya masing-masing. Terkait dengan pengalihan belief dari Teis menjadi Ateis, hal ini dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal ialah kemampuan kognitif yang semakin berkembang seiring bertambahnya usia. Sementara faktor eskternal dapat berupa informasi yang diperoleh melalui buku, internet dan media massa yang dapat diakses dengan cepat dan mudah seiring dengan semakin pesatnya perkembangan teknologi. Awal responden I, responden II dan responden III mulai mempertanyakan kebenaran ajaran agama adalah ketika berada di kelas 2 SMP dan 1 SMA sekitar usia 14-17 tahun. Berdasarkan tahap perkembangan kognitif yang digagas oleh Piaget dalam Galotti, 2004, rentang usia ketiga responden saat mempertanyakan agama termasuk dalam tahap formal operasional. Pada tahap ini, kemampuan berpikir abstrak individu, lebih baik dari tahap sebelumnya, yakni konkret operasional sehingga rasa penasaran akan suatu hal meningkat yang memicu idealisme individu untuk menyadari bahwa terdapat berbagai kemungkinan dan berbagai cara dalam menghadapi masa depan. Pada tahap ini, kemampuan logika individu juga meningkat, yang memungkinkan individu untuk memperoleh pengetahuan baru dan memahaminya hanya dengan menggunakan pemikiran mereka sendiri dan refleksi abstrak. Hal ini dikenal dengan istilah reflective abstract yang membuat individu dapat menyadari adanya ke-tidak-konsistenan pada belief –nya. Hal ini berguna dalam pemikiran naluriah, terutama mengenai Universitas Sumatera Utara sosial dan moral yang memungkinkan individu untuk memahami sudut pandang orang lain dalam memikirkan suatu masalah Galotti, 2004. Ketiga responden sama-sama menggunakan kemampuan reflective abstract ketika menyadari adanya ke-tidak-konsistenan antara belief berdasarkan agama yang selama ini dianut dengan kenyataan dunia yang diamati, misalnya melihat orang beragama yang diajarkan kebaikan oleh agamanya, ternyata mampu berbuat kejahatan ataupun mendapat informasi mengenai sains yang membuktikan usia Bumi berbeda dengan pernyataan agama. Mereka pun lalu menggunakan logika untuk memikirkan perbedaan-perbedaan tersebut dengan mengaitkan berbagai informasi yang didapat melalui buku dan internet mengenai sejarah, sains hingga Ateis. Hal ini membuat mereka menyadari ada cara pandang berbeda dalam memahami dunia dari yang mereka ketahui sebelumnya sehingga mereka menemukan bahwa ternyata mereka memiliki pilihan dalam memandang suatu hal. Berdasarkan hasil analisa data, peneliti juga menemukan faktor eksternal yang mempengaruhi pengalihan individu Teis menjadi Ateis. Faktor-faktor tersebut berkaitan dengan faktor-faktor yang diungkapkan oleh Thompson 2004 dalam bukunya yang berjudul The Many Faces, Causes of Unbelief, yaitu : orangtua dan cara asuh, perkembangan sains, intimidasi secara intelektual, kejahatan, rasa sakit dan penderitaan serta kemunafikan, ketidakadilan dan tindakan buruk yang dilakukan oleh orang beragama. Pada responden I, yang menjadi penyebab eksternal menjadi Ateis ialah intimidasi secara intelektual, rasa sakit dan penderitaan, serta tindakan buruk yang dilakukan oleh orang beragama. Universitas Sumatera Utara Reponden I juga mengingat berbagai masalah yang terjadi dalam kehidupannya, terlebih lagi sebuah masalah pribadi yang enggan ia utarakan pada peneliti, yang membuatnya menganggap bahwa percaya pada Tuhan adalah sia-sia karena tidak berpengaruh dalam penyelesaian masalahnya Pada responden II, penyebab eksternal pengalihannya menjadi Ateis memiliki peran yang lebih sedikit karena ia lebih banyak menggunakan pemikirannya untuk merasionalkan keberadaan Tuhan. Penyebab eksternal yang ia miliki adalah perkembangan sains yang membuatnya terintimidasi secara intelektual serta melihat penderitaan dan kejahatan yang terjadi di dunia. Sementara pada responden III, yang menjadi penyebab pengalihannya menjadi Ateis adalah intimidasi secara intelektual serta melihat banyaknya penderitaan di dunia. Hal ini membuat ia terintimidasi secara intelektual sehingga imannya melemah karena sains dan sejarah lebih masuk akal bila dipikirkan dengan logika serta memiliki bukti dan proses penelitian yang nyata. Responden III juga mempertanyakan penyebab berbagai penderitaan yang terjadi di dunia. Ia bingung terhadap sosok Tuhan yang dikenal sebagai sosok maha kuasa namun mengapa tidak mampu melenyapkan penderitaan di dunia. Salah satu faktor eksternal lain yang juga menjadi penyebab ketiga responden menjadi Ateis lainnya adalah rendahnya kualitas hubungan dengan keluarga, terlebih lagi di usia remaja yang merupakan fase pencarian identitas. Denton 2006 mengungkapkan bahwa kualitas hubungan yang baik antara orangtua dan anak, kehangatan keluarga serta penerimaan orangtua terhadap anak merupakan perantara tumbuhnya religiusitas dalam diri anak remaja karena bila Universitas Sumatera Utara hubungan orangtua-anak adalah baik, maka transmisi nilai-nilai keagamaan pada anak juga akan baik. Hal ini tidak dialami oleh ketiga responden. Hubungan antar anggota keluarga responden I tidak terlalu dekat. Bahkan, terakhir mereka berlibur bersama saja sekitar delapan tahun yang lalu. Responden I berkomunikasi dengan kakak dan abangnya seperlunya saja, bahkan mereka tidak pernah saling berbagi curahan hati. Responden I juga tidak terlalu dekat dengan kedua orangtuanya, namun sebisa mungkin ia membantu mereka apabila membutuhkan bantuan dari dirinya. Responden I yang tidak dekat dengan keluarganya, membuat ia tidak terbuka pada anggota keluarganya dan enggan untuk berdiskusi seputar agama dengan mereka karena merasa segan dan takut dipandang negatif karena telah mempertanyakan Tuhan. Sedangkan keluarga responden II juga merupakan keluarga yang cukup rajin melaksanakan ibadah agamanya, meskipun ibunya adalah seorang mualaf. Namun, ketika responden memiliki banyak pertanyaan di dalam dirinya mengenai Tuhan dan agama, hubungan dengan ibunya sedang renggang, karena di saat yang bersamaan, ia banyak membuat kenakalan remaja yang kerap membuat ibunya memarahinya. Hal ini membuat ia enggan untuk berdiskusi seputar agama dengan ibunya karena hubungan mereka yang sedang tidak baik. Ia juga enggan berdiskusi dengan ibunya karena menganggap pengetahuan agama Islam ibunya tidaklah mendalam. Selain itu, ibunya juga bekerja di kedai kopi miliknya yang jauh dari rumah dari pagi hingga malam sehingga jarang berada di rumah. Hal ini membuat responden II tidak memiliki sosok yang bisa diajak berdiskusi di rumahnya. Universitas Sumatera Utara Sementara pada responden III, awalnya ia memiliki sosok orangtua, yaitu bibi yang mengajarinya mengenai kepercayaan pada Tuhan hingga hal tersebut tertanam dalam dirinya. Namun, saat ia duduk di kelas 5 SD, bibinya pergi dan ia kembali pada keluarga kandungnya yang sangat jarang beribadah. Hal ini membuat responden III kehilangan panutan dalam beribadah, instruksi dan kedisplinan beribadah pun berkurang sehingga muncul rasa skeptis pada Tuhan. Selanjutnya, berdasarkan hasil analisa data, responden I dan responden II mulai memasuki kehidupan bermakna, sementara responden III terhenti pada tahap penemuan makna. Meski demikian, ketiga responden sama-sama memiliki Will to meaning untuk meraih kehidupan bermakna. Will to meaning merupakan motivasi dasar manusia untuk meraih hidup yang bermakna Sahakian dalam Bastaman, 2006. Pembedanya adalah responden I dan II telah menetapkan dan sedang merealisasikan tujuan hidup mereka melalui berbagai kegiatan terarah, sementara responden III masih merencanakan beberapa pilihan kegiatan terarah yang akan dilakukan sebagai usaha realisasi tujuan hidupnya, namun belum dilakukan karena masih mempertimbangkan kegiatan apa yang sebaiknya ia lakukan. Ketiga responden yang mengadopsi identitas Ateis, membuktikan bahwa mereka menggunakan kebebasan berkehendak freedom of will untuk menentukan sikap terhadap kondisi yang dialami. Freedom of will merupakan kebebasan menentukan sikap terhadap kondisi biologis, psikologis, sosiokultural dan kesejarahannya, namun harus diimbangi dengan tanggung jawab agar tidak berkembang menjadi kesewenangan Bastaman, 1996. Dalam hal ini, ketiga Universitas Sumatera Utara responden memiliki kebebasan untuk tetap percaya pada Tuhan melalui ajaran agama ataupun melepaskan kepercayaan tersebut. Mereka memilih untuk menjadi Ateis dan menerima konsekuensi atas hal tersebut. Dalam proses peralihan menjadi Ateis, ketiga responden melalui tahapan- tahapan. Tahap pertama ialah tahap detachment yang ditandai dengan mempertanyakan dan memisahkan diri secara emosional terhadap agama. Pada tahap ini, ketiga responden sama-sama merasa tidak nyaman, gelisah, merasa bersalah karena telah mempertanyakan agama, namun enggan untuk melepas hal tersebut. Meski demikian, mereka belum mampu membenarkan skepstisme dan keraguan terhadap keyakinan agama karena belum memiliki sudut pandang yang berbeda selain agama dalam memandang suatu hal. Selajutnya, emosi-emosi negatif yang dirasakan karena mempertanyakan agama, membuat para responden mencari tahu lebih banyak tentang sejarah, sains dan agama melalui buku dan internet. Mereka membandingkan lini waktu cerita yang dipaparkan oleh kitab suci agama dengan cerita sejarah dan hasil penelitian sains. Kemudian, mereka mengaitkan itu semua dengan logika yang pada akhirnya membuat mereka lebih mempercayai sejarah dan sains, namun masih enggan melepaskan Tuhan karena masih takut dengan dosa dan neraka. Ini membuktikan bahwa ketiga responden berada pada tahap doubt, sebuah tahap ketika individu sudah mengetahui apa yang membuat mereka tidak nyaman, tidak puas terhadap identitas agama yang dimiliki Krueger, 2014. Ketiga responden memang sudah lebih percaya pada sains dan sejarah, namun mereka enggan melepaskan sosok Tuhan dalam hidup mereka meskipun Universitas Sumatera Utara sudah ragu sehingga mereka mengganti konsep Tuhan sesuai dengan kehendaknya agar dapat menyelamatkan iman masing-masing. Mereka mengalami kebingungan harus percaya pada sains yang telah memiliki bukti atau tetap berpegang pada agama yang selama ini diimani karena mereka juga msih takut terhadap dosa dan neraka. Ketiga responden pun berpindah dari tahap doubt ke tahap dissociation mengenai peralihan menjadi Ateis karena mereka mulai mejauhkan diri dari belief maupun praktek agama. Hal ini terlihat pada responden I dan responden III hanya berkomunikasi pada Tuhan bila menginginkan sesuatu saja, sementara responden II sesekali beribadah sebagai antisipasi bila ternyata agama-lah yang benar. Pada tahap dissociation, individu tidak lagi memikirkan diri mereka berdasarkan identitas agama sebelumnya, namun belum langsung mengadopsi identitas Ateis Krueger, 2014. Ketiga responden yang enggan melepaskan konsep Tuhan, namun belum berani menjadi Ateis pun akhirnya mengadopsi keyakinan baru mengenai Tuhan yang berbeda dari yang mereka percayai sebelumnya. Responden I menganggap Tuhan adalah alam itu sendiri, tanpa campur tangan agama. Responden II menganggap Tuhan adalah sebuah kekuatan yang lebih tinggi dan tidak terlihat yang mencipatkan alam raya yang amat sangat luas serta tidak bersifat personal, tidak memperhatikan manusia secara individual karena tentu banyak hal yang menjadi urusan-Nya. Sementara, responden III menganggap Tuhan adalah merupakan sosok yang mengetahui isi hati manusia secara personal, namun bukan berasal dari agama karena agama hanyalah ciptaan manusia. Hal ini mereka lakukan karena takut akan dosa bila melepaskan Tuhan dalam hidup. Ini Universitas Sumatera Utara membutikan bahwa ketiga responden berada pada tahap transition, yaitu tahap ketika individu mencoba mencari keyakinan atau filosofi baru yang tidak memiliki kesalahan-kesalahan yang menurut mereka dimiliki oleh agama Krueger, 2014. Semakin lama, ketiga responden merasa gelisah dan tidak nyaman akan posisi untuk benar-benar melepaskan Tuhan atau menjadi Ateis. Namun, pada akhirnya mereka mampu mengatasi hal tersebut. Ketiga responden dapat mengatasinya karena memahami keadaan diri yang berada pada posisi tidak jelas untuk tetap percaya pada Tuhan atau tidak. Setelah melakukan upaya perubahan sikap changing attitude dengan mencari tahu lebih dalam mengenai agama, sains dan Ateis. Akhirnya, mereka secara penuh mengubah sikapnya menjadi tidak lagi percaya pada Tuhan dan mengadopsi identitas Ateis. Perubahan sikap yang dilakukan ketiga responden semakin diperkuat karena melakukan pengakraban hubungan orang-orang di sekitar. Responden I berani memberitahun teman-temannya bahwa dirinya adalah Ateis dan ternyata teman-temannya menghormati identitas dan menerima dirinya apa adanya sehingga responden semakin percaya diri karena ia merasa dihargai, meskipun sampai saat ini ia belum berani memberitahu orangtuanya karena takut membuat mereka kecewa. Responden II bahkan tidak hanya berani memberitahu teman- teman dekatnya, ia juga berani memberitahu ibunya karena ia merasa bahwa kejujuran adalah lebih baik daripada memendam suatu hal. Pada awalnya, ibunya tidak setuju, namun akhirnya menerima identitas Ateis responden II. Hal ini membuat responden II merasa bersyukur memiliki ibu yang mampu memahami Universitas Sumatera Utara dirinya. Sementara itu, responden III juga berani memberitahu tidak haya pada teman-temannya, namun juga kepada abang-abang dan adikya yang akhirnya menghormati identitasnya. Ia tidak berani memberitahu ibunya karena khawatir akan menganggu kesehatan mental ibunya. Ketiga responden yang berani untuk mengadopsi identitas Ateis dan berani untuk memberitahu mengenai hal tersebut, meskipun masih kepada kalangan tertentu, membuktikan bahwa mereka telah berada pada tahap declaration dalam peralihan menjadi Ateis karena mereka sadar bahwa mereka tidak lagi percaya pada kuasa yang lebih tinggi dalam bentuk apapun. Mereka menemukan identitas yang cocok dengan belief mereka. Ketiga responden berani untuk menyatakan identitas diri mereka pada orang lain karena mereka memiliki nilai-nilai yang mereka yakini dan anggap benar. Nilai yang diamalkan ketiga responden sebagai individu Ateis tentu berbeda dengan ketika masih percaya pada Tuhan. Mereka sama-sama meyakini bahwa moral tidak ada hubungannya dengan agama karena moral dapat ditemukan melalui aturan masyarakat dan pengalaman hidup yang membuat seseorang mengukur kebenaran suatu hal melalui akal yang dimiliki individu. Nilai yang dimiliki ketiga responden dipengaruhi oleh media massa dengan melihat bukti nyata yang dipaparkan oleh sains maupun sejarah serta kurangnya hubungan emosional dengan keluarga. Hal ini sesuai dengan pernyataan Schwartz 2006 bahwa nilai dipengaruhi oleh keadaan dan latar belakang kehidupan, seperti sosialissai, pengalaman hidup yang dapat membuat sebuah nilai menjadi prioritas dibanding nilai lainnya. Universitas Sumatera Utara Selain itu, menurut Frankl dalam Bastaman 2006, terdapat 3 value nilai- nilai yang menjadi sumber makna hidup seseorang dalam meraih kehidupan bermakna, yaitu creative value, experiential value, dan attitudinal value. Ketiga responden memiliki value yang berbeda berkaitan dengan tujuan hidup yang hendak dicapai. Responden I dan II memiliki experiental value dalam mencapai tujuan hidupnya. Experiental value adalah keyakinan dan penghayatan terhadap suatu nilai, seperti kebenaran, kebajikan, keindahan, keimanan dan cinta kasih dapat menjadikan seesorang merasa hidupnya berarti Frankl dalam Bastaman, 2006. Responden I mengutamakan nilai kolektif bermasyarakat dengan memiliki hubungan sosial yang baik dengan sesama. Baginya, sangat penting memiliki komunikasi yang baik dengan teman-temannya karena ia menyadari bahwa di dunia seseorang tidak bisa hidup tanpa bantuan orang lain. Responden I yang menghayati nilai tersebut, membuatnya memiliki tujuan hidup untuk menjadi atau membuat sesuatu yang berguna bagi masyarakat. Selain itu, ia juga ingin menikmati hari-hari yang dijalaninya dengan tenang serta memiliki pekerjaan yang stabil dalam hidupnya. Sementara itu, responden II memiliki experiental value yang berkaitan dengan nilai empati karena menurutnya, empati dapat membuat seseorang merasakan apa yang dirasakan orang lain sehingga dapat mendorong keinginan untuk saling membantu. Melalui value tersebut, ia berusaha mewujudkan tujuannya untuk berguna bagi sesama. Ia merasa pada masa sekarang ini, belum banyak orang yang peduli terhadap masalah-masalah kemanusiaan. Sedangkan responden III memiliki creative value dalam memenuhi tujuanhidup agar Universitas Sumatera Utara membuat hidupnya bermakna. Creative value yang dimaksud adalah individu yang sungguh-sungguh mencintai pekerjaannya dan melakukan pekerjaannya dengan emosi yang positif serta dapat menimbulkan kepuasaan dalam hidup melalui pekerjaannya Frankl dalam Bastaman, 2006. Dalam hal ini, responden III akan merasa bahwa hidupnya bermakna bila ia dapat melakukan pekerjaan yang ia senangi di bidang filsafat, sejarah atau politik sehingga ia ingin nantinya menjadi seorang ahli dalam bidang-bidang tersebut. Menurutnya, seseorang seharusnya ditempatkan pada hal-hal yang benar-benar disenanginya agar dapat merasakan kebahagiaan dalam hidup. Ketiga responden sama-sama memiliki komitmen untuk mencapai tujuan hidupnya melalui kegiatan terarah directed activities. Namun, hanya responden III yang belum merealisasikan tujuan hidupnya karena belum menentukan langkah tepat mana yang akan ia ambil, yaitu tetap bertahan di fakultas yang sekarang atau mencoba ujian lagi tahun depan. Sementara rencana-rencana lainnya juga belum direalisasikan karena masih memiliki kesibukan kuliah. Sepanjang kehidupannya, responden III menyadari bahwa banyak hal kurang baik yang terjadi, mulai dari keadaan ibu dan abang-abangnya, serta dirinya yang menjadi harapan bagi keluarga besarnya untuk menjadi sukses. Meski demikian, responden III tetap optimis bahwa hari esok dalam hidupnya akan lebih baik daripada hari-hari sebelumnya. Responden III sudah merasa bahagia dengan identitas Ateisnya karena telah berhasil jujur pada diri sendiri, namun kebahagiaan tersebut belum utuh karena ia belum dapat mewujudkan cita-citanya melakukan hal yang ia senangi. Universitas Sumatera Utara Sementara itu, responden I juga merasa bahagia dengan hidupnya kini sebagai individu Ateis. Meskipun ia tidak dapat memberitahu identitasnya pada keluarganya, ia tidak mempermasalahkannya karena baginya hal tersebut tidak menganggu proses pencapaian tujuan hidupnya karena ia masih dapat berpura- pura menjadi orang beragama di depan keluarganya, misalnya melakukan sholat yang baginya hanyalah gerakan biasa yang tidak lagi memiliki arti khusus. Di samping itu, ia merasa lega karena akhirnya bisa terlepas dari agama dan telah jujur serta mengakui apa yang selama ini ia ragukan. Ia juga bahagia bisa menemukan teman-teman yang menghormati pilihannya. Ia optimis dalam menjalankan hari-harinya dengan tidak takut akan hari esok karena yang terpenting adalah menjalani apa yang ada saat ini. Meski demikian, kepuasan dalam hidup akan menjadi lengkap bila ia telah berhasil mewujudkan tujuannya untuk bermanfaat bagi orang banyak Sedangkan responden II juga merasa bahagia dengan identitasnya saat ini karena telah terlepas dari keraguan dan kebingungan akan kebenaran agama. Sebagai seorang Ateis, ia menganggap hidup yang hanya belangsung sekali tanpa after life harus sangat dihargai, baik dalam keadaan suka maupun duka, bahkan menurutnya, rasa sakit atau duka dalam hidup juga merupakan sesuatu yang menyenangkan karena membuat ia menyadari bahwa ia juga memiliki kelemahan dan itu lebih baik daripada tidak pernah merasakan kesedihan. Selain itu, ia juga bahagia karena memiliki teman-teman dan keluarga yang memahami identitas Ateisnya. Meski tujuan besar dalam hidupnya, belum tercapai secara penuh, namun ia merasa bahagia dengan apa yang telah ia miliki kini. Universitas Sumatera Utara 196

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Pada bab ini akan diuraikan mengenai kesimpulan yang berhubungan dengan jawaban-jawaban dari permasalahan penelitian, beserta saran praktis maupun saran untuk penelitian lanjutan yang berkaitan dengan tema kebermaknaan hidup ataupun Ateis

A. KESIMPULAN

Dari hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa ketiga responden memandang hidup secara berbeda setelah menjadi Ateis. Bagi mereka, hidup harus dinikmati sebagaimana adanya, baik suka maupun duka, tanpa takut akan neraka ataupun melakukan kebaikan hanya karena mengharapkan surga sebagai imbalannya. Ketiga responden sama-sama menganggap bahwa hidup harus dimaksimalkan dengan melakukan tujuan hidup, seperti responden I dan II yang ingin bermanfaat bagi sesama, atau responden III yang ingin melakukan apa yang ia senangi. Hal inilah yang membuat hidup mereka menjadi bermakna. Ketiga responden sama-sama merasa bahagia dengan identitas yang mereka miliki sekarang karena mereka berhasil jujur pada diri sendiri serta merasa lega karena tidak lagi terikat akan ajaran agama. Bagi mereka, suatu hal harus dapat dibuktikan kebenarannya melalui logika dan nalar untuk dapat dipercayai, bukan seperti agama yang karena dipercayai, maka hal tersebut menjadi benar. Meski sama- sama merasa bahagia dengan identitas Ateisnya, responden III masih berada pada tahap penemuan makna dan belum melakukan usaha untuk Universitas Sumatera Utara