Hubungan Antara Total Asupan Energi Dengan Status Gizi Lebih Hubungan Antara Tingkat Konsumsi Karbohidrat Dengan Status Gizi Lebih

86 ini disebabkan karena pengetahuan gizi yang mereka miliki belum diterapkan dalam bentuk tindakan Hartono, 2002. Hal ini dapat terlihat adanya beberapa responden dengan pengetahuan gizi yang baik tetapi memiliki pola makan yang berlebihan dan beraktivitas yang ringan. Oleh karena itu, pendidikan gizi yang dilakukan sebagai salah satu cara meningkatkan pengetahuan gizi masyarakat termasuk polisi, selain harus dapat menarik perhatian dan minat seseorang, juga harus mampu memotivasi seseorang untuk menerapkan pengetahuan gizi mereka Khomsan, 2000. Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap objek tertentu. Pengetahuan penting dalam pembentukan tindakan seseorang, apa yang dilihat akan mempengaruhi apa yang akan ia rasakan kemudian harinya Notoatmodjo, 1993. Dengan kata lain seseorang yang telah mengetahui sesuatu hal akan mempengaruhi perilakunya untuk melakukan hal menurut pengetahuannya.

6.6 Hubungan Antara Total Asupan Energi Dengan Status Gizi Lebih

Energi dibutuhkan untuk mendukung pertumbuhan, perkembangan, aktivitas otot, fungsi metabolik lainnya menjaga suhu tubuh, menyimpan lemak tubuh, dan untuk memperbaiki kerusakan jaringan dan tulang yang disebabkan karena sakit dan cedera. Sumber energi makanan berasal dari karbohidrat, protein dan lemak. Energi yang diperlukan oleh seorang remaja tergantung dari BMR Basal Metabolic Rate individu masing-masing, tingkat pertumbuhan, dan tingkat aktivitas fisik Suandi dalam Soetdjiningasih, 2004. 87 Berdasarkan hasil uji Chi Square menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara total asupan energi dengan kejadian gizi lebih dengan nilai P value = 0,728. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Handayani 2002 dan Prihatina 2007 menyatakan tidak terdapat hubungan yang bermakna antara asupan energi dengan status gizi dengan nilai P value = 0,555 dan P value = 0,204. Namun hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Nurfatimah 2007, Hapsari 2007, dan Christina 2008 yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara total asupan energi dengan status gizi lebih dengan nilai P value = 0,001, P value = 0,003, dan P value = 0,041. Hal ini disebabkan karena kelemahan dari metode recall 2×24 jam yang tidak dapat menggambarkan asupan makanan sehari-hari, karena metode ini dilakukan sebanyak 2 dua kali. Selain itu, terjadinya the flat slope syndrome, dimana ada kecenderungan bagi responden yang kurus untuk melaporkan konsumsi yang lebih banyak overestimate dan bagi responden yang gemuk cenderung melaporkan konsumsi yang lebih sedikit underestimate Supariasa, 2002.

6.7 Hubungan Antara Tingkat Konsumsi Karbohidrat Dengan Status Gizi Lebih

Karbohidrat merupakan sumber energi utama bagi manusia yang harganya relatif murah. Semua karbohidrat berasal dari tumbuh-tumbuhan. Karbohidrat diklasifikasikan menjadi 2 dua golongan yaitu karbohidrat sederhana dan karbohidrat kompleks. Karbohidrat sederhana terdiri dari monosakarida, 88 disakarida, gula, alkohol, dan ologosakarida. Karbohidrat kompleks memiliki lebih dari dua unit gula sederhana. Karbohidrat kompleks terdiri dari polisakarida dan serat Almatsier, 2004. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa status gizi lebih banyak terjadi pada polisi yang mengkonsumsi karbohidrat 60 dari total konsumsi energi yaitu sebesar 54,3. Hasil uji Chi Square menunjukkan bahwa terdapat hubungan bermakna secara statistik antara tingkat konsumsi karbohidrat dengan status gizi lebih P value = 0,015 dengan OR = 3,325 yang berarti bahwa responden yang memiliki tingkat konsumsi karbohidrat 60 dari total konsumsi energi memiliki peluang sebesar 3,325 kali untuk mengalami status gizi lebih daripada responden dengan tingkat konsumsi energi 60 dari total konsumsi energi. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Nurfatimah 2007, Hapsari 2007, dan Christina 2008 yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara konsumsi karobohidrat dengan status gizi lebih dengan nilai P value = 0,001, P value = 0,022, dan P value 0,038. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Jenkins et al 2004 dalam Christina 2008 yang menyatakan bahwa turunan karbohidrat berhubungan dengan penyakit kronis seperti diabetes, kanker usus, dan CVD. Fruktosa sebagai bagian dari karbohidrat dapat meningkatkan konsentrasi serum triasilgliserol dan kolesterol LDL dan dapat menurunkan HDL. Meskipun hubungan yang kuat antara asupan sukrosa dan fruktosa dengan penyakit jantung atau diabetes tidak diketahui tetapi jelas bahwa obesitas disebabkan dengan peningkatan konsumsi 89 gula atau karbohidrat. Terdapatnya hubungan antara konsumsi karbohidrat dengan obesitas dalam penelitian ini juga dipengaruhi oleh kebiasaan penduduk Indonesia dimana sebagian besar atau sekitar 70 sumber energi penduduk Indonesia berasal dari sumber karbohidrat, maka karbohidrat memiliki peran yang sangat penting dalam menimbulkan kejadian obesitas. Konsumsi karbohidrat yang berlebih akan disimpan oleh tubuh sebagai cadangan energi dalam bentuk trigliserida di jaringan adipose Sediaoetama, 2006. Dalam penelitian ini, sebanyak 33 orang polisi mengkonsumsi karbohidrat lebih dari angka kecukupan. Hal ini bila berlangsung secara terus menerus maka cadangan energi di jaringan adipose akan meningkat sehingga banyak polisi yang akan mengalami kegemukan. Apalagi di tambah konsumsi lemak yang tinggi dan aktifitas fisik yang rendah tentu akan mempercepat proses kegemukan. Sedangkan menurut Basha 2006 dalam Rembulan 2007 bahwa karbohidrat merupakan salah satu faktor risiko terjadinya obesitas. Konsumsi karbohidrat yang berlebih dapat memicu produksi hormon insulin yang berlebihan sehingga dapat meningkatkan pembentuk lemak yang akhirnya berujung pada overweight dan obesitas. Hasil penelitian pada penderita obesitas tingkat berat yang diberikan diet rendah karbohidrat dengan rendah lemak, menunjukkan bahwa pada penderita obesitas yang diberi rendah karbohidrat berat badannya lebih banyak turun dalam waktu 6 bulan dibandingkan dengan yang diberi diet rendah lemak dan kalori dibatasi Suryantan, 2003. 90 Namun penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Handayani 2002 yang menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara konsumsi karbohidrat dengan status gizi lebih dengan nilai P value = 0,117. Beberapa hasil penelitian yang dikumpulkan oleh FAOWHO 2004 dalam Christina 2008 menunjukkan bahwa tidak ada hubungan langsung antara konsumsi tinggi gula dengan peningkatan IMT Indeks Massa Tubuh.

6.8 Hubungan Antara Tingkat Konsumsi Protein Dengan Status Gizi Lebih