Koperasi Persusuan Di Indonesia, pengembangan usaha peternakan sapi perah secara intensif

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Koperasi Persusuan Di Indonesia, pengembangan usaha peternakan sapi perah secara intensif

baru dimulai pada awal pelita III, tepatnya tahun 19791980. Tahun-tahun sebelumnya peternakan sapi perah dan masalah persusuan tidak terlalu menjadi agenda serius di kalangan pemerintah, walaupun usaha tersebut sudah lama dijalankan oleh peternak di berbagai tempat secara sporadis. Perkembangan koperasi persusuan diawali dengan berdirinya Koperasi Peternakan di Pangalengan tahun 1949, Koperasi Peternakan Sinau Andandani Ekonomi di Malang tahun 1962 dan koperasi Setia Kawan di Pasuruan tahun 1967. Pada tahun 1979 koperasi susu bergabung dalam Gabungan Koperasi Susu Indonesia GKSI. Sampai dengan tahun 1999 koperasi primer persusuan yang ada di Indonesia telah berjumlah sebanyak 213 buah GKSI, 1999. Sampai saat ini pembangunan peternakan sapi perah dan pengembangan komoditas persusuan di Indonesia dilakukan dengan tiga macam pola. Pertama adalah pola PIR-Persusuan yang mengisyaratkan adanya suatu kerjasama ekonomi tertutup antara inti dan satelit. Pada tahun 1983 pemerintah mengundang swasta untuk menanamkan modal bagi pembangunan pabrik susu, maka berdirilah pabrik susu Tirta Amerta Agung TAA dengan kapasitas 150.000 liter susu segar per hari, yang mulai berproduksi pada tahun 1985. Untuk tetap menjaga kontinuitas supply susu segar, maka TAA mengembangkan program PIR persusuan di Boyola li. Program PIR persusuan di Boyolali Jawa Tengah merupakan model PIR susu yang pertama di Indonesia. Akan tetapi dalam perjalanannya mengalami banyak hambatan dan akhirnya dihentikan. Dalam pelaksanaannya PIR Persusuan ini lebih menyerupai bentuk putting-out workers pada industri. Pabrik susu pengolahan PT TAA yang bertindak sebagai inti mengalami persaingan ketat di pasaran bebas dari pabrik-pabrik lain dan mengalami kesulitan likuiditas modal. Sehingga pihak inti menunggak pembayaran upah plasma termasuk pembayaran setoran susu dari sentra produksi lain. Pola kedua adalah pengembangan peternakan sapi perah dengan koperasi mandiri, yaitu usaha peternakan sapi perah yang difasilitasi oleh koperasi dan pemasaran susu dilakukan melalui sistem perkoperasian. Baik koperasi khusus persusuan seperti Koperasi Peternakan Bandung Selatan KPBS di Pangalengan ataupun Koperasi Unit Desa KUD yang mempunyai unit usaha persusuan. Pola kedua ini dilakukan di Jawa Barat dan Jawa Timur. Pola ini lebih mirip seperti contract farming di mana koperasi bertindak sebagai pembeli tunggal produk susu anggota-anggotanya dan menjadi pemasok tunggal input- input produksi. Sedangkan sapi-sapi perah sebagian besar merupakan milik peternak sendiri, sebagian kecil lainnya merupakan sapi-sapi kredit yang disalurkan melalui koperasi. Pola ketiga adalah kegiatan peternakan sapi perah dengan jaminan pihak ketiga, yaitu berbentuk usaha ataupun perusahaan susu komersial. Di Jawa Barat, pendekatan pembangunan peternakan sapi perah dan pengembangan komoditi persusuan dilakukan dengan menumbuhkan peranan koperasi yang bergerak dalam area persusuan. Pertama adalah koperasi persusuan primer dan koperasi persusuan sekunder. Koperasi persusuan primer termasuk KUD yang mempunyai unit usaha persusua n merupakan unit usaha persusuan yang berasosiasi langsung deengan para peternak sapi perah yang menjadi anggota-anggotanya. Koperasi ini secara konseptual diharapkan menjadi wadah perjuangan para peternak sapi perah untuk memperkuat posisi tawar mereka dalam menentukan harga jual produk susu dengan cara penjualan bersama, menyalurkan input-input produksi dengan jalan pembelian bersama dan memberikan perlakuan tertentu pada komoditas produksi susu anggota agar tidak cepat rusak dan terkontaminasi. Koperasi primer ini dikonsepkan untuk menjadi institusi yang membela kepentingan anggota- anggotanya, yaitu para peternak sapi perah. Di sisi lain peranan dari gabungan koperasi persusuan GKSI, secara konseptual merupakan “payung” politik bagi koperasi-koperasi primer yang lahir sebagai suatu wadah tunggal, memperjuangkan kendali harga beli susu terhadap IPS dan mendistribusikan kuota produksi pada masing- masing koperasi primer anggotanya. Koperasi sekunder ini secara konsep berperan menjadi mediator akomodatif untuk meredakan persaingan antar koperasi persusuan primer dalam memperebutkan kuota produksi dan tingkat harga beli susu M.Koeswardhono dan Lina Karliyenna, 1989.

2.2. Pandangan Koperasi Tentang Optimalisasi