BAB II PENGATURAN TENTANG PEMBERHENTIAN ANGGOTA POLRI
MENURUT HUKUM DI INDONESIA
A. Aturan Pemberhentian Anggota Polri Menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah pegawai negeri pada Kepolisian Negara Republik Indonesia.
113
Pegawai Negeri berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok
Kepegawaian yang kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok
Kepegawaian ditentukan bahwa yang dimaksud dengan Pegawai Negeri adalah setiap warga negara RI yang telah memenuhi syarat yang ditentukan, diangkat oleh pejabat
yang berwenang dan diserahi tugas dalam suatu jabatan negeri atau diserahi tugas negara lainnya dan digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan
114
Pasal 2 ayat 1 juncto ayat 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian juncto Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999
menentukan bahwa Pegawai Negeri tersebut terdiri dari: yang
berlaku.
113
Pasal 1 angka 2 UU No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
114
Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang
berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Lihat Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan.
Universitas Sumatera Utara
1. Pegawai Negeri Sipil Pusat dan Pegawai Negeri Sipil Daerah,
2. Anggota Tentara Nasional Indonesia, dan
3. Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Pegawai negeri merupakan sebuah status yang tidak dapat melekat pada diri seseorang untuk seumur hidupnya tetapi hanya bersifat temporal dalam arti terbatas
hingga tercapainya waktu tertentu. Pembatasan waktu inilah yang kemudian dikenal sebagai pensiun. Pensiun dapat diartikan sebagai tidak bekerja lagi karena masa
tugasnya sudah selesai.
115
Sebagaimana telah ditentukan dalam Undang-Undang Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian juncto Undang-Undang
Nomor 43 Tahun 1999 bahwa Anggota Polri adalah termasuk Pegawai Negeri maka status ini juga tidak dapat melekat pada diri seseorang untuk waktu yang tidak
terbatas tetapi tetap dibatasi waktu yaitu hingga mencapai masa pensiun dan juga dapat dicabut dengan mekanisme pemberhentian.
Status Pegawai Negeri juga dapat dicabut sebelum tercapainya masa pensiun yaitu lewat mekanisme pemberhentian.
Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah adalah suatu lembaga negara resmi yang terpisah dari lembaga negara lainnya baik dari sisi tugas pokok dan
fungsi. Sebagai suatu lembaga negara yang memiliki tugas pokok dan fungsi tersendiri maka keberadaan dan hal ihwal mengenai kepolisian haruslah diatur dalam
suatu undang-undang khusus untuk itu. Undang-undang dimaksud adalah Undang-
115
Departemen Pendidikan Nasional, Op.Cit, hlm. 1047.
Universitas Sumatera Utara
Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia atau disingkat UUKNRI.
Pemberhentian status seseorang dari Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah termasuk yang berkenaan dengan hal ihwal kepolisian, maka
rujukan yuridisnya yang paling pokok adalah UUKNRI. Pemberhentian anggota polri diatur secara eksplisit dalam Pasal 30 Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 Tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pasal 30 dimaksud berbunyi sebagai berikut: 1
Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat diberhentikan dengan hormat atau tidak dengan hormat.
2 Usia pensiun maksimum anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia
58 lima puluh delapan tahun dan bagi anggota yang memiliki keahlian khusus dan sangat dibutuhkan dalam tugas kepolisian dapat dipertahankan
sampai dengan 60 enam puluh tahun.
3 Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dan 2
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Merujuk ketentuan Pasal 30 tersebut di atas, maka undang-undang
memberikan 2 opsi pilihan dan atau cara pemberhentian seseorang yang berstatus Anggota Polri: pertama, yaitu lewat cara pemberhentian dengan hormat dan kedua,
lewat cara pemberhentian tidak dengan hormat. Pelaksanaan lebih lanjut terhadap ketentuan pemberhentian dengan hormat dan pemberhentian tidak dengan hormat dari
Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia diatur dalam Peraturan Pemerintah sebagaimana amanat Pasal 30 ayat 3 UUKNRI.
Universitas Sumatera Utara
B. Aturan Pemberhentian Polri Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2003 Tentang Pemberhentian Anggota Polri
Peraturan Pemerintah sebagaimana yang diamanatkan oleh Pasal 30 ayat 3 UUKNRI yang mengatur secara umum perihal pemberhentian Anggota Kepolisian
Negara Republik Indonesia adalah Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2003 Tentang Pemberhentian Anggota Polri yang ditetapkan dan diundangkan di Jakarta
pada tanggal 1 Januari 2003 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2003. Pemberhentian anggota Polri menurut Peraturan Pemerintah Nomor 1
Tahun 2003 Tentang Pemberhentian Anggota Polri selanjutnya dalam penelitian ini akan disingkat dengan PP No. 1 Tahun 2003 hanya mengenal dua cara yaitu
pertama, pemberhentian dengan hormat dan kedua, pemberhentian tidak dengan hormat, ketentuan mana sama dengan ketentuan yang ada dalam Pasal 30 ayat 1
UUKNRI.
1. Pemberhentian Dengan Hormat
Pemberhentian dengan hormat PDH menurut PP No. 1 Tahun 2003 secara tegas diatur dalam Bab II tentang Pemberhentian Dengan Hormat pada Pasal 2
sampai dengan Pasal 10. Pasal 2 mengatur secara umum tentang jenis-jenis PDH sedangkan Pasal 3 sampai dengan Pasal 10 merupakan pasal-pasal yang menguraikan
ketentuan yang diatur dalam Pasal 2. Pasal 2 PP No. 1 Tahun 2003 berbunyi sebagai berikut:
Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat diberhentikan dengan hormat apabila:
a. Mencapai batas usia pensiun ;
b. Pertimbangan khusus untuk kepentingan dinas ;
Universitas Sumatera Utara
c. Tidak memenuhi syarat jasmani dan atau rohani ;
d. Gugur, tewas, meninggal dunia atau hilang dalam tugas.
a Mencapai Batas Usia Pensiun
Ketentuan lebih lanjut perihal pemberhentian dengan hormat karena alasan huruf a Pasal 2 di atas berupa mencapai batas usia pensiun diatur dalam Bagian
Pertama Tentang Mencapai Batas Usia Pensiun pada Pasal 3 sampai dengan Pasal 5 PP No. 1 Tahun 2003. Pasal 3 berbunyi sebagai berikut:
1 Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang telah mencapai baas
usia pensiun diberhentikan dengan hormat dari dinas Kepolisian Negara Republik Indonesia.
2 Batas usia pensiun sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 maksimum 58
lima puluh delapan tahun. 3
Batas usia pensiun maksimum 58 lima puluh delapan tahun berlaku untuk semua golongan kepangkatan.
4 Untuk kepentingan pembinaan organisasi Kepolisian Negara Republik
Indonesia, pada tahap awal penerapan ketentuan mengenai batas usia pensiun sebagaimana dimaksud dalam ayat 3 dilaksanakan secara
bertahap.
5 Pengaturan lebih lanjut mengenai penerapan ketentuan batas usia pensiun
secara bertahap sebagaimana dimaksud dalam ayat 4 ditetapkan dengan Keputusan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Pelaksanaan lebih lanjut mengenai ketentuan batas usia pensiun secara bertahap sebagaimana amanah dari ayat 4 dan ayat 5 Pasal 3 di atas telah diatur
dalam Keputusan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. Pol.: Kep03I2003 tanggal 17 Januari 2003 Tentang Penerapan Ketentuan Batas Usia
Pensiun Secara Bertahap Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan memutuskan dan menetapkan sebagai berikut :
1. Penerapan ketentuan batas usia pensiun secara bertahap Anggota
Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
a. Bagi Anggota Polri yang dilahirkan pada tahun 1948, diperpanjang
selama 1 satu tahun terhitung sejak tanggal kelahiran masing-masing dalam tahun 1948 akan diusulkan pensiun pada usia 56 tahun.
b. Bagi Anggota Polri yang dilahirkan pada tahun 1949, diperpanjang
selama 2 dua tahun terhitung sejak tanggal kelahiran masing-masing dalam tahun 1949 akan diusulkan pensiun pada usia 57 tahun.
c. Bagi Anggota Polri yang dilahirkan pada tahun 1950 dan selanjutnya,
berlaku penuh ketentuan sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2003 dengan usia pensiun maksimal 58 tahun.
2. Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
116
Ketentuan Pasal 3 di atas perihal batas usia pensiun maksimal 58 tahun bukanlah sebuah ketentuan baku yang tidak dapat disimpangi. Pasal 4 PP No. 1 tahun
2003 memberikan ruang untuk menyimpang dari ketentuan usia pensiun maksimal 58 tahun menjadi 60 enam puluh tahun jika terpenuhi syarat tertentu berupa adanya
keahlian khusus dan keahlian khusus dimaksud sangat dibutuhkan dalam tugas Kepolisian. Pasal 4 berbunyi sebagai berikut:
1 Batas usia pensiun, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, dapat
dipertahankan sampai 60 enam puluh tahun bagi anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang mempunyai keahlian khusus dan sangat
dibutuhkan dalam tugas Kepolisian.
2 Keahlian khusus dan yang sangat dibutuhkan sebagaimana dimaksud
dalam ayat 1 meliputi bidang: a.
Identifikasi ; b.
Laboratorium Forensik ; c.
Komunikasi Elektronika ; d.
Sandi ; e.
Penjinak Bahan Peledak ; f.
Kedokteran Kehakiman ; g.
Pawang Hewan ; h.
Penyidikan Kejahatan tertentu ; i.
Navigasi laut penerbangan ; 3
Anggota yang dipertahankan dalam dinas aktif sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 hanya bertugas pada satuan fungsi sesuai keahliannya
116
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 17 Januari 2003 dan ditandatangani oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Jenderal Polisi Drs. Da’i Bachtiar, SH.
Universitas Sumatera Utara
tersebut, yang pelaksanaannya dilakukan secara selektif dan bertahap setiap 1 satu tahun.
4 Tata cara pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat 3
ditetapkan dengan Keputusan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Menurut Penjelasan PP No. 1 Tahun 2003 Pasal 4 ayat 1 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan ”sangat dibutuhkan” adalah karena anggota Kepolisian
Negara Republik Indonesia yang memiliki keahlian tersebut jumlahnya sangat terbatas. Penjelasan Pasal 4 ayat 2 huruf h disebutkan bahwa yang dimaksud
dengan kejahatan tertentu adalah kejahatan sebagaimana diatur dalam undang- undang, misalnya cyber crime, pencucian uang money laundering,
117
anti monopoli,
118
kejahatan korporasi
119
coorporate crime, hak kekayaan intelektual,
120
117
Saat ini tindak pidana Pencucian Uang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Menurut Sutan Remy
Sjahdeini, Pencucian Uang adalah rangkaian kegiatan yang merupakan proses yang dilakukan oleh seseorang atau organisasi terhadap uang haram, yaitu uang yang berasal dari tindak pidana, dengan
maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul uang tersebut dari pemerintah atau otoritas yang berwenang melakukan penindakan terhadap tindak pidana, dengan cara antara lain dan
terutama memasukkan uang tersebut ke dalam sistem keuangan financial system sehingga uang tersebut kemudian dapat dikeluarkan dari sistem keuangan itu sebagai uang yang halal. Lihat Sutan
Remy Sjahdeini, Seluk Beluk Tindak Pidana Pencucian Uang dan Pembiayaan Terorisme, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2007, hlm. 5.
118
Larangan Praktik Monopoli diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Undang-undang ini mencakup
pengaturan anti monopoli dan persaingan usaha dengan segala aspeknya yang terkait. Pasal 1 angka 1 Undang-Undang ini mengemukakan bahwa monopoli adalah penguasaan atas produksi dan atau
pemasaran barang dan atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha.
119
Secara etimologi kata korporasi berasal dari kata “corporatio” dalam bahasa Latin, corporatie-Belanda, corporation-Inggris, dan korporation-Jerman. Seperti halnya dengan kata lain
yang berakhiran “tio” maka corporatio sebagai kata benda substantitum, berasal dari kata kerja corporare, yang banyak dipakai pada zaman abad pertengahan. Corporare sendiri berasal dari
“corpus” yang menurut bahasa Indonesia berarti “badan” yang berarti memberikan badan atau membadankan. Dengan demikian, corporatio berarti hasil dari pekerjaan membadankan, dengan kata
lain badan yang dijadikan orang, badan yang diperoleh dengan perbuatan manusia sebagai lawan terhadap badan manusia, yang terjadi menurut alam. Lihat Muladi Dwidja Priyatno,
Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Edisi Revisi, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012, hlm. 23. Manurut artinya yang sempit, korporasi adalah badan hukum, sedangkan dalam arti
Universitas Sumatera Utara
lingkungan hidup,
121
perbankan,
122
Mempertahankan anggota Polri dalam dinas aktif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 haruslah berdasarkan penetapan yang penetapan itu diberikan oleh
Presiden Republik Indonesia jika anggota Polri tersebut berpangkat Komisaris Besar Polisi Kombos Pol dan penetapan oleh Kepala Kepolisian Negara Republik
Indonesia Kapolri untuk pangkat Ajun Komisaris Besar Polisi AKBP atau yang lebih rendah.
pasar modal. Penjelasan Pasal 4 ayat 3 disebutkan bahwa yang dapat dipertahankan hanya yang dibutuhkan dalam
melaksanakan fungsi tersebut dan yang dipertahankan dimaksud tidak boleh dialihfungsikan, sedangkan ”perpanjangan secara bertahap setiap 1 satu tahun”
dimaksudkan agar dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan kesehatan.
123
b Pertimbangan Khsusus Untuk Kepentingan Dinas
Pemberhentian dengan hormat juga dapat diberikan disebabkan karena permohonan berhenti atas permintaan sendiri sebelum mencapai batas usia pensiun.
yang luas, korporasi dapat berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum. Lihat Sutan Remy Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Jakarta: Grafiti Pers, 2007, hlm. 43.
120
Hak Kekayaan Intelektual biasa disebut HKI atau Intelectual Property Rights IPR pada dasarnya merupakan hak yang lahir berdasarkan hasil karya intelektual seseorang atau merupakan
konstruksi hukum terhadap perlindungan kekayaan intelektual sebagai hasil cipta karsa pencipta atau penemunya. Lihat Endang Purwaningsih, Hak Kekayaan Intelektual dan Lisensi, Bandung: CV.
Mandar Maju, 2012, hlm. 1. Hak Kekayaan Intelektual pada intinya terdiri dari beberapa jenis, secara konvensional dibagi dalam dua kelompok yaitu : 1 Hak Cipta Copyright dan 2 Hak atas Kekayaan
Industri Industrial Property yang mencakup: Hak Paten Patent, Hak Merek Trademark, Desain Produk Industri Industrial Design, Rahasia Dagang Trade Secret. Lihat Suyud Margono, Aspek
Hukum Komersialisasi Aset Intelektual, Bandung: Nuansa Aulia, 2010, hlm. 9.
121
Lingkungan Hidup diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
122
Perihal Perbankan diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998.
123
Pasal 16 PP No. 1 Tahun 2003 Tentang Pemberhentian Anggota Polri.
Universitas Sumatera Utara
Hal ini secara tegas diatur dalam Bagian Kedua Tentang Pertimbangan Khusus Untuk Kepentingan Dinas pada Pasal 6 PP No. 1 Tahun 2003 yang berbunyi sebagai berikut:
1 Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang mengajukan
permohonan berhenti atas permintaan sendiri sebelum mencapai batas usia pensiun maksimum, dapat diberhentikan dengan hormat dari dinas
Kepolisian Negara Republik Indonesia.
2 Permohonan berhenti sebagaimana dimaksud dalam ayat 1, dapat ditolak
karena: a.
Masih terikat dalam ikatan dinas berdasarkan ketentuan yang berlaku. b.
Kepentingan dinas yang mendesak. Berkaitan dengan kepentingan dinas, Anggota Polri dapat diberhentinan
dengan hormat jika beralih status menjadi Pegawai Negeri Sipil. Hal ini secara tegas diatur dalam Pasal 7 yang berbunyi sebagai berikut: ”Anggota Kepolisian Negara
Republik Indonesia diberhentikan dengan hormat apabila statusnya beralih menjadi Pengawai Negeri Sipil”. Penjelasan Pasal 7 disebutkan bahwa ”Anggota Kepolisian
Negara Republik Indonesia yang beralih status menjadi Pegawai Negeri Sipil diberhentikan dengan hormat, terhitung mulai tanggal yang bersangkutan diangkat
sebagai Pegawai Negeri Sipil”. c
Tidak Memenuhi Syarat Jasmani dan atau Rohani Pemberhentian dengan hormat dari keanggotaan Kepolisian Negara Republik
Indonesia dapat diberikan disebabkan anggota dimaksud sudah tidak memenuhi syarat jasmani dan atau rohani untuk bertugas dan bekerja sebagai Anggota Polri. Hal
ini secara tegas diatur dalam Bagian Ketiga Tentang Tidak Memenuhi Syarat Jasmani dan atau Rohani pada Pasal 8 PP No. 1 Tahun 2003 yang berbunyi sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia diberhentikan dengan hormat apabila berdasarkan surat keterangan Badan Penguji Kesehatan Personel
Kepolisian Negara Republik Indonesia dinyatakan:
a. Tidak dapat bekerja lagi dalam semua jabatan karena kesehatannya ;
atau b.
Menderita penyakit atau mengalami kelainan jiwa yang berbahaya bagi dirinya dan atau organisasi Kepolisian Negara Republik
Indonesia dan atau lingkungan kerjanya.
Berdasarkan penjelasan Pasal 8 di atas dinyatakan bahwa maksud tidak dapat bekerja lagi dalam semua jabatan karena kesehatannya haruslah didasarkan pada surat
keterangan Badan Penguji Kesehatan Personil Kepolisian Negara Republik Indonesia yang menyatakan bahwa kesehatan jasmani atau rohani yang bersangkutan sudah
sedemikian rupa sehingga tidak dapat bekerja lagi disemua jabatan. Badan Penguji Kesehatan Personil Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah suatu badan yang
bertugas dan berwenang memutuskan cakap atau tidaknya Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas berdasarkan hasil pemeriksaan
kesehatan. Itu artinya bahwa dalam hal seseorang Anggota Polri diberhentikan dengan hormat dari keanggotaan karena alasan tidak memenuhi syarat jasmani dan
atau rohani haruslah didasarkan pada surat keterangan atas hasil pemeriksaan Badan Penguji Kesehatan Personil Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai satu-
satunya badan yang betugas dan berwenang untuk menerbitkan dan melakukannya. d
Gugur, Tewas, Meninggal Dunia, atau Hilang Dalam Tugas Pemberhentian dengan hormat seorang Anggota Polri dari dinas Kepolisian
dikarenakan alasan gugur, tewas, meninggal dunia, atau hilang dalam tugas diatur
Universitas Sumatera Utara
dalam Bagian Keempat Tentang Gugur, Tewas, Meninggal Dunia, atau Hilang Dalam Tugas pada Pasal 9 PP No. 1 Tahun 2003 yang berbunyi sebagai berikut:
Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang gugur, tewas atau meninggal dunia biasa diberhentikan dengan hormat dari dinas Kepolisian
Negara Republik Indonesia dan kepada ahli warisnya dibeberikan penghasilan penuh selama:
a.
6 enam bulan, jika pewaris meninggal dunia biasa dan tanpa memiliki tanda jasa kenegaraan berupa bintang ;
b. 12 dua belas bulan, jika pewaris meninggal dunia biasa dan memiliki
tanda jasa kenegaraan berupa bintang ; c.
12 dua belas bulan, jika pewaris gugur atau tewas ; atau d.
18 delapan belas bulan, jika pewaris ditetapkan sebagai pahlawan berdasakan Keputusan Presiden Republik Indonesia.
Penjelasan Pasal 9 dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan ”ahli waris”
124
adalah suami atau isteri dan anak-anaknya yang sah
125
atau disahkan berdasarkan ketentuan yang berlaku dan kepadanya diberikan penghasilan penuh. Sedangkan bagi
seorang Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang gugur, tewas atau meninggal dunia biasa ketika menjalankan tugas dan tidak meninggalkan isteri suami
atau anak, dapat diberikan tunjangan orang tua
126
124
Ahli waris adalah mereka-mereka yang menggantikan kedudukan si pewaris dalam bidang hukum kekayaan karena meninggalnya pewaris, sedangkan Pewaris adalah orang yang
meninggal dunia dengan meninggalkan harta kekayaan. Lihat J. Satrio, Hukum Waris, Bandung: Alumni, 1992, hlm. 8.
mulai bulan berikutnya.
125
Dalam hukum perdata biasanya yang dimaksud dengan sebutan anak adalah anak sah, sedangkan dalam kelompok anak sah adalah anak-anak yang disahkan pasal 277 B.W dan anak-anak
yang diadoptie secara sah pasal 12 S.1917:129. Suami atau isteri yang hidup lebih lama beserta anak-anak termasuk kedalam ahli waris golongan I. Lihat J. Satrio, Ibid, hlm. 102-106.
126
Berdasarkan ketentuan Pasal 854 B.W dinyatakan bahwa jika tidak ada keturunan maupun suami atau isteri jadi tidak ada ahli waris golongan I maka ayah dan ibu adalah menjadi ahli
waris. Ayah dan ibu adalah termasuk ahli waris golongan II. Lihat J. Satrio, Ibid, hlm. 125-126.
Universitas Sumatera Utara
Pemberhentian dengan hormat juga dapat diberikan kepada Anggota Polri yang hilang dalam tugas dan tidak ada kepastian hukum atas dirinya sebagaimana
diatur dalam Pasal 10 PP No. 1 Tahun 2003 yang berbunyi sebagai berikut: 1
Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang hilang dalam tugas dan tidak ada kepastian hukum atas dirinya setelah 1 satu tahun sejak
dinyatakan hilang dalam tugas, diberhentikan dengan hormat. 2
Pernyataan hilang sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dibuat oleh pejabat yang berwenang berdasarkan surat keterangan atau berita acara
dari pejabat yang berwajib. 3
Terhadap Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 yang kemudian ditemukan kembali dan ternyata
masih hidup, diadakan penelitian personel untuk diproses lebih lanjut dalam upaya rehabilitasi atau diberhentikan tidak dengan hormat.
Penjelasan Pasal 10 ayat 1 disebutkan bahwa Anggota Polri yang diberhentikan karena hilang dalam tugas diberhentikan dengan hormat terhitung
mulai tanggal sejak atau setelah 1 satu tahun yang bersangkutan dinyatakan hilang, dan anggota Polri yang hilang selama satu tahun dimaksud dianggap masih tetap
bekerja, karenanya gaji dan penghasilan lainnya berhak diberikan kepada keluarganya.
Maksud ”keluarganya” dalam penjelasan di atas adalah merujuk ketentuan dalam Pasal 9 beserta penjelasannya yaitu ahli waris golongan I dan atau ahli waris
golongan II dalam hal ahli waris golongan I tidak ada. Penjelasan Pasal 10 ayat 2 disebutkan bahwa pejabat yang berwenang untuk
menyatakan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia hilang dalam melaksanakan tugas ialah Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Kapolri
atau pejabat yang ditunjuk. Pemberhentian dengan hormat karena dinyatakan hilang
Universitas Sumatera Utara
merupkan tindakan adiministratif. Maksud ”surat keterangan” adalah surat yang dibuat oleh atasan langsung anggota Kepolisian pada saat anggota dimaksud bertugas
atau ditugaskan, sedangkan maksud ”berita acara dari pejabat yang berwajib” adalah berita acara yang dibuat oleh penyidik atau petugas provos untuk memeriksa para
saksi yang mengetahui hilangnya anggota dimaksud.
2. Pemberhentian Tidak Dengan Hormat
Pemberhentian tidak dengan hormat PTDH menurut PP No. 1 Tahun 2003 secara tegas diatur dalam Bab III tentang Pemberhentian Tidak Dengan Hormat pada
Pasal 11 sampai dengan Pasal 14. Pasal 11 mengatur secara umum tentang jenis-jenis PTDH sedangkan Pasal 12 sampai dengan Pasal 14 merupakan pasal-pasal yang
menguraikan ketentuan yang diatur dalam Pasal 11. Pasal 11 PP No. 1 Tahun 2003 berbunyi sebagai berikut:
Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang diberhentikan tidak dengan hormat apabila:
a. Melakukan tindak pidana ;
b. Melakukan pelanggaran ;
c. Meninggalkan tugas atau hal lain.
a Melakukan Tindak Pidana
Seorang anggota Polri yang melakukan tindak pidana dapat dikenakan pemberhentian tidak dengan hormat. E.Y Kanter dan S.R Sianturi mendefenisikan
bahwa tindak pidana adalah suatu tindakan pada tempat, waktu dan keadaan tertentu, yang dilarang diharuskan dan diancam dengan pidana oleh undang-undang, bersifat
Universitas Sumatera Utara
melawan hukum, serta dengan kesalahan dilakukan oleh seseorang yang mampu bertanggung jawab.
127
Pemberhentian tidak dengan hormat karena alasan melakukan tindak pidana diatur dalam Bagian Pertama Tentang Melakukan Tindak Pidana pada Pasal 12 PP
No. 1 Tahun 2003 yang berbunyi sebagai berikut: 1
Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia diberhentikan tidak dengan hormat dari dinas Kepolisian Negara Republik Indonesia apabila:
a. Dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah
berkekuatan hukum tetap menurut pertimbangan pejabat yang berwenang tidak dapat dipertahankan untuk tetap berada dalam dinas
Kepolisian Negara Republik Indonesia ;
b. Diketahui kemudian memberikan keterangan palsu dan atau tidak
benar pada saat mendaftarkan diri sebagai calon anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia ;
c. Melakukan usaha atau kegiatan yang nyata-nyata bertujuan mengubah
Pancasila, terlibat dalam gerakan atau melakukan kegiatan yang menentang negara dan atau Pemerintah Republik Indonesia secara
tidak sah.
2 Pemberhentian sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dilakukan setelah
melalui sidang Komisi Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Maksud daripada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap adalah bahwa terhadap putusan dimaksud sudah tertutup upaya hukum biasa.
128
127
E.Y. Kanter S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Jakarta: Storia Grafika, 2002, hlm. 211.
Menurut hukum acara pidana ditegaskan bahwa upaya hukum adalah hak terdakwa atau
Penuntut Umum untuk tidak menerima putusan Pengadilan yang berupa perlawanan atau banding atau kasasi atau terpidana untuk mengajukan permohonan peninjauan
128
Yahya Harahap, Kekuasaan Mahkamah Agung Pemeriksaan Kasasi dan Peninjauan Kembali Perkara Perdata, Jakarta: Sinar Grafika, 2008, hlm. 442.
Universitas Sumatera Utara
kembali dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
129
Upaya hukum dalam hukum acara pidana dibagi kepada 2 klasifikasi yaitu upaya hukum
biasa dan upaya hukum luar biasa. Upaya hukum biasa mencakup banding
130
dan kasasi
131
sedangkan upaya hukum luar biasa mencakup kasasi demi kepentingan hukum
132
dan peninjauan kembali.
133
Penjelasan Pasal 12 ayat 2 disebutkan bahwa Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia befungsi juga untuk memberikan pertimbangan dalam hal
pemberhentian tidak dengan hormat. Itu artinya bahwa penjatuhan pemberhentian tidak dengan hormat mesti terlebih dahulu memperhatikan pertimbangan Komisi
Kode Etik Kepolisian Republik Indonesia. b
Melakukan Pelanggaran Anggota Polri yang melakukan pelanggaran dimungkinkan untuk dijatuhkan
pemberhentian tidak dengan hormat dan hal ini secara tegas diatur dalam Bagian Kedua Tentang Melakukan Pelanggaran pada Pasal 13 PP No. 1 Tahun 2003 yang
berbunyi sebagai berikut: 1
Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat diberhentikan tidak dengan hormat dari dinas Kepolisian Negara Republik Indonesia karena
melanggar sumpah janji anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, sumpah janji jabatan, dan atau Kode Etik Profesi Kepolisian Negara
Republik Indonesia.
129
Pasal 1 angka 12 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana KUHAP.
130
Pasal 233 sd Pasal 243 KUHAP.
131
Pasal 244 sd Pasal 258 KUHAP.
132
Pasal 259 sd Pasal 262 KUHAP.
133
Pasal 263 sd Pasal 269 KUHAP.
Universitas Sumatera Utara
2 Pemberhentian sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dilakukan setelah
melalui sidang Komisi Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Pelanggaran sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 13 di atas berlainan dari maksud pelanggaran sebagaimana dalam doktrin. Doktrin kerap membedakan
”pelanggaran” sebagai tindak pidana yang memiliki gradasi lebih rendah daripada ”kejahatan” sebagai tindak pidana yang bergradasi serius, sehingga pelanggaran
kerap dianggap sebagai wet delicten delik undang-undang atau sebagai mala prohibita yaitu suatu perbuatan yang dianggap tercela setelah dilarang oleh peraturan
yang sebelumnya mungkin dianggap sebagai perbuatan yang tidak tercela sedangkan kejahatan dianggap sebagai rechtsdelicten delik undang-undang atau sebagai mala
perse yaitu suatu perbuatan yang sejak adanya telah dianggap tercela meskipun seandainya tidak dilarang oleh peraturan meskipun pembagian ini oleh banyak
sarjana dirasakan kurang dapat dipertahankan secara akademis. Pelanggaran yang dimaksud oleh Pasal 13 ini adalah pelanggaran yang secara enumeratif berupa:
melanggar sumpah janji anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, sumpah janji jabatan, dan atau Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.
c Meninggalkan Tugas atau Hal Lain
Akibat meninggalkan tugas atau hal lain bagi anggota Polri dapat dikenakan pemberhentian tidak dengan hormat sebagaimana diatur dalam Bagian Ketiga
Tentang Meninggalkan Tugas dan Hal Lain pada Pasal 14 PP No. 1 Tahun 2003 yang berbunyi sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
1 Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia diberhentikan tidak
dengan hormat dari dinas Kepolisian Negara Republik Indonesia apabila: a.
Meninggalkan tugasnya secara tidak sah dalam waktu lebih dari 30 tiga puluh hari kerja secara berturut-turut ;
b. Melakukan perbuatan dan berprilaku yang dapat merugikan dinas
Kepolisian ; c.
Melakuan bunuh diri dengan menghindari penyidikan dan atau tuntutan hukum atau meninggal dunia sebagai akibat tindak pidana
yang dilakukannya ; atau d.
Menjadi anggota dan atau pengurus partai politik. 2
Pemberhentian sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dilakukan setelah melalui sidang Komisi Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik
Indonesia.
Penjelasan Pasal 14 huruf b diatas disebutkan bahwa ”berprilaku merugikan” antara lain berupa:
1 Kelalaian dalam melaksanakan tugas dan kewajiban, dengan sengaja dan
berulang-ulang dan tidak menaati perintah atasan, penganiayaan terhadap sesama anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, penggunaan
kekuasaan diluar batas, sewenang-wenang, atau secara salah sehingga dinas atau perseorangan menderita kerugian.
2 Perbuatan yang berulang-ulang dan bertentangan dengan kesusilaan yang
dilakukan di dalam atau di luar dinas. 3
Kelakuan atau perkataan di muka khalayak ramai atau berupa tulisan yang melanggar disiplin.
Menurut penjelasan Pasal 14 huruf d terkait ketentuan perihal menjadi anggota dan atau pengurus partai politik, pemberhentian dilakukan setelah diketahui
kemudian anggota Polri dimaksud telah menduduki jabatan atau menjadi anggota partai politik dan setelah diperingatkan ditegur yang bersangkutan masih tetap
mempertahankan jabatan atau keanggotaan partai politik dimaksud.
3. Kewenangan Memberhentikan Anggota Polri
Kewenangan untuk memberhentian anggota Polri baik dengan hormat PDH maupun tidak dengan hormat PTDH dilakukan oleh Presiden Republik Indonesia
Universitas Sumatera Utara
dan oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Kapolri. Pembedaan kewenangan Presiden dengan Kapolri dalam hal pemberhentian anggota Polri
didasarkan atas kepangkatan anggota Polri yang diberhentikan. Aturan kewenangan ini diatur dalam Pasal 15 PP No. 1 Tahun 2003 yang berbunyi sebagai berikut:
Memberhentikan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dilakukan oleh:
a. Presiden Republik Indonesia untuk pangkat Komisaris Besar Polisi
Kombes Pol atau yang lebih tinggi ; b.
Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk pangkat Ajun Komisaris Besar Polisi AKBP atau yang lebih rendah.
Berdasarkan Keputusan Kapolri Nomor Pol: Kep74XI2003 tanggal 10 Nopember 2003 Tentang Pokok-Pokok Penyusunan Lapis-Lapis Pembinaan Sumber
Daya Manusia Polri pada bagian Panduan Teknis angka 5 huruf b butir 1 dan 2 antara lain ditentukan bahwa kewenangan pemberhentian dengan hormat
kepangkatan AKBP ke bawah adalah diterbitkan dan ditandatangani oleh Kapolda. Setiap anggota Polri yang diberhentikan baik dengan hormat PDH maupun
tidak dengan hormat PTDH dari dinas Kepolisian Negara Republik Indonesia berkewajiban untuk memegang semua rahasia dinas yang menurut sifatnya harus
dirahasiakan dan tidak menyalahgunakan perlengkapan perorangan dan fasilitas dinas. Khusus kepada anggota Polri yang diberhentikan dengan hormat PDH, dalam
kesempatan tertentu diperkenankan menggunakan pakaian seragam dinas dengan pangkat terakhir.
134
134
Pasal 17 PP No. 1 Tahun 2003 Tentang Pemberhentian Anggota Polri.
Universitas Sumatera Utara
Penjelasan pasal 17 disebutkan bahwa tidak ”menyalahgunakan perlengkapan perseorangan” adalah berupa seragam dinas berikut atributnya, dan wajib
mengembalikan fasilitas barang dinas berupa rumah dinas, kenderaan dinas dan senjata api dinas serta fasilitas barang lainnya pada saat diberhentikan. Maksud
”pemberian kesempatan pada saat tertentu” misalnya pada hari ulang tahun Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Pemberhentian anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dilaksanakan terhitung mulai tanggal akhir bulan kecuali yang gugur, tewas dan meninggal dunia
biasa dilaksanakan terhitung mulai tanggal yang bersangkutan meninggal dunia.
135
135
Pasal 18 PP No. 1 Tahun 2003 Tentang Pemberhentian Anggota Polri.
Universitas Sumatera Utara
BAB III PENEGAKAN HUKUM OLEH HAKIM DALAM KASUS PEMBERHENTIAN