Analisis Yuridis Terhadap Tindakan Pemberhentian Dengan Hormat Pada Anggota POLRI (Studi Kasus Atas Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Medan Nomor 52/G.TUN/2005/PTUN-Medan)

(1)

(MEJA HIJAU)

ANALISIS YURIDIS TERHADAP TINDAKAN PEMBERHENTIAN DENGAN HORMAT PADA ANGGOTA POLRI (STUDI KASUS

ATAS PUTUSAN PENGADILAN TATA USAHA NEGARA MEDAN NOMOR 52/G.TUN/2005/PTUN-MEDAN)

TESIS

Oleh:

ANDERSON SIRINGORINGO

117005068

/ ILMU HUKUM

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

(LEMBAR PENGESAHAN)

NAMA : ANDERSON SIRIGORINGO

N IM :

117005068

PROGRAM STUDI : ILMU HUKUM

JUDUL TESIS : ANALISIS YURIDIS TERHADAP TINDAKAN

PEMBERHENTIAN DENGAN HORMAT PADA ANGGOTA POLRI (STUDI KASUS ATAS PUTUSAN PENGADILAN TATA USAHA NEGARA MEDAN NOMOR 52/G.TUN/2005/PTUN-MEDAN)

MENYETUJUI KOMISI PEMBIMBING

Ketua

Prof. Dr. Budiman Ginting, SH., M.Hum

Dr. Pendastaren Tarigan, SH,M.S

Anggota Anggota

Dr. Jelly Leviza, SH., M.Hum

Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Dekan Fakultas Hukum


(3)

ABSTRAK

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah undang-undang yang menjadi payung hukum keberadaan polisi di negara Republik Indonesia yang mengatur perihal hak dan kewajiban berserta tugas pokok dan fungsi kepolisian. Kepolisian sebagai salah satu penegak hukum memiliki tugas yang sangat berat yang mencakup sebagai garda keamanan, ketertiban, pelayanan dan pengayoman masyarakat secara padu. Berat dan kompleksnya tugas pokok dan fungsi kepolisian dapat menyebabkan problema tersendiri dalam realitasnya yang dalam hal tertentu dapat mengkristal menjadi pelanggaran sehingga potensial menjadikan anggota polisi yang bersangkutan dikenakan pemberhentian dengan hormat atau pemberhentian tidak dengan hormat. Memperhatikan hal ini maka permasalahan yang timbul adalah bagaimana pengaturan tentang pemberhentian anggota polri menurut hukum di Indonesia dan bagaimana penegakan hukum yang dilakukan oleh hakim dalam kasus pemberhentian dengan hormat anggota polri dalam perkara No. 52/G.TUN/2005/PTUN-MDN dan apakah hambatan yang dihadapi oleh hakim dan penggugat dalam mengeksekusi putusan No. 52/G.TUN/2005/PTUN-MDN.

Metode penelitian yang digunakan bersifat normatif deskriptif dengan pendekatan analitis serta pendekatan perundang-undangan dengan menganalisa perkara No. 52/G.TUN/2005/PTUN-MDN. Sumber data yang digunakan adalah data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan studi dokumen kemudian menganalisis data yang diperoleh secara kualitatif dengan pemilihan teori-teori, asas-asas, norma-norma, doktrin dan pasal-pasal perundang-undangan yang relevan serta menghubungkan data-data dimaksud dengan permasalahan yang diteliti.

Pengaturan tentang pemberhentian anggota polri menurut hukum di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2003 Tentang Pemberhentian Anggota Polri. Penegakan hukum dalam perkara Nomor 52/G.TUN/2005/PTUN-MDN telah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku yaitu dimulai dari tahap gugatan, jawab menjawab, pembuktian hingga putusan. Hambatan hakim dalam mengeksekusi putusan Nomor 52/G.TUN/2005/PTUN-MDN adalah karena peraturan perundang-undangan tidak mengatur secara tegas perihal pemaksaan eksekusi putusan Pengadilan Tata Usaha Negara, tidak adanya lembaga pemaksa sebagai eksekutor putusan dan tidak adanya sanksi atas ketidak patuhan terhadap pemenuhan putusannya. Hambatan penggugat dalam mengeksekusi putusan dimaksud juga berkaitan dengan tidak adanya aturan tegas dalam UU No. 2 Tahun 2002 dan PP No. 1 Tahun 2003 dalam kaitannya dengan putusan pengadilan terkait masalah pemberhentian.


(4)

ABSTRACT

Law No.2/2002 on Indonesian Police is the law providing a legal umbrella for the existence of Police in the Unitary State of Republic of Indonesia which regulates the rights and responsibility as well as the main duties and function of Police. The Police as one of the law enforcement agencies has a very heavy task including the integrated roles as the guard of security, order , and community service and protection. In reality, this heavy and complex main duties and function of the Police can result in the problems of its own that, in certain cases, they can crystallize into the offense that can potentially make the police officer involved in the problem discharged with or without respect. Based on this condition, this study focused on the problems of how the dismissal of members of the police has been regulated according to the Indonesian law, and how the judge enforced the law in executing the honorable discharge of members of the police in the case No. 52/G.TUN/2005/PTUN-MDN, and what constraints were faced by the judge and the plaintiff in executing the decision No. 52/G.TUN/2005/PTUN-MDN.

This descriptive normative study with analytical and regulatory approaches analyzed the case No. 52/G.TUN/2005/PTUN-MDN based on the secondary data consisting of the primary, secondary and tertiary legal materials of obtained through documentation study. The data obtained were qualitatively analyzed through the selection of theories, principles, norms, doctrins, and the articles of relevant laws and then related the selected data to the problems studied.

According to the Indonesian law, the dismissal of members of the Police is regulated in Law No.2/2002 on the Indonesian Police and the Government Regulation No.1/2003 on the Dismissal of Members of the Police. The law enforcement in the case No. 52/G.TUN/2005/PTUN-MDN is in accordance with the existing laws commencing with the stages of lawsuit, answering, proving and reaching the verdict. The constraints faced by the judge in executing the decision No. 52/G.TUN/2005/PTUN-MDN were that the law did not clearly regulate the imposition of the execution of the decision of the State Administrative Court, the absence of imposition agency as the decision executor, and the absence of sanction for the disobedience toward the compliance of the court decision. The constraints faced by the plaintiff in executing the court decision was also related to the absence of clear regulation in Law No.2/2002 and the Government Regulation No.1/2003 in terms of the court decision related to issue of dismissal.


(5)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat anugerah dan kuasa-Nya sehingga penulisan tesis ini dapat penulis selesaikan dengan baik, walaupun penulis menyadari sepenuhnya bahwa hasil penelitian ini masih jauh dari kesempurnaan dikarenakan beberapa faktor teknis yang sangat terbatas. Adapun topik penelitian yang diangkat mengenai Analisis Yuridis Terhadap Tindakan Pemberhentian Dengan Hormat Pada Anggota Polri (Studi Kasus Atas Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Medan Nomor 52/G.TUN/2005/PTUN-MEDAN) dimana penyelesaian tesis ini tidak akan rampung tanpa bantuan, saran maupun petunjuk yang diberikan kepada penulis oleh pembimbing maupun penguji baik pada saat pengajuan judul sampai penyusunan tesis ini. Tesis ini merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk menyelesaikan Program Studi Magister Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara. Dengan segala keterbatasan penulis berharap kiranya penelitian ini dapat bermanfaat bagi seluruh lapisan masyarakat dan akademisi khususnya bagi POLRI.

Dalam penyelesaian tesis ini mulai saat pengajuan judul sampai penyusunan tesis tidak terlepas dari bimbingan, bantuan dan dorongan dari berbagai pihak, oleh karena itu dalam kesempatan ini dan dengan kerendahan dan ketulusan hati, saya ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:


(6)

1. Prof. Dr. Syahril Pasaribu., DTMH., MSc selaku Rektor Universitas Sumatera Utara (CTM), SpA(K), atas dan kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan.

2. Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH. M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara atas arahan dan bimbingan selama mahasiswa pada Program Studi Magister Ilmu Hukum.

3. Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara atas segalah arahan dan dorongan yang diberikan selama menuntut ilmu di Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH., M.Hum selaku Ketua Komisi Pembimbing yang selalu member motivasi, koreksi serta masukan yang sangat berarti bagi penulis selama penulis menyelesaikan tesis.

5. Dr. Pendastaren Tarigan, SH., M.S dan Dr. Jelly Leviza, SH., M.Hum atas segala saran dan perbaikan yang menjadi semangat buat penulis agar dapat memperbaiki tesis ke arah yang jauh lebih baik.

6. Dr. Mahmud Muliadi, SH., M.Hum dan Dr. Idha Apriliana, SH., M.Hum selaku penguji yang telah banyak memberi masukan dan saran untuk perbaikan tesis. 7. Seluruh Guru Besar dan Staf Pengajar yang telah memberikan ilmu dan arahan

selama penulis menimba ilmu di Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(7)

Ucapan terima kasih penulis untuk orang tua dan mertua tercinta, khususnya untuk istri dan anak-anak tercinta yang telah banyak berkorban dan bersabar dengan selalu memberikan semangat kepada penulis untuk tetap giat belajar dan menyelesaikan studi ini kepada seluruh saudara, sahabat dan kerabat yang telah mendukung dan memotivasi, penulis ucapkan terima kasih banyak atas segala bantuan dan perhatiannya.

Penulis telah berusaha untuk menyelesaikan tesis ini dengan sebaik-baiknya namun sebagai manusia penulis menyadari adanya kekurangan dan ketidaksempurnaan tesis ini. Oleh karena itu penulis mengharapkan adanya kritik dan saran yang produktif dari semua pihak.

Medan, Juni 2013 Penulis


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 10

C. Tujuan Penelitian ... 11

D. Manfaat Penelitian ... 11

E. Keaslian Penelitian ... 12

F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional ... 13

1. Kerangka Teori ... 13

2. Landasan Konsepsional ... 33

G. Metode Penelitian ... 35

1. Jenis dan Sifat Penelitian ... 36

2. Sumber Data ... 37

3. Teknik Pengumpulan Data ... 38

4. Analisis Data ... 38

BAB II PENGATURAN TENTANG PEMBERHENTIAN ANGGOTA POLRI MENURUT HUKUM DI INDONESIA ... 39

A. Aturan Pemberhentian Anggota Polri Menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia ... 39


(9)

B. Aturan Pemberhentian Polri Menurut Peraturan Pemerintah

Nomor 1 Tahun 2003 Tentang Pemberhentian Anggota Polri ... 42

1. Pemberhentian Dengan Hormat ... 42

2. Pemberhentian Tidak Dengan Hormat ... 51

3. Kewenangan Memberhentikan Anggota Polri ... 55

BAB III PENEGAKAN HUKUM OLEH HAKIM DALAM KASUS PEMBERHENTIAN ANGGOTA POLRI SESUAI PUTUSAN NOMOR: 52/G.TUN/2005/PTUN-MDN ... 58

A. Deskripsi Kasus ... 59

B. Analisis Hukum Terhadap Putusan ... 106

BAB IV HAMBATAN-HAMBATAN YANG DIHADAPI DALAM MENGEKSEKUSI PUTUSAN NOMOR: 52/G.TUN/2005/PTUN-MDN ... 112

A. Hambatan Yuridis Bagi Pengadilan Tata Usaha Negara Medan ... 112

B. Hambatan Yuridis Bagi Penggugat ... 120

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 124

A. Kesimpulan ... 124

B. Saran ... 126


(10)

ABSTRAK

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah undang-undang yang menjadi payung hukum keberadaan polisi di negara Republik Indonesia yang mengatur perihal hak dan kewajiban berserta tugas pokok dan fungsi kepolisian. Kepolisian sebagai salah satu penegak hukum memiliki tugas yang sangat berat yang mencakup sebagai garda keamanan, ketertiban, pelayanan dan pengayoman masyarakat secara padu. Berat dan kompleksnya tugas pokok dan fungsi kepolisian dapat menyebabkan problema tersendiri dalam realitasnya yang dalam hal tertentu dapat mengkristal menjadi pelanggaran sehingga potensial menjadikan anggota polisi yang bersangkutan dikenakan pemberhentian dengan hormat atau pemberhentian tidak dengan hormat. Memperhatikan hal ini maka permasalahan yang timbul adalah bagaimana pengaturan tentang pemberhentian anggota polri menurut hukum di Indonesia dan bagaimana penegakan hukum yang dilakukan oleh hakim dalam kasus pemberhentian dengan hormat anggota polri dalam perkara No. 52/G.TUN/2005/PTUN-MDN dan apakah hambatan yang dihadapi oleh hakim dan penggugat dalam mengeksekusi putusan No. 52/G.TUN/2005/PTUN-MDN.

Metode penelitian yang digunakan bersifat normatif deskriptif dengan pendekatan analitis serta pendekatan perundang-undangan dengan menganalisa perkara No. 52/G.TUN/2005/PTUN-MDN. Sumber data yang digunakan adalah data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan studi dokumen kemudian menganalisis data yang diperoleh secara kualitatif dengan pemilihan teori-teori, asas-asas, norma-norma, doktrin dan pasal-pasal perundang-undangan yang relevan serta menghubungkan data-data dimaksud dengan permasalahan yang diteliti.

Pengaturan tentang pemberhentian anggota polri menurut hukum di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2003 Tentang Pemberhentian Anggota Polri. Penegakan hukum dalam perkara Nomor 52/G.TUN/2005/PTUN-MDN telah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku yaitu dimulai dari tahap gugatan, jawab menjawab, pembuktian hingga putusan. Hambatan hakim dalam mengeksekusi putusan Nomor 52/G.TUN/2005/PTUN-MDN adalah karena peraturan perundang-undangan tidak mengatur secara tegas perihal pemaksaan eksekusi putusan Pengadilan Tata Usaha Negara, tidak adanya lembaga pemaksa sebagai eksekutor putusan dan tidak adanya sanksi atas ketidak patuhan terhadap pemenuhan putusannya. Hambatan penggugat dalam mengeksekusi putusan dimaksud juga berkaitan dengan tidak adanya aturan tegas dalam UU No. 2 Tahun 2002 dan PP No. 1 Tahun 2003 dalam kaitannya dengan putusan pengadilan terkait masalah pemberhentian.


(11)

ABSTRACT

Law No.2/2002 on Indonesian Police is the law providing a legal umbrella for the existence of Police in the Unitary State of Republic of Indonesia which regulates the rights and responsibility as well as the main duties and function of Police. The Police as one of the law enforcement agencies has a very heavy task including the integrated roles as the guard of security, order , and community service and protection. In reality, this heavy and complex main duties and function of the Police can result in the problems of its own that, in certain cases, they can crystallize into the offense that can potentially make the police officer involved in the problem discharged with or without respect. Based on this condition, this study focused on the problems of how the dismissal of members of the police has been regulated according to the Indonesian law, and how the judge enforced the law in executing the honorable discharge of members of the police in the case No. 52/G.TUN/2005/PTUN-MDN, and what constraints were faced by the judge and the plaintiff in executing the decision No. 52/G.TUN/2005/PTUN-MDN.

This descriptive normative study with analytical and regulatory approaches analyzed the case No. 52/G.TUN/2005/PTUN-MDN based on the secondary data consisting of the primary, secondary and tertiary legal materials of obtained through documentation study. The data obtained were qualitatively analyzed through the selection of theories, principles, norms, doctrins, and the articles of relevant laws and then related the selected data to the problems studied.

According to the Indonesian law, the dismissal of members of the Police is regulated in Law No.2/2002 on the Indonesian Police and the Government Regulation No.1/2003 on the Dismissal of Members of the Police. The law enforcement in the case No. 52/G.TUN/2005/PTUN-MDN is in accordance with the existing laws commencing with the stages of lawsuit, answering, proving and reaching the verdict. The constraints faced by the judge in executing the decision No. 52/G.TUN/2005/PTUN-MDN were that the law did not clearly regulate the imposition of the execution of the decision of the State Administrative Court, the absence of imposition agency as the decision executor, and the absence of sanction for the disobedience toward the compliance of the court decision. The constraints faced by the plaintiff in executing the court decision was also related to the absence of clear regulation in Law No.2/2002 and the Government Regulation No.1/2003 in terms of the court decision related to issue of dismissal.


(12)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (selanjutnya dalam penelitian ini disingkat dengan UUKNRI) adalah sebuah undang-undang yang menjadi payung hukum keberadaan polisi di negara Republik Indonesia. UUKNRI tersebut dapat disebut sebagai payung hukum bagi keberadaan polisi1

Kepolisian

karena undang-undang tersebut menjadi sebuah pengayom bagi polisi dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya (tupoksi) sehari-hari ditengah-tengah masyarakat.

2

1

Definisi kata “polisi” tidak ada ditentukan secara tegas dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia tetapi kata “polisi” dapat didefenisikan sebagai: 1) badan pemerintah yg bertugas memelihara keamanan dan ketertiban umum (menangkap orang yg melanggar undang-undang dsb); 2) anggota badan pemerintah (pegawai negara yg bertugas menjaga keamanan dsb). Lihat Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008), hlm. 1091, bandingkan dengan

sejak semula adalah diharapkan sebagai garda terdepan dalam memberikan jaminan keamanan dalam negeri, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat yang kesemua ini sebagai syarat utama mendukung terwujudnya masyarakat madani yang adil, makmur dan beradab berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

2

Kepolisian adalah kata benda dari kata “polisi” sehingga dapat diartikan sebagai yang bertalian dengan polisi. Lihat Departemen Pendidikan Nasional, Ibid. Sedangkan menurut Pasal 1 angka (1) UU No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah secara tegas menyatakan bahwa Kepolisian adalah segala hal-ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kepolisian sering dikenal sebagai “Bhayangkara” yang dalam bahasa asalnya yaitu Sanskerta berarti “menakutkan”. Lihat M. Karjadi, Polisi: Filsafat dan Perkembangan Hukumnya, (Bogor: Politeia, 1978), hlm. 69.


(13)

1945.3 Pencapaian kearah itu semua tentu tidak salah kita letakkan pada tugas dan fungsi polisi tetapi tentu benar pula jika disudut lain kita harus memahami bahwa polisi juga bukan mahluk super yang dapat memenuhi capaian itu semua secara sendiri. Bantuan dari masyarakat dimana hendak kita letakkan keamanan itu, hendak kita ciptakan perlindungan itu, hendak kita berikan pengayoman dan pelayanan itu adalah mutlak diperlukan, maka mutualisme simbiosisme4 antara kepolisian dan masyarakat adalah sebuah conditio sine qua non5

Pasal 2 UUKNRI menyatakan bahwa “Fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara dibidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat”. Fungsi kepolisian ini sekaligus juga dapat dikatakan sebagai peran dan tujuan Kepolisian Negara Republik Indonesia.

untuk perwujudan masyarakat madani yang adil, makmur dan beradab berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

6

3

Lihat bagian Menimbang huruf (a) dan (b) Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Secara universal peran polisi dalam masyarakat dirumuskan sebagai penegak hukum (law enforcement officers),

4

Saling membutuhkan.

5

Keadaan yang tidak dapat tidak atau mutlak diperlukan.

6

Lihat Pasal 4 dan Pasal 5 UUKNRI. Pasal 4 berbunyi : “Kepolisian Negara Republik Indonesia bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya ketenteraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.” Pasal 5 ayat (1) berbunyi : “Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri.” Ayat (2) berbunyi: “Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah Kepolisian Nasional yang merupakan satu kesatuan dalam melaksanakan peran dimaksud dalam ayat (1)”.


(14)

pemelihara ketertiban (order maintenance) termasuk didalamnya mengandung pula pengertian polisi sebagai pembasmi kejahatan (crime figters).7

Membaca dan memahami ketentuan pasal ini menyadarkan kita bahwa kepolisian sungguh dituntut untuk berfungsi hampir disetiap sudut dan lini-lini kemasyarakatan, sehingga dengan tafsiran a contrario tidak berlebihan bila kita sampai kepada sebuah hipotesis jika pemeliharaan dan ketertiban masyarakat negatif serta penegakan hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada mayarakat juga dalam kondisi negatif, maka itu artinya terjadi minimal gejala disfungsi kepolisian. Itulah sebabnya menurut peneliti ratio legis

8

-nya tepat apa yang ditulis oleh Rusli Muhammad,9 “setiap aparat Kepolisian harus dapat mencerminkan kewibawaan negara dan menunjukkan disiplin yang tinggi dikarenakan polisi pada hakekatnya adalah sebagai pengatur di dalam penegakan hukum di Indonesia”. Polisi tulis Satjipto Rahardjo, pada hakekatnya dapat dilihat sebagai hukum yang hidup, karena ditangan polisi tersebut hukum mengalami perwujudannya setidaknya di bidang hukum pidana.10

7

8

Ratio Legis adalah bahasa Belanda yang diartikan sebagai: menurut tujuan undang-undang. Lihat Yan Pramadya Puspa, Kamus Hukum Edisi Lengkap Bahasa Belanda Indonesia Inggris, (Semarang: Aneka Ilmu, 1977), hlm. 705.

9

Rusli Muhammad, Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, (Yogyakarta: UII Press, 2011), hlm. 14.

10

Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2009), hlm. 111.


(15)

Harapan bahwa kepolisian sebagai garda terdepan dalam posisi pengatur dalam penegakan hukum11 adalah sangat tepat minimal jika dilihat dari dua alasan penting yaitu, pertama polisi berada pada lini terdepan dari sistem12 peradilan pidana13 terpadu14

11

Penegakan Hukum adalah suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum menjadi kenyataan. Keinginan-keinginan hukum adalah pikiran-pikiran badan pembuat undang-undang yang dirumuskan dalam peraturan-peraturan hukum. Lihat Satjipto Rahardjo, Op.Cit, hlm. 24.

(integrated criminal justice system) dalam fungisnya sebagai penegak hukum (law upholder), jadi diposisikan sebagai pintu gerbang bagi pencari keadilan (justice seeker/ justiciabelen); dan kedua mengingat tugas, fungsi dan peranannya dalam bidang-bidang yang hampir menyentuh seluruh aspek kehidupan masyarakat misalnya keamanan, ketertiban, perlindungan, pengayoman dan

12

Sistem adalah perangkat unsur yang secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk suatu totalitas. Lihat Departemen Pendidikan Nasional, Op.Cit, hlm. 1320. Dalam kaitannya dengan hukum sistem sebagaimana yang ditulis oleh Subekti adalah suatu susunan atau tataan yang teratur, suatu keseluruhan yang terdiri atas bagian-bagian yang berkaitan satu sama lain, tersusun menurut suatu rencana atau pola, hasil dari suatu penulisan untuk mencapai suatu tujuan. Lihat Abdoel Djamali,

Pengantar Hukum Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), hlm. 65.

13

Sistem Peradilan Pidana adalah jaringan peradilan yang bekerja sama secara terpadu diantara bagian-bagiannya untuk mencapai tujuan tertentu baik janka pendek maupun jangka panjang atau dapat juga dikatakan sebagai suatu komponen (sub sistem) peradilan pidana yang saling terkait/ tergantung satu sama lain dan bekerja untuk mencapai tujuan, yaitu untuk menanggulangi kejahatan sampai batas yang dapat ditoleransi oleh masyarakat. Lihat Rusli Muhammad, Op.Cit, hlm. 33. Menurut Mardjono Reksodiputro Sistem Peradilan Pidana merupakan sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi masalah kejahatan. Lihat Lilik Mulyadi, Kompilasai Hukum Pidana dalam Perspektif Teoritis dan Praktik Peradilan, (Bandung: Mandar Maju, 2010), hlm. 56. Merujuk definisi Sistem Peradilan Pidana yang dikemukakan oleh Mardjono Reksodiputro di atas dapat diketahui bahwa definisi ini memiliki kesamaan tujuan dari Politik Kriminal yang didefinisikan oleh Sudarto sebagai suatu usaha yang rasional dari masyarakat dalam menanggulangi kejahatan, yang tujuan akhir dari Politik Kriminal itu menurut Barda Nawawi Arief adalah untuk perlindungan masyarakat (social defence) demi mencapai kesejahteraa masyarakat (social welfare). Lihat Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Edisi Revisi, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2002), hlm. 1-2.

14

Maksud kata “terpadu” dari Sistem Peradilan Pidana adalah adanya kesamaan prosedur (mengikuti aturan-aturan yang ditentukan undang-undang), persepsi (pengetahuan/ pemahaman terhadap kasus yang dihadapi) dan tujuan (menanggulangi kejahatan) yang sama dari masing-masing sub sistem yang terdiri dari Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan. Lihat. Rusli Muhammad, Op.Cit, hlm. 36.


(16)

pelayanan. Menurut Bagir Manan,15

Filsafat mengajarkan bahwa kemuliaan sebuah pekerjaan berbanding lurus dengan tujuan pekerjaan itu sendiri dan kualitas diri dapat diketahui dari tugas yang diemban. Mungkin itulah salah satu alasannya kenapa semua pekerjaan yang bertujuan mulia tergolong jenis pekerjaan mulia yang diridhai Tuhan. Pekerjaan polisi tentulah tergolong mulia, karena dipundak polisi digantungkan beban-beban yang sesungguhnya tergolong jalan yang diridhai Tuhan, setidaknya itulah yang dicita-citakan oleh UUKNRI.

penegakan (menegakkan) hukum (law enforcement), atau disebut juga mempertahankan hukum (handhaving van het recht), setidak-tidaknya memuat dua makna yaitu : pertama, menjaga atau memelihara agar hukum tetap dipatuhi atau dijalankan, kedua, mencegah dan mengambil tindakan terhadap penyimpangan atau pelanggaran hukum.

Berat dan kompleksnya fungsi, tugas dan peran kepolisian dalam kehidupan berbangsa dan bernegara karena diposisikan sebagai alat negara (bukan sebagai alat kekuasaan) untuk mencapai situasi-situasi sebagaimana yang diamanatkan undang-undang, tidak dapat dipungkiri telah menciptakan berbagai problema tersendiri bagi personil polri dilapangan. Cita-cita undang-undang dan realita terkadang sangat kontras, bahkan terkadang dianggap sebagai sebuah keadaan yang kelewat idealis untuk menjadi realis. Problema-problema itu dapat mengkristal menjadi sebuah

15

Bagir Manan (Mantan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia), Penegakan Hukum Dalam Perkara Pidana, Artikel disampaikan di Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung (UNISULA), Semarang pada tanggal 20 Januari 2010. Dimuat dalam Majalah Hukum Varia Peradilan, Tahun XXV No. 296 Juli 2010, hlm. 5.


(17)

pelanggaran16 yang pada prosesnya menjadikan anggota polri yang bersangkutan dapat dikenakan pemberhentian dengan hormat17 (selanjutnya dalam penelitian ini disingkat PDH) bahkan dapat pula dijatuhkan pemberhentian tidak dengan hormat18 (selanjutnya dalam penelitian ini disingkat PTDH) dari dinas kepolisian.19

Untuk Daerah Sumatera Utara diberitakan hingga pertengahan 2012 setidaknya telah dilakukan pemberhentian terhadap 6 (enam) personil Polri satuan Brimob Polda Sumut yang terlibat tindak pidana perampokan dan disersi20. Hal yang sama juga terjadi di Polres Langsa yang melakukan Pemberhentian Tidak Dengan Hormat pada Senin tanggal 8 Oktober 2012 terhadap salah seorang anggota Polres setempat yang bernama Brigadir Syahwin Afandi akibat terlibat kasus narkoba, dan melanggar Pasal 13 Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Polri.21

16

Pelanggaran adalah perbuatan yang dilakukan oleh anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia karena melanggar sumpah/ janji anggota, sumpah/ janji jabatan, peraturan disiplin dan/atau Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia. Lihat Pasal 1 angka (12) Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2003 Tentang Pemberhentian Anggota Polri.

Pemberhentian Tidak Dengan Hormat juga terjadi pada Kamis tanggal 27 September 2012 di Polres Tanjung Balai terhadap 3 (tiga) orang

17

Pemberhentian dengan hormat adalah pengakhiran masa dinas Kepolisian oleh pejabat yang berwenang terhadap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Lihat Pasal 1 angka (4) Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2003 Tentang Pemberhentian Anggota Polri.

18

Pemberhentian tidak dengan hormat adalah pengakhiran masa dinas Kepolisian oleh pejabat yang berwenang terhadap seorang anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia karena sebab-sebab tertentu. Lihat Pasal 1 angka (5) Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2003 Tentang Pemberhentian Anggota Polri.

19

Dinas Kepolisian adalah segala aktifitas kedinasan yang dilakukan anggota dalam lembaga Kepolisian Negara Republik Indonesia. Lihat Pasal 1 angka (3) Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2003 Tentang Pemberhentian Anggota Polri.

20

21


(18)

anggota polri karena penyalahgunaan narkoba golongan I dan meninggalkan tugas22 dan 3 (tiga) orang lagi polisi di Sumut akan dilakukan pemberhentian tidak dengan hormat akibat kasus sabu dan tindak pidana pembunuhan.23 Sebelumnya pada tahun 2009 Kapolda Sumut Irjen Pol Badrodin Haiti telah menandatangani setidaknya 25 surat pemecatan atau Pemberhentian Tidak Dengan Hormat Anggota Polri untuk wilayah Sumatera Utara.24 Pada tahun 2011 secara statistic Pemberhentian Tidak Dengan Hormat anggota Polri mengalami peningkatan tajam dibanding tahun 2010 dengan berbagai alasan dintaranya adalah depresi, narkoba, pencurian, curas, menelantarkan keluarga, pelanggaran disiplin berulang, lalai mengakibatkan orang lain meninggal, kejahatan terhadap kemerdekaan orang, pemerasan, penadah dan keterangan palsu.25

Meskipun demikian tidak banyak tindakan pemberhentian dari anggota polri yang kemudian diajukan untuk diuji pada Pengadilan Tata Usaha Negara. Hal ini memang karena kebanyakan alasan pemberhentian itu sendiri dilandasi oleh sebab perbuatan yang tergolong tindak pidana yang sebelumnya telah mendapat putusan yang berkekuatan hukum tetap (inkrach van gewijsde) dari peradilan umum, atau karena melakukan pelanggaran atau karena meninggalkan tugas sehingga pemberhentiannya dilakukan tidak dengan hormat.

22

23

24

diakses tanggal 19-10-2012.

25

diakses tanggal 19-10-2012.


(19)

Berbeda dengan PTDH, pemberhentian dengan hormat umumnya bukan karena didasarkan karena melakukan tindak pidana atau pelanggaran atau meninggalkan dinas tetapi lebih kepada alasan-alasan yang dapat membuka ruang beda tafsir yuridis dan medis misalnya keadaan tidak memenuhi syarat jasmani dan atau rohani. Putusan No. 52/G.TUN/2005/PTUN-MDN adalah sebuah perkara yang menguji sah tidaknya sebuah Surat Keputusan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Daerah Sumatera Utara atau Kapolda Sumut Nomor Pol: Skep/ 89/ III/ 2005 tanggal 21 Maret 2005. Surat Keputusan tersebut adalah sebagai tindak lanjut dari Surat Usulan Kepala Kepolisian Resort Nias Nomor Pol: B/563/XI/2004 tanggal 03 Nopember 2004 perihal Permohonan Usul Pemberhentian Dengan Hormat Dengan Hak Pensiun Atas Nama Ipda Anderson Sirongringo, SH, NRP. 64070416.

Terbitnya Surat Kapoldasu dan Surat Kapolres Nias di atas didasarkan atas Keterangan Pemeriksaan Panitia Pemeriksaan Kesehatan Personil Nomor Pol: R/SK/24/VIII/2004/ Biddokkes tanggal 6 Agustus 2004, yang pada pokoknya berdasarkan hasil diagnosa, yang bersangkutan dianggap tidak lagi mampu menjalankan tugas sebagai Polisi karena tidak memenuhi syarat jasmani dan rohani sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf (a) dan (b) Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2003 Tentang Pemberhentian Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.26

26

PP Nomor 1 Tahun 2003 pada Pasal 8 berbunyi: anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia diberhentikan dengan hormat apabila berdasarkan surat keterangan Badan Penguji Kesehatan Personel Kepolisian Negara Republik Indonesia dinayatakan : (a) Tidak dapat bekerja lagi dalam semua jabatan karena kesehatannya ; atau (b) menderita penyakit atau mengalami kelainan jiwa


(20)

yang dianggap merugikan, mendorong perkara ini kemudian diajukan oleh yang diberhentikan (bertindak sebagai Penggugat) ke Pengadilan Tata Usaha Negara sebagai peradilan yang berwenang menguji sah tidaknya surat itu (sebagai Objek Gugatan) sehingga Kapolda Sumatera Utara dan Kapolres Nias digugat (sebagai Tergugat I dan Tergugat II).

Surat Pemberhentian Dengan Hormat dimaksud kemudian diuji keabsahannya apakah bertentangan dengan undang-undang atau bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik27

yang berbahaya bagi dirinya dan/atau organisasi Kepolisian Negara Republik Indonesia dan/ atau lingkungan kerjanya.

dikaitkan dengan kondisi yang menjadi dasar atau alasan terbitnya surat dimaksud. Hasil pemeriksaan pengadilan kemudian menemukan fakta-fakta hukum berupa tindakan pemberhentian dengan hormat itu ternyata bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan juga bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik sehingga surat pemberhentian dengan hormat dimaksud harus dinyatakan batal serta memerintahkan tergugat I untuk mencabutnya dan mewajibkan tergugat I untuk menerbitkan surat keputusan yang baru tentang rehabilitasi kedudukan keanggotaan penggugat sebagai anggota polri aktif sebelum terbit surat pemberhentian dimaksud.

27

Pasal 53 ayat 2 Undang No. 9 tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara jo Undang-Undang No. 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara menyebutkan: alasan-alasan yang dapat digunakan dalam gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah: a) Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; b) Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.


(21)

Konsekuensi batalnya surat pemberhentian itu menjadikan situasi kembali kepada keadaan sebelum surat itu terbit, artinya orang yang diberhentikan dalam surat itu harus dikembalikan kepada posisi semula sebagai anggota polri aktif. Eksekusi putusan ternyata tidak semudah tataran teori, diperlukan upaya-upaya yuridis yang tergolong pelik sehingga pada akhirnya penggugat direhabilitasi harkat, martabat dan kedudukannya menjadi anggota polri aktif kembali pada akhir tahun 2007 yang tertuang dalam Surat Keputusan No. Pol. Skep/449/XI/2007 Tentang Pembatalan Skep Pensiun Mantan Anggota Polri tanggal 27 Nopember 2007.

Terbukanya ruang debat secara yuridis dalam menilai kategori “tidak memenuhi syarat jasmani dan atau rohani” menjadikan perkara No. 53/G.TUN/2005/PTUN-MDN memiliki bobot akademis yang layak kaji, sehingga penelitian terhadap persoalan hukumnya perlu dilakukan menjadi sebuah penelitian tesis dengan judul “Analisis Yuridis Pemberhentian Dengan Hormat Pada Anggota Polri (Studi Kasus Atas Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Medan Nomor 52/G.TUN/2005/PTUN-MDN)”.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, perumusan masalah dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimanakah pengaturan tentang Pemberhentian Anggota Polri menurut hukum di Indonesia ?


(22)

2. Bagaimanakah penegakan hukum yang dilakukan oleh hakim dalam kasus Pemberhentian Dengan Hormat Anggota Polri dalam Perkara No. 52/G.TUN/2005/PTUN-MDN ?

3. Apakah hambatan-hambatan yang dihadapi dalam eksekusi putusan No. 52/G.TUN-2005/PTUN-MDN?

C. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan permasalahan yang diuraikan di atas maka penelitian ini bertujuan menelaah hal-hal berikut yaitu untuk :

1. Mengetahui pengaturan tentang pemberhentian anggota Polri menurut hukum di Indonesia.

2. Mengetahui dan menganalisis proses penegakan hukum terkait kasus Pemberhentian Dengan Hormat Anggota Polri dalam Perkara Nomor 52/G.TUN/2005/PTUN-MDN.

3. Mengetahui hambatan-hambatan yang dihadapi dalam eksekusi putusan Nomor 52/G.TUN/2005/PTUN-MDN.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sejumlah manfaat kepada semua pihak baik secara akademis, teoritis terlebih secara praktis, setidaknya manfaat tersebut adalah:


(23)

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memenuhi kebutuhan sebagai masukan bagi para pembentuk undang-undang (pada tahap formulasi) dan para penegak hukum (pada tahap aplikasi dan eksekusi) dan juga diharapkan berguna bagi akademisi guna pengembangan teori ilmu hukum khususnya hukum administrasi dan undang-undang yang terkait dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia beserta peraturan pelaksananya termasuk peraturan terkait pemberhentian anggota Polri disatu sisi dan kepentingan masyarakat di sisi lain sesuai dengan kebutuhan masyarakat Indonesia dewasa ini.

2. Secara Praktis

Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi masyarakat secara umum dan khususnya bagi setiap aparat kepolisian Republik Indonesia untuk mengetahui hak-hak dan kewajibannya jika berhadapan dengan masalah pemberhentian baik itu pemberhentian dengan hormat maupun pemberhentian tidak dengan hormat.

E. Keaslian Penulisan

Kejujuran intelektual adalah sesuatu yang dituntut dalam dunia akademik karena itulah duplikasi atau plagiat terhadap karya inteletualitas orang lain secara tidak sah adalah perbuatan yang nista. Guna menghindari duplikasi terhadap karya dan permasalahan yang sama, maka sebelumnya telah dilakukan penelusuran di perpustakaan Universitas Sumatera Utara dan di Perpustakaan Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Hasil


(24)

penelusuran dimaksud ternyata tidak menemukan judul penelitian/ tesis yang memiliki kesamaan atau kemiripan judul dan substansi permasalahan yang sama sebagaimana penelitian ini.

Berdasarkan penelusuran di Perpustakaan Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara tidak ditemukan satupun Judul Thesis terdahulu yang membahas seputar Pemberhentian Dengan Hormat dari Anggota Polri dalam kaitannya degan perkara Register Nomor 52/G.Tun/2005/PTUN-Mdn. Dengan demikian penelitian ini belum pernah diangkat menjadi sebuah karya tulis maupun tesis, maka otentikasinya dapat peneliti jamin tidak tersentuh oleh unsur plagiat terhadap karya tulis pihak lain.

F. Kerangkan Teori Dan Landasan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Teori dalam penelitian ilmiah adalah sebuah kemestian karena merupakan inti dari penelitian ilmiah dimaksud.28 Teori secara bahasa adalah pendapat yang didasarkan pada penelitian dan penemuan, didukung oleh data dan argumentasi.29 Kata teori berasal dari kata theoria yang artinya pandangan atau wawasan.30

28

Mukti Fajar ND & Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris, (Yokyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 92.

Selain itu teori juga dapat berarti pendapat yang dikemukakan sebagai keterangan mengenai

29

Departemen Pendidikan Nasional, Op.Cit, hlm. 1444.

30

Sudikno Mertokusumo, Teori Hukum, Edisi Revisi, (Yokyakarta: Cahaya Atma Pustaka, 2012), hlm. 4.


(25)

peristiwa atau kejadian,31 atau dapat juga berarti kegiatan kreatif.32 Theoria juga dapat bermakna sebagai pengetahuan dan pengertian terbaik.33 Pada umumnya, teori diartikan sebagai pengetahuan yang hanya ada dalam alam pikiran tanpa dihubungkan dengan kegiatan-kegiatan yang bersifat praktis untuk melakukan sesuatu.34 Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, thesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan perbandingan atau pegangan toritis.35

Teori dalam penelitian ini adalah terkait dengan pemeriksaan perkara di pengadilan sehingga segala sesuatu yang terkait dengan pembuktian adalah suatu hal yang sangat memegang peranan penting maka teori pembuktian menjadi sebuah keharusan dalam menganalisa penelitian ini. Disamping itu karena penelitian ini juga terkait dengan pengujian terhadap Surat Keputusan Tata Usaha Negara sebagai produk hukum maka teori kedaulatan hukum dalam kaitannya dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik juga digunakan sebagai teori pembahasan penelitian ini. Pemilihan penggunaan teori-teori tersebut sebagai pisau analisis dalam penelitian ini karena kedua teori tersebut menurut peneliti telah cukup untuk memandu dan mengungkap sekaligus memberikan penilaian terhadap fakta dan peristiwa hukum yang ingin dibahas.

31

Ibid.

32

Jan Gijssels, sebagaimana dikutif oleh Ibid.

33

Bernad L. Tanya, dkk, Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang Dan Generasi, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2010), hlm. 41.

34

Sudikno Mertokusumo, Loc.Cit.

35


(26)

Pembuktian memiliki arti penting atau hanya diperlukan jika terjadi persengketaan atau perkara di pengadilan.36 Pembuktian adalah penyajian alat-alat bukti yang sah menurut hukum kepada hakim yang memeriksa suatu perkara guna memberikan kepastian tentang kebenaran peristiwa yang dikemukakan.37 Pembuktian merupakan tahapan yang sangat menentukan putusan dalam proses peradilan.38 Ketika ada upaya untuk meyakinkan kebenaran dalil-dalil yang dikemukakan dimuka sidang dalam suatu sengketa maka uapaya ini disebut sebagai membuktikan.39 Pembuktian sesuatu hal dengan tujuan mencari kebenaran yang dilakukan oleh pengadilan dengan aturan-aturan / kaidah-kaidah tertentu disebut sebagai hukum pembuktian (law of evidence). Hukum pembuktian adalah hukum yang mengatur tentang tata cara untuk menetapkan terbuktinya fakta yang menjadi dasar dari pertimbangan dalam menjatuhkan suatu putusan.40 Munir Fuadi menyatakan bahwa hukum pembuktian adalah seperangkat kaidah hukum yang mengatur tentang pembuktian.41

36

R. Subekti, Hukum Pembuktian, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2008), hlm. 7.

Fakta yang dapat menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan dapat terdiri dari: 1) fakta hukum yaitu kejadian-kejadian atau keadaan-keadaan yang eksistensinya (keberadaannya) tergantung dari penerapan suatu peraturan perundang-undangan; 2) fakta biasa yaitu kejadian-kejadian atau

37

M. Taufik Makarao, Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Bina Cipta, 2004), hlm. 93.

38

W. Riawan Tjandra, Teori dan Praktik Peradilan Tata Usaha Negara, Edisi Revisi, (Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, 2012), hlm. 109.

39

R. Subekti, Op.Cit, hlm. 5.

40

R. Wiryono, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hlm. 148.

41

Munir Fuady, Teori Hukum Pembuktian (Pidana dan Perdata), (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2006), hlm.1.


(27)

keadaan-keadaan yang juga ikut menentukan adanya fakta hukum tertentu ; dan 3)

fakta notoir yaitu keadaan atau kejadian yang telah diketahui oleh umum.42

Pembuktian berkaitan dengan kemampuan merekonstruksi kejadian atau peristiwa masa lalu (past even) sebagai suatu kebenaran (truth).43 Menurut Munir Fuady44

Yang dimaksud dengan pembuktian dalam ilmu hukum adalah suatu proses, baik dalam acara perdata, acara pidana, maupun acara-acara lainnya, dimana dengan menggunakan alat-alat bukti yang sah, dilakukan tindakan dengan prosedur khusus, untuk mengetahui apakah suatu fakta atau pernyataan, khususnya fakta atau pernyataan yang dipersengketakan di pengadilan yang dianjukan dan dinyatakan oleh salah satu pihak dalam proses pengadilan itu benar atau tidak seperti yang dinyatakan itu.

:

Kamus Besar Bahasa Indonesia,45

Teori hukum pembuktian mengajarkan agar suatu alat bukti dapat dipakai sebagai alat bukti di pengadilan diperlukan beberapa syarat yaitu :

mengartikan pembuktian sebagai proses, cara, perbuatan atau cara membuktikan, sedangkan membuktikan diartikan sebagai memperlihatkan bukti, meyakinkan dengan bukti dan bukti adalah sesuatu yang menyatakan kebenaran suatu peristiwa, keterangan nyata. Dengan demikian arti alat bukti adalah alat yang berguna untuk menyatakan kebenaran suatu peristiwa.

46

1. Diperkenankan oleh undang-undang untuk dipakai sebagai alat bukti. 2. Reliability, yakni alat bukti tersebut dapat dipercaya keabsahannya

(misalnya tidak palsu).

3. Necessity, yakni alat bukti tersebut memang diperlukan untuk membuktikan suatu fakta.

42

R. Wiryono, Loc.Cit.

43

M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan Persidangan Penyitaan Pembuktian dan Putusan Pengadilan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hlm. 496.

44

Munir Fuady, Op.Cit, hlm. 1-2.

45

Departemen Pendidikan Nasional, Op.Cit, hlm. 217-218.

46


(28)

4. Relevance, yakni alat bukti tersebut mempunyai relevansi dengan fakta yang akan dibuktikan.

Ajaran pembuktian dalam proses pemeriksaan perkara di Pengadian Tata Usaha Negara adalah menganut “ajaran pembuktian bebas”. Ajaran pembuktian bebas atau teori pembuktian bebas menurut Sudikno Mertokusumo sebagaimana dikutip oleh R. Wiryono47 adalah “ajaran atau teori yang tidak menghendaki adanya ketentuan-ketentuan yang mengikat hakim, sehingga sejauh mana pembuktian dilakukan diserahkan kepada hakim”. Pembuktian bebas diterapkan dalam sengketa Tata Usaha Negara adalah dimaksudkan untuk memperoleh kebenaran materil dan bukan kebenaran formil.48

Ajaran pembuktian bebas ini secara implisit ditegaskan dalam Penjelasan Pasal 107 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradian Tata Usaha Negara yaitu :

Pasal ini mengatur ketentuan dalam rangka usaha menemukan kebenaran materil. Berbeda dengan sistem hukum pembuktian dalam Hukum Acara Perdata, maka dengan memperhatikan segala sesuatu yang terjadi dalam pemeriksaan, tanpa bergantung pada fakta dan hal yang diajukan oleh para pihak, hakim Peradilan Tata Usaha Negara dapat menentukan sendiri:

a. Apa yang harus dibuktikan.

b. Siapa yang harus dibebani pembuktian, hal apa yang harus dibuktikan oleh pihak yang berperkara dan hal apa saja yang harus dibuktikan oleh Hakim sendiri.

c. Alat bukti mana saja yang diutamakan untuk dipergunakan dalam pembuktian.

d. Kekuatan pembuktian bukti yang telah diajukan.

47

R. Wiryono, Op.Cit, hlm. 149.

48


(29)

Konsekuensi dari penjelasan Pasal 107 di atas adalah dalam proses pemeriksaan di sidang Pengadilan, hakim tidak tergantung atau tidak terikat pada fakta dan hal yang diajukan oleh Penggugat dan Tergugat, hakim bebas menentukan siapa yang dibebani pembuktian, hakim bebas untuk menentukan alat bukti yang diutamakan untuk dipergunakan dalam pembuktian dan hakim dapat menentukan sendiri kekuatan pembuktian bukti yang diajukan.49

Ajaran pembuktian bebas dalam acara peradilan tata usaha negara secara

eksplisit tertuang dalam Penjelasan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 pada bagian Umum angka 5 menyebutkan:

Ketentuan ini juga sekaligus memberikan aturan bahwa beban pembuktian dalam sengketa Tata Usaha Negara lebih ditentukan oleh hakim.

Dalam undang-undang ini juga diatur mengenai hukum acara yang digunakan dalam proses Peradilan Tata Usaha Negara, yang meliputi hukum acara pemeriksaan tingkat pertama dan hukum acara pemeriksaan tingkat banding. Hukum acara yang digunakan pada Peradilan Tata Usaha Negara mempunyai persamaan dengan hukum acara yang digunakan pada Peradilan Umum untuk perkara perdata, dengan beberapa perbedaan antara lain:

a. Pada Peradilan Tata Usaha Negara, Hakim berperan lebih aktif dalam proses persidangan guna memperoleh kebenaran materil dan untuk itu undang-undang ini mengarah pada ajaran pembuktian bebas;

b. Suatu gugatan Tata Usaha Negara pada dasarnya tidak bersifat menunda pelaksanaan keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan.

Suatu masalah yang sangat penting dalam hukum pembuktian adalah masalah beban pembuktian.50

49

R. Wiryono, Op.Cit, hlm. 150-153.

Bewijslast atau burden of proof atau beban pembuktian adalah pembagian beban pembuktian yang diwajibkan oleh undang-undang untuk

50

Rozali Abdullah, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004), hlm. 92.


(30)

membuktikan suatu peristiwa hukum51 atau kewajiban yang dibebankan kepada suatu pihak untuk membuktikan fakta yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusannya.52 Adanya kesamaan hukum acara peradilan Tata Usaha Negara dengan hukum acara perdata menjadikan penting sesungguhnya melihat permasalahan beban pembuktian ini dari sisi hukum acara perdata. Asas pembagian beban pembuktian dalam hukum acara perdata diatur dalam Pasal 163 Het Herziene Indische Reglement (Reglemen Indonesia Yang Diperbaharui) dan Pasal 1865 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menentukan bahwa kewajiban untuk membuktikan adalah pihak yang mendalilkan suatu hak atau mengukuhkan haknya ataupun untuk membantah suatu hak orang lain atas sebuah peristiwa dan hal ini kemudian melahirkan asas actori incumbit probatio yang bermakna siapa yang menggugat, dialah yang wajib membuktikan53 yang dalam Common Law System dirumuskan dengan kalimat he who asserts must prove (siapa yang menyatakan sesuatu mesti membuktikannya) yang kemudian pedoman ini disebut standar burden of proof yang berlaku sebagai General Rule.54

Kepustakaan mengenal beberapa teori beban pembuktian dalam hukum acara perdata sebagai berikut:

55

1. Teori Beban Pembuktian Affirmatif atau Teori Pembuktian Bersifat Menguatkan Belaka (bloot affirmative).

51

Eddy O.S. Hariej, Teori & Hukum Pembuktian, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2012), hlm. 22.

52

R. Wiyono, Op.Cit, hlm. 150.

53

Ibid, hlm. 22-23.

54

M. Yahya Harahap, Op.Cit, hlm. 523.

55


(31)

Menurut teori ini beban pembuktian hanya dibebankan kepada pihak yang mendalilkan atau mengemukakan sesuatu.

2. Teori Hukum Subjektif56

Teori ini membebankan pembuktian kepada pihak yang meminta agar hakim mengakui hak subjektifnya. Teori ini hanya dapat diterapkan terhadap gugatan sepanjang mengenai hak subjektif, padahal gugatan dapat saja didasarkan tidak saja atas hak subjektif misalnya gugatan mengenai perceraian.

3. Teori Hukum Objektif57

Teori ini meletakkan beban pembuktian kepada pihak yang memohon agar hakim melaksanakan ketentuan-ketentuan tentang hukum objektif yang berlaku atas fakta yang diajukan atau dituntut.

4. Teori Keadilan

Menurut teori ini, beban pembuktian dibebankan kepada pihak yang paling sedikit menanggung beban pembuktian atau yang paling sedikit jika disuruh membuktikan.

Merujuk ketentuan Pasal 107 di atas, dimana ditentukan bahwa hakim Tata Usaha Negara memiliki kewenangan untuk menentukan siapa yang dibebani pembuktian, maka menurut Suparto Wijoyo sebagaimana dikutip oleh R.

56

Hukum Subjektif adalah peraturan hukum yang dihubungkan dengan seseorang yang tertentu sehingga melahirkan hak pada satu sisi dan membebankan kewajiban pada sisi lain. Lihat L.J. van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2001), hlm. 42.

57


(32)

Wiyono,58 “hakim (Tata Usaha Negara-Penulis) dapat menerapkan beban pembuktian terbalik atau pembagian beban yang seimbang sesuai dengan kearifan hakim.” Walaupun dalam Rakernas Mahkamah Agung RI Tahun 2007-2008 disebutkan bahwa ketentuan Pasal 107 UU No. 5 Tahun 1986 dan Penjelasannya dapat dipakai sebagai pedoman. Hakim atif dalam menentukan alat bukti yang harus diajukan dan kepada siapa alat bukti itu dibebankan (dominus litis). Tetapi hakim tidak boleh terlalu aktif, karena pada perinsipnya beban pembuktian ada pada para pihak.59

A. Teori Pembuktian

Bewijstheorie adalah teori pembuktian yang dipakai sebagai dasar pembuktian oleh hakim di pengadilan.60

1. Conviction in Time

Secara umum dikenal empat teori pembuktian yang diuraikan sebagai berikut:

Terbukti atau tidaknya sesuatu ditentukan dan didasarkan semata-mata atas penilaian keyakinan hakim. Keyakinan hakim dengan demikian dominan/ menentukan dalam sistem ini.61 Itulah sebabnya sistem pembuktian jenis ini diartikan sebagai keyakinan semata,62

58

R. Wiyono, Op.Cit, hlm. 152.

Andi Hamzah mengartikannya sebagai

59

R.O.B Siringoringo dkk, Menjawab Permasalahan Teori dan Praktik Peradilan Tata Usaha Negara, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011), hlm. 32.

60

Eddy O.S. Hariej, Op.Cit, hlm. 15.

61

W. Riawan Tjandra, Loc.Cit.

62


(33)

keyakinan hakim melulu. 63 Hakim disini tidak terikat terhadap alat bukti yang ada dalam persidangan, namun cukup atas dasar keyakinan dari hati nurani dan sifat kebijaksanaan hakim, dapat dijatuhkan putusan.64

2. Conviction Raisonnee

Dengan demikian, sistem ini menganut secara mutlak keyakinan hakim tanpa batas dalam memutus perkara. Sistem ini dianut di Amerika dalam persidangan perkara pidana.

Sistem menentukan bahwa keyakinan hakim dapat sebagai dasar dalam memberian putusan tetapi harus dibarengi oleh alasan-alasan yang logis65 atau alasan-alasan yang jelas66. Hakim dalam menjatuhkan sebuah putusan harus menguraikan dan menjelaskan alasan-alasan yang mendasari keyakinannya oleh reasoning yang bersifat logis dan dapat diterima akal.67

3. Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Positif/ Affirmatif (Positief Wettelijke Bewijs Theorie)

Sistem ini dengan demikian tetap mengunggulkan keyakinan hakim tetapi bersifat terbatas.

Sistem pembuktian ini berpedoman pada prinsip pembuktian dengan alat-alat bukti68

63

Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985), hlm. 230.

yang ditentukan oleh undang-undang semata tanpa memerlukan keyakinan

64

Eddy O. S. Hiariej, Loc.Cit.

65

Ibid, hlm. 17.

66

W. Riawan Tjandra, Loc.Cit.

67

Ibid.

68

Alat bukti adalah apa saja yang menurut undang-undang dapat dipakai untuk membuktikan benar atau tidaknya sesuatu (tuduhan). Lihat Yan Pramadya Puspa, Kamus Hukum Edisi Lengkap Bahasa Belanda Indonesia Inggris, (Semarang: Aneka Ilmu, 1977), hlm. 53. Alat bukti (bewijsmiddel) yang diakui dalam acara Peradilan Tata Usaha Negara diatur secara enumerative dalam Pasal 100 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang terdiri dari: Surat atau tulisan, Keterangan Ahli, Keterangan Saksi, Pengakuan Para Pihak dan Pengetahuan Hakim. Dengan ketentuan ini maka alat bukti dalam memeriksa, memutus dan mengadili


(34)

hakim.69 Keyakinan hakim tidak mendapat tempat dan pengaruh dalam sistem ini. Untuk menilai sesuatu terbukti maka sepenuhnya ditentukan oleh bukti-bukti yang ada sesuai dengan jenis alat-alat bukti yang sudah ditentukan oleh undang-undang. Singkatnya hakim terikat secara positif kepada alat bukti menurut undang-undang.70 Teori ini digunakan dalam hukum acara perdata karena kebenaran yang ingin dicari adalah kebenaran formal artinya kebenaran yang hanya didasarkan pada alat bukti semata sebagaimana disebutkan dalam undang-undang.71

4. Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Negatif (Negatief Wettelijke Bewijstheorie)

Pembuktian menurut sistem ini adalah perpaduan antara sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif/ affirmative dengan sistem pembuktian menurut keyakinan hakim semata.72

perkara Tata Usaha Negara adalah bersifat terbatas. Lihat R. Wiyono, Op.Cit, hlm. 154. Menurut Roihan A. Rasyid, fungsi alat bukti dapat dipandang dari dua sisi yaitu: pertama, dari sisi pihak yang berperkara yaitu sebagai alat atau upaya yang dipergunakan untuk meyakinkan hakim dan kedua, dari sisi pengadilan yang memeriksa perkara, maka alat bukti diartikan sebagai alat atau upaya yang dipergunakan hakim untuk memutus perkara. Lihat Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, Edisi Baru, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2002), hlm. 144.

Itu artinya hakim harus memutus berdasarkan adaya alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang kemudian dibarengi dengan keyakinan hakim atas alat-alat bukti dimaksud. Keyakinan hakim disini mestilah timbul belakangan setelah adanya alat-alat bukti dan bukan sebaliknya, singkatnya alat-alat bukti terlebih dahulu ditemukan baru kemudian timbul keyakinan hakim.

69

W. Riawan Tjandra, Op.Cit, hlm. 110. Lihat juga Eddy O.S. Hiariej, Op.Cit, hlm. 15.

70

Eddy O.S. Hariej, Op.Cit, hlm. 15.

71

Ibid, hlm. 16.

72


(35)

Pasal 107 Undang-Undang Nomor Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, berbunyi: “Hakim menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian beserta penilaian pembuktian, dan untuk sahnya pembuktian diperlukan sekurang-kurangnya dua alat bukti berdasarkan keyakinan hakim.” Merujuk ketentuan Pasal 107 di atas, dengan ditambahnya alasan bahwa untuk sahnya pembuktian diperlukan sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti berdasarkan keyakinan hakim, maka menurut Indroharto, sebagaimana dikutip oleh R. Wiryono,73 ajaran pembuktian yang diikuti oleh pembuat undang-undang bukan ajaran pembuktian bebas tetapi ajaran pembuktian bebas terbatas.

B. Teori Kedaulatan Hukum

Istilah kedaulatan hukum berasal dari terjemahan bahasa Inggris, yaitu

souverignity law theory.74

73

R. Wiryono, Op.Cit, hlm. 154.

Teori Kedaulatan Hukum ini dikembangkan oleh Krabbe sebagai reaksi terhadap Teori Kedaulatan Negara. Konsep dari Teori Kedalulatan Negara adalah bahwa negara berada di atas hukum sedangkan konsep dari Teori Kedaulatan Hukum justeru sebaliknya. Hukum sebagai panglima dan hukum berada di atas segala-galanya (law is supreme), konsekuensinya adalah segalanya tunduk kepada hukum itu sendiri, hukum dengan demikian adalah merupakan sumber kedaulatan.

74

H. Salim, Perkembangan Teori dalam Ilmu Hukum, (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2010), hlm. 134.


(36)

Negara yang menjalankan pemerintahannya berdasarkan hukum dinamakan

negara hukum atau nomokrasi (nomoi = hukum; kratein = menguasai, memerintah).75 Indonesia adalah termasuk negara yang menganut teori kedaulatan hukum atau berdasarkan atas hukum (rechtsstaat) bukan berdasarkan kekuasaan belaka (machtsstaat) dan hal ini secara tegas dicantumkan dalam Undang-Undang Dasar 1945.76

Asas-asas negara hukum yang paling fundamental adalah asas legaliteit dan asas perlindungan kebebasan dan hak pokok manusia semua orang yang ada di wilayah negara, hak dan kebebasan mana sesuai dengan kesejahteraan umum.77 Asas legalitas merujuk kepada ketententuan bahwa semua tindakan harus berdasarkan undang-undang sementara asas yang kedua ini lebih kepada perlindungan yang diberikan negara terhadap hak dan kebebasan tiap orang dalam rangka menyelenggarakan kesejahteraan bagi rakyat.78

Sejak semula telah ada kesadaran dan pengakuan secara diam-diam oleh semua orang bahwa undang-undang yang telah ada tidaklah mungkin dapat menjangkau seluruh aktifitas kehidupan bernegara sehingga adagium yang berbunyi bahwa undang-undang akan selalu ketinggalan dari peristiwanya (het rechts hink achter de feiten aan) akan selalu teruji kebenarannya setiap masa. Kehidupan yang sangat terikat dengan trias dinamika yaitu cipta (pikiran), rasa (perasaan) dan karsa

75

Samidjo, Ilmu Negara, (Bandung: CV. Armico, 1986), hlm. 152.

76

Lihat Penjelasan Tentang Undang-Undang Dasar Negara Indonesia pada bagian Sistem Pemertintahan Negara.

77

Samidjo, Op.Cit, hlm. 152.

78


(37)

(kemauan) yang selalu berobah, bergerak dan berkembang bahkan tendensius untuk konteks kekinian semakin cepat (moving speedly), memaksa semua pihak untuk harus rela memberikan kepercayaan atau kewenangan kepada pemerintah untuk bertindak bebas demi tujuan kesejahteraan masyarakat umum. Undang-undang terkadang tidak dapat selalu hadir menjawab kebutuhan dalam rangka menuju kesejahteraan umum dimaksud, maka disinilah peran penting dari ruang kebebasan bertindak pemerintah untuk memberikan keputusan, walaupun sejak awal disadari keputusan itu dapat saja sebagai bentuk penyalahgunaan kewenangan yang dapat merugikan pihak-pihak tertentu sehingga timbul sengketa yang harus diselesaikan. Peradilan Tata Usaha Negara untuk itu tampil sebagai pemecah masalah, karena dalam sebuah negara hukum setiap persoalan tidak dapat dibiarkan tetap ditempatnya. Tindakan pemerintah itu harus diuji dan pada tahap inilah kita perlu membicarakan konsep asas-asas umum pemerintahan yang baik.

Parameter yang dijadikan sebagai tolak ukur pengujian sebuah Keputusan Tata Usaha Negara79 dalam Sengketa Tata Usaha Negara80

79

Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang beralaku, yang bersifat konkret, individual dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Lihat Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

adalah apakah bertentangan dengan undang-undang ataukah bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 53 ayat 2 huruf (a) dan (b)

80

Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Lihat Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.


(38)

Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang berbunyi:

1. Orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan yang berwenang yang berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau direhabilitasi.

2. Alasan-alasan yang dapat digunakan dalam gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:

a. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

b. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.

Merujuk ketentuan Pasal 53 di atas menjadi jelaslah bahwa dalam setiap Sengketa Tata Usaha Negara tidak dapat dilepaskan dari 2 pertanyaan pokok yaitu, 1)

apakah Keputusan Tata Usaha Negara yang dipersoalkan bertantangan dengan undang-undang; dan 2) atau apakah Keputusan Tata Usaha Negara dimaksud bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.

Sesuatu dipersoalkan bertentangan dengan undang-undang adalah ciri khas pokok dari asas legalitas dalam arti yang sempit yaitu berdasarkan undang-undang (wetmatig) tetapi juga dapat dimengerti dalam arti yang luas yaitu legalitas berdasarkan hukum (rechtmatig). Pergeseran konsepsi asas legalitas dari arti yang sempit menuju arti yang luas tidak dapat kita lepaskan dari teori negara hukum formal dan teori negara hukum materil. Menurut Hotma P. Sibuea, teori negara hukum formal memahami asas legalitas dengan kaku yaitu undang-undang semata (wetmatig) tetapi negara hukum materil memahami asas legalitas secara luwes dan


(39)

luas yaitu berdasarkan hukum (rechtmatig).81 Maksud asas legalitas atau asas

legaliteit adalah bahwa semua tindakan alat-alat negara (staatsorganen) harus didasarkan atas dan dibatasi oleh peraturan perundang-undangan.82

Pelopor negara hukum formal adalah Julius Stahl yang menyatakan bahwa ada empat unsur negara hukum formal yaitu:

1. Perlindungan terhadap hak asasi manusia; 2. Pemisahan kekuasaan;

3. Setiap tindakan pemerintah harus berdasarkan peraturan undang-undang; dan 4. Adanya peradilan administrasi yang berdiri sendiri.83

Negara hukum formal sangat memegang teguh asas legalitas dalam arti yang sempit yaitu undang-undang sebagai jantung dan dasar keabsahan segala aktivitas pemerintah.84 Intinya pemerintah tidak dapat bertindak tanpa terlebih dahulu diatur dalam undang-undang. Konsep ini menjadikan pemerintah sangat lambat dan bahkan kesulitan dalam menghadapi arus perkembangan masyarakat yang demikian cepat. Kedudukan pemerintah dalam negara hukum formal memiliki kewenangan untuk campur tangan kedalam kehidupan individu berdasarkan undang-undang tetapi tidak menutup kemungkinan timbulnya konflik yang dapat diuji oleh peradilan administrasi sebagai wujud perlindungan hak-hak individu.85

81

Hotma P. Sibuea, Asas Negara Hukum-Peraturan Kebijakan & Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik, (Jakarta: Erlangga, 2012), hlm. 43.

Negara hukum formal ini lebih fokus

82

Samidjo, Op.Cit, hlm. 153.

83

M. Kusnadi dan Ibrahim Harmaili, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara, 1988), hlm. 112.

84

Hotma P. Sibuea, Op.Cit, hlm. 34.

85


(40)

kepada ketentuan undang-undang saja sehingga hanya memenuhi asas pertama dari asas negara hukum yang paling fundamental yaitu asas legaliteit.

Negara hukum materil disebut dengan istilah “welvaarstaats”,86 atau negara hukum kesejahteraan juga disebut negara hukum sosial (social service state).87 Kedudukan pemerintah dalam negara hukum materil bukan hanya pelaksana undang-undang secara pasif tetapi aktif dan kreatif sehingga dalam hal-hal tertentu pemerintah memiliki kebebasan untuk bertindak atas inisiatif sendiri demi perkembangan baru karena tema sentralnya adalah bertujuan mewujudkan kesejahteraan umum atau kesejahteraan rakyat.88 Dengan demikian negara hukum materil ini disamping memenuhi asas legalitas juga bertindak kreatif untuk mencapai kesejahteraan rakyat sehingga memenuhi asas kedua dari negara hukum, dan Samidjo89

Undang-undang adalah salah satu alat control bagi siapapun untuk tidak bertindak secara sewenang-wenang (arbitrary/ willikeur) termasuk pemerintah. Dengan undang-undang yang jelas diharapkan setiap orang mengetahui hak dan kewajiban masing-masing dalam setiap situasi dan konsidi berserta konsekuensi yuridisnya. Philipus M. Hadjon Dkk menulis,

menyebutnya juga sebagai negara hukum modern (moderne rechtsstaat).

90

Meskipun ada larangan terhadap kesewenangan atau - dengan perumusan yang lebih jelas - ada kewajiban bagi pemerintah untuk mempertimbangkan

86

Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum bagi Rakyak di Indonesia, (Surabaya: Bina Ilmu, 1997), hlm. 77.

87

Hotma P. Sibuea, Op.Cit, hlm. 37.

88

Ibid, hlm. 39-40.

89

Samidjo, Op.Cit, hlm. 153.

90

Philipus M. Hadjon, Dkk, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2001), hlm. 267.


(41)

dengan baik dan cermat tidap keadaan tersendiri yaitu tiap bagian memperoleh penilaian yang sesuai, namun tetap ada resiko dihasilkannya keputusan-keputusan yang kurang baik.

Menilai keabsahan Keputusan Tata Usaha Negara selain dapat dilakukan dari sudut undang-undang, masih dimungkinkan untuk mengujinya dari sudut asas-asas umum pemerintahan yang baik (Inggris: general principle of good administration,

Belanda: algemene beginselen van behoorlijke bestuur, Prancis: principle generaux du droit publique, Belgia: algemene rechts beginselen).

Asas-asas umum pemerintahan yang baik (AAUPB) ini erat kaitannya dengan peraturan kebijakan. Kebijakan timbul karena adanya kebebasan bertindak (freis ermessen atau diskresi) bagi pemerintah yang diakui dalam negara hukum materil. Hotma P. Sibuea menulis,91

Peraturan kebijakan tidak diuji dari segi hukum (rechtmatig) seperti halnya dengan peraturan perundang-undangan, tetapi dari segi kemanfaatan (doelmatig) peraturan kebijakan tersebut. Oleh karena itu kriteria yang dipakai untuk menguji peraturan kebijakan tidak sama dengan pengujian undang-undang yang mempergunakan norma-norma peraturan perundang-undang-undang-undangan yang lebih tinggi. Kriteria yang digunakan adalah asas-asas umum pemerintahan yang baik.

“pengujian terhadap peraturan kebijakan tersebut tentu saja dilakukan dalam rangka pengawasan kekuasaan judicial terhadap kekuasaan pemerintah yang bersifat bebas (freis ermessen atau diskresi)”. Selanjutnya Hotma P. Sibuea menulis:

Asas-asas umum pemerintahan yang baik dapat dipandang sebagai aturan hukum yang tidak tertulis yang dirumuskan sebagai asas-asas yang tidak ada pertentangan asasi dengan hukum tertulis, terutama untuk pengambilan Keputusan

91


(42)

Tata Usaha Negara dalam hal pemerintah memiliki ruang kebijaksanaan.92 Tujuan yang hendak dicapai dalam pengujian kebijakan bukan untuk memelihara keutuhan tata hukum (sebagaimana halnya pengujian undang-undang karena bersifat hirarchis sehingga satu peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan ketentuan yang lebih tinggi-penulis) tetapi untuk mencegah penyalahgunaan kewenangan oleh pemerintah atau pejabat administrasi negara supaya tidak melanggar hak-hak individu dan merugikan rakyat (karena peraturan kebijakan tidak mengenal hirarchis-penulis).93

Kepustakaan tidak mengenal secara pasti jenis-jenis AAUPB, hal ini mungkin dikarenakan asas adalah sesuatu yang sangat abstrak yang dapat bergerak, berobah dan juga berkembang sesuai dengan kesadaran nilai-nilai dan kesadaran hukum suatu bangsa atau tulis Philipus M. Hadjon,94 karena asas itu merupakan “levende beginselen” yang berkembang menurut praktek khusus melalui peradilan. AAUPB ini juga dapat disebut sebagai asas hukum karena berisi tentang aturan bagaimana seharusnya. Jadi asas hukum, tulis Sudikno Mertokusumo, 95

92

Philipus M. Hadjon, Dkk, Op.Cit, hlm. 268.

bukanlah kaedah hukum yang konkrit, melainkan merupakan latar belakang peraturan yang konkrit dan bersifat umum atau abstrak, dan pada umumnya asas hukum itu berubah mengikuti kaedah hukumnya, sedangkan kaedah hukum akan berobah mengikuti perkembangan masyarakat, jadi terpengaruh oleh waktu dan tempat”.

93

Hotma P. Sibuea, Op.Cit, hlm. 150.

94

Philipus M. Hadjon, Dkk, Op.Cit, hlm. 280.

95

Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 1999), hlm. 35.


(43)

Kuntjoro Purbopranoto sebagaimana dikutip oleh Philipus M. Hadjon,96

1. Asas kepastian hukum (principle of legal security) ; mengetengahkan 13 AAUPB, yaitu:

2. Asas keseimbangan (principle of proportionality) ; 3. Asas kesamaan (principle of equality) ;

4. Asas bertindak cermat (principle of carefuleness) ;

5. Asas motivasi untuk setiap keputusan pangreh (principle of motivation) ; 6. Asas jangan mencampuradukkan kewenangan (principle of non misuse of

compentence) ;

7. Asas permainan yang layak (principle of fair play) ;

8. Asas keadilan dan kewajaran (principle of reasonableness or prohibition of arbitrariness) ;

9. Asas menanggapi pengharapan yang wajar (principle of meeting raised expectation) ;

10.Asas meniadakan akibat-akibat suatu keputusan yang batal (principle of undoing the consequences of an annulled decision) ;

11.Asas perlindungan atas pandangan hidup (cara hidup) pribadi (principle of protecting the personal way of life) ;

12.Asas kebijaksanaan (sapientia) ;

13. Asas penyelenggaraan kepentingan umum (principle of public service) ; Asas-asas tersebut di atas pada awalnya adalah asas yang disampaikan oleh Crince Le Roy dari asas yang pertama hingga asas nomor sebelas, tetapi kemudian asas dua terakhir ditambah oleh Kuntjoro Purbopranoto untuk konteks Indonesia.97

Perkara Nomor 52/G.TUN/2005/PTUN-MDN yang menjadi telaahan dalam penelitian ini mempertimbangkan bahwa Tergugat telah melanggar AAUPB karena tidak mengindahkan asas akuntabilitas yang menurut pengadilan adalah sebagai bagian dari AAUPB. Itu artinya untuk konteks Indonesia asas-asas tersebut di atas ditambah lagi dengan satu asas lagi yaitu asas akuntabilitas sebagaimana tercantum

96

Philipus M. Hadjon Dkk, Op.Cit, hlm. 279.

97


(44)

dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.

Asas akuntabilitas dalam pertimbangan hakim di atas adalah sebagai repleksi dari ketentuan Pasal 3 angka 7 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelengaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme yang dalam penjelasannya menyebutkan:

Yang dimaksud dengan asas akuntabilitas adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggaraan negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Tampaklah bahwa dalam sebuah negara yang menganut kedaulatan hukum maka segala tindak tanduk seluruh warga negara dan penyelenggara negara harus sesuai dengan aturan hukum dan khusus terhadap tindakan badan atau pejabat negara yang didasarkan atas kebebasan bertindak dalam mengambil keputusan dapat diuji tidak saja berdasarkan undang-undang tetapi juga harus selaras dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.

2. Landasan Konsepsional

Dalam penelitian ini digunakan beberapa istilah sebagai kerangka konsepsional untuk menghindari kesalahpahaman mengenai defenisi atau pengertian sebuah istilah sebagai berikut:

a. Analisis yuridis adalah sebuah cara untuk melakukan pengkajian secara mendalam baik secara deskriptif maupun preskriptif dari sudut pandang yuridis


(45)

terhadap suatu persoalan yang dalam hal ini yaitu Putusan Nomor 52/G.TUN/2005/PTUN-MDN.

b. Pemberhentian Dengan Hormat adalah pengakhiran masa dinas Kepolisian oleh pejabat yang berwenang terhadap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-udangan yang berlaku.98

c. Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah pegawai negeri pada Kepolisian Negara Republik Indonesia.99

d. Polri adalah Polisi Republik Indonesia sebagai salah satu fungsi pemerintahan negara dibidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.

e. Kedaulatan Hukum adalah sebuah konsep dimana hukum berada di atas segalanya termasuk negara maupun kekuasaan dan hukum merupakan sumber kedaulatan. f. Gugatan Tata Usaha Negara adalah permohonan yang berisi tuntutan terhadap

Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dan diajukan ke pengadilan untuk mendapatkan putusan.100

g. Peradilan Tata Usaha Negara adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan terhadap sengketa Tata Usaha Negara.101

98

Pasal 1 angka 4 Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2003 Tentang Pemberhentian Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.

99

Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

100

Pasal 1 angka 11 Unang-Undang No. 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1989 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

101

Pasal 4 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.


(46)

h. Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara No. 52/G.TUN/2005/PTUN-MDN adalah sebuah Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Medan yang berkaitan dengan gugatan terhadap pembatalan Surat Keputusan Kapolda Sumatera Utara No.Pol: Skep/89/III/2005 tanggal 21 Maret 2005.

G. Metode Penelitian

Cara kerja keilmuan salah satunya ditandai dengan penggunaan metode (Inggris: method, Latin: methodus, Yunani: methodos- meta berarti sesudah, diatas, sedangkan hodos berarti suatu jalan, suatu cara).102 Metode adalah cara kerja atau tata kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran penelitian dari ilmu pengetahuan yang bersangkutan.103 Sedangkan penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa dan konstruksi, yang dilakukan secara metodologis, sistematis dan konsisten.104 Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisanya.105

102

Johnny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Bayumedia Publishing, 2011), hlm. 25-26.

Kecuali itu, maka juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut, untuk kemudian mengusahakan sesuatu pemecahan

103

Soerjono Soekanto, Ringkasan Metodologi Penelitian Hukum Empiris, (Jakarta: Indonesia Hillco, 1990), (selanjutnya disingkat Soerjono Soekanto I), hlm. 106.

104

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia Pres-UI Press, 1986) (selanjutnya disingkat Soerjono Soekanto II), hlm. 42.

105

Soerjono Soekanto II, Op.Cit, hlm. 43. Bandingkan dengan Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, (Jakarta: Sinar Garafika, 1996), hlm. 6.


(47)

atas permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam gejala yang bersangkutan.106

1. Jenis Dan Sifat Penelitian

Berdasarkan uraian di atas dapatlah disimpulkan bahwa metode penelitian adalah sebuah upaya yang dilakukan berdasarkan metode tertentu secara ilmiah berkaitan dengan analisa dan konstruksi, guna memahami, manganalisis, memecahkan suatu masalah dan mencari kebenaran.

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif (yuridis normatif). Penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum maupun doktrin-doktrin guna menjawab isu hukum yang dihadapi.107 Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang meletakkan hukum sebagai sebuah bangunan sistem norma. Sistem norma yang dimaksud adalah mengenai asas-asas, norma, kaidah dari peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, perjanjian serta doktrin (ajaran).108 Adapun sifat penulisan ini adalah analisis deskriptif109 dengan pendekatan analitis (analytical approach)110 dan pendekatan perundang-undangan (statute approach)111

106

Ibid.

yaitu

107

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), hlm. 35.

108

Mukti Fajar ND & Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris, (Yokyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 34.

109

Deskriptif bertujuan untuk memberikan gambaran atau pemaparan atas subjek dan objek penelitian. Lihat, ibid, hlm. 183.

110

Ibid, hlm. 187. Pendekatan analisis ini digunakan oleh peneliti dalam rangka melihat suatu fenomena kasus yang telah diputus oleh pengadilan dengan cara melihat analisis yang dilakukan oleh ahli hukum yang dapat digunakan oleh hakim dalam pertimbangannya.

111

Johnny Ibrahim, Op.Cit, hlm. 302. Suatu Penelitian Normatif tentu harus menggunakan pendekatan perundang-undangan, karena yang akan diteliti adalah berbagai aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral suatu penelitian. Bandingkan dengan Peter Mahmud Marzuki,


(1)

ataupun tidak dengan hormat yang dengan tersedianya upaya administratif ini diharapkan lebih menjaga semangat de’ corps dan sekaligus sebagai pengawasan struktural.

2. Pejabat Tata Usaha Negara secara umum dan khususnya di lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam menerbitkan sebuah Surat Keputusan Tata Usaha Negara diharapkan mengikuti aturan perundang-undangan yang ada dan mencerminkan kesesuaian dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik misalnya asas akuntabilitas sebagai salah satu asas umum penyelenggaraan negara yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. 3. Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara perlu mendapat penyempurnaan

terkait masalah eksekusi Putusan. Diperlukan aturan-aturan yang tegas yang memberikan kedudukan bagi pejabat pemaksa sebagai eksekutor dan sanksi yang tegas bagi yang tidak beriktikad baik untuk memenuhi isi putusan sebagaimana halnya pada lembaga peradilan lainnya demi menjaga kewibawaan sebuah putusan pengadilan sebagai mahkota hakim. Undang-Undang Nomor Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia beserta peraturan terkait juga perlu mendapat penyempurnaan agar tertampung didalamnya mekanisme hukum yang wajib ditempuh Pejabat Tata Usaha Negara dilingkungan Polri dalam melaksanakan sebuah putusan Pengadilan Tata Usaha Negara.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku-Buku

Abdullah, Rozali, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Jakarta, PT. RajaGrafindo Persada, 2004.

Apeldoorn, L.J. van, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta, Pradnya Paramita, 2001.

Arief, Barda Nawawi, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Edisi Revisi, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 2002.

Djamali. Abdoel, Pengantar Hukum Indonesia, (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2001.

Fuady, Munir, Teori Hukum Pembuktian (Pidana dan Perdata), Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 2006.

Hadjon, Philipus M., et.all, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Yogyakarta, Gadjah Mada University Press, 2001.

Hadjon, Philipus M., Perlindungan Hukum bagi Rakyak di Indonesia, Surabaya, Bina Ilmu, 1997.

Hamzah, Andi, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1985.

Harahap, M. Yahya, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan Persidangan Penyitaan Pembuktian dan Putusan Pengadilan, Jakarta, Sinar Grafika, 2005. _______________, Kekuasaan Mahkamah Agung Pemeriksaan Kasasi dan

Peninjauan Kembali Perkara Perdata, Jakarta, Sinar Grafika, 2008.

_______________, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, Edisi Kedua, Jakarta, Sinar Grafika, 2007.

Hariej, Eddy O.S., Teori & Hukum Pembuktian, Jakarta, Penerbit Erlangga, 2012. Ibrahim, Johnny, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang,


(3)

Kanter, E.Y. & S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Jakarta, Storia Grafika, 2002.

Karjadi, M., Polisi: Filsafat dan Perkembangan Hukumnya, Bogor, Politeia, 1978. Kusnadi, M. dan Ibrahim Harmaili, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia,

Jakarta, Pusat Studi Hukum Tata Negara, 1988.

Lubis, M. Solly, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Bandung, Mandar Maju, 1994.

Makarao, M. Taufik, Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata, Jakarta, Bina Cipta, 2004. Margono, Suyud, Aspek Hukum Komersialisasi Aset Intelektual, Bandung, Nuansa

Aulia, 2010.

Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2010.

Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta, Liberty, 1999.

___________, Teori Hukum, Edisi Revisi, Yokyakarta, Cahaya Atma Pustaka, 2012. Moleong, Lexy J., Metode Penlitian Kualitatif, Bandung, PT. Remaja Rosdakarya,

2006.

Muhammad, Rusli, Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, Yogyakarta, UII Press, 2011.

Muladi & Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Edisi Revisi, Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2012.

Mulyadi, Lilik, Kompilasai Hukum Pidana dalam Perspektif Teoritis dan Praktik Peradilan, Bandung, Mandar Maju, 2010.

Nasional, Departemen Pendidikan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008.

ND, Mukti Fajar & Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris, Yokyakarta, Pustaka Pelajar, 2010.

Purwaningsih, Endang, Hak Kekayaan Intelektual dan Lisensi, Bandung, CV. Mandar Maju, 2012.


(4)

Puspa, Yan Pramadya, Kamus Hukum Edisi Lengkap Bahasa Belanda Indonesia Inggris, Semarang, Aneka Ilmu, 1977.

Rahardjo, Satjipto, Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, Yogyakarta, Genta Publishing, 2009.

Rasyid, Roihan A., Hukum Acara Peradilan Agama, Edisi Baru, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2002.

Salim, H., Perkembangan Teori dalam Ilmu Hukum, Jakarta, PT. Rajagrafindo Persada, 2010.

Samidjo, Ilmu Negara, Bandung, CV. Armico, 1986. Satrio, J., Hukum Waris, Bandung, Alumni, 1992.

Sibuea, Hotma P., Asas Negara Hukum-Peraturan Kebijakan & Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik, Jakarta, Erlangga, 2012.

Siringoringo, R.O.B, et.all, Menjawab Permasalahan Teori dan Praktik Peradilan Tata Usaha Negara, Bogor, Ghalia Indonesia, 2011.

Sjahdeini, Sutan Remy, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Jakarta, Grafiti Pers, 2007.

Sjahdeini, Sutan Remy, Seluk Beluk Tindak Pidana Pencucian Uang dan Pembiayaan Terorisme, Jakarta, Pustaka Utama Grafiti, 2007.

Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, Universitas Indonesia Pres-UI Press, 1986.

________________, Ringkasan Metodologi Penelitian Hukum Empiris, Jakarta: Indonesia Hillco, 1990.

Subekti, R., Hukum Pembuktian, Jakarta, Pradnya Paramita, 2008.

Sutantio, Retno Wulan & Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, Bandung, Alumni, 1979.

Tanya, Bernad L., Yoan N Simanjuntak dan Markus Y Hage, Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang Dan Generasi, Yogyakarta, Genta Publishing, 2010.


(5)

Tjandra, W. Riawan, Teori dan Praktik Peradilan Tata Usaha Negara, Edisi Revisi, Yogyakarta, Cahaya Atma Pustaka, 2012.

Waluyo, Bambang, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Jakarta, Sinar Garafika, 1996. Wiryono, R., Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Jakarta, Sinar Grafika,

2007.

B. Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang No. 9 tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara jo Undang-Undang No. 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2003 Tentang Pemberhentian Anggota Polri. Keputusan Kapolri Nomor Pol: Kep/74/XI/2003 tanggal 10 Nopember 2003 Tentang

Pokok-Pokok Penyusunan Lapis-Lapis Pembinaan Sumber Daya Manusia Polri.

Lampiran Surat Keputusan Kapolri No.Pol.: SKEP/984/XII/2003 tanggal 23 Desember 2003 tentang Buku Petunjuk Teknis Pemeriksaan Kesehatan Calon/Anggota Polri Serta Calon/PNS Polri.

C. Makalah, Jurnal, Artikel

Manan, Bagir (Mantan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia), Penegakan Hukum Dalam Perkara Pidana, Artikel disampaikan di Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung (UNISULA), Semarang pada tanggal 20 Januari 2010. Dimuat dalam Majalah Hukum Varia Peradilan, Tahun XXV No. 296 Juli 2010.


(6)

D. Internet

diakses tanggal 19-10-2012.


Dokumen yang terkait

Analisis Yuridis Terhadap Tindakan Pemberhentian Dengan Hormat Pada Anggota POLRI (Studi Kasus Atas Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Medan Nomor 52/G.TUN/2005/PTUN-Medan)

0 76 143

Tinjauan Hukum Kekuatan Sertifikat Hak Milik Diatas Tanah Yang Dikuasai Pihak Lain (Studi Kasus Atas Putusan Perkara Pengadilan Tata Usaha Negara Medan NO.39/G.TUN/2006/PTUN.MDN)

4 67 127

Analisis Yuridis Pemberian Kuasa Blanko Pada Akta Perikatan Jual Beli (Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor : 51/PDT.G/2009/PN.Mdn)

1 86 130

Analisis Yuridis Kompetensi Pengadilan Niaga Dalam Perkara Kepailitan (Studi Kasus Terhadap Putusan Nomor 65/PAILIT/2010/PN.NIAGA.JKT.PST)

1 81 151

Analisis Yuridis Atas Kegagalan Pengembang Dalam Memenuhi Klausula Jual Beli Apartemen (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 69/PDT.G/2008/PN.MDN)

0 67 123

Analisis Yuridis Atas Perbuatan Notaris Yang Menimbulkan Delik-Delik Pidana (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Medan NO. 2601/Pid.B/2003/PN.Mdn)

0 60 119

Kepatuhan Hukum Pejabat Dalam Mentaati Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Di Medan

0 27 5

Analisis Yuridis Atas Harta Gono-Gini Yang Dihibahkan Ayah Kepada Anak: Studi Kasus Putusan Pengadilan Agama Medan NO.691/Pdt.G/2007/PA.Medan

0 89 133

Analisis Putusan Pengadilan Tentang Perbuatan Melawan Hukum dan Wanprestasi (Studi Kasus Putusan Nomor 35/Pdt.G/2012/PN.YK dan Putusan Nomor 42/Pdt.G/2012/PN.YK)

1 9 63

Tinjauan Yuridis Terhadap Pelaksanaan Uang Paksa (Dwangsom) Dan Sanksi Administratif Dalam Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara

3 24 42