Hasil penelitian ini diharapkan dapat memenuhi kebutuhan sebagai masukan bagi para pembentuk undang-undang pada tahap formulasi dan para penegak
hukum pada tahap aplikasi dan eksekusi dan juga diharapkan berguna bagi akademisi guna pengembangan teori ilmu hukum khususnya hukum
administrasi dan undang-undang yang terkait dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia beserta peraturan pelaksananya termasuk peraturan terkait
pemberhentian anggota Polri disatu sisi dan kepentingan masyarakat di sisi lain sesuai dengan kebutuhan masyarakat Indonesia dewasa ini.
2. Secara Praktis
Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi masyarakat secara umum dan khususnya bagi setiap aparat kepolisian Republik Indonesia untuk mengetahui
hak-hak dan kewajibannya jika berhadapan dengan masalah pemberhentian baik itu pemberhentian dengan hormat maupun pemberhentian tidak dengan
hormat.
E. Keaslian Penulisan
Kejujuran intelektual adalah sesuatu yang dituntut dalam dunia akademik karena itulah duplikasi atau plagiat terhadap karya inteletualitas orang lain secara tidak sah
adalah perbuatan yang nista. Guna menghindari duplikasi terhadap karya dan permasalahan yang sama, maka sebelumnya telah dilakukan penelusuran di
perpustakaan Universitas Sumatera Utara dan di Perpustakaan Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Hasil
Universitas Sumatera Utara
penelusuran dimaksud ternyata tidak menemukan judul penelitian tesis yang memiliki kesamaan atau kemiripan judul dan substansi permasalahan yang sama
sebagaimana penelitian ini. Berdasarkan penelusuran di Perpustakaan Program Studi Magister Ilmu Hukum
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara tidak ditemukan satupun Judul Thesis terdahulu yang membahas seputar Pemberhentian Dengan Hormat dari Anggota Polri
dalam kaitannya degan perkara Register Nomor 52G.Tun2005PTUN-Mdn. Dengan demikian penelitian ini belum pernah diangkat menjadi sebuah karya tulis
maupun tesis, maka otentikasinya dapat peneliti jamin tidak tersentuh oleh unsur plagiat terhadap karya tulis pihak lain.
F. Kerangkan Teori Dan Landasan Konsepsi 1. Kerangka Teori
Teori dalam penelitian ilmiah adalah sebuah kemestian karena merupakan inti dari penelitian ilmiah dimaksud.
28
Teori secara bahasa adalah pendapat yang didasarkan pada penelitian dan penemuan, didukung oleh data dan argumentasi.
29
Kata teori berasal dari kata theoria yang artinya pandangan atau wawasan.
30
28
Mukti Fajar ND Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif Empiris, Yokyakarta: Pustaka Pelajar, 2010, hlm. 92.
Selain itu teori juga dapat berarti pendapat yang dikemukakan sebagai keterangan mengenai
29
Departemen Pendidikan Nasional, Op.Cit, hlm. 1444.
30
Sudikno Mertokusumo, Teori Hukum, Edisi Revisi, Yokyakarta: Cahaya Atma Pustaka, 2012, hlm. 4.
Universitas Sumatera Utara
peristiwa atau kejadian,
31
atau dapat juga berarti kegiatan kreatif.
32
Theoria juga dapat bermakna sebagai pengetahuan dan pengertian terbaik.
33
Pada umumnya, teori diartikan sebagai pengetahuan yang hanya ada dalam alam pikiran tanpa dihubungkan
dengan kegiatan-kegiatan yang bersifat praktis untuk melakukan sesuatu.
34
Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, thesis mengenai
sesuatu kasus atau permasalahan problem yang menjadi bahan perbandingan atau pegangan toritis.
35
Teori dalam penelitian ini adalah terkait dengan pemeriksaan perkara di pengadilan sehingga segala sesuatu yang terkait dengan pembuktian adalah suatu hal
yang sangat memegang peranan penting maka teori pembuktian menjadi sebuah keharusan dalam menganalisa penelitian ini. Disamping itu karena penelitian ini juga
terkait dengan pengujian terhadap Surat Keputusan Tata Usaha Negara sebagai produk hukum maka teori kedaulatan hukum dalam kaitannya dengan asas-asas
umum pemerintahan yang baik juga digunakan sebagai teori pembahasan penelitian ini. Pemilihan penggunaan teori-teori tersebut sebagai pisau analisis dalam penelitian
ini karena kedua teori tersebut menurut peneliti telah cukup untuk memandu dan mengungkap sekaligus memberikan penilaian terhadap fakta dan peristiwa hukum
yang ingin dibahas.
31
Ibid.
32
Jan Gijssels, sebagaimana dikutif oleh Ibid.
33
Bernad L. Tanya, dkk, Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang Dan Generasi, Yogyakarta: Genta Publishing, 2010, hlm. 41.
34
Sudikno Mertokusumo, Loc.Cit.
35
M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Bandung: Mandar Maju, 1994, hlm. 27.
Universitas Sumatera Utara
Pembuktian memiliki arti penting atau hanya diperlukan jika terjadi persengketaan atau perkara di pengadilan.
36
Pembuktian adalah penyajian alat-alat bukti yang sah menurut hukum kepada hakim yang memeriksa suatu perkara guna
memberikan kepastian tentang kebenaran peristiwa yang dikemukakan.
37
Pembuktian merupakan tahapan yang sangat menentukan putusan dalam proses peradilan.
38
Ketika ada upaya untuk meyakinkan kebenaran dalil-dalil yang dikemukakan dimuka sidang dalam suatu sengketa maka uapaya ini disebut sebagai membuktikan.
39
Pembuktian sesuatu hal dengan tujuan mencari kebenaran yang dilakukan oleh pengadilan dengan aturan-aturan kaidah-kaidah tertentu disebut sebagai hukum
pembuktian law of evidence. Hukum pembuktian adalah hukum yang mengatur tentang tata cara untuk menetapkan terbuktinya fakta yang menjadi dasar dari
pertimbangan dalam menjatuhkan suatu putusan.
40
Munir Fuadi menyatakan bahwa hukum pembuktian adalah seperangkat kaidah hukum yang mengatur tentang
pembuktian.
41
36
R. Subekti, Hukum Pembuktian, Jakarta: Pradnya Paramita, 2008, hlm. 7.
Fakta yang dapat menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan dapat terdiri dari: 1 fakta hukum yaitu kejadian-kejadian atau
keadaan-keadaan yang eksistensinya keberadaannya tergantung dari penerapan suatu peraturan perundang-undangan; 2 fakta biasa yaitu kejadian-kejadian atau
37
M. Taufik Makarao, Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata, Jakarta: Bina Cipta, 2004, hlm. 93.
38
W. Riawan Tjandra, Teori dan Praktik Peradilan Tata Usaha Negara, Edisi Revisi, Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, 2012, hlm. 109.
39
R. Subekti, Op.Cit, hlm. 5.
40
R. Wiryono, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Jakarta: Sinar Grafika, 2007, hlm. 148.
41
Munir Fuady, Teori Hukum Pembuktian Pidana dan Perdata, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2006, hlm. 1.
Universitas Sumatera Utara
keadaan-keadaan yang juga ikut menentukan adanya fakta hukum tertentu ; dan 3 fakta notoir yaitu keadaan atau kejadian yang telah diketahui oleh umum.
42
Pembuktian berkaitan dengan kemampuan merekonstruksi kejadian atau peristiwa masa lalu past even sebagai suatu kebenaran truth.
43
Menurut Munir Fuady
44
Yang dimaksud dengan pembuktian dalam ilmu hukum adalah suatu proses, baik dalam acara perdata, acara pidana, maupun acara-acara lainnya, dimana
dengan menggunakan alat-alat bukti yang sah, dilakukan tindakan dengan prosedur khusus, untuk mengetahui apakah suatu fakta atau pernyataan,
khususnya fakta atau pernyataan yang dipersengketakan di pengadilan yang dianjukan dan dinyatakan oleh salah satu pihak dalam proses pengadilan itu
benar atau tidak seperti yang dinyatakan itu. :
Kamus Besar Bahasa Indonesia,
45
Teori hukum pembuktian mengajarkan agar suatu alat bukti dapat dipakai sebagai alat bukti di pengadilan diperlukan beberapa syarat yaitu :
mengartikan pembuktian sebagai proses, cara, perbuatan atau cara membuktikan, sedangkan membuktikan diartikan sebagai
memperlihatkan bukti, meyakinkan dengan bukti dan bukti adalah sesuatu yang menyatakan kebenaran suatu peristiwa, keterangan nyata. Dengan demikian arti alat
bukti adalah alat yang berguna untuk menyatakan kebenaran suatu peristiwa.
46
1. Diperkenankan oleh undang-undang untuk dipakai sebagai alat bukti.
2. Reliability, yakni alat bukti tersebut dapat dipercaya keabsahannya
misalnya tidak palsu. 3.
Necessity, yakni alat bukti tersebut memang diperlukan untuk membuktikan suatu fakta.
42
R. Wiryono, Loc.Cit.
43
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan Persidangan Penyitaan Pembuktian dan Putusan Pengadilan, Jakarta: Sinar Grafika, 2005, hlm. 496.
44
Munir Fuady, Op.Cit, hlm. 1-2.
45
Departemen Pendidikan Nasional, Op.Cit, hlm. 217-218.
46
Munir Fuady, Op.Cit, hlm. 4.
Universitas Sumatera Utara
4. Relevance, yakni alat bukti tersebut mempunyai relevansi dengan fakta
yang akan dibuktikan. Ajaran pembuktian dalam proses pemeriksaan perkara di Pengadian Tata
Usaha Negara adalah menganut “ajaran pembuktian bebas”. Ajaran pembuktian bebas atau teori pembuktian bebas menurut Sudikno Mertokusumo sebagaimana
dikutip oleh R. Wiryono
47
adalah “ajaran atau teori yang tidak menghendaki adanya ketentuan-ketentuan yang mengikat hakim, sehingga sejauh mana pembuktian
dilakukan diserahkan kepada hakim”. Pembuktian bebas diterapkan dalam sengketa Tata Usaha Negara adalah dimaksudkan untuk memperoleh kebenaran materil dan
bukan kebenaran formil.
48
Ajaran pembuktian bebas ini secara implisit ditegaskan dalam Penjelasan Pasal 107 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradian Tata Usaha Negara
yaitu : Pasal ini mengatur ketentuan dalam rangka usaha menemukan kebenaran
materil. Berbeda dengan sistem hukum pembuktian dalam Hukum Acara Perdata, maka dengan memperhatikan segala sesuatu yang terjadi dalam
pemeriksaan, tanpa bergantung pada fakta dan hal yang diajukan oleh para pihak, hakim Peradilan Tata Usaha Negara dapat menentukan sendiri:
a.
Apa yang harus dibuktikan. b.
Siapa yang harus dibebani pembuktian, hal apa yang harus dibuktikan oleh pihak yang berperkara dan hal apa saja yang harus dibuktikan oleh
Hakim sendiri. c.
Alat bukti mana saja yang diutamakan untuk dipergunakan dalam pembuktian.
d. Kekuatan pembuktian bukti yang telah diajukan.
47
R. Wiryono, Op.Cit, hlm. 149.
48
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Konsekuensi dari penjelasan Pasal 107 di atas adalah dalam proses pemeriksaan di sidang Pengadilan, hakim tidak tergantung atau tidak terikat pada
fakta dan hal yang diajukan oleh Penggugat dan Tergugat, hakim bebas menentukan siapa yang dibebani pembuktian, hakim bebas untuk menentukan alat bukti yang
diutamakan untuk dipergunakan dalam pembuktian dan hakim dapat menentukan sendiri kekuatan pembuktian bukti yang diajukan.
49
Ajaran pembuktian bebas dalam acara peradilan tata usaha negara secara eksplisit tertuang dalam Penjelasan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 pada
bagian Umum angka 5 menyebutkan: Ketentuan ini juga sekaligus
memberikan aturan bahwa beban pembuktian dalam sengketa Tata Usaha Negara lebih ditentukan oleh hakim.
Dalam undang-undang ini juga diatur mengenai hukum acara yang digunakan dalam proses Peradilan Tata Usaha Negara, yang meliputi hukum acara
pemeriksaan tingkat pertama dan hukum acara pemeriksaan tingkat banding. Hukum acara yang digunakan pada Peradilan Tata Usaha Negara mempunyai
persamaan dengan hukum acara yang digunakan pada Peradilan Umum untuk perkara perdata, dengan beberapa perbedaan antara lain:
a.
Pada Peradilan Tata Usaha Negara, Hakim berperan lebih aktif dalam proses persidangan guna memperoleh kebenaran materil dan untuk itu
undang-undang ini mengarah pada ajaran pembuktian bebas; b.
Suatu gugatan Tata Usaha Negara pada dasarnya tidak bersifat menunda pelaksanaan keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan.
Suatu masalah yang sangat penting dalam hukum pembuktian adalah masalah beban pembuktian.
50
49
R. Wiryono, Op.Cit, hlm. 150-153.
Bewijslast atau burden of proof atau beban pembuktian adalah pembagian beban pembuktian yang diwajibkan oleh undang-undang untuk
50
Rozali Abdullah, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004, hlm. 92.
Universitas Sumatera Utara
membuktikan suatu peristiwa hukum
51
atau kewajiban yang dibebankan kepada suatu pihak untuk membuktikan fakta yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam
menjatuhkan putusannya.
52
Adanya kesamaan hukum acara peradilan Tata Usaha Negara dengan hukum acara perdata menjadikan penting sesungguhnya melihat
permasalahan beban pembuktian ini dari sisi hukum acara perdata. Asas pembagian beban pembuktian dalam hukum acara perdata diatur dalam Pasal 163 Het Herziene
Indische Reglement Reglemen Indonesia Yang Diperbaharui dan Pasal 1865 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menentukan bahwa kewajiban untuk membuktikan
adalah pihak yang mendalilkan suatu hak atau mengukuhkan haknya ataupun untuk membantah suatu hak orang lain atas sebuah peristiwa dan hal ini kemudian
melahirkan asas actori incumbit probatio yang bermakna siapa yang menggugat, dialah yang wajib membuktikan
53
yang dalam Common Law System dirumuskan dengan kalimat he who asserts must prove siapa yang menyatakan sesuatu mesti
membuktikannya yang kemudian pedoman ini disebut standar burden of proof yang berlaku sebagai General Rule.
54
Kepustakaan mengenal beberapa teori beban pembuktian dalam hukum acara perdata sebagai berikut:
55
1. Teori Beban Pembuktian Affirmatif atau Teori Pembuktian Bersifat Menguatkan
Belaka bloot affirmative.
51
Eddy O.S. Hariej, Teori Hukum Pembuktian, Jakarta: Penerbit Erlangga, 2012, hlm. 22.
52
R. Wiyono, Op.Cit, hlm. 150.
53
Ibid, hlm. 22-23.
54
M. Yahya Harahap, Op.Cit, hlm. 523.
55
R. Wiyono, Op.Cit, hlm. 151-152.
Universitas Sumatera Utara
Menurut teori ini beban pembuktian hanya dibebankan kepada pihak yang mendalilkan atau mengemukakan sesuatu.
2. Teori Hukum Subjektif
56
Teori ini membebankan pembuktian kepada pihak yang meminta agar hakim mengakui hak subjektifnya. Teori ini hanya dapat diterapkan terhadap gugatan
sepanjang mengenai hak subjektif, padahal gugatan dapat saja didasarkan tidak saja atas hak subjektif misalnya gugatan mengenai perceraian.
3. Teori Hukum Objektif
57
Teori ini meletakkan beban pembuktian kepada pihak yang memohon agar hakim melaksanakan ketentuan-ketentuan tentang hukum objektif yang berlaku
atas fakta yang diajukan atau dituntut. 4.
Teori Keadilan Menurut teori ini, beban pembuktian dibebankan kepada pihak yang paling
sedikit menanggung beban pembuktian atau yang paling sedikit jika disuruh membuktikan.
Merujuk ketentuan Pasal 107 di atas, dimana ditentukan bahwa hakim Tata Usaha Negara memiliki kewenangan untuk menentukan siapa yang dibebani
pembuktian, maka menurut Suparto Wijoyo sebagaimana dikutip oleh R.
56
Hukum Subjektif adalah peraturan hukum yang dihubungkan dengan seseorang yang tertentu sehingga melahirkan hak pada satu sisi dan membebankan kewajiban pada sisi lain. Lihat L.J.
van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Pradnya Paramita, 2001, hlm. 42.
57
Hukum Objektif adalah peraturan hukumnya kaidah. Lihat, Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Wiyono,
58
“hakim Tata Usaha Negara-Penulis dapat menerapkan beban pembuktian terbalik atau pembagian beban yang seimbang sesuai dengan
kearifan hakim.” Walaupun dalam Rakernas Mahkamah Agung RI Tahun 2007- 2008 disebutkan bahwa ketentuan Pasal 107 UU No. 5 Tahun 1986 dan
Penjelasannya dapat dipakai sebagai pedoman. Hakim atif dalam menentukan alat bukti yang harus diajukan dan kepada siapa alat bukti itu dibebankan dominus
litis. Tetapi hakim tidak boleh terlalu aktif, karena pada perinsipnya beban pembuktian ada pada para pihak.
59
A. Teori Pembuktian