Strategi Adaptasi Nafkah Nelayan

merupakan daerah perlindungan satwa, daerah tangkapan air dan daerah bahaya erosi, maka bisa diperuntukan sebagai Zona Pemanfaatan Intensif. Untuk daerah- daerah dimana terdapat aktifitas pemanfaatan lahan yang berada pada tingkat kerentanan tinggi sampai sangat tinggi, sebaiknya diperuntukan sebagai Zona Lain Pemulihan. Untuk daerah-daerah dimana terdapat aktifitas pemanfaatan lahan yang berada pada tingkat kerentanan rendah dan berbatasan dengan batas Taman Nasional, sebaiknya diperuntukan sebagai Zona Penyangga Hutan atau Ekonomi. Untuk daerah-daerah dimana terdapat aktifitas pemanfaatan lahan yang berada pada tingkat kerentanan rendah dan tidak berbatasan dengan batas Taman Nasional, sebaiknya diperuntukan sebagai Zona Lain Peruntukan Khusus. Untuk daerah-daerah dimana terdapat aktifitas pemanfaatan lahan yang berada pada tingkat kerentanan sedang, sebaiknya diperuntukan sebagai Zona Lain Peruntukan Khusus Basuni 1987. Menurut Alikodra 1987, ketergantungan masyarakat dapat dikategorikan menjadi tidak legal dan legal. Ketergantungan tidak legal adalah pengambilan kayu, buah, daun, rumput dan menggembalakan ternak secara liar, dimana menurut peraturan mengenai Taman Nasional, semua kegiatan tersebut dilarang. Jika tidak dilakukan pengaturan, maka akan merusak potensi Taman Nasional. Sedangkan ketergantungan yang legal antara lain menjadi pemandu wisata alam, sopir angkutan dan usaha pelayanan pengunjung. Ketergantungan ini dapat ditingkatkan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat.

2.1.3 Strategi Adaptasi Nafkah Nelayan

Adaptasi merupakan tingkah laku penyesuai yang menunjuk pada tindakan Bennet dalam Subri 2007. Dalam hal ini, adaptasi dikatakan sebagai tingkah laku yang bersifat strategis dalam upaya memaksimalkan kesempatan hidup. Dalam Sosiologi Nafkah, Dharmawan 2006 memberikan penjelasan bahwa livelihood memiliki pegertian yang lebih luas daripada sekedar means of living yang bermakna sempit mata pencaharian. Dalam sosiologi nafkah, pengertian strategi nafkah lebih mengarah pada pengertian livelihood strategy strategi penghidupan daripada means of living strategy strategi cara hidup. Pengertian livelihood strategy yang disamakan pengertiannya menjadi strategi nafkah dalam bahasa Indonesia, sesungguhnya dimaknai lebih besar daripada sekedar “aktivitas mencari nafkah” belaka. Sebagai strategi membangun sistem penghidupan, maka strategi nafkah bisa didekati melalui berbagai cara atau manipulasi aksi individual maupun kolektif. Strategi nafkah bisa berarti cara bertahan hidup atau memperbaiki status kehidupan. Strategi nafkah adalah taktik dan aksi yang dibangun oleh individu maupun kelompok dalam rangka mempertahankan kehidupan mereka dengan tetap memperhatikan eksistensi infrastruktur sosial, struktur sosial, dan sistem nilai budaya yang berlaku. Merujuk pada Scoones 1998, dalam penerapan strategi nafkah, rumah tangga petani memanfaatkan berbagai sumberdaya yang dimiliki dalam upaya untuk dapat bertahan hidup. Scoones membagi tiga klasifikasi strategi nafkah livelihood strategy yang mungkin dilakukan oleh rumah tangga petani, yaitu: 1 Rekayasa sumber nafkah pertanian, yang dilakukan dengan memanfaatkan sektor pertanian secara efektif dan efisien baik melalui penambahan input eksternal seperti teknologi dan tenaga kerja intensifikasi, maupun dengan memperluas lahan garapan ekstensifikasi; 2 Pola nafkah ganda diversifikasi, yang dilakukan dengan menerapkan keanekaragaman pola nafkah dengan cara mencari pekerjaan lain selain pertanian untuk menambah pendapatan. Atau dengan mengerahkan tenaga kerja keluarga ayah, ibu dan anak untuk ikut bekerja – selain pertanian- dan mamperoleh pendapatan; 3 Rekayasa spasial migrasi, merupakan usaha yang dilakukan dengan melakukan mobilitas ke daerah lain di luar desanya, baik secara permanen maupun sirkuler untuk memperoleh pendapatan. Long 1987 dalam Widiyanto et al. 2010 mencirikan bahwa sistem perekonomian desa di Negara-negara dunia ketiga bercorak kombinasi antara non- kapitalis yang “tradisional” dengan kapitalis yang emergen. Boeke 1953 dalam Sajogyo 1982 dalam Widiyanto et al. 2010 menyebutnya sebagai teori ekonomi ganda dualisctic economics dimana dalam waktu yang sama terdapat dua atau lebih sistem sosial, dan masing-masing sistem sosial ini jelas berbeda satu sama lain dan masing-masing menguasai bagian tertentu dari masyarakat bersangkutan. Dalam konteks pertanian, petani di pedesaan mengalami mixed ethic , pada satu sisi berorientasi kepada etika sosial-kolektif dan pada sisi yang lain harus berorientasi kepada keuntungan yang maksimal. Kedua etika tersebut “dimainkan” oleh petani sebagai upaya membangun sistem penghidupan yang berkelanjutan. Fadjar 2009 dalam Widiyanto et al. 2010 membuktikan bahwa pada petani kakao menerapkan strategi amphibian, dimana walaupun pengeruh kapitalisme telah merembes masuk sedikit demi sedikit namun nilai-nilai tradisional tidak sepenuhnya ditinggalkan. Nilai-nilai subsistensi melekat pada aktifitas produksi on farm baik pada komoditas padi maupun kakao. Pada sisi yang lain, semangat kapitalisme sangat menonjol pada proses penjualan hasil produksi kebun kakao. Kakao merupakan komoditas yang berorientasi pada pasar yang diperlukan sebagai komoditas baku bagi industri yang berada di luar komunitas petani. Secara etimologis, makna kata ’livelihood’ itu meliputi aset atau modal alam, manusia, finansial, sosial dan fisik, aktifitas di mana akses atas aset dimaksud dimediasi oleh kelembagaan dan relasi sosial yang secara bersama mendikte hasil yang diperoleh oleh individu maupun keluarga. Kata ”akses” didefinisikan di sini sebagai ”aturan dan norma sosial yang mengatur atau mempengaruhi kemampuan yang berbeda antara orang dalam memiliki, mengontrol, mengklaim atau menggunakan sumber daya seperti penggunaan lahan di desa atau komunitas kampung” 5 . Keberlanjutan mempunyai banyak dimensi yang semuanya penting bagi pendekatan sustainable livelihoods. Penghidupan dikatakan berkelanjutan jika ia: 1. Elastis dalam menghadapi kejadian-kejadian yang mengejutkan dan tekanan-tekanan dari luar; 2. Tidak tergantung pada bantuan dan dukungan luar atau jika tergantung,bantuan itu sendiri secara ekonomis dan kelembagaan harus sustainable ; 3. Mempertahankan produktivitas jangka panjang sumberdaya alam; 4. Tidak merugikan penghidupan dari, atau mengorbankan pilihan-pilihan penghidupan yang terbuka bagi orang lain. Strategi nafkah di sektor perikanan dibedakan menjadi budi daya ikan dan penangkapan ikan. Budi daya ikan dalam pola kerjanya lebih menyerupai 5 Saragih, Sebastian, Jonatan Lassa, Afan Ramli. 2007. Kerangka Penghidupan Berkelanjutan. Aceh: -. peternakan karena lebih terkontrol. Di lain pihak, penangkapan ikan lebih bergantung pada ketersediaan sumberdaya bersama open acces para nelayan yang mempunyai hak yang sama terhadap sumberdaya Mulyadi 2005. Secara mendasar, pekerjaan sebagai nelayan banyak mengandung resiko dan ketidakpastian. Adanya risiko dan ketidakpastian ini disarankan untuk disiasati dengan mengembangkan pola-pola adaptasi berupa perilaku ekonomi yang spesifik yang selanjutnya berpengaruh terjadap pranata ekonominya. Pola- pola adaptasi yang menonjol adalah pembagian resiko dalam bentuk pola bagi hasil pendapatan dan kepemilikan kolektif serta mengutamakan hubungan patronage dalam aktifitas kerja Mulyadi 2005. Untuk mengatasi kesulitan modal, masyarakat nelayan disarankan untuk mengembangkan suatu mekanisme tersendiri, yaitu sistem modal bersama, untuk memungkinkan terjadinya “pemerataan resiko” karena kerugian besar yang dapat terjadi setiap saat, seperti perahu hilang atau rusaknya alat tangkap, akan ditanggung bersama. Lebih lanjut, karaktersitik masyarakat pesisir sebagai representasi komunitas desa-pantai dan desa terisolasi, dilihat dari berbagai aspek ialah sebagai berikut Satria 2002: a. Sistem Pengetahuan, pengetahuan tentang teknik penangkapan ikan umumnya diperoleh secara turun temurun berdasarkan pengalaman empirik. Kuatnya pengetahuan lokal ini menjadi salah satu faktor penyebab terjaminnya kelangsungan hidup sebagai nelayan. Pengetahuan lokal indigenous knowledge tersebut merupakan kekayaan intelektual yang hingga kini terus dipertahankan b. Sistem kepercayaan, secara teologi nelayan masih memiliki kepercayaan yang kuat bahwa laut memiliki kekuatan khusus dalam melakukan aktivitas penangkapan ikan agar keselamatan dan hasil tangkapan semakin terjamin. Namun, seiring berjalannya waktu berbagai tradisi dilangsungkan hanya sebagai salah satu instrument stabilitas sosial dan komunitas nelayan. c. Peran wanita, umumnya selain banyak bergelut dalam urusan domestik rumah tangga, istri nelayan tetap menjalankan aktivitas ekonomi dalam kegiatan penangkapan di perairan dangkal, pengolahan ikan, maupun kegiatan jasa dan perdagangan. Istri nelayan juga dominan dalam mengatur pengeluaran rumah tangga sehari-hari sehingga sudah sepatutnya peranan istri-istri nelayan tersebut menjadi salah satu pertimbangan dalam setiap program pemberdayaan. d. Struktur sosial. Struktur yang terbentuk dalam hubungan produksi termasuk pasar pada usaha perikanan, perikanan tangkap maupun perikanan budidaya umumnya dicirikan dengan kuatnya ikatan patron- klien . Kuatnya ikatan ini merupakan konsekuensi dari sifat kegiatan penangkapan ikan yang penuh dengan resiko dan ketidakpastian. Pada perikanan budidaya, patron meminjamkan modal kepada para nelayan lokal untuk pembudidayaan ikan. Konsekuensinya ialah hasilnya harus dijual kepada patron dengan harga yang lebih murah. Ciri kedua adalah stratifikasi sosial, bentuk stratifikasi masyarakat pesisir Indonesia sangat beragam. Seiring modernisasi akan terjadi diferensiasi sosial yang dilihat dari semakin bertambahnya jumlah posisi sosial atau jenis pekerjaan sekaligus terjadi pula perubahan stratifikasi karena sejumlah posisi sosial tersebut tidaklah bersifat horisontal, melainkan vertikal dan berjenjang berdasarkan ukuran ekonomi, prestise, dan kekuasaan. e. Posisi sosial nelayan. Di kebanyakan masyarakat, nelayan memiliki status yang relatif rendah. Rendahnya posisi sosial nelayan ini merupakan akibat dari keterasingan nelayan sehingga masyarakat bukan nelayan tidak mengetahui lebih jauh cara hidup nelayan. Hal ini terjadi akibat sedikitnya waktu dan kesempatan nelayan untuk berinteraksi dengan masyarakat lain karena alokasi waktu yang besar untuk kegiatan penangkapan ikan dibanding untuk bersosialisasi dengan masyarakat bukan nelayan yang memang secara geografis relative jauh dari pantai. Secara politis posisi nelayan kecil terus dalam posisi dependen dan karjinal akibat terbatasnya faktor kapital yang dimilikinya.

2.1.4 Kemiskinan Nelayan