Kemiskinan Nelayan Tinjauan Pustaka .1 Konservasi dan Pemanfaatan Berkelanjutan

peranan istri-istri nelayan tersebut menjadi salah satu pertimbangan dalam setiap program pemberdayaan. d. Struktur sosial. Struktur yang terbentuk dalam hubungan produksi termasuk pasar pada usaha perikanan, perikanan tangkap maupun perikanan budidaya umumnya dicirikan dengan kuatnya ikatan patron- klien . Kuatnya ikatan ini merupakan konsekuensi dari sifat kegiatan penangkapan ikan yang penuh dengan resiko dan ketidakpastian. Pada perikanan budidaya, patron meminjamkan modal kepada para nelayan lokal untuk pembudidayaan ikan. Konsekuensinya ialah hasilnya harus dijual kepada patron dengan harga yang lebih murah. Ciri kedua adalah stratifikasi sosial, bentuk stratifikasi masyarakat pesisir Indonesia sangat beragam. Seiring modernisasi akan terjadi diferensiasi sosial yang dilihat dari semakin bertambahnya jumlah posisi sosial atau jenis pekerjaan sekaligus terjadi pula perubahan stratifikasi karena sejumlah posisi sosial tersebut tidaklah bersifat horisontal, melainkan vertikal dan berjenjang berdasarkan ukuran ekonomi, prestise, dan kekuasaan. e. Posisi sosial nelayan. Di kebanyakan masyarakat, nelayan memiliki status yang relatif rendah. Rendahnya posisi sosial nelayan ini merupakan akibat dari keterasingan nelayan sehingga masyarakat bukan nelayan tidak mengetahui lebih jauh cara hidup nelayan. Hal ini terjadi akibat sedikitnya waktu dan kesempatan nelayan untuk berinteraksi dengan masyarakat lain karena alokasi waktu yang besar untuk kegiatan penangkapan ikan dibanding untuk bersosialisasi dengan masyarakat bukan nelayan yang memang secara geografis relative jauh dari pantai. Secara politis posisi nelayan kecil terus dalam posisi dependen dan karjinal akibat terbatasnya faktor kapital yang dimilikinya.

2.1.4 Kemiskinan Nelayan

Kemiskinan diartikan sebagai suatu keadaan di mana seseorang tidak sanggup memelihara dirinya sendiri sesuai dengan taraf kehidupan kelompok dan juga tidak mampu memanfaatkan tenaga mental, maupun fisiknya dalam kelompok tersebut 6 . Paradigma lama memandang bahwa orang miskin disebabkan oleh tidak adanya modal. Dengan tidak ada modal maka produktivitas rendah, dan lalu menyebabkan tabungan rendah. Namun Sachs 2005 dalam Satria 2006 mencoba memodifikasi teori kemiskinan menjadi tidak sesederhana itu. Bagi Sachs, untuk mengakhiri kemiskinan, caranya dengan membuat orang termiskin dapat menapaki tangga pembangunan. Dan untuk mendorong orang miskin tersebut untuk menapaki anak tangga pertama, maka diperlukan sejumlah modal 7 , yaitu : 1. Modal manusia human capital seperti kesehatan, gizi, dan keterampilan yang diperlukan oleh setiap orang untuk produktif secara ekonomi 2. Modal usaha business capital seperti mesin, fasilitas, alat transportasi bermotor 3. Modal infrastruktur infrastructure capital seperti jalan, tenaga lsitrik, air, dan sanitasi, bandara, pelabuhan, dan sistem telekomunikasi yang menjadi prasyarat penting bagi produktivitas usaha 4. Modal alam natural capital seperti suburnya lahan, keanekaragaman hayati, dan ekosistem yang berfungsi baik 5. Modal kelembagaan publik public institustional capital seperti hukum eknomi, sistem peradilan, layanan pemerintah dan kebihjakan yang mendukung terciptanya kemakmuran, 6. Modal pengetahuan seperti pengetahuan dan teknologi yang dapat meningkatkan produktivitas usaha dan pemanfaatan sumberdaya alam. Widiyanto et al. 2010 mengatakan bahwa salah satu pendekatan dalam memahami kemiskinan adalah sustainable livelihood. Pendekatan ini tidak hanya berbicara mengenai pendapatan income poverty dan pekerjaan jobs tetapi lebih holistik dengan memahami kehidupan orang miskin, apa prioritas hidup mereka, dan apa yang dapat membentu mereka. Dengan kata lain, memahami orang miskin harus bersifat komprehensif, dengan berbagai elemen penting yang harus dipahami secara tepat dan benar, seperti siapa orang miskin itu, dimana mereka 6 Soerjono Soekanto. “Sosiologi Suatu Pengantar”. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006. hal. 320. 7 http:agrimedia.mb.ipb.ac.iduploadsdoc2010-07-06_Arief_satria- KEMISKINAN_NELAYAN , diakses pada tanggal 26 Mei 2011 pukul 09.25 WIB tinggal, mengapa mereka miskin, mengapa mereka tetap miskin, bagaimana persepsi mereka mengenai apa yang dimaksud dengan “miskin”, dan bagaimana usaha mereka untuk mengatasinya. Chambers 1995 dalam Widiyanto et al. 2010 mengatakan bahwa banyak dimensi penting yang perlu mendapatkan perhatian, yaitu: inferioritas, pengasingan, kerentanan, perampasan, ketidakberdayaan, dan penghinaan. Muladi 2005 mengemukakan faktor-faktor yang menjadi penyebab kemiskinan nelayan: 1. Masalah yang berkaitan dengan kepemilikan alat tangkap 2. Akses terhadap modal khususnya menyangkut persyaratan kredit 3. Persyaratan pertukaran hasil tangkapan yang tidak berpihak pada buruh nelayan 4. Sarana penyimpanan ikan 5. Hak pengusahaan kawasan tangkap 6. Perusakan sistem organisasi masyarakat pesisir. Tingkat perekonomian masyarakat nelayan juga dipengaruhi oleh cara kerja dan hubungan sosial yang terbentuk dalam komunitas nelayan tersebut. Mulyadi 2005 menguraikan beberapa hal yang menjadi karakteristik sosial masyarakat nelayan, antara lain: 1. Keterasingan relatif: dalam banyak hal, nelayan membentuk masyarakatnya sendiri dan sering terasing karena mereka harus hidup di sepanjang tepi danau, sungai dan laut. Di samping itu, karena banyak nelayan bekerja pada malam hari atau pagi buta, pada saat orang lain masih tidur, nelayan sering dipandang sebagai orang yang terpencil dari masyarakat Pollnac dalam Mulyadi 2007. 2. Organisasi kerja: koordinasi antara awak kapal penangkap ikan perlu dikombinasikan. Adanya risiko fisik berkaitan dengan lingkungan laut, menambah pentingnya kesalingtergantungan setiap pekerja. Bersamaan dengan cepatnya peralatan menyusut dan kemungkinan hilangnya peralatan, kerja sama ini mengurangi jarak sosial dan ekonomi antara pemilik dan buruhnya. 3. Pembagian tenaga kerja: mayoritas tenaga kerja yang terlibat dalam nafkah nelayan adalah laki-laki, namun demikian bukan berarti perempuan tidak memiliki andil dalam kegiatan nelayan. Wanita biasanya melakukan kegiatan-kegiatan di tepi pantai, dimana pekerjaan tidak akan bertentangan dengan pemeliharaan anak. Pada banyak masyarakat penangkap ikan, wanita mengambil alih fungsi membeli dan menjual ikan. Peranan wanita sebagai pedagang ikan menstabilkan ekonomi pada beberapa masyarakat penangkap ikan karena pria mungkin hanya kadang-kadang menangkap ikan, tetapi wanita bekerja sepanjang tahun. 4. Hak-hak atas sumberdaya laut: di beberapa wilayah, gelombang arus menggeser batas-batas tepi laut, muara, dan pantai sehingga secara praktis tidak mungkin untuk mempertahankan batas-batas secara jelas. Karena sasaran tangkapan relatif berpindah-pindah, hak atas suatu tempat khusus, bidang kecil penangkapan ikan tidak akan bermanfaat karena ikannya berpindah-pindah. Hak-hak komunal agak sering ditemukan, tetapi sering berjalan tidak sesuai dengan undang-undang nasional yang menentukan laut sebagai suatu sumberdaya yang terbuka untuk umum.

2.2 Kerangka Pemikiran