52
Gambar 22 Variasi temporal komposisi TKG C. quadricarinatus jantan dan betina.
Pada habitat alaminya di Australia bagian utara musim pemijahan berlangsung selama 6-7 bulan bahkan pada beberapa lokasi musim pemijahan
berlangsung sepanjang tahun Herbert 1987, Sammy 1988, and Jones 1990, diacu dalam King 1993. Selanjutnya King 1993 juga melaporkan bahwa pada kondisi
laboratorium dengan suhu antara 25-26 C dan fotoperiod 12 jam terang dan 12
jam gelap pemijahan berlangsung sepanjang tahun. Oleh karena itu C. quadricarinatus betina di Danau Maninjau diduga dapat memijah sepanjang
tahun. Barki et al. 1997 seperti diacu oleh An et al. 2011 menyatakan bahwa testis C. quadricarinatus mampu memproduksi spermatozoa matang secara
kontinu sehingga pada habitat alaminya yang hangat C. quadricarinatus dapat bereproduksi sepanjang tahun. Berdasarkan hal ini diduga C. quadricarinatus di
Danau Maninjau juga dapat bereproduksi sepanjang tahun. Pola pemijahan jenis lobster yang berbeda bisa berbeda pula. Sebagai
contoh musim pemijahan C. quinquicarinatus di selatan Australia terjadi pada Agustus-Januari dengan puncaknya Agustus, Oktober, dan November Beatty et
al. 2005a sedangkan untuk C. destructor puncak musim pemijahannya adalah
3.33 0.00
6.56 3.23
6.76 63.33
13.33 26.23
46.77 35.14
33.33 86.67
67.21 50.00
58.11
10 20
30 40
50 60
70 80
90 100
P e
r se
n ta
se Ti
n g
k a
t K
e m
a ta
n g
a n
G o
n a
d
Jantan
TKG I TKG II
TKG III
0.00 5.26
1.89 0.00
0.00 53.57
42.11 41.51
35.48 41.67
7.14 15.79
30.19 16.13
17.86 39.29
36.84 26.42
48.39 40.48
Betina
TKG I TKG II
TKG III TKG IV
Bulan
53 antara Oktober dan Januari Whitnall 2000. Perbedaan musim pemijahan
disebabkan oleh perbedaan faktor lingkungan. Faktor lingkungan utama yang menjadi pemicu pemijahan adalah suhu serta fotoperiod pada lobster yang
dipelihara. Cherax quadricarinatus akan memijah pada suhu yang hangat 22- 30
C dan laju pemijahan akan berkurang setengahnya pada suhu 22 C
dibandingkan pada suhu 30 C. Pada daerah tropis C. quadricarinatus dapat
memijah 3 sampai 5 kali dalam setahun Reynolds 2002. Pada kondisi laboratorium pemijahan ganda juga dapat terjadi antarpergantian kulit King
1993.
4.4.3 Fekunditas dan diameter telur
Fekunditas merupakan aspek penting biologi reproduksi baik untuk tujuan budidaya maupun pengelolaan perikanan. Pada lobster dikenal adanya fekunditas
ovari FO dan fekunditas pleopod FP. Rata-rata fekunditas ovari C. quadricarinatus di Danau Maninjau adalah 626±255 dengan fekunditas ovari
minimum 254 dan maksimum 1098. Rata-rata fekunditas pleopod adalah 383±173 dengan fekunditas minimum 224 dan maksimum 705. Nilai fekunditas
ovari dan fekunditas pleopod sangat beragam dengan nilai koefisien ragam mencapai 40. Jumlah telur pleopod lebih sedikit dibandingkan jumlah telur
ovari. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa hal yaitu kegagalan induk mengeluarkan telur, kegagalan pembuahan, atau kegagalan menempelkan telur
pada pleopod seperti dilaporkan Mason 1977 dan diacu dalam Reynolds 2002. Fekunditas ovari dan pleopod berhubungan dengan beberapa variabel
ukuran tubuh. Penulis mencoba membuat korelasi antara fekunditas ovari terhadap beberapa variabel bebas sebagai berikut Tabel 15:
Tabel 15 Persamaan regresi antara fekunditas ovari C. quadricarinatus dengan beberapa variabel bebas.
Variabel bebas X Persamaan regresi
Koefisien regresi R
2
Panjang karapas CL FO=-648.93+23.78 CL
51.64 p0.05 Bobot basah total BT FO=127.31+13.92 BT
62.99 p0.05 Lebar endopod EN
FO=-65.72+307.49 EN 39.15 p0.05
CL X1 dan CL
2
X2 FO=1021.19-40.74CL+0.61CL
2
53.87 p0.05
54 Hasil analisis menunjukkan bahwa fekunditas ovari lebih erat hubungannya
dengan bobot basah total dengan persamaan FO=127.31+13.92 BT gr R
2
=62.99; p0.05. Jika dihubungkan dengan panjang karapas maka model yang lebih menggambarkan hubungan antara fekunditas ovari dan panjang
karapas adalah FO=1021.19-40.74CLmm+0.61CL
2
mm R
2
=53.87; p0.05. Selanjutnya fekunditas ovari dipisahkan berdasarkan kelas ukuran bobot basah
total dan terlihat bahwa fekunditas ovari meningkat dengan meningkatnya bobot
basah total Gambar 23.
Gambar 23 Rata-rata fekunditas ovari C. quadricarinatus terhadap bobot basah total.
Sama halnya dengan fekunditas ovari fekunditas pleopod juga berhubungan dengan variabel lainnya Tabel 16. Berdasarkan hasil beberapa uji coba model
regresi didapat model yang dapat menggambarkan hubungan fekunditas pleopod dengan variabel bebas lebar endopod yaitu
FP=-2.27+163.76 EN
R
2
=60.41; p0.05. Hal ini sesuai dengan fungsi endopod betina sebagai tempat menempel
telur yang telah dipijahkan. Tabel 16 Persamaan regresi antara fekunditas pleopod C.quadricarinatus dengan
beberapa variabel bebas.
Variabel bebas X Persamaan regresi
Koefisien regresi R
2
Panjang karapas CL FP=-473.83+15.59 CL
44.39 p0.05 Bobot basah total BT FP=81.79+7.94 BT
37.65 p0.05 Lebar endopod EN
FP=-2.27+163.76 EN 60.41 p0.05
CL X1 dan CL
2
X2 FP=3068.89-115.94CL+1.21CL
2
55.07 p0.05
410 451
485 852
934 879
200 400
600 800
1000 1200
1400
16.95 25.75
34.55 43.35
52.15 60.95
F e
k u
n d
it as
t o
tal b
u ti
r
Nilai tengah kelas ukuran bobot gr
55 Selain morfologi lobster seperti panjang karapas dan lebar endopod,
fekunditas ovari dan pleopod lobster juga dipengaruhi oleh faktor lainnya seperti faktor lingkungan. Pada beberapa model di atas diketahui bahwa faktor lain
seperti faktor lingkungan menjelaskan keragaman fekunditas dengan persentase cukup besar.
Fekunditas ovari dan fekunditas pleopod dapat berbeda menurut jenisspesies lobster, lokasi, dan waktu. Berikut ini adalah perbandingan nilai
fekunditas ovari dan fekunditas pleopod C. quadricarinatus di Danau Maninjau terhadap hasil penelitian lainnya:
Tabel 17 Fekunditas beberapa jenis lobster air tawar
No Jenis lobster air tawar Fekunditas
Sumber
1 C. quadricarinatus
Danau Maninjau 626±255 FO
383±173 FP Penelitian ini
2 C. quinquecarinatus
Australia bagian selatan 81.7±5.9 FO
77.1±13.8 FP Beatty et al. 2005
3 C. lorentzi Sungai Kalsafet,
Sorong, Irian Jaya 61-71 FP
Tapilatu 1996 4
C. cainii Australia bagian selatan
443 FO 286 FP
Beatty et al. 2003 5
C. destructor Australia
a Antara 100-300 FP untuk lobster muda dan mencapai 1000 FP untuk
lobster tua b 210,2±9,24 FO
a Whitnall 2000 b Beatty et al.
2004b
6 Astacus leptodactylus
leptodactylus Esch., 1852 Danau Keban Dam, Turki
318 FP Diolah dari
Harligou et al. 2004
7 Austropotambius pallipes
pallipes Prancis
165 FP maksimum Grandjean et al.
2000
8 Pacifastacus leniusculus
sungai dataran rendah Inggris
158±104 FP GuanWiles 1995
Secara umum fekunditas lobster air tawar jenis Cherax lebih besar dibandingkan jenis lainnya. Lebih lanjut C. quadricarinatus di Danau Maninjau
sebagai spesies asing memiliki fekunditas paling tinggi. Reynolds 2002 menyatakan bahwa perbedaan fekunditas pleopod pada masing-masing jenis
lobster dibatasi oleh morfologi masing-masing jenis. Selanjutnya Abercrombie et
56 al. 1992 seperti dikutip Harlioglu et al. 2003 menyatakan bahwa variasi
fekunditas disebabkan oleh perbedaan faktor lingkungan dan genetik. Sebagai contoh rata-rata jumlah telur lobster di danau yang terdapat di Irlandia dengan
suhu lebih hangat dan mesotrofik 40 lebih tinggi dibandingkan dengan produksi telur di sungai dengan suhu dingin O’Keeffe 1986, diacu dalam Reynolds 2002.
Rhodes Holdich 1982 sebagaimana diacu Reynolds 2002 juga melaporkan bahwa produksi telur lobster pada sebuah sungai di Inggris 31 lebih tinggi
dibandingkan lobster di waduk yang dalam. Fekunditas antarstasiun pengambilan contoh terlihat sangat beragam yaitu
829 Bayur; 611 Sungai Batang; 342 Batu Nanggai; 377 Sigiran; 738 Sungai Tampang; dan 681 Utara. Ukuran bobot lobster contoh pada stasiun
Batu Nanggai dan Sigiran relatif paling kecil dibandingkan ukuran bobot lobster contoh di stasiun lainnya yaitu 14.6 gram dan 24.4 gram. Sebagai pembanding
rata-rata bobot lobster contoh di stasiun lainnya yaitu 46.4 gram Bayur; 44.8 Sungai Tampang; 38.5 Sungai Batang; dan 25.2 Utara. Seperti diketahui
sebelumnya bahwa fekunditas berhubungan dengan ukuran bobot lobster. Hal ini menyebabkan rata-rata fekunditas pada masing-masing stasiun juga beragam.
Setelah dilakukan analisis ragam diketahui bahwa fekunditas pada tiap stasiun tidak berbeda nyata p0.05 Lampiran 117.
Diameter telur lobster TKG III dan IV berkisar antara 0.41 sampai 1.54 mm dan 0.44 sampai 2 mm Lampiran 18. Distribusi diameter telur pada masing-
masing TKG III dan IV disajikan pada Gambar 24 berikut:
57
Gambar 24 Distribusi ukuran diameter telur C. quadricarinatus TKG III dan TKG IV.
Berdasarkan Gambar 24 di atas terlihat ada indikasi bahwa diameter telur TKG III dan TKG IV memiliki puncak lebih dari satu. Diamater telur TKG III
paling tidak memiliki puncak pada nilai tengah 0.84 mm dan 1.2 mm. Selanjutnya diameter telur TKG IV memiliki puncak pada nilai tengah 0.80 mm;
1.08 mm; dan 1.64 mm. Hal ini menandakan bahwa pada tingkat kematangan gonad yang sama terdapat lebih dari satu populasi ukuran telur. Hasil yang sama
juga ditemukan oleh Sagi et al. 1996 dan menyatakan bahwa perbedaan ukuran telur merupakan hal yang mungkin terjadi selama proses perkembangan dan
pematangan telur. Perkembangan dan pematangan akumulasi protein kuning telur sebagian gonad diperlambat dan sebagian lainnya dipercepat melalui
pengaturan hormon.
4.5 Alternatif pengelolaan C. quadricarinatus di Danau Maninjau
4.5.1 Potensi C. quadricarinatus sebagai spesies invasif di Danau Maninjau
Lobster air tawar C. quadricarinatus sebagai spesies asing di Danau Maninjau berpotensi memberi dampak negatif pada ekosistem tersebut dengan
menjadi spesies invasif. Lodge et al. 2006 sebagaimana dikutip Belle Yeo 2010 mendefinisikan spesies
invasif sebagai spesies
yang mampu
5 10
15 20
25 30
35
.4 8
.6 .7
2 .8
4 .9
6 1
.0 8
1 .2
1 .3
1 1
.4 3
1 .5
6
F r
e k
u e
n si
TKG III
5 10
15 20
25 30
35
.5 2
.6 6
.8 .9
4 1
.0 8
1 .2
1 1
.3 6
1 .4
9 1
.6 4
1 .7
8 1
.9 2
2 .0
6
TKG IV
Nilai tengah ukuran diameter telur mm
58 mempertahankan populasinya pada ekosistem alami atau semi alami dan
berpengaruh negatif secara ekonomi, lingkungan, atau bahkan kesehatan manusia. Gherardi 2010 menyatakan bahwa terdapat tiga tahap suatu spesies asing bisa
menjadi spesies invasif yaitu : 1. Masuknya spesies asing ke suatu ekosistem dengan berbagai cara baik
sengaja ataupun tidak; 2. Populasi spesies asing mantap di ekosistem baru; dan
3. Menyebar. Berdasarkan tahapan tersebut di atas maka C. quadricarinatus di Danau
Maninjau telah melewati ketiga tahap tersebut. Cherax quadricarinatus telah masuk ke Danau Maninjau secara sengaja oleh orang tertentu dengan tujuan yang
tidak jelas dan tanpa melakukan analisis resiko terlebih dahulu. Sampai saat ini populasi C. quadricarinatus di Danau Maninjau sebagai spesies asing bisa
dikatakan sudah mantap. Hal dapat dilihat dari a beragamnya ukuran panjang dan bobot lobster yang tertangkap; b mampu bereproduksimemperbanyak
populasi. Cherax qudricarinatus juga telah menyebar ke hampir seluruh Danau Maninjau sehingga populasinya tidak hanya berkembang di daerah awal
introduksi. Hal ini terlihat dari hasil pengamatan bahwa C. quadricarinatus tertangkap di seluruh stasiun pengambilan contoh yang mewakili keragaman
habitat di Danau Maninjau walaupun dengan kepadatan berbeda. Selanjutnya potensi C. quadricarinatus menjadi spesies invasif dapat
dianalisis berdasarkan kriteria yang diajukan oleh Baker 1974 untuk mengidentifikasi spesies invasif seperti dikutip Geiger et al. 2005 dan disajikan
pada Tabel 18. Walaupun spesies invasif tidak memiliki semua karakter tersebut di atas, namun semakin banyak karakter yang dimiliki maka potensi untuk
menjadi spesies invasif semakin besar. Cherax quadricarinatus di Danau Maninjau memiliki tujuh dari sembilan karakter yang ada. Empat diantara
karakter tersebut pada tingkat yang tinggi dan tiga lainnya sedang.
Tabel 18 Analisis potensi C. quadricarinatus menjadi spesies invasif di Danau Maninjau
59
No Karakteristik biologi spesies invasif
C.quadricarinatus di Danau Maninjau
Sumber
1 Kemampuan menyebar tinggi melalui
telur atau larva yang berenang -
Reynolds 2002 2
Kemampuan reproduksi secara seksual dan aseksual
- Reynolds 2002
3 Fekunditas tinggi
+++ Penelitian ini
4 Berumur pendek dan waktu
perkembangan juvenil singkat ++
Reynolds 2002 5
Kemampuan adaptasi terhadap tekanan lingkungan tinggi
+++ Penelitian ini dan Masser
Rouse 1997 6
Toleransi terhadap keragaman lingkungan tinggi
+++ Masser Rouse 1997
7 Permintaan untuk kebutuhan manusia
tinggi ++
Penelitian ini Karakteristik tambahan
8 Omnivor
++ Loya-Javellana et al.
1993 9
Brood care +++
Reynolds 2002
Keterangan -
absen +
rendah ++
sedang +++
tinggi
Hasil analisis di atas menunjukkan bahwa C. quadricarinatus memiliki potensi besar menjadi spesies invasif di Danau Maninjau. Atribut lainnya yang
meningkatkan potensi C. quadricarinatus menjadi spesies invasif adalah peluang membawa penyakit. Dalam review yang disampaikan oleh Longshaw 2011
dinyatakan bahwa penyakit yang pernah dilaporkan pada C. quadricarinatus dapat disebabkan oleh virus dan bakteri. Umumnya penyakit pada C. quadricarinatus
ditemukan pada kegiatan budidaya yang berasal dari Australia. Pada C. quadricarinatus menimbulkan pengaruh berbeda mulai dari yang tidak
menyebabkan penyakit sama sekali sampai yang dapat menyebabkan kematian massal. Beberapa virus yang pernah ditemukan adalah Cherax quadricarinatus
bacilliform virus CqBV, Cherax quadricarinatus parvo like virus CqPlV, Cherax quadricarinatus parvovirus of Bowate et al. 2002, Cherax
quadricarinatus reolike virus CqRV, dan Cherax Giarda-like virus CGV. Bakteri yang pernah dilaporkan yaitu Coxiella cheraxi dan Vavraia parastacida.
Keberhasilan spesies asing tidak hanya terkait dengan atribut yang dimiliki oleh spesies asing tersebut akan tetapi juga terkait dengan kerentanan habitat yang
didiami terhadap spesies invasif. Gherardi 2006 seperti dikutip oleh Gherardi
60 2010 menyampaikan beberapa atribut terkait kerentanan suatu habitat terhadap
spesies invasif. Beberapa atribut tersebut adalah a kesesuaian iklim; b habitat yang sudah terganggu; c keanekaragaman hayati rendah; d tidak adanya
predator; e adanya relung kosong; dan f rendahnya konektivitas jejaring makanan.
Cherax quadricarinatus merupakan jenis lobster air tawar yang distribusi aslinya meliputi Australia bagian utara dan Papua New Guinea. Daerah tersebut
merupakan daerah dengan suhu hangat dan ini sesuai dengan suhu perairan di Indonesia dan Danau Maninjau khususnya. Seperti disebutkan pada bagian
pendahuluan bahwa terdapat 13 jenis ikan yang sebelumnya telah ada di Danau Maninjau dan menurut informasi masyarakat beberapa diantaranya telah punah
yaitu ikan supareh, mujair, dan ideh-ideh. Hasil penelitian Sulastri et al. 2009 menunjukkan jejaring makanan di Danau Maninjau seperti disajikan pada Gambar
25. Berdasarkan hasil analisis tersebut maka C. quadricarinatus dewasa akan berkompetisi dengan beberapa biota pemakan detritus lainnya yaitu serangga,
Rasbora argyrotaenia, Hampala macrolepidota, Osteochilus hasselti, Pomacea, Psylopsis sp., dan udang. Cherax quadricarinatus fase juvenil akan berkompetisi
untuk zooplankton dengan Rasbora argyrotaenia dan Mystus nemurus. Hal ini menunjukkan indikasi akan terjadinya kompetisi C. quadricarinatus dengan biota
lain di Danau Maninjau. Informasi lainnya bahwa ada tiga predator di Danau Maninjau yaitu
Rasbora argyrotaenia, Hampala macrolepidota, Mystus nemurus, dan Oxyeleotris marmorata. Ikan betutu Oxyeleotris marmorata merupakan jenis ikan yang ikut
tertangkap dengan alat tangkap rago saat menangkap lobster air tawar. Beberapa ikan betutu yang tertangkap dilihat isi lambungnya dan diketahui bahwa C.
quadricarinatus tidak ditemukan dalam lambung ikan betutu. Doupe et al. 2004 melaporkan bahwa C. quadricarinatus yang diintroduksi di Danau Kununura,
Australia barat ditemukan dalam organ pencernaan 2 jenis ikan dari 19 jenis ikan yang diteliti yaitu salmon catfish dan silver cobbler. Cherax quadricarinatus
ditemukan dalam jumlah sangat sedikit masing-masing 2.84 dan 7.97. Doupe
61 et al. mengajukan tiga kemungkinan akan hal ini yaitu 1 jumlah lobster yang
sedikit; 2 predasi lobster yang bersifat oportunis; dan 3 waktu pengambilan contoh. Saat ini jumlah C. quadricarinatus di Danau Maninjau relatif banyak
dengan penyebaran di sekeliling danau. Oleh karena itu sejauh ini diduga bahwa keberadaan predator C. quadricarinatus di Danau Maninjau hampir tidak ada,
namun hal ini memerlukan pengujian lebih lanjut. Beberapa informasi di atas menggambarkan kerentanan Danau Maninjau
terhadap spesies asing C. quadricarinatus. Di sisi lain, C. quadricarinatus juga memiliki karakter lain yang mengurangi potensi invasifnya dibandingkan spesies
lobster air tawar invasif lainnya. Karakter tersebut yaitu sifat meliang C. quadricarinatus yang tergolong pada kelompok tersier Vazquez Greco 2007.
Cherax quadricarinatus membuat liang yang sederhana dan tidak dalam serta tidak secara permanen menempati liangnya.
4.5.2 Potensi C. quadricarinatus meningkatkan perikanan di Danau
Maninjau Masuknya C. quadricarinatus tidak hanya memiliki potensi dampak negatif,
namun juga telah berdampak positif dengan meningkatnya perikanan di Danau Maninjau di tengah tangkapan ikan asli yang terus mengalami penurunan.
Pertumbuhan dan reproduksi lobster yang relatif bagus menunjukkan bahwa C. quadricarinatus mampu beradaptasi dan sesuai dengan lingkungan Danau
Maninjau. Jika terbukti tidak berdampak negatif maka dari sudut pandang perikanan keberadaan lobster di Danau Maninjau perlu dikelola agar produksinya
dapat berkelanjutan. Saat ini harga lobster air tawar di pasar lokal Maninjau masih sangat murah yaitu Rp. 25 000,- per kilogram dibandingkan harga pasaran
di Jakarta yang mencapai seratus ribu rupiah. Hal ini disebabkan rendahnya konsumsi lobster air tawar oleh masyarakat lokal karena berbagai alasan, seperti
bentuk lobster yang kurang disukai dan minimnya pengetahuan mengenai cara memasak lobster. Oleh sebab itu lobster tangkapan nelayan biasanya dijual ke
pedagang pengumpul dan selanjutnya dijual ke kota Padang atau Jakarta.
62
4.5.3 Pengelolaan C. quadricarinatus di Danau Maninjau
Berdasarkan potensi dampak yang ada maka alternatif pengelolaan C. quadricarinatus di Danau Maninjau juga dapat dibedakan menjadi dua opsi yaitu
untuk menghilangkan populasinya jika menjadi spesies invasif atau mempertahankan populasinya untuk meningkatkan perikanan.
a. Pengelolaan spesies invasif
Pada dasarnya pengelolaan sumberdaya alam termasuk spesies invasif sangat terkait dengan pengelolaan sumberdaya manusia. Hasil penelitian
Eiswerth et al. 2011 mengungkapkan beberapa faktor yang menentukan kesadaran dan pengetahuan spesies invasif akuatik yaitu tingkat partisipasi dalam
rekreasi berbasis perairan, tingkat kunjungan ke perairan danau lain, kepemilikan kapal, keterlibatan dalam kelompokorganisasi terkait danau, dan tingkat
pendidikan. Berdasarkan analisis faktor penentu tersebut dapat diketahui bahwa pada intinya yang menentukan adalah tingkat pengetahuan masyarakat akan
bahaya spesies invasif dan tingkat kepentingannya terhadap danau tersebut. Cherax quadricarinatus bukanlah satu-satunya spesies asing di Danau Maninjau,
contoh lainnya adalah ikan betutu. Oleh karena itu secara umum hal pertama yang perlu dilakukan adalah
membuat masyarakat Danau Maninjau mengetahui, mengenal, dan menjaga Danau Maninjau. Proses ini bisa dilakukan melalui lembaga pendidikan formal
seperti pendidikan ekstrakurikuler di sekolah-sekolah dan pesantren yang terdapat di selingkar Danau Maninjau. Selain itu pendistribusian informasi juga bisa
dilakukan melalui kelompok nelayan dan kelompok pembudidaya ikan di Danau Maninjau.
Gambar 25 Jaring-jaring makanan ikan di D. Maninjau
Oreochromis niloticus Hampala macrolepidota
Oxyeleotris marmorata Mystus nemurus
Psylopsis sp. Rasbora argyrotaenia
Serangga Udang
Pomacea Limnea
Corbicula
Zooplankton
Tumbuhan air Detritus Serasah
Fitoplankton Produsen sekunder
Produsen primer
Osteochilus hasselti
64 Gherardi 2010 menyatakan tiga langkah penanganan spesies asing
mengacu pada konvensi keragaman hayati yaitu: 1. Pencegahan introduksi atau translokasi;
2. Jika spesies asing sudah terlanjur masuk ke suatu ekosistem dan terdeteksi menjadi spesies invasif maka harus dilakukan tindakan
pemusnahan dengan cepat; 3. Jika sumberdaya terbatas maka yang perlu dilakukan adalah dengan
pengurangan bertahap dan pengontrolan. Saat ini C. quadricarinatus telah menjadi spesies asing dengan populasi
mantap di Danau Maninjau sehingga langkah selanjutnya yang mungkin dilakukan adalah langkah No 2. dan 3. Cherax quadricarinatus masuk ke Danau
Maninjau tanpa adanya analisis resiko terlebih dahulu. Saat ini belum bisa dipastikan apakah spesies asing ini telah menjadi spesies invasif di Danau
Maninjau. Hal tersebut karena C. quadricarinatus bisa dikatakan relatif baru di Danau Maninjau sehingga dampak nyata terhadap ekosistem misalnya perubahan
habitat, kompetisi, dan predasi terhadap spesies asli belum terlihat. Oleh karena itu berdasarkan beberapa fakta di atas maka langkah yang mungkin dilakukan
dalam rangka upaya pengelolaan C. quadricarinatus di Danau Maninjau adalah pemantauan. Pemantauan perlu dilakukan secara kontinu dan selain itu perlu
untuk mengumpulkan informasi dari semua pihak yang terkait langsung dengan Danau Maninjau. Jika C. quadricarinatus menjadi spesies invasif maka
pengurangan bertahap dapat dilakukan dengan melakukan penangkapan secara intensif sampai ukuran terkecil terutama pada puncak musim pemijahan Agustus
menggunakan segala jenis alat tangkap yang memungkinkan.
b. Pengelolaan perikanan