Penganut Agama Sikh di Kota Medan

BAB V TEMUAN DAN INTERPRETASI DATA

5.1 Penganut Agama Sikh di Kota Medan

Berdasarkan sejarahnya, agama ini lahir pertama kali pada abad ke lima belas dimana ajaran ini lahir karena Guru Nanak, sang pendiri agama Sikh yang menganggap bahwa hanya ada satu Tuhan. Karena ajaran akan adanya satu Tuhan, manusia bisa berhubungan langsung dengan Tuhan tanpa perlu perantaraan ritual atau pandita, dan penolakan terhadap pembedaan manusia berdasar kasta dan gender adalah poin-poin utama dalam ajaran Sikh Kompas.com020109diakses 070112pukul17.05. Dasar-dasar ajaran agama Sikh yaitu : a. Percaya pada satu Tuhan b. Percaya pada guru-guru yang ada dalam ajaran agama Sikh c. Percaya pada kita suci Guru Granth Sahib d. Percaya akan kebebasan e. Percaya akan demokrasi The Illustrated Weekly of India.1973 Jika dilihat dari sistem interaksi, terdapat perbedaan dari sistem interaksi yang ada di India dengan yang ada di Indonesia, namun perubahan dan perbedaan ini baru tampak pada masa sekarang ini. Di India, masyarakat masih sangat menjunjung sistem marga dan kasta, sehingga interaksi yang terjadi hanyalah sebatas sesama kasta dan marga saja. Hal ini juga terjadi di Sumatera Utara pada Universitas Sumatera Utara masa dahulu. Orang dari kasta rendah biasanya selalu dikucilkan, dan tidak pernah mendapat tempat di masyarakat yang memiliki marga dan kasta yang tinggi. Ini sesuai dengan penuturan Pak Gurnam yang memiliki seorang istri dari India dan memiliki banyak keluarga yang tinggal di India. Ia mengatakan, sanak saudara yang berada di India masih bergaul dan berinteraksi berdasarkan golongan marga, tetapi mereka tetap dapat melakukan ibadah dalam satu tempat yang sama. Sedangkan perihal pernikahan, masyarakat Sikh di India masih mengutamakan kesamaan golongan marga. Masyarakat Sikh masih mengalami kendala dalam berinteraksi karena faktor status sosial ekonomi yang menjadi penentu dalam berinteraksi. Hal ini terlihat dari penuturan seorang informan yang mengatakan bahwa ada pengalaman pahit yang ia rasakan ketika berinteraksi. Pak Baldev mengatakan, ia pernah merasa direndahkan oleh seorang warga Sikh yang kebetulan memiliki kampung halaman atau “pind” yang terkenal dibanding dengan “pind” yang dia miliki. Tapi menurut Pak Baldev, itu hanya sekitar 1 saja masyarakat Sikh yang masih menganggap dirinya tinggi dibanding orang lain. Pada masa sekarang ini, hal tersebut telah mulai mengalami perubahan. Interaksi yang terjadi antar warga komunitas Sikh berjalan dengan baik namun kekerabatan dan kedekatan setiap anggota kelompok biasanya masih didasarkan atas kesamaan marga, golongan, baik usia maupun status sosial ekonomi, maupun kesamaan kampung halaman. Hal ini terlihat jelas dari penuturan Pak Gurnam dan Pak Sukhminder yang mengatakan, pada masa dahulu, di Medan, perbedaan antar golongan marga itu sangat terlihat. Orang-orang dari sebuah golongan hanya mau menikah dengan golongan yang sama dengannya. Dan apabila ada interaksi yang Universitas Sumatera Utara terjalin antara golongan marga tinggi dengan golongan marga dibawahnya, maka interaksi yang terjadi hanya sekedar interaksi biasa saja, tidak seperti interaksi yang terjadi dengan sesama marga dari golongan yang sama. Selain itu, Pak Resham juga mengatakan bahwa interaksi yang terjalin pada masa sekarang ini sudah tidak terlalu membedakan yang tinggi dan yang rendahnya marga seseorang, namun interaksi yang terjalin antar warga Sikh yang berasal dari golongan yang sama akan lebih baik, malah dianggap lebih terbuka. Berdasarkan pengamatan yang ada, masyarakat Sikh mau berbaur, namun pembauran serta interaksi secara intensif yang terjadi juga atas dasar persaudaraan dan keanggotaan dalam sebuah gurdwara serta kesamaan dalam pekerjaan. Misalnya guru bahasa Inggris terlihat lebih akrab dengan guru bahasa Inggris lainnya. Hal ini sesuai dengan penuturan kedua informan yaitu Pak Gurnam dan Pak Gurdip, dimana mereka memang sesama guru bahasa Inggris, dan mereka memang akrab. Selain itu, Pak Gurdip mengatakan, ia tidak hanya dekat dengan seorang guru saja, namun ia memiliki beberapa orang teman dekat yang juga berprofesi sebagai guru bahasa Inggris. Hal ini dapat dilihat dari kegiatan keagamaan yang berlangsung di beberapa rumah ibadah umat Sikh terutama yang berada di kota Medan seperti di Gurdwara Shree Guru Arjun Dev JI yang terletak di Jl. Mawar, Gurdwara Tegh Bahadur yang berada di Jl. Polonia, di Gurdwara Nanak Dev Ji yang berada di Jl.Teuku Umar, serta Gurdwara Sikh Temple yang berada di Jl. Karya Murni. Pak Gurdip memang bergaul dengan semua warga Sikh namun ia selalu berinteraksi dan membicarakan berbagai macam hal dengan teman-teman dekatnya yang mayoritas bekerja sebagai guru privat. Universitas Sumatera Utara Berdasarkan observasi yang peneliti lakukan pada Gurdwara Shree Guru Arjun Dev Ji yang terletak di Jl. Mawar no.23 Sari Rejo pada bulan Oktober 2011, para warga Sikh membangun interaksi dengan akrab terutama antar warga yang memiliki kesamaan wilayah tempat tinggal, kesamaan anggota dalam sebuah gurdwara, serta hubungan keluarga ataupun saudara. Contohnya, para ibu-ibu yang berasal dari India akan lebih akrab berteman satu sama lain dibandingkan dengan ibu-ibu warga Sikh yang lahir dan besar di Indonesia, walaupun tidak semuanya. Ini sesuai dengan pengalaman informan sendiri yang memiliki ibu yang berasal dari India. Beliau terlihat lebih akrab dengan ibu-ibu yang berasal dari India. Kegiatan sembahyang yang berlangsung di dalam gurdwara ini tidak membedakan marga, status, maupun kelas sosial seseorang. Keberadaan mereka dianggap sama di hadapan Tuhan. Di dalam “Darbar”, para wanita akan duduk di sebelah kiri dan para lelaki akan duduk di sebelah kanan. Namun ini tidak sama pada semua gurdwara, dimana ada beberapa gurdwara yang menempatkan wanita di sebelah kanan, dan lelaki di sebelah kiri. Di tengah para lelaki dan wanita duduk, ada jalan yang menghubungkan langsung dengan “Babedide”, yaitu tempat terletaknya kitab suci Guru Granth Sahib yang dihias dan diberikan penutup kain yang terbuat dari sutra yang dapat menggunakan berbagi macam warna kain yang indah, sehingga setiap orang yang masuk ke dalam darbar, akan menuju tempat dimana diletakkannya kitab suci Guru Granth Sahib, dan akan berlutut di depan kitab tersebut dan biasanya diikuti dengan adanya pemberian uang di bawah kitab suci tersebut. Hal ini biasa disebut dengan “Methategh”. Setelah itu mereka akan mengambil “Karrah parshad” dari orang yang duduk di Universitas Sumatera Utara sebelah kiri. Seorang pembagi “Karrah parshad” ini membaginya kepada setiap orang yang datang yang siap melakukan “Methategh” tersebut. Setelah mengambil karah parshad tersebut, maka para warga Sikh akan duduk bersila ditempat mereka sambil mendengarkan nyanyian rohani yang biasa disebut dengan “Shabad”, serta khotbah yang disampaikan oleh seorang “Gianniji” atau pendeta agama Sikh. Setiap orang yang ingin memasuki area gurdwara, tidak boleh merokok, harus menggunakan pakaian sopan dan tidak terbuka, serta mereka harus tetap menutup kepala mereka dengan selendang bagi perempuan, sorban bagi laki-laki yang masih memelihara rambut panjangnya, serta saputangan bagi para lelaki yang telah memangkas rambutnya. Ini berlaku bagi semua orang yang berada dalam lingkungan gurdwara, baik itu di dalam “Darbar” yang menjadi tempat ibadah, maupun di dalam “Langgar” atau tempat makan. Masyarakat Sikh biasanya berkumpul setelah makan dan akan berbincang-bincang di “Langgar” ataupun di halaman gurdwara. Bincang-bincang ini dapat berupa berbagai hal dari masalah kecil hingga menyangkut permasalahan negara seperti yang dikemukakan oleh Pak Resham dan Pak Baldev. Di sisi lain biasanya anak-anak dan para remaja juga akan berkumpul dan berinteraksi satu sama lain, walaupun masih ada yang berkumpul berdasarkan kesamaan tempat tinggal. Namun, dengan adanya fasilitas jejaring sosial yang dimiliki oleh kebanyakan remaja Sikh terutama di kota Medan dan sekitarnya, ini menyebabkan hubungan pertemanan yang tejalin menjadi lebih luas. Para remaja dan orang dewasa yang tadinya tidak saling mengenal, namun dengan adanya fasilitas jejaring sosial, menyebabkan para remaja dan pemuda pemudi Sikh saling mengenal satu dengan yang lainnya. Universitas Sumatera Utara Walaupun dalam interaksi yang terbangun juga terjadi pengelompokan berdasarkan kesamaan dalam berbagai hal seperti yang dikemukakan diatas, namun ini tidak menghalangi kerjasama apabila ada kegiatan keagamaan yang berlangsung. Misalnya saja ketika ada perayaan hari nabi di gurdwara yang terletak di di Jl. Mawar kelurahan Sari Rejo, semua masyarakat dari berbagai usia, tempat tinggal dan marga yang berbeda berkumpul pada hari minggu untuk membersihkan dan mencuci gurdwara. Banyak anak-anak dan orang dewasa serta orangtua yang bahu membahu dalam membersihkan gurdwara ini. Disini terjalin komunikasi dan interaksi yang baik antar sesama warga Sikh dari yang paling muda sampai dengan yang paling tua sekalipun. Hal ini sesuai dengan pengamatan dan partisipasi yang dilakukan oleh peneliti pada tanggal 06 oktober 2011 di Gurdwara Shree Guru Arjun Dev Ji. Selain itu Pak Salwinder sebagai seorang pengurus yayasan juga mengatakan jika ada kegiatan keagamaan yang berlangsung, maka para warga Sikh dari berbagai wilayah dan dari banyak marga akan datang dan membantu agar kegiatan tersebut dapat terlaksana dengan lancar. Walaupun keberagaman ada dalam agama Sikh, namun ini bukan berarti membuat mereka juga memiliki perbedaan dalam rumah ibadah. Masyarakat Sikh bebas pergi ke rumah ibadah yang mana saja di Kota Medan maupun yang berada di luar kota Medan. Walaupun ada perbedaan marga, kampung halaman, pekerjaan, ekonomi serta golongan dalam marga, namun ini tidak memisahkan mereka, karena mereka beribadah dalam satu rumah ibadah yang sama, duduk di lantai yang dihiasi karpet yang dibagi menjadi dua bagian, yaitu laki-laki dan perempuan. Orang dari kalangan mana saja dapat duduk dimana saja sesuai dengan tempat yang mereka inginkan. Universitas Sumatera Utara Dalam hal pembangunan gurdwara juga tidak ada perbedaan, dimana semua masyarakat Sikh dapat menyumbangkan uang mereka untuk pembangunan gurdwara dalam bentuk apa saja seperti “Langgar” yaitu menyumbangkan makanan berbentuk sembako dan sayuran untuk gurdwara ataupun memberikan sumbangan dalam bentuk uang. Selain itu juga ada pemberian sumbangan dalam bentuk “karrah parshad”. Sumbangan seseorang tidak dibatasi oleh apapun. Pemberian sumbangan oleh warga Sikh juga dilakukan dalam hal perenovasian gurdwara. Dan sumbangan ini dapat diberikan oleh semua orang dari marga apa saja dan dari kalangan mana saja. Sumbangan pada gurdwara juga tidak terbatas pada kemampuan ekonomi seseorang, karena semua orang dapat melakukan “sewa” di gurdwara dalam bentuk apapun, seperti merapikan sepatu dan sendal para warga Sikh, membantu dalam membersihkan gurdwara, dan membantu dalam hal menyediakan makanan bagi para warga Sikh setelah kegiatan keagamaan selesai. Di dalam acara sembahyang yang dilakukan di dalam gurdwara, biasanya dipimpin oleh seorang “Gianniji” atau pendeta agama Sikh. Pendeta ini ada yang berasal dari Medan dan ada juga yang didatangkan dari India. Seorang Gianniji haruslah memiliki syarat 5K yang telah dicetuskan dalam agama Sikh. Selain itu, seorang Gianniji harus bisa membaca kitab suci Shree Guru Granth Sahib, dan dapat melakukan sembahyang sesuai dengan ajaran dalam agama Sikh. Menurut Pak Dalip Singh yang merupakan seorang tokoh agama, para Gianniji ini biasanya mempelajari dan memperdalam ajaran agama Sikh di India termasuk beliau sendiri. Ia mengatakan,tidak ada syarat utama seorang pendeta harus berasal dari golongan Jatt saja, tapi semua golongan marga dalam Sikh dapat menjadi seorang Universitas Sumatera Utara pendeta, dengan syarat ia merupakan seseorang yang telah berhasil mematuhi ajaran “Guru” dan memiliki 5K. Dari keberadaan wilayah tempat tinggal, masyarakat kelurahan Sari Rejo amatlah ramah tamah dan jika dilihat dari keberadaan warga Sikh di kedua kelurahan tersenut, maka masyarakat Sikh yang tinggal di kelurahan Sari Rejo lebih diakui keberadaannya jika dibanding dengan yang tinggal di kelurahan Sunggal. Hal ini terjadi karena adanya rumah ibadah yang terletak di kelurahan tersebut sehingga menyebabkan warga sekitar mengenal keberadaan warga Sikh di lingkungan mereka. Selain itu, wilayah Sari Rejo sejak dahulu telah menjadi tempat tinggal bagi kebanyakan masyarakat Sikh yang memliki marga serta sistem mata pencaharian yang berbeda-beda. Masyarakat yang tinggal di kelurahan Sari Rejo telah mengetahui perbedaan antara agama Sikh dan agama Hindu. Bahkan warga non Sikh di kelurahan Sari Rejo bisa berbahasa Punjabi dan mengenal semua warga Sikh yang tinggal di kelurahan tersebut. Jika berbicara dengan warga yang mayoritas merupakan orang Jawa, tidak heran jika sesekali mereka menggunakan kata dalam bahasa Punjabi ketika berbicara, dan bahkan pengucapannya yang dibilang cukup fasih. Ini terlihat ketika peneliti melakukan observasi mendalam di kelurahan Sari Rejo. Para warga yang tinggal bersebelahan dengan warga Sikh, bisa mengucapkan kata Satshriakal yang kata ini biasa digunakan oleh semua warga Sikh ketika bertemu maupun bertegur sapa baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Selain itu, para warga pribumi ini juga mengetahui pengucapan beberapa arti kata dalam bahasa Punjabi seperti pengucapan angka, dan bahasa dalam percakapan sehari-hari seperti menyebutkan nama abang maupun kakak, paman, dan sebagainya. Universitas Sumatera Utara Sedangkan masyarakat di kelurahan Sunggal hanya sebatas mengetahui bahwa orang Sikh merupakan keturunan India, dan beranggapan bahwa umat Sikh beragama Hindu. Selain itu, jika dilihat kedekatan yang terjadi antar warga Sikh, maka kedekatan antar warga yang tinggal di kelurahan Sari Rejo terlihat lebih akrab dan lebih sering berinteraksi, bahkan interaksi ini berlangsung dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini berbeda jika dibandingkan dengan yang tinggal di kelurahan Sunggal, dimana warga Sikh di kelurahan Sunggal tidak dapat berkomunikasi setiap hari. Hal ini terjadi karena di kelurahan Sari Rejo, warga Sikh memiliki rumah yang berdekatan, dan bahkan banyak yang saling bertetangga. Beda jika dibandingkan dengan yang berada di kelurahan Sunggal, dimana letak rumah antar warga Sikh yang satu dengan yang lainnya tidaklah terlalu dekat, dan bahkan terkadang haruslah menggunakan kendaraan untuk menuju rumah rumah warga Sikh lainnya. Dalam hal interaksi dengan masyarakat non Sikh, interaksi yang terbangun sangat baik, dan tidak dibatasi oleh apapun. Warga Sikh dimana pun mereka berada mau bergaul dengan masyarakat sekitar baik dari agama maupun dari golongan sosial ekonomi yang berbeda. Bahkan karena interaksi yang terjalin cukup baik, tidak jarang seorang warga Sikh dapat berbahasa sesuai dengan lingkungan dimana ia tinggal. Hal ini sesuai dengan penuturan Pak Gurnam yang mengatakan ia dapat berbahasa Tionghoa dan Tamil. Ada juga pak Resham yang merupakan seorang tour guide yang bisa berkomunikasi dengan orang Eropa, sehingga ia dapat berbahasa Prancis dengan fasih. Selain itu, banyak juga warga Sikh yang bisa berbahasa Jawa dengan lancar karena tinggal di lingkungan yang mayoritas penduduknya merupakan orang Jawa. Selain itu, ada juga warga Sikh Universitas Sumatera Utara yang bisa berbahasa Batak dan Karo karena tinggal di lingkungan dengan mayoritas penduduknya merupakan orang Batak dan Karo. Kesemua ini menunjukkan bahwa warga Sikh memang mau berinteraksi dengan masyarakat sekitar baik dari suku maupun agama apapun. Jika melihat keberadaan marga yang terdapat di kedua wilayah, maka warga Sikh yang tinggal di Kelurahan Sari Rejo selama lebih dari 5 tahun terdiri dari Sandhu, Aulakh, Randhawa, serta Bajwa. Sedangkan warga Sikh yang tinggal di Kelurahan Sunggal selama lebih dari 5 tahun terdiri dari berbagai macam marga yakni Brar, Bhullar, Chahal, serta Ghuman. Marga-marga ini yang dijadikan sebagai bagian dari informan dalam penelitian ini. 5.2 Keberagaman Marga Dalam Komunitas Sikh 5.2.1 Pengetahuan Akan Sistem Marga dalam Agama Sikh