Gejala Pola Nafkah Rumahtangga Pedagang Warung di Curug

50 51 BAB VI STRUKTUR NAFKAH RUMAHTANGGA PEDAGANG WARUNG DI PEMANDIAN AIR PANAS LOKAPURNA DAN CURUG CIGAMEA Bab ini menjelaskan tentang struktur nafkah yang didapat oleh responden akibat kegiatan nafkah di sekitar Pemandian Air Panas Lokapurna dan Curug Cigamea khususnya rumahtangga pedagang warung yang buka setiap hari. Sumber pendapatan dibagi menjadi pertanian, ekowisata, serta non-pertanian bukan ekowisata. Pendapatan pertanian terdiri dari mengusahakan lahan sendiri dengan mengelolanya sendiri, mengusahakan lahan sendiri dengan bantuan tenaga kerja tambahan yang diupah, mengelola lahan orang lain. Sektor pertanian lainnya adalah peternakan, yang terdiri dari mengurus kambing orang lain dengan upah bagi hasil, dan beternak ayam. Pendapatan yang berasal dari sektor ekowisata, seperti warung, penginapan, jasa ketering, jaga loket, penyewaan bale, homestay, usaha parkir, dan lainnya. Sektor non-pertanian bukan ekowisata seperti kuli bangunan, karyawan, wiraswasta, dan lainnya. Tingkat pendapatan rumahtangga ditentukan oleh jumlah pendapatan yang didapat dari setiap sektor dalam satu tahun. Penentuan tingkat pendapatan tinggi, sedang, dan rendah dihitung dengan kaidah kurva sebaran normal, dengan bantuan Microsoft excel 2007 .

6.1 Tingkat Pendapatan, Struktur Nafkah, dan Tingkat Kemiskinan

Rumahtangga Pedagang Warung di Air Panas Lokapurna dan Curug Cigamea Masyarakat sekitar yang membuka warung di kawasan obyek wisata memiliki strategi nafkah yang berbeda sesuai dengan sumber nafkah yang tersedia ataupun sumber nafkah yang dimiliki untuk melakukan aktivitas nafkah. Dari aktivitas nafkah tersebut maka terbentuklah struktur nafkah dari tingkat pendapatan yang berasal dari pertanian, ekowisata, dan non-pertanian bukan ekowisata. Struktur nafkah yang telah terbentuk tersebut dapat dilihat pula tingkat kemiskinan yang terjadi pada responden di kedua lokasi penelitian yang akan diukur dengan acuan standar kemiskinan dari World Bank sebesar USD 2.00. 6.1.1 Pendapatan dari Sektor Pertanian Pada Rumahtangga Pedagang Warung Di Pemandian Air Panas Lokapurna Sektor pertanian bukan termasuk sektor utama dalam hal aktivitas nafkah bagi rumahtangga yang sudah tersentuh oleh pariwisata seperti di Pemandian Air Panas Lokapurna. Sebagian besar dari masyarakat sekitar lokasi wisata ini telah memanfaatkan peluang untuk mencari nafkah di sektor wisata dan non-pertanian bukan wisata. Namun, masih ada beberapa orang yang memiliki pendapatan dari sektor pertanian, walaupun lahan atau ternak yang dimiliki tidak begitu banyak dan hanya untuk dikonsumsi sendiri. Lahan pertanian yang telah masuk ke kawasan Taman Nasional membuat masyarakat juga tidak bisa berbuat apa-apa 52 lahan yang dulunya mereka garap diambil Taman Nasional dan sudah dilarang untuk membuka hutan untuk memperluas lahan pertanian. Selain itu, sawah- sawah pun banyak yang telah dijual ke orang luar desa untuk didirikan bangunan, sementara si pemilik hanya menjadi buruh taninya saja. Rumahtangga pedagang warung di Pemandian Air Panas Lokapurna sebagian besar mendapatkan penghasilan dari sektor pertanian bukan untuk dijual melainkan dikonsumsi sendiri untuk menghemat beras. Dari hasil penelitian 20 responden rata-rata sebesar 4 persen saja dalam menyumbang pendapatan keseluruhan rumahtangga. produk pertanian yang biasanya dijual adalah buah- buahan dan ada juga yang menjual tanaman padinya ke tengkulak ataupun langsung ke pasar. Kutipan berikut ini akan mengemukakan tentang salah satu responden yang mengkonsumsi hasil panen padinya sendiri. Tingkat pendapatan rumahtangga yang masih memanfaatkan sektor pertanian dan mendapatkan rata-rata penghasilan yang berasal dari sumber pendapatan pertanian per tahunnya dibagi dalam tiga kategori menurut lapisannya, yaitu kategori lapisan bawah 7 responden berada di Rp717 143 per tahun, kategori lapisan menengah 6 responden Rp887 500 per tahun, dan kategori lapisan atas 7 responden Rp1 138 571 per tahun. Pendapatan yang dihitung merupakan hasil dari lahan pertanian dan juga usaha-usaha yang berkaitan dengan sektor pertanian selama satu tahun. Pendapatan tersebut berasal dari hasil penjualan buah-buahan dari kebun buah yang dimiliki, menjadi pengurus empang, beternak ayam, pengurus kambing, dan bertani. Data disajikan secara lebih rinci pada Gambar 5. Pendapatan rumahtangga sektor pertanian pada lapisan atas disebabkan oleh banyaknya responden memiliki lahan sendiri yang berada di luar kawasan Taman Nasional dan mengusahakan hasil pertaniannya untuk dijual, tetapi ada juga yang digunakan untuk dikonsumsi sendiri, selain itu dalam lapisan ini juga sudah tidak mengolah lahannya sendri melainkan telah menggunakan tenaga kerja bukan keluarga yang diupah. Kategori lapisan bawah merupakan responden yang didominasi oleh rumahtangga yang tidak memiliki akses terhadap pertanian karena tidak memiliki lahan atau ternak untuk diolah. Kategori tingkat pendapatan pada lapisan menengah, masih didominasi oleh responden yang tidak memiliki lahan pertanian, akan tetapi ada juga responden yang memiliki lahan pertanian yaitu sawah yang hasilnya dikonsumsi sendiri serta ada juga yang dijual ke tengkulak. Data disajikan secara lebih ringkas dalam grafik pada Gambar 5. “Saya mempunyai sawah seluas 500 meter persegi yang saya tanami dengan padi, sawah tersebut tidak saya kelola sandiri melainkan mempekerjakan orang lain untuk mengolah sawah tersebut. Dalam setahun sawah tersebut dapat menghasilkan 2 kali panen dengan hasil 40 liter tiap panennya. Hasil panen tersebut saya konsumsi sendiri untuk makan keluarga dan juga menghemat pembelian beras. Tenaga kerja yang saya gunakan berjumlah dua orang yang saya upah masing-masing Rp175 000 per panennya, biaya produksi seperti pupuk menghabiskan Rp180 000 per panennya, kalu ditotal-total saya menghabiskan Rp1 060 000 dua kali panen.” Ibu MRS 33 tahun