Jenis Mata Pencaharian di Pemandian Air Panas Lokapurna dan

41 “Warga di sini kebanyakan sudah tidak bertani lagi. Kalaupun ada yang bertani hanya menjadi buruh tani. Suami saya mengurus kambing milik orang lain, yang nanti pembagian hasilnya adalah jika kambing tersebut sudah beranak, dan anakannya tersebut dibagi dua. Hasil tersebut biasanya saya gunakan untuk konsumsi sendiri buat makan” Ibu OND 37 tahun, pedagang warung milik orang lain, jika sudah beranak banya barulah dijual ataupun dikonsumsi sendiri. Hewan yang banyak diternakan di lokasi ini adalah ayam ada juga yang beternak kambing tapi dia mengurus kambing orang lain jika sudah beranak hasilnya akan dibagi, dalam bahasa setempat hal ini disebut maro. Hal ini seperti kutipan cerita Ibu OND 37 tahun berikut ini: 2. Pola nafkah ganda Strategi ini umumnya banyak digunakan pada rumahtangga yang bertani, tapi tidak sedikit juga rumahtangga responden yang tidak bertani tapi melakukan pola nafkah ganda. Mereka mencari alternatif tambahan lain selain dari pertanian, dengan adanya obyek wisata pemandian air panas otomatis membawa peluang usaha bagi rumahtangga. Nafkah ganda juga dilakukan oleh rumahtangga yang berusaha di pemandian air panas untuk bekerja di luar jasa wisata seperti menjadi supir, karyawan, maupun kuli bangunan. Pola nafkah ganda ini dilakukan karena pendapatan dari sektor pertanian dirasakan belum mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup rumahtangga, sehingga dari hasil analisis primer sebanyak 20 responden di lokasi hampir seluruhnya memiliki sedikitnya dua jenis mata pencaharian. 3. Migrasi Strategi ini dilakukan oleh rumahtangga yang menjadi kuli bangunan di luar desa, biasanya mereka memilih ke luar desa karena tidak terlalu banyak pekerjaan di dalam desa dan juga menambah penghasilan rumahtangga. Para kuli bangunan ini dalam seminggu memiliki waktu minimal tiga hari untuk “menguli”, setelah urusannya selesai mereka akan kembali lagi ke desa. Di pemandian air panas ini juga ditemukan responden yang berasal dari luar daerah yang berdagang di lokasi ini. Responden tersebut termasuk penglaju karena setelah berdagang di lokasi obyek wisata dia akan pulang setiap sore harinya ke rumah.

5.2.2 Strategi Nafkah Rumahtangga Pedagang Warung di Curug

Cigamea Sama halnya dengan Pemandian Air Panas Lokapurna, di Curug Cigamea juga terdapat beberapa orang yang masih memanfaatkan pertanian dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Akan tetapi, adanya obyek wisata Curug Cigamea yang selalu ramai pengunjung ini dan juga menjadi primadona dari obyek wisata lainnya yang ada di kawasan GSE membuat banyak masyarakat sekitar yang tertarik membuka usaha di lokasi tersebut dan mencari nafkah untuk menyambung kehidupan rumahtangga masing-masing. 1. Intensifikasi dan diversifikasi pertanian 42 Adanya obyek wisata Curug Cigamea membuka peluang usaha bagi masyarakat untuk berusaha di luar bidang pertanian. Lahan untuk bertani juga sudah sempit dengan pemukiman dan sudah dilarang untuk bertani di kawasan Taman Nasional. Rumahtangga yang masih bertani tidak mengelola sawahnya ataupun ternaknya sendiri, mereka dibantu oleh tenaga kerja yang mereka upah dengan cara pemberian uang atau bagi hasil. Sama seperti di pemandian air panas, tidak sedikit rumahtangga yang menggunakan hasil panennya untuk dijual melainkan untuk dikonsumsi sendiri atau subsisten sebagai bahan pokok makanan. Hasil panen yang digunakan sendiri tersebut seperti padi, salah satu reponden mengaku hasil panen padinya dikonsumsi sendiri untuk menghemat pengeluaran untuk membeli beras. Hal ini seperti kutipan pernyataan Ibu SRN 50 tahun, berikut ini 2. Pola nafkah ganda Strategi ini banyak 14 responden digunakan untuk menambah penghasilan utama responden. Rumahtangga di Curug Cigamea selain memanfaatkan pertanian ada juga yang memanfaatkan bekerja di pariwisata maupun di luar sektor tersebut. Hal tersebut dilakukan untuk meningkatkan pendapatan rumahtangga dan agar dapat betahan hidup dalam menghadapi perubahan mata pencaharian. 3. Migrasi Migrasi dilakukan oleh rumahtangga yang diantara anggota rumahtangganya bekerja di luar desa. Pada responden di Curug Cigamea, strategi migrasi ditemukan pada rumahtangga yang suami atau anaknya bekerja sebagai kuli bangunan dan supir. Jika pekerjaan mereka di luar desa telah selesai mereka akan kembali membawa gaji mereka ke rumah masing-masing. Pada pekerjaan supir, biasanya mereka akan pulang pada hari itu juga karena jarak yang ditempuh masih bisa dijangkau jika mereka kembali ke desa pada hari itu juga.

5.3 Gejala Pola Nafkah Ganda Rumahtangga Pedagang Warung di

Pemandian Air Panas Lokapurna dan Curug Cigamea Salah satu cara dalam mempertahankan hidup pada masyarakat pedesaan adalah dengan menerapkan strategi nafkah ganda, di mana seseorang dapat memiliki lebih dari satu mata pencaharian lain di samping mata pencaharian utamanya. Menurut Sconess 1998 dalam Mardiyaningsih 2003 rumahtangga petani memanfaatkan berbagai sumberdaya yang dimiliki dalam upaya mempertahankan hidup.Hal ini juga berlaku pada rumahtangga pedagang warung “Saya mempunyai sawah yang berada di luar Taman Nasional luasnya tidak terlalu luas hanya 200 meter persegi. Setahun bisa dua kali panen, sekali panen bisa dapat 40 liter. Hasil panen itu saya gunakan untuk makan keluarga saya lumayan menghemat pembelian beras yang harganya lagi naik. Kalau beli di warung beras harganya Rp7 000 per liter, kalau kita sudah punya persediaan beras dari hasil panen selama setahun lumayan menghemat pengeluaran sebesar Rp560 000 untuk beras” Ibu SRN 50 tahun, pedagang warung 43 di obyek wisata pemandian air panas Lokpurna dan Curug Cigamea. Mayoritas penduduk di Kampung Ciparay dan Kampung Rawa Bogo mencari nafkah dengan berdagang warung di sekitar obyek wisata, mereka menjajakan dagangannya secara menetap di lokasi karena tempat yang mereka gunakan untuk berdagang termasuk rumah bagi mereka. Meskipun lahan yang dipakai bukan lahan milik sendiri, yaitu lahan Taman Nasional tetapi rumahtangga yang membuka usaha di lokasi wisata tidak dipungut retribusi oleh pengelola. Hal ini dikemukakan hampir seluruh responden, salah satunya adalah Ibu berinisial MRS berusia 33 tahun yang berdagang warung di pemandian air panas sejak 10 tahun: Hal serupa juga dinyatakan oleh Ibu UMR yang membuka usaha warung di Curug Cigamea. Saat ini dirinya sudah tidak lagi dimintai retribusi karena membuka warung di kawasan wisata. Dari kutipan percakapan di atas memperlihatkan akses masyarakat lokal terhadap lokasi yang telah masuk kawasan dilindungi masih cukup bebas. Tidak adanya pungutan oleh pengelola membuat banyak masyarakat yang menggantungkan hidupnya di sektor pariwisata. Namun, pendapatan dari membuka warung di lokasi obyek wisata juga tidak menentu, kadang ramai kadang juga sepi pengunjung. Untuk tetap mempertahankan kehidupan rumahtangga, tidak jarang baik rumahtangga di pemandian air panas maupun Curug Cigamea melakukan pola nafkah ganda. Nafkah ganda ini biasa dilakukan dengan mengkombinasikan pekerjaan di sektor pertanian dengan sektor pertanian, sektor pertanian dengan sektor non-pertanian, non-pertanian dengan non- pertanian, pertanian dengan ekowisata, ekowisata dengan ekowisata, dan ekowisata dengan non-pertanian dan ekowisata. Berdagang warung di lokasi wisata adalah jenis pekerjaan di sektor ekowisata.

5.3.1 Gejala Pola Nafkah pada Rumahtangga Pedagang Warung di Pemandian Air Panas Lokapurna

Pola nafkah ganda yang dilakukan oleh pedagang warung di lokasi ini adalah: suami dan istri sama-sama bekerja di sektor wisata dan non-pertanian non wisata, suami dan atau istri bekerja dengan lebih dari satu pekerjaan pada musim- musim tertentu, suami bekerja di sektor pertanian dan atau istri bekerja di sektor non-pertanian bukan ekowisata. Rumahtangga keluarga luas di mana ayah, ibu, anak, maupun menantu bekerja. Berikut akan dijelaskan bagaimana gejala-gejala tersebut terjadi dalam membangun nafkah rumahtangga pedagang warung. “Tanah di sini memang belum punya IMB. Tanah di sini milik Taman Nasional tapi warga di sini tidak dipungut biaya sewa oleh Taman Nasional, tapi dengan satu syarat masyarakat tidak boleh merusak hutan dan harus menjaga lingkungan.” Ibu MRS 33 tahun “Di sini emang kawasan Taman Nasional, tapi tidak ada pungutan pajak sewa tanah, masyarakat bebas berusaha di sini asal tidak membangun atau menambah bangunan baru dan permanen di dalam kawasan, masyarakat juga sadar akan lingkungan, buktinya masyarakat yang berdagang di sini membersihkan sampahnya masing-masing dan sudah tidak lagi merambah hutan. Dulu ada pungutan sebelum Taman Nasional dipungut sebesar Rp30 000 per rumah sekarang sudah tidak lagi.” Ibu UMR 35 tahun 44 - Rumahtangga dengan suami istri yang bekerja di sektor wisata dan non-pertanian bukan ekowisata Rumahtangga ini ditunjukkan dengan istri yang bekerja sebagai pedagang warung di obyek wisata dan suaminya bekerja sebagai seorang sales. Contoh kasus rumahtangga ini adalah rumahtangga ibu NN 27 tahun, yang kebetulan juga merupakan warga penglaju dari daerah Leuwiliang: Dari hasil percakapan tadi diketahui bahwa Ibu NN berdagang warung untuk tambahan pendapatan rumahtangganya dan juga membantu suaminya yang bekerja sebagai sales di suatu perusahaan. Bu NN juga mengemukakakan pendapatan dari berdagang warung tidak menentu tergantung banyaknya pengunjung yang berbelanja di warungnya. Selain itu, Ibu NN juga berdagang setiap hari dari pagi hingga sore hari dan pulang ke rumahnya di Leuwiliang. Menurut Ibu NN penghasilan yang di dapat cukup untuk makan dan juga biaya sekolah anak-anak. - Tipe rumahtangga dengan pola nafkah yang kedua yaitu, suami dan atau istri bekerja dengan lebih dari satu pekerjaan pada musim- musim tertentu. Hal ini terlihat pada rumahtangga Pak WNT 53 tahun yang bekerja sebagai penganyam bambu dan menjaga villa saat akhir pekan dan saat musim liburan tiba, serta membuka homestay jika ada anak sekolah maupun mahasiswa yang sedang penelitian. Berikut kutipan wawancara mendalam bersama Pak WNT tentang strategi yang diterapkan untuk bertahan hidup: “Saya bersama istri sudah berusaha di pemandian air panas ini selama 15 tahun membuka warung. Saya menjaga villa juga dengan upah yang diberikan dari pemilik villa Rp200 000 setiap ada yang menginap. Biasanya sebulan bisa sekali, kalo ramai seperti tahun baru kemarin biasanya harga sewa dinaikkan dua kali lipat yang awalnya Rp200 000 per malam menjadi Rp400 000 sampai Rp600 000 per malam. Penyewaan villa juga tidak bisa ditentukan pendapatannya sama seperti warung karena yang menginap jarang, apalagi akhir-akhir ini sepi. Pekerjaan apa aja saya kerjakan, yang penting halal dan bisa buat makan orang rumah. “Saya sudah berusaha di pemandian air panas ini sekitar dua tahun, saya membuka warung ini dengan alasan dekat dengan orang tua dan menambah-nambah pendapatan rumahtangga. saya berdagang setiap hari di sini dari jam 09.00 WIB sampai jam 16.00 WIB. Biasanya sehari bisa dapet Rp30 000 kalau hari biasa di sini sepi, saya pernah mangalami sehari berjualan dan tidak dapat pemasukkan. Pemandian air panas ini ramainya kalu sudah musim liburan sekolah, lebaran, atau tahun baruan. Saat-saat seperti itu lumayan pemasukkannya dari warung sehari bisa Rp100 000. Hari sabtu minggu saya juga tetap berdagang dan lumayan ramai juga biasanya bisa dapat Rp100 000 sampai Rp200 000. Suami saya bekerja sebagai karyawan di perusahaan, kerja jadi sales, setiap bulan di gaji Rp1 500 000. Hasil yang didapat dari warung dan gaji suami cukup untuk makan sama memenuhi kebutuhan sehari-hari. Itu juga sudah sangat bersyukur. Terlebih sekarang harga kebutuhan pokok mengalami kenaikan. Pengunjung yang datang juga terkadang hanya sedikit belanja di warung, sebab sudah membawa bekal atau makanan dari luar.” Ibu NN 27 tahun, pedagang warung