Kondisi Sosial-Ekonomi Responden di Pemandian Air Panas Lokapurna

34 - Pendidikan Terakhir Di Curug Cigamea pendidikan terakhir responden cukup beragam dibandingkan dengan di pemandian air panas yang sebagian besar hanya tamatan SD, dan kebanyakan anak dari orang tua yang berusaha di Curug Cigamea sudah banyak yang sampai perguruan tinggi. Pendidikan masyarakat yang tamat SD sebanyak 13 orang, yang tamat SMP sebanyak 5 orang, dan yang tamat SMA sebanyak 2 orang. Di pemandian air panas dan Curug Cigamea telah manyadari pentingnya arti pendidikan, untuk itu mereka yang hanya tamatan SD tidak ingin anak mereka tidak bisa bersekolah dan memiliki nasib yang sama seperti orang tuanya. Masyarakat yang telah sadar tersebut semaksimal mungkin mancari nafkah untuk dapat menyekolahkan anak-anaknya sampai jenjang yang tinggi. Tingkat pendidikan yang terlihat beragam di sini tidak memungkiri bahwa tingkat pendidikan masyarakat masih rendah terbukti sebanyak 13 orang dari total responden masih tamatan SD. Data disajikan pada Tabel 10. Tabel 10 Tingkat pendidikan terakhir Responden di Curug Cigamea Pendidikan Terakhir Frekuensi orang Persentase Tamat SD 13 65 Tamat SMP 5 25 Tamat SMA 2 10 Jumlah 20 100 - Mata Pencaharian Mata pencaharian masyarakat yang telah mengalami perubahan setelah adanya wisata Gunung Salak Endah dari yang sebelumnya bertani dengan menggarap lahan setelah adanya wisata menjadi lebih banyak yang mendapatkan sumber penghidupannya dari sektor non-pertanian. Sebagian masyarakat di sekitar obyek wisata Curug Cigamea khususnya Kp Rawa Bogo RT 1 RW 9 adalah pedagang warung. Dari 20 responden yang ditemui di lapangan seluruhnya adalah pedagang warung di kawasan wisata air terjun tersebut. Untuk menambah pemasukan yang lebih tidak jarang dari mereka yang mempunyai lebih dari satu warung. Masyarakat yang membuka warug tersebut juga ada yang mencari nafkah di luar desa sebagai kuli bangunan ataupun berwiraswasta. Meskipun, sektor non- pertanian cukup mendominasi, ada juga masyarakat yang masih mencari nafkah di pertanian. Masa panen padi yang bisa dinikmati masyarakat biasanya dua kali per tahun. Mereka yang masih memiliki sawah juga masih manggunakan teknologi tradisional untuk mengelola sawahnya, seperti menggunakan kerbau dan cangkul. Mereka juga mempekerjakan orang dari luar rumahtangga untuk menggarap dan mengelola sawah mereka, yang pendapatannya berupa bagi hasil, menggaji, atau dijual ke tengkulak. Masuknya kawasan Curug Cigamea ke dalam perluasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak, membuat masyarakat merasa khawatir dan terancam. TNGHS dengan basisnya yang menginginkan kawasan hutan menjadi hutan konservasi membuat masyarakat merasa kehidupan mereka selama berpuluh- puluh tahun terancam keberadaannya. Berbagai isu tentang penggusuran lahan 35 “Kalau Saya, siapapun pengelolanya mau Pemda, Perhutani, sampai Taman Nasional yang penting saling menghormati dan bertoleransi tidak saling menggangu. Toh saya juga di sini tidak merusak hutan dan saya juga tidak mau jika dibilang perusak hutan. Pihak TN belum melakukan penyuluhan-penyuluhan ke warga mengenai konservasi. Setahu saya, kawasan ini masih dikelola oleh Pemda.” LLM 36 tahun, pedagang warung dan villa-villa yang ada membuat masyarakat menentang hal tersebut, karena mereka telah hidup dan mencari nafkah dari adanya wisata tersebut. Salah seorang responden yang tidak setuju dengan adanya penggusuran lahan menyatakan: Pernyataan Pak DDN tersebut dirasakan juga oleh masyarakat yang lain yang menggantungkan hidupnya dari berdagang di kawasan wisata. Tidak dapat dipungkiri masuknya Taman Nasional telah menimbulkan konflik di antara masyarakat dengan pihak TNGHS, terlebih pihak TNGHS belum terlalu melakukan pendekatan dan komunikasi lebih lanjut mengenai pengelolaan dan juga pemahaman tentang zonasi-zonasi Taman Nasional. Selain itu, banyak masyarakat yang belum mengetahui kawasannya telah dikelola oleh Taman Nasional padahal serah terima pengelolaan ini sudah berjalan kurang lebih 10 tahun. Seperti pernyataan Ibu LLM 36 tahun berikut ini: Dapat dilihat masyarakat yang tinggal di sekitar obyek wisata Curug Cigamea menggantungkan kehidupannya pada sektor non-pertanian dan khusunya wisata. Mereka berjualan makanan dan minuman, baju ganti, tukang parkir, penjaga loket, tukang foto keliling, dan lain-lain. “Kita juga manusia makhluk hidup ciptaan Tuhan, jika hewan dan tumbuhan saja dilindungi masa’ kita mau dibinasakan. Kita di sini ingin dibina bukannya dibinasakan.” DDN 33 tahun, pedagang warung dan pembuka kios souvenir 36