71 Sumber  nafkah  berikutnya  adalah  sektor  non-pertanian  bukan  ekowisata.
Sektor  ini  dimanfaatkan  lebih  sering  oleh  rumahtangga  lapisan  atas,  mereka bekerja  sebagai  kuli  bangunan,  karyawan,  menjual  anyaman  bilik,  tukang  kredit,
dan  juga supir. Rata-rata  pendapatannya  adalah sebesar  Rp10 148 571 per tahun atau sebanyak 34 persen. Rumahtangga lapisan menengah dan bawah tidak terlalu
memanfaatkan sektor ini karena masuh bergantung pada ekowisata.
Dari  hasil  struktur  nafkah  tersebut  dapat  dilihat  tingkat  kemiskinan  pada rumahtangga  responden  di  Pemandian  Air  Panas  Lokapurna.  Acuan  garis
kemiskinan yang digunakan adalah garis kemiskinan menurut World Bank sebesar USD  2.00  atau  setara  dengan  kurang  lebih  Rp20  000  per  kapita  perhari.  Dari
hasil  penghitungan  yang  dilakukan  rumahtangga  responden  lapisan  atas berdasarkan  sumber  pendapatan  pertanian  sebesar  Rp780  per  kapita  per  hari,
ekowisata  sebesar  Rp12  722  per  kapita  per  hari,  serta  non-pertanian  bukan ekowisata Rp6 951 per kapita per hari.
Rumahtangga lapisan menengah, sektor pertanian sebesar Rp608 per kapita per  hari,  ekowisata  sebesar  Rp13  746  per  kapita  per  hari,  serta  non-pertanian
bukan  ekowisata  Rp1  025  per  kapita  per  hari.  Rumahtangga  lapisan  bawah mendapatkan  pendapatan  per  kapita  per  hari  dari  sektor  pertanian  adalah  Rp491
per  kapita  per  hari,  ekowisata  Rp8  366  per  kapita  per  hari,  serta  non-pertanian bukan ekowisata Rp1 198 per kapita per hari.
Hal  ini mengindikasikan  rumahtangga  pedagang warung  di  Pemandian  Air Panas Lokapurna masih berada dibawah garis kemiskinan karena masih berada di
bawah  standar  garis  kemiskinan  World  Bank  yaitu  kuruang  lebih  Rp20  000  per kapita  per  hari  jika  dilihat  dari  rata-rata  sumber  pendapatannya,  namun  total
pendapatan  dari  setiap  sumber  nafkah  yang  telah  melebihi  standar  USD  2.00 terdapat  pada  rumahtangga  lapisan  atas  yaitu  sebesar  Rp20  453  per  kapita  per
harinya.
Struktur  nafkah  rumahtangga  pedagang  warung  di  Curug  Cigamea  juga dibagi  dalam  tiga  sumber  pendapatan  yaitu  pertanian,  ekowisata,  serta  non-
pertanian  bukan  ekowisata.  Rumahtangga  pedagang  warung  di  Curug  Cigamea dibagi  dalam  tiga  lapisan,  yaitu  rumahtangga  lapisan  atas  5  responden,
rumahtangga lapisan menengah 7 responden, dan rumahtangga lapisan bawah 8 responden.  Kontribusi  yang  diberikan  dari  sektor  pertanian  tidak  terlalu  terasa
bagi  sebagian  besar  responden  karena  tidak  ada  lagi  lahan  untuk  pertanian  di dalam kawasan Taman Nasional.
Pada lapisan atas sektor pertanian didapat dari hasil menjual padi dan ternak Ayam  Bangkok.  Ternak  Ayam  Bangkok  ini  cukup  menguntungkan  bagi
rumahtangga  yang  mengusahakannya.  Rumahtangga  lapisan  atas  mendapatkan kontribusi  dari  pertanian  sebesar  Rp1  700  000  per  tahunnya,  kontribusi  dari
ekowisata  sebesar  Rp35  664  000  per  tahunnya,  kontribusi  non-pertanian  bukan ekowisata  sebesar  Rp8  544  000  per  tahunnya.  Pada  rumahtangga  lapisan
menengah  kontribusi  sektor  pertanian  adalah  Rp685  714  per  tahun,  kontribusi sektor ekowisata Rp20 262 857 per tahun, kontribusi sektor non-pertanian bukan
ekowisata  sebesar  Rp8  160  000  per  tahun.  Rumahtangga  lapisan  bawah mendapatkan  kontribusi  sektor  pertanian  sebesar  Rp726  250  per  tahun,  sektor
ekowisata Rp17 074 000 per tahun, sektor non-pertanian bukan ekowisata sebesar Rp1 530 000 per tahun. Hal ini memperlihatkan sektor luar pertanian memberikan
kontribusi yang signifikan pada total pendapatan rumahtangga di semua lapisan.
72 Analisis  tentang  tingkat  kemiskinan  terhadap  rumahtangga  pedagang
warung di Curug Cigamea dilihat dari acuan standar World Bank yaitu USD 2.00 per kapita per hari menunjukkan bahwa para pedagang warung lapisan atas telah
berada di atas garis kemiskinan. Pendapatan per kapita mereka sebesar Rp20 962 per  kapita  per  hari.  Rumahtangga  lapisan  atas  telah  melebihi  standar  angka
kemiskinan  World  Bank  yaitu  Rp20  000  per  kapita  per  hari.  Hal  ini  membuat rumahtangga lapisan atas telah berada di atas garis kemiskinan, sedangkan lapisan
menengah  dan  bawah  masih  di  bawah  garis  kemiskinan.  Hal  ini  menjelaskan bahwa  ekowisata  belum  dapat  mengurangi  angka  kemiskinan  yang  terjadi  pada
responden di Curug Cigamea.
Pada  perbandingan  tingkat  struktur  nafkah  rumahtangga  responden  di  ke dua lokasi, terlihat responden di Curug Cigamea memiliki total pendapatan yang
lebih  tinggi  daripada  responden  di  Pemandian  Air  Panas  Lokapurna.  Sektor ekowisata  di  kedua  lokasi  memberikan  kontribusi  yang  besar  bagi  pendapatan
rumahtangga.  Sektor  non-pertanian  bukan  ekowisata  juga  penting  bagi rumahtangga  setelah  ekowisata.  Sektor  ekowisata  yang  memberikan  persentase
terbesar  di  Pemandian  Air  Panas  Lokapurna  dan  Curug  Cigamea  adalah rumahtangga lapisan sedang dan rendah. Sektor pertanian di kedua lokasi di setiap
lapisan menyumbang pendapatan paling kecil daripada sektor yang lain.
73
BAB VII
ANALISIS STRUKTUR DAN STRATEGI NAFKAH MASYARAKAT TERHADAP PENGELOLAAN EKOWISATA
7.1 Sejarah  Sistem  Pengelolaan  Kawasan  Wisata  Alam  Gunung  Salak
Endah Adanya  kawasan  wisata  alam  Gunung  Salak  Endah  tentunya  telah
membawa  perubahan  pada  kondisi ekonomi,  sosial, serta  lingkungan  masyarakat setempat  yang  secara  langsung  terlibat  dalam  pengelolaan  atau  pemanfaatan
kawasan wisata. Kawasan yang awalnya diperuntukkan untuk kegiatan pertanian berupa lahan garapan seluas 256 hektar bagi veteran perang Lokapurna pada tahun
1967 dengan seiring berjalannya waktu dan dibukanya kawasan ini untuk kegiatan pariwisata pada tahun 1987 oleh Bupati Bogor yang pada saat itu dikenal dengan
nama  “Kawasan  Wisata  Alam  Terbuka  Gunung  Salak  Endah”  membuat masyarakat beralih mata pencaharian dari sektor pertanian ke pariwisata dan non-
pariwisata.  Mereka  mulai  membangun  warung-warung  dan  fasilitas  yang dibutuhkan  oleh  pegunjung.  Hal  tersebut  merupakan  lahan  nafkah  baru  bagi
masyarakat  setempat  untuk  menambah  pendapatan  di  lahan  pertanian  yang semakin sempit.
Pada  tahun  1987  pengelolaan  kawasan  ini  dikelola  oleh  Pemerintah Daerah  Kabupaten  Bogor  dan  Perum  Perhutani.  Kawasan  Gunung  Salak  Endah
dibagi menjadi dua unit pengelolaan, yaitu kawasan Wana Wisata Gunung Bunder dan obyek wisata di kawasan Desa Gunung Bunder 2 dengan jajaran hutan Pinus
dan Rasamalanya adalah milik Perum Perhutani sedangkan kawasan Desa Gunung Sari,  Kampung  Pasir  Reungit  sampai  Lokapurna  merupakan  kawasan  Pemda.
Selama  kurang  lebih  20  tahun  kawasan  tersebut  dikelola  oleh  dua  pengelola, dengan waktu selama itu masyarakat sudah sangat akrab ataupun tergantung pada
sistem pengelolaan kedua pengelola tersebut.
Perum  Perhutani  bertugas  untuk  mengelola  hutan  produksi  yang  ada  di kawasan  WWGB,  karena  fungsinya  sebagai  hutan  produksi  maka  Perum
Perhutani  sering  kali  melakukan  penebangan  pohon  di  areal  pegunungan,  selain itu  masyarakat  juga  ada  yang  membuka  lahan  di  dalam  kawasan  hutan,  dengan
mulai  membangun  bangunan  yang  permanen.  Ditambah  lagi  udara  hutan  yang masih  asri  dan  alami  dimanfaatkan  sebagian  penguasa  negara  untuk  mendirikan
villa  pribadi  maupun  yang  komersil.  Sebelum  tahun  1987  masyarakat  sekitar hutan  juga  melakukan  penebangan  pohon-pohon  yang  termasuk  dalam  kategori
dilindungi.  Setelah  Perum  Perhutani  menjadi  pengelola  masyarakat  mulai diberikan  pengetahuan  pohon  mana  saja  yang  boleh  ditebang  atau  tidak,  dengan
fungsinya yang mengelola hutan produksi Perum Perhutani mengajak masyarakat untuk  menanami  hutan  dengan  tanaman  produksi.  Hal  tersebut  dapat  dibuktikan
dari  banyaknya  pohon-pohon  yang  termasuk  jenis  tanaman  produksi  yang ditanami oleh masyarakat di kawasan ini.
Tahun  1970an  masyarakat  membuka  lahan  dan  menanaminya  dengan tanaman  cengkeh.  Akan  tetapi,  pada  tahun  1990an  harga  cengkeh  di  pasaran
anjlok dan petani cengkeh pada saat itu merugi. Lahan hutan yang semakin kritis membuat masyarakat sadar akan pentingnya arti lingkungan dan kelestarian hutan.
74 Untuk itu, masyarakat dan pemilik villa melakukan penghijauan dengan tanaman
Rasamala  dan  Puspa,  serta  tanaman  produktif seperti  Albasia,  Jati,  Mani’i  dan
sejenis kayu kampung lainnya juga tidak lagi ditebangi. Masyarakat masih boleh memanfaatkan  tanaman-tanaman  yang  ditanam  tersebut  asalkan  untuk  keperluan
sendiri  tidak  untuk  diperjualbelikan.  Hutan  Pinus  dan  Rasamala  milik  Perhutani juga tidak ditebangi lagi.
Tahun 2003 menurut Surat Keputusan Menteri Kehutanan No 175 tentang perluasan  kawasan  Taman  Nasional  Gunung  Halimun-Salak  yang  sebelumnya
seluas  40  000  hektar  menjadi  kurang  lebih  113  000  hektar,  kawasan  Gunung Salak Endah termasuk  dalam SK perluasan  tersebut. Hal tersebut berakibat  pada
pengelolaan  kawasan  oleh  Perum  Perhutani  dan  Pemda  seharusnya  dilimpahkan sepenuhnya  pada  Taman  Nasional  dalam  hal  ini  dikelola  oleh  Balai  Taman
Nasional  Gunung  Halimun-Salak  BTNGHS.  Masa  kontrak  Perum  Perhutani sudah  habis  dan  belum  diperpanjang  lagi  sampai  sekarang.  Pemda  seharusnya
juga  sudah  tidak  lagi  mengelola  ekowisata  karena  pengelolaan  sepenuhnya  telah dipegang  oleh  BTNGHS.  Akan  tetapi,  pada  kenyataannya  Pemda  masih
memungut bayaran tiket disetiap obyek wisata.
Menurut  Kepala  Resort,  tiket  masuk  yang  resmi  adalah  dari  Taman Nasional  yaitu  berupa  PNBP  Pemasukan  Negara  Bukan  Pajak  yang  berlaku
mulai  diturunkannya  SK  Menteri  Kehutanan  tersebut  dan  hanya  dipungut  pada saat masuk gerbang utama Taman Nasional, yaitu sebesar Rp2 500 per orang dan
untuk  masuk  ke  obyek  wisata  tidak  dipungut  biaya.  Pada  saat  pengelolaan  oleh Perum  Perhutani  dan  Pemda  tiket  yang  dibeli  double  dan  harganya  bisa  dua
sampai tiga lipat.
Semenjak  ada  wisata  tahun  1987,  yang  awalnya  dikelola  oleh  Perum Perhutani lalu dialihkan pengelolaannya secara resmi tahun 2007 sampai sekarang
ke  Taman  Nasional  Gunung  Halimun-Salak,  membuat  harga  tanah  di  desa Gunung  Bunder  dan  Gunung  Sari  semakin  tinggi  dan  hal  ini  yang  membuat
banyak masyarakat menjual tanahnya ke orang-orang Jakarta. Namun jika dilihat dari kontribusi ekonomi, saat Perum Perhutani yang mengelola kawasan dirasakan
lebih  menguntungkan,  karena  ada  sharing  dengan  masyarakat  seperti  dari  tiket masuk  sebesar  Rp40  per  tiket,  masyarakat  juga  mendapatkan  kompensasi  untuk
bertanam atau  membuka lahan di dalam kawasan. Kompensasi tersebut sebagian ada yang diberikan ke desa untuk pembangunan desa seperti membuat jembatan,
perbaikan  jalan.  Setelah  adanya  pariwisata  yang  dikelola  oleh  Taman  Nasional tidak  ada  sharing  lagi  ke  masyarakat  semua  masuk  ke  negara  dalam  hal  ini
diwakili  oleh  Taman  Nasional.  Akan  tetapi,  masyarakat  lebih  senang  karena perambahan liar sudah sangat berkurang.
Dari  pelimpahan  tahun    2003  dan  mulai  aktif  secara  resmi  pada  tahun 2007,  BTNGHS  yang  diwakili  oleh  Resort  2 Gunung  Halimun-Salak  di  Gunung
Bunder mulai melakukan pendekatan dan sosialisasi ke masyarakat sekitar Taman Nasional  agar  tidak  terjadi  konflik  yang  tidak  diinginkan  dan  mengajak
masyarakat untuk aktif mengembangkan ekowisata karena kawasan Gunung Salak Endah memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai ekowisata. Di sini terdapat
banyak obyek wisata menarik diantaranya air terjun, kawah, air panas, dan  bumi perkemahan.  Selain  itu,  adanya  situs  bersejarah  di  sekitar  Taman  Nasional,  dan
kehidupan  masyarakatnya  yang  berkarakter  pekerja  keras  menjadi  salah  satu pertimbangan kawasan Gunung Salak Endah dikembangkan menjadi ekowisata.