Tujuan Penyusunan Rencana Aksi Pangan dan Gizi Nasional RAPGN Ruang Lingkup Proses penyusunan Dampak Kurang Gizi terhadap Kualitas Sumber Daya Manusia

5 1. Menyatukan tujuan, kebijakan dan strategi berkaitan dengan gizi ke dalam pengembangan kebijakan dan program pembangunan nasional 2. Meningkatkan ketahanan pangan tingkat rumahtangga 3. Melindungi konsumen melalui peningkatan kualitas dan keamanan pangan 4. Mencegah dan meningkatkan tata laksana penyakit infeksi 5. Mempromosikan ASI dan Makanan Pendamping ASI MP-ASI 6. Meningkatkan pola asuh untuk kelompok rawan 7. Mencegah masalah kurang zat gizi mikro 8. Mempromosikan gizi seimbang dan hidup sehat 9. Memantau, menilai dan menganalisis situasi gizi secara terus menerus. Berdasarkan uraian di atas penanggulangan masalah pangan dan gizi harus mendapatkan prioritas utama. Dalam menetapkan rencana kerja, acuan yang digunakan adalah komitmen global, tujuan sasaran yang tertuang dalam GBHN 1999-2004, dan Propenas 2001-2005. Seiring dengan perubahan di bidang administrasi ketatanegaraan dengan diterbitkannya UU no 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, UU no 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, dan PP nomor 25 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom, maka diperlukan upaya-upaya yang cermat dalam penyusunan rencana pembangunan daerah.

B. Tujuan Penyusunan Rencana Aksi Pangan dan Gizi Nasional RAPGN

Tujuan Umum: Memberikan panduan dan arahan bagi penentu kebijakan di tingkat pusat, Propinsi dan kabupaten kota dalam menyusun rencana aksi untuk penurunan dan pencegahan masalah pangan dan gizi. Tujuan Khusus: 1. Mengembangkan wawasan penentu kebijakan dalam menilai dan menentukan masalah pangan dan gizi dan prioritas penanganannya melalui implementasi rencana kegiatan yang efektif dan efisien. 2. Meningkatkan kemampuan dalam merumuskan perencanaan, pelaksanaan dan pemantauan program yang didukung oleh metodologi, standarisasi, norma dan kriteria yang dapat dipertanggung jawabkan menurut besarnya masalah pangan dan gizi di wilayah kerjanya. 3. Mempromosikan upaya menjaga kesinambungan program pangan dan gizi kepada penentu kebijakan. 4. Memantapkan keterpaduan program melalui sistem pemantauan secara terus menerus terhadap berbagai bentuk masalah pangan, efektivitas program, dan kemajuan yang dicapai sesuai dengan indikator keberhasilan. 6

C. Ruang Lingkup

Rencana aksi ini meliputi bidang pangan dan gizi berdasarkan pada besar dan luas masalah pangan dan gizi yang mengacu pada GHBN, Propenas, serta komitmen global. Secara rinci diuraikan peran pangan dan gizi dalam pembangunan, analisis situasi pangan dan gizi. Pada bab berikutnya diuraikan tujuan umum dan tujuan khusus, kebijakan dan strategi, kelembagaan, serta program dan kegiatan.

D. Proses penyusunan

Penyusunan RAPGN didahului dengan pertemuan lintas sektor dan pengkajian situasi pangan dan gizi. Presentasi draft dilakukan beberapa kali dengan menerima usulan dari berbagai pihak universitas, pemerintah, swasta, LSM, organisasi profesi dan lintas sektor terkait tingkat pusat dan propinsi.

E. Pengguna

Rencana aksi pangan dan gizi nasional ini ditujukan untuk penentu kebijakan di tingkat Pusat, Propinsi, kabupaten kota, baik pemerintah, badan non- pemerintah swasta LSM yang akan melaksanakan program perbaikan pangan dan gizi. Rencana aksi ini diharapkan akan menjadi dokumen nasional yang menyatukan tujuan, kebijakan, strategi operasional, sasaran dan indikator keberhasilan program pangan dan gizi yang tercantum pada Propenas 2001-2005 dalam bidang pertanian, kesehatan, industri. Pada bagian akhir dari RAPGN ini disajikan tabel yang berisikan program, kelompok sasaran, indikator, strategi, kegiatan dan instansi pelaksana dari program pangan dan gizi di tingkat nasional. Setiap Propinsi, Kabupaten Kota perlu menyusun tabel serupa berdasarkan besaran masalah pangan dan gizi yang ada di masing-masing daerah untuk menyusun Rencana Aksi Pangan dan Gizi Daerah RAPGD. 7 Pangan merupakan kebutuhan dasar bagi kehidupan manusia Hak setiap orang untuk memperoleh pangan yang aman dan bergizi Pembangunan suatu bangsa pada hakekatnya adalah suatu upaya pemerintah bersama masyarakat untuk mensejahterakan bangsa. Pangan merupakan kebutuhan dasar bagi kehidupan manusia. Dunia internasional dalam World Food Summit tahun 1996 telah menegaskan kembali hak setiap orang untuk memperoleh pangan yang aman dan bergizi, sama prinsipnya dengan hak untuk memperoleh pangan yang cukup dan hak azasi setiap manusia untuk bebas dari kelaparan. Berdasarkan hal tersebut, pemerintahan setiap negara peserta termasuk I ndonesia, mempunyai komitmen untuk memenuhi kecukupan pangan bagi setiap warganya. Kecukupan pangan bagi setiap orang hanya akan dicapai apabila suatu negara atau daerah dapat mencapai suatu ketahanan pangan atau food security. Menurut Undang-Undang No.7 tahun 1996 tentang Pangan, yang dimaksud dengan ketahanan pangan adalah “kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau”. Secara internasional, oleh FAO 1996 ketahanan pangan diartikan bahwa semua rumah tangga mempunyai akses terhadap pangan baik secara pisik maupun ekonomi sehingga setiap keluarga tidak beresiko kekurangan gizi. Dengan pengertian diatas diketahui adanya kaitan erat antara ketahanan pangan dan status gizi masyarakat. Dalam konteks ini masalah pangan tidak cukup ditinjau dari segi produksi tetapi juga memerlukan peninjauan aspek ketersediaan pangan, keterjangkauannya terhadap daya beli, dan kestabilan harga. Sebagai contoh, sejak I ndonesia mencapai swasembada beras tahun 1984, poduksi pangan khususnya beras, rata-rata nasional cukup bahkan pernah melebihi rata-rata kebutuhan penduduk. Tetapi data menunjukkan bahwa pada masa tersebut prevalensi gizi-kurang pada kelompok penduduk tertentu, terutama wanita hamil dan anak balita, masih tinggi. Dengan contoh tersebut dapat dipahami juga bahwa

II. PERAN PANGAN DAN GIZI DALAM PEMBANGUNAN

8 dengan ketahanan pangan, masalah pangan tidak cukup hanya ditinjua pada tingkat nasional dan regional, seperti yang selama ini dilakukan, tetapi juga di tingkat daerah, kelompok masyarakat sampai tingkat keluarga. Dengan pemahaman seperti diatas, terwujudnya ketahanan pangan merupakan salah satu syarat tercapainya kesejahteraan rakyat. Salah satu tanda atau indikator kesejahteraan rakyat adalah apabila setiap orang baik laki-laki maupun perempuan, anak, dewasa dan lanjut usia, kaya dan miskin, semuanya berstatus gizi baik. Artinya mereka semuanya tercukupi kebutuhan pangannya, serta dalam keadaan sehat jasmani dan rohani. Mereka yang keadaan gizinya baik, adalah mereka yang terbebas dari masalah gizi yaitu masalah yang timbul akibat kekurangan gizi atau kelebihan gizi. Akibat kekurangan gizi atau kurang gizi menimbulkan gangguan kesehatan atau penyakit gizi-kurang, sedang akibat kelebihan gizi menimbulkna gangguan kesehatan atau penyakit gizi-lebih. Oleh karena di I ndonesia masalah kekurangan gizi masih lebih besar daripada masalah kelebihan gizi, maka pembahasan dalam buku ini ditekankan pada masalah gizi- kurang. Sedang masalah gizi-lebih hanya disinggung seperlunya.

A. Dampak Kurang Gizi terhadap Kualitas Sumber Daya Manusia

Paradigma pembangunan nasional yang berorientasi global dan berwawasan ilmu pengetahuan dan teknologi, tidak akan terlaksana tanpa peningkatan kualitas sumberdaya manusia SDM. Salah satu indikator pengukur tinggi rendahnya kualitas SDM adalah indeks kualitas hidup Human Developmen I ndex-HDI . Tahun 2000, peringkat HDI I ndonesia sangat rendah yaitu urutan ke-109 dari 174 negara. Sedangkan HDI negara-negara ASEAN berada urutan lebih tinggi , seperti Malaysia 56, Filipina 77, Thailand 67, Singapura 22, dan Brunai 25. Tiga faktor utama penentu HDI yang dikembangkan oleh UNDP adalah pendidikan, kesehatan, dan ekonomi. Ketiga faktor tersebut erat kaitannya dengan status gizi masyarakat. Status gizi masyarakat dapat digambarkan terutama pada status gizi anak balita dan wanita hamil. Secara umum dapat dikatakan bahwa suatu bangsa yang kelompok penduduk balita dan wanita hamilnya banyak menderita gizi-kurang, maka bangsa itu akan menghadapi berbagai masalah sumber daya manusia. Masalah tersebut antara lain: 1 Tingginya angka bayi yang lahir dengan berat badan lahir rendah BBLR akibat ibunya menderita kurang energi dan protein waktu hamil. BBLR berkaitan dengan tingginya angka kematian bayi dan balita. BBLR juga dapat berpengaruh pada gangguan pertumbuah fisik dan mental anak. Gizi-buruk pada anak balita juga dapat berdampak pada penurunan tingkat kecerdasan atau I Q. Setiap anak bergizi buruk mempunyai resiko kehilangan I Q 10-13 poin. Pada tahun 1999 diperkirakan terdapat kurang lebih 1,7 juta anak bergizi buruk. Berarti terdapat 9 potensi kehilangan I Q sebesar 22 juta poin I Q. Potensi kehilangan I Q sebesar 50 poin I Q per orang juga terdapat pada penduduk yang tinggal di daerah rawan gangguan akibat kurang yodium GAKY. Diperkirakan terdapat 42 juta orang tinggal di daerah rawan GAKY, sehingga dari kelompok penduduk tersebut potensi kehilangan I Q sebesar 190 juta poin I Q. 2 Banyak anggota masyarakat dewasa yang produktivitasnya rendah, karena menderita kurang zat besi. Buruh yang kurang zat besi produktivitasnya dapat menurun antara 10-30 persen dari mereka yang sehat. Kurang zat besi pada wanita hamil meningkatkan risiko kematian wanita waktu melahirkan, dan meningkatkan resiko bayi yang dilahirkan juga kurang zat besi. Bayi yang kurang zat besi dapat berdampak pada gangguan bertumbuhan sel-sel otak yang kemudian hari juga dapat mengurangi I Q anak. 3 Kurang vitamin A yang juga banyak diderita anak balita selain berdampak pada resiko kebutaan juga resiko kematian balita karena infeksi. Dengan kata lain kurang vitamin A ikut berperan pada tingginya angka kematian balita di I ndonesia dan berpotensi terhadap rendahnya produktivitas kerja orang dewasa karena tuna netra. 4 Secara umum gizi-kurang pada anak balita dan wanita hamil dapat menciptakan generasi yang secara fisik dan mental lemah. Generasi yang demikian akan menjadi beban masyarakat dan pemerintah. Telah dibuktikan keluarga dan pemerintah mengeluarkan biaya kesehatan yang tinggi, karena banyak warganya yang mudah jatuh sakit karena kurang gizi. Selain itu merupakan aib bangsa karena banyaknya bayi, balita, dan ibu melahirkan meninggal yang seharusnya dapat dicegah apabila keadaan gizinya baik. Mengapa banyak anak balita menderita kurang gizi. Banyak faktor menyebabkan timbulnya kurang gizi. Bagan dibawah ini menyajikan berbagai faktor penyebab kurang gizi yang diperkenalkan UNI CEF dan telah digunakan secara internasional. Dari bagan ini terlihat tahapan penyebab timbulnya kurang gizi pada anak balita, yaitu penyebab langsung, tidak langsung, akar masalah dan pokok masalah. Oleh Soekirman 2000 bagan tersebut dijelaskan sebagai berikut. 10 KURANG GI ZI Makan Tidak Seimbang Penyakit I nfeksi Tidak Cukup Persediaan Pangan Pola Asuh Anak Tidak Memadai Sanitasi dan Air Bersih Pelayanan Kesehatan Dasar Tidak Memadai Kurang Pendidikan, Pengetahuan dan Keterampilan Kurang pemberdayaan wanita dan keluarga, kurang pemanfaatan sumberdaya masyarakat Pengangguran, inflasi, kurang pangan dan kemiskinan Krisis Ekonomi, Politik, dan Sosial Dampak Penyebab langsung Penyebab Tidak langsung Pokok Masalah di Masyarakat Akar Masalah nasional Bagan 1. Penyebab Kurang Gizi Disesuaikan dari bagan UNI CEF, 1998: The State of the World’s Children 1998. Oxford Univ. Press Pertama, penyebab langsung yaitu makanan anak dan penyakit infeksi yang mungkin diderita anak. Timbulnya gizi-kurang tidak hanya karena makanan yang kurang, tetapi juga karena penyakit. Anak yang mendapat makanan yang cukup baik tetapi sering diserang diare atau demam, akhirnya dapat menderita kurang gizi. Demikian juga pada anak yang makan tidak cukup baik, maka daya tahan tubuhnya imunitas dapat melemah. Dalam keadaan demikian mudah diserang infeksi yang dapat mengurangi nafsu makan, dan akhirnya dapat menderita kurang 11 gizi. Dalam kenyataan keduanya makanan dan penyakit secara bersama-sama merupakan penyebab kurang gizi. Kedua, penyebab tidak langsung yaitu: ketahanan pangan di keluarga, pola pengasuhan anak, serta pelayanan kesehatan dan kesehatan lingkungan. Ketahanan pangan di keluarga household food security adalah kemampuan keluarga untuk memenuhi kebutuhan pangan seluruh anggota keluarganya dalam jumlah yang cukup baik jumlah maupun mutu gizinya. Pola pengasuhan adalah kemampuan keluarga dan masyarakat untuk menyediakan waktu, perhatian, dan dukungan terhadap anak agar dapat tumbuh kembang dengan sebaik-baiknya secara fisik, mental dan sosial. Pelayanan kesehatan dan kesehatan lingkungan, adalah tersedianya air bersih dan sarana pelayanan kesehatan dasar yang terjangkau oleh setiap keluarga yang membutuhkan. Ketiga faktor ini saling berhubungan. Ketiga faktor penyebab tidak langsung tersebut berkaitan dengan tingkat pendidikan, pengetahuan dan ketrampilan keluarga. Makin tinggi pendidikan, pengetahuan dan ketrampilan, terdapat kemungkinan makin baik tingkat ketahanan pangan keluarga, makin baik pola pengasuhan anak, dan makin banyak keluarga memanfaatkan pelayanan kesehatan yang ada. Demikian juga sebaliknya. Ketahanan pangan keluarga terkait dengan ketersediaan pangan baik dari hasil produksi sendiri maupun dari pasar atau sumber lain, harga pangan dan daya beli keluarga, serta pengetahuan tentang gizi dan kesehatan. Sebagai contoh, air susu ibu ASI adalah makanan bayi utama yang seharusnya tersedia di setiap keluarga yang mempunyai bayi. Makanan ini seharusnya dapat dihasilkan oleh keluarga tersebut sehingga tidak perlu dibeli. Namun tidak semua keluarga dapat memberikan ASI kepada bayinya oleh karena berbagai masalah yang dialami ibu. Akibatnya, bayi tidak diberikan ASI atau diberi ASI dalam jumlah yang tidak cukup sehingga harus diberikan tambahan makanan pendamping ASI MP-ASI . Timbul masalah apabila oleh berbagai sebab, misalnya kurangnya pengetahuan dan atau kemampuan, MP-ASI yang diberikan tidak memenuhi persyaratan. Dalam keadaan demikian, dapat dikatakan bahwa ketahanan pangan keluarga ini rawan karena karena tidak mampu menyediakan makanan yang baik bagi bayinya sehingga berisiko tinggi menderita kurang gizi. Pola pengasuhan anak berupa sikap dan perilaku ibu atau pengasuh lain dalam hal kedekatannya dengan anak, memberikan makan, merawat, kebersihan, memberi kasih sayang dan sebagainya. Kesemuanya berhubungan dengan keadaan ibu dalam hal kesehatan fisik dan mental, status gizi, pendidikan umum, pengetahuan dan ketrampilan tentang pengasuhan anak yang baik, peran dalam keluarga atau di masyarakat, sifat pekerjaan sehari-hari, adat kebiasaan keluarga dan masyarakat, dan sebagainya dari si ibu atau pengasuh anak. Pelayanan kesehatan, adalah akses atau keterjangkauan anak dan keluarga terhadap upaya pencegahan penyakit dan pemeliharaan kesehatan seperti 12 iimunisasi, pemeriksaan kehamilan, pertolongan persalinan, penimbangan anak, penyuluhan kesehatan dan gizi, serta sarana kesehatan yang baik seperti posyandu, puskemas, praktek bidan atau dokter, rumah sakit, dan persediaan air bersih. Ketidak terjangkauan pelayanan kesehatan karena jauh dan atau tidak mampu membayar, kurangnya pendidikan dan pengetahuan, merupakan kendala masyarakat dan keluarga memanfaatkan secara baik pelayanan kesehatan yang tersedia Hal ini dapat berdampak juga pada status gizi anak.. Berbagai faktor langsung dan tidak langsung diatas, berkaitan dengan pokok masalah yang ada di masyarakat dan akar masalah yang bersifat nasional. Pokok masalah di masyarakat antara lain berupa ketidak berdayaan masyarakat dan keluarga mengatasi masalah kerawanan ketahanan pangan keluarga, ketidak tahuan pengasuhan anak yang baik, serta ketidak mampuan memanfaatkan pelayanan kesehatan yang tersedia. Meningkatnya jumlah anak yang bergizi buruk sampai 1,7 juta anak di I ndonesia, dan prevalensi gizi buruk di daerah pengungsian di NTT sebanyak 24 persen pada tahun 1998 1999 sejalan dengan meningkatnya jumlah keluarga miskin akibat krisis ekonomi, politik dan keresahan sosial yang melanda I ndonesia sejak tahun 1997, seperti digambarkan pada bagan yang diuraikan diatas.

B. Investasi Gizi dan Pembangunan Ekonomi