tahun sebelumnya yakni Rp 20,239 triliun. Sektor yang paling besar memberikan kontribusi dalam pembentukan PDRB yakni industri pengolahan. Sementara pada
tahun 2014 laju pertumbuhan ekonomi Kota Yogyakarta dihitung berdasarkan PDRB mencapai 5,30 persen sedikit lebih rendah dibanding laju pertumbuhan
ekonomi di tahun 2013 yang mencapai 5,47 persen. Adapun nilai PDRB Kabupaten Kulon Progo dengan perhitungan tahun dasar yang baru mencatat
adanya pertambahan sebesar 251,13 miliar rupiah pada tahun 2014 dibandingkan dengan tahun sebelumnya, dengan besaran mencapai lebih dari 5,992 miliar
rupiah atau hampir mencapai 6 triliun rupiah. PDRB di tiga wilayah KabupatenKota dalam tabel 4.2 menunjukkan
peningkatan ditiap tahunnya.PDRB terbesar adalah Kota Yogyakarta dan yang terakhir adalah Kabupaten Kulon Progo. Sesuai dengan Analisis Makro DIT
2014 hal ini terbukti bahwa tingkat pertumbuhan ekonomi KabupatenKota dalam beberapa tahun terakhir yang berada di atas pertumbuhan ekonomi DIY
terjadi di Kabupaten Sleman dan Kota Yogyakarta. Sementara yang berada di bawah rata-rata tingkat pertumbuhan ekonomi DIY yaitu Kabupaten Kulon Progo,
Kabupaten Gunung Kidul, dan Kabupaten Bantul. Sementara itu, Kota Yogyakarta merupakan daerah yang maju dan cepat tumbuh yang dapat
dicerminkan oleh laju pertumbuhan ekonomi dan PDRB yang tinggi. Artinya, Kota Yogyakarta secara ekonomi memiliki kekuatan untuk tumbuh terus dalam
jangka panjang.
2. Analisis Deskriptif Penyerapan tenaga kerja UKM di Kota Yogya,
Kabupaten Bantul, dan Kabupaten Kulon Progo
Penyerapan tenaga kerja merupakan salah satu faktor penting dalam menciptakan nilai tambah apabila tenaga tersebut meningkatkan produktivitasnya
dalam produksi barang dan jasa. Akan tetapi kemampuan yang dimiliki penyerapan tenaga kerja sektor UKM sangat berbeda di masing-masing wilayah.
Padahal sumber daya ekonomi yang ada dapat dimanfaatkan secara efektif dan efisien oleh penyerapan tenaga kerja maka. maka juga akan mempengaruhi
perkembangan dan pertumbuhan ekonomi. Faktor pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak selalu meningkatkan
permintaan penyerapan tenaga kerja. Untuk itu diperlukan keseimbangan antara tingkat pertumbuhan ekonomi dengan kesempatan kerja yang tersedia di berbagai
lapangan usaha. Dengan bertumbuhnya unit usaha UKM maka akan memberikan pengaruh cukup berarti bagi peningkatan penyerapan tenaga kerja.
Dari tabel 4.2 terlihat bahwa dari tahun 2000-2014 pergerakan penyerapan tenaga kerja hampir sama dengan nilai yang berbeda. Terdapat wilayah yang
mampu menyerap tenaga kerja yang semakin meningkat tiap tahunnya, namun ada juga yang mengalami penurunan.
Tabel 4. 3 Penyerapan tenaga kerja UKM di Kota Yogya, Kabupaten Bantul, dan Kabupaten Kulon Progo
Penyerapan Tenaga Kerja UKM Orang Tahun
Kota Yogyakarta Kab. Bantul
Kab. Kulon Progo
2000 29,115
54,714 51,459
2001 29,506
66,127 51,649
2002 29,726
9,610 52,236
2003 29,880
66,253 52,778
2004 30,143
75,126 54,505
2005 30,156
77,600 54,660
2006 30,846
78,269 55,313
2007 30,271
79,904 55,750
2008 31,600
80,468 56,445
2009 33,150
80,927 57,288
2010 34,470
81,705 55,045
2011 34,570
81,905 54,400
2012 34,560
81,938 54,379
2013 35,513
81,998 54,854
2014 27,023
82,961 53,315
Sumber : Badan Pusat Statistik, data diolah Jumlah penyerapan tenaga kerja pada sektor UKM di tiga wilayah; Kota
Yogyakarta, Kabupaten Bantul, dan Kabupaten Kulon Progo sangat berbeda. Penyerapan tenaga kerja tertinggi ada di Kabupaten Bantul meski unit usaha di
Kabupaten Bantul tidak sebanyak unit usaha yang ada di Kabupaten Kulon Progo. Sementara Kota Yogyakarta, cenderung lebih rendah dalam hal penyerapan
tenaga kerja. Hal ini dikarenakan perbedaan produktivitas, penguasaan teknologi, dan kualitas penyerapan tenaga kerja. Selain itu keterbatasan SDM yang mumpuni
juga menjadi salah satu faktor yang dapat mempengaruhi penyerapan tenaga kerja. Artinya, penyerapan tenaga kerja di Kabupaten Bantul cenderung lebih produktif
daripada dua wilayah lainnya.
3. Analisis Deskriptif Ekspor UKM di Kota Yogya, Kabupaten Bantul, dan
Kabupaten Kulon Progo
Dalam kinerja ekspor non-migas, UKM yang ada di beberapa wilayah di DIY juga sangat berbeda. Dapat dilihat dalam tabel 4.4 dimana ekspor yang dilakukan
oleh UKM di masing-masing daerah mengalami fluktuasi. Seperti misalnya di Kota Yogya, dimana pada tahun 2014 tercatat sebesar 16,596,486 atau turun 3,60
persen dibandingkan ekspor pada tahun 2013 yang tercatat sebesar US 17,217,090.67. Adanya penurunan drastis tersebut sebagai dampak menurunnya
volume komoditi ekspor dan melemahnya nilai tukar rupiah. UKM memiliki kontribusi terhadap ekspor non-migas karena produk yang
dimiliki oleh UKM sangat potensi untuk melakukan ekspor. Akan tetapi, masih ada beberapa hambatan yang dimiliki oleh UKM dalam melakukan ekspor,
diantaranya pembiayaan dan atau fasilisasi orientasi ekspor, kondisi ekonomi dan persaingan global, terbatasnya kemampuan SDM, akeses sumberdaya produktif,
dan pasar ekspor yang memerlukan skala dan standar kualitas tertentu yang masih sulit dipenuhi secara individu di tiap-tiap wilayah. Besaran nilai ekspor juga
dikarenakan jenis komoditas unggulan dan daya saing yang dimiliki oleh UKM berbeda di tiap wilayah.
Tabel 4. 4 Ekspor UKM Kota Yogyakarta, Kabupaten Bantul, dan Kabupaten Kulon Progo
Ekspor UKM Tahun
Kota Yogyakarta Kab. Bantul
Kab. Kulon Progo
2000 38,548,122.95
- 4,098,795
2001 37,753,016.35
- 4,933,053
2002 45,546,631.13
- 6,383,527
2003 39,418,773.36
16,102,056.52 4,764,644
2004 41,605,120.12
14,614,028.17 4,222,876
2005 36,042,571.09
21,138,272.72 8,042,220
2006 25,930,827.45
23,633,291.93 6,940,592
2007 26,063,497.34
20,152,747.86 5,012,368
2008 29,952,837.07
20,548,229.92 4,621,524
2009 20,938,268.62
24,041,480.47 5,457,656
2010 21,060,982.16
39,225,845.00 5,271,647
2011 117,685,291.26
36,962,152.00 4,571,171
2012 12,074,0149.64
44,582,627.05 7,827,040
2013 17,217,090.67
54,350,443.46 11,958,075
2014 16,596,486.46
307,100,417.11 15,078,455
Sumber : Badan Pusat Statistik, data diolah Pada tahun 2014, nilai ekspor non-migas Kota Yogyakarta pada tahun 2014
tercatat sebesar Rp 16,596,486.46 atau turun 3,60 persen dibandingkan ekspor tahun 2013 yang tercatat sebesar Rp 17,217,090.67. Adanya penurunan ini
sebagai dampak dari menurunnya volume komoditi ekspor dan melemahnya nilai rupiah. Adapun ekspor Kabupaten Bantul pada tahun 2014 mengalami
peningkatan dibanding tahun 2013 yang tercatat 54,350,443.46. Hal ini menunjukkan bahwa iklim usaha di Kabupaten Bantul sudah membaik. Sementara
ekspor di Kabupaten Kulon Progo sebesar 15,078,454.87. Angka ini menunjukkan peningkatan sebesar 3,117,379.87 atau meningkat sebesar 26,06 persen dari tahun
sebelumnya.