Konstruktivisme LANDASAN TEORI DAN KERANGKA KONSEPTUAL
merevisinya apabila aturan- aturan itu tidak lagi sesuai”
18
. Bagi memahami dan dapat menerapkan pengetahuan mereka harus berkerja memecahkan masalah,
menemukan segala sesuatu untuk dirinya, berusaha dengan susah payah dengan ide-ide.
19
“Belajar menurut teori konstruktivisme adalah suatu proses pembentukan pengetahu
an”.
20
Pembentukan ini harus dilakukan oleh peserta didik sendiri. Maka peserta didik harus aktif berfikir, melakukan kegiatan,
aktif berfikir, menyusun konsep dan member makna sesuatu yang dipelajarinya.
21
“Belajar melibatkan pembentukan “makna” oleh siswa dari apa yang mereka lakukan, lihat dan dengar
”.
22
Pada dasarnya, pengetahuan dibentuk pada diri manusia berdasarkan pengalaman nyata yang dialaminya
dan hasil interaksinya dengan lingkungan sosial di sekelilingnya. Belajar adalah
perubahan proses
mengkonstruksi pengetahuan
berdasarkan pengalamannya yang dialami para siswa sebagai hasil interaksinya dengan
lingkungan sekitarnya. Pengetahuan yang mereka peroleh itu adalah hasil interpretasi pengalaman tersebut yang disusun dalam pikiranotaknya. Jadi
siswa bukan berasal dari ada yang diberikan guru, melainkan merupakan hasil usahanya sendiri berdasarkan hubungannya dengan dunia sekitar. Mengajar
adalah suatu upaya yang berusaha membantu siswa dalam merekonstruksi pengetahuannya berdasarkan pengalamannya masing-masing. Jadi mengajar
bukan menyampaikan sejumlah informasi secara utuh kepada siswa. Dengan demikian, konstruktivis ini merupakan suatu preposisi yang sederhana yaitu
siswa mengkosntruk pengertiannya terhadap dunia tempatnya hidup.
23
Konstruksitivisme adalah sebuah filosofi pembelajaran yang dilandasi premis bahwa dengan merefleksikan pengalaman, kita membangun,
18
Trianto, Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik, Jakarta, Prestasi Pustaka, 2007, h.13
19
Ibid.
20
Bambang Warsita, Teknologi Pembelajaran Landasan dan Aplikasinya. Jakarta: Rineka Cipta, 2008, h.78
21
Ibid.
22
Nuryani Rustaman dkk, Materi dan Pembelajaran IPA SD, Jakarta: Universitas Terbuka,2010, h.2.6
23
Lukmanul Hakim, Op. cit., h.46
mengkonstruksi pengetahuan pemahaman kita tentang dunia tempat kita hidup.
24
Kontruktivisme melandasi pemikirannya bahwa pengetahuan bukanlah sesuatu yang given dari alam karena hasil kontak manusia dengan
alam, tetapi pengetahuan merupakan hasil konstruksi bentukan aktif manusia itu sendiri.
25
Konstruktivis percaya bahwa pembelajar mengkonstruk sendiri realitasnya atau paling tidak menterjemahkannya berlandaskan persepsi
tentang pengalamannya, sehingga pengetahuan individu adalah sebuah fungsi dari pengalaman sebelumnya, juga struktur mentalnya, yang kemudian
digunakannya untuk menterjemahkan objek-objek serta kejadian-kejadian baru.
26
Jadi, konstruktivisme adalah proses pebentukan pengetahuan yang dilakukan oleh peserta didik berdasar pengalaman yang dialaminya.
Asumsi-asumsi dasar dari konstruktivisme seperti yang diungkap oleh Merril 1991 dalam Suyono adalah sebagai berikut
27
: a.
Pengetahuan dikonstruksikan melalui pengalaman; b.
Belajar adalah penafsiran personal tentang dunia nyata; c.
Belajar adalah sebuah proses aktif di mana makna dikembangkan berlandaskan pengalaman;
d. Pertumbuhan konseptual berasal dari negoisasi makna, saling berbagi
tentang perspektif ganda dan pengubahan representasi mental melalui pembelajaran kolaboratif;
e. Belajar dapat dilakukan dalam setting nyata, ujian dapat diintegrasikan
dengan tugas-tugas dan tidak merupakan aktivitas yang terpisah penilaian autentik.
“Dalam belajar konstruktivistik guru atau pendidik berperan membantu agar proses pengkonstruksian pengetahuan oleh siswa berjalan
lancar”.
28
Guru tidak mentransfer pengetahuan yang dimilikinya, melainkan membantu
24
Suyono dan Hariyanto, Op. cit., h.105
25
Ibid.
26
Ibid., h.106
27
Ibid.
28
Asri Budiningsih, Op. cit., h.59
siswa untuk membentuk pengetahuannya sendiri.
29
Guru dituntut untuk lebih memahami jalan pikiran atau cara pandang siswa dalam belajar. Guru tidak
dapat mengklaim bahwa satu-satunya cara yang tepat adalah yang sama dan sesuai dengan kemauannya.
30
Tugas guru adalah memfasilitasi proses dengan membuat 1 membuat pengetahuan menjadi bermakna dan relevan bagi
siswa, 2 memberi kesempatan pada siswa untuk menemukan dan menerapkan idenya sendiri, dan 3 menyadarkan siswa agar menerapkan
strategi mereka sendiri dalam belajar.
31
1. Prinsip Pendekatan Konstruktivis
Ada beberapa prinsip pendekatan konstuktivis yang dapat dijadikan sebagai acuan dalam mengelola proses pembelajaran, yaitu
32
: a.
Siswa diberi masalah yang sesuai dengan kehidupannya. b.
Penstukturan belajar pada konsep primer. c.
Menjajagi dan menghargai pendapat siswa. d.
Kurikulum disesuaikan dengan kebutuhan siswa. e.
Menilai belajar siswa dalam konteks mengajar.
2. Elemen Belajar yang Konstruktivis
Konstruktivis mengembangkan pemikiran siswa akan belajar lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri, menemukan sendiri, dan
mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan barunya. Ada lima elemen belajar yang konstruktivistik, yaitu
33
: a.
Pengaktifan pengetahuan baru activating knowledge. b.
Pemerolehan pengetahuan baru acquiring knowledge. c.
Pemahaman pengetahuan understanding knowledge. d.
Memprektekkan pengetahuan dan pengalaman applying knowledge.
29
Ibid.
30
Ibid.
31
Suwarna, Pengajaran Mikro, Yongyakarta: Tiara Wacana, 2006, h.121
32
Lukmanul Hakim, Op. cit., h.46
33
Ibid., h.47
e. Melakukan refleksi terhadap strategi pengembangan pengetahuan tersebut
reflecting knowledge
3. Ciri-ciri Pembelajaran Konstruktivisme
Ada sejumlah ciri-ciri proses pembelajaran yang sangat ditekankan oleh teori konstrukstivisme, yaitu
34
: a.
Menekankan pada proses belajar, bukan proses mengajar. b.
Mendorong terjadinya kemandirian dan inisiatif belajar pada siswa. c.
Memandang siswa sebagai pencipta kemauan dan tujuan yang ingin dicapai.
d. Berpandangan bahwa belajar merupakan suatu proses, bukan menekan
pada hasil. e.
Mendorong siswa untuk mampu melakukan penyelidikan. f.
Menghargai peranan pengalaman kritis dalam belajar. g.
Mendorong berkembangnya rasa ingin tahu secara alami pada siswa. h.
Penilaian belajar lebih menekankan pada kinerja dalam pemahaman siswa. i.
Medasarkan proses belajarnya pada prinsip-prinsip teori kognitif. j.
Banyak menggunakan terminologi kognitif untuk menjelaskan proses pembelajaran; seperti: prediksi, inferensi, kreasi, dan analisis.
k. Menekankan pentingnya “bagaimana” pada siswa belajar.
l. Mendorong siswa untuk berpartisipasi aktif dalam dialog atau diskusi
dengan siswa lain dan guru. m.
Sangat mendukung terjadinya belajar kooperatif. n.
Melibatkan siswa dalam situasi dunia nyata. o.
Menekankan pentingnya konteks dalam belajar. p.
Memperhatikan keyakinan dalam sikap siswa dalam belajar. q.
Memberikan kesempatan kepada siswa untuk membangun pengetahuan dan pemahaman baru yang didasarkan pada pengalaman nyata.
34
Mohammad Asrori, Psikologi Pembelajaran, Bandung: CV.Wacana Prima, 2009, h.28
4. Penerapan Teori Konstruksivisme di Kelas
Berdasarkan ciri-ciri pembelajaran konstruksivisme tersebut di atas, berikut ini dipaparkan tentang penerapannya di kelas
35
: a.
Mendorong kemandirian dan inisiatif siswa dalam belajar. Dengan menghargai gagasan-gagasan atau pemikiran siswa serta
mendorong siswa berpikir mandiri, berarti guru membantu siswa menemukan identitas intelektual mereka. Para siswa yang merumuskan pertanyaan-
pertanyaan dan kemudian menganalisa serta menjawabnya berarti telah mengembangkan tanggung jawab terhadap proses belajar mereka sendiri serta
menjadi “pemecah masalah” problem solvers. b.
Guru mengajukan pertanyaan terbuka dan memberikan kesempatan beberapa waktu kepada siswa untuk merespon.
Berpikir reflektif memerlukan waktu yang cukup dan seringkali atas dasar gagasan-gagasan dan komentar orang lain. Cara-cara guru mengajukan
pertanyaan dan cara-cara siswa merespons atau menjawabnya akan mendorong siswa mampu membangun keberhasilan dalam melakukan
penyelidikan. c.
Mendorong siswa berpikir tingkat tinggi. Guru yang menerapkan proses pembelajaran konstruktivisme akan
menantang para siswa untuk mampu menjangkau hal-hal yang berada di balik respon-respon faktual yang sederhana. Guru mendorong siswa untuk
menghubungkan dan merangkum konsep-konsep melalui analisis, prediksi, justifikasi dan mempertahankan gagasan-gagasan atau pemikirannya.
d. Siswa terlibat secara aktif dalam dialog atau diskusi dengan guru dan
siswa lainnya. Dialog dan diskusi yang merupakan interaksi sosial dalam kelas yang
bersifat intensif sangat membantu siswa untuk mampu mengubah atau menguatkan gagasan-gagasannya. Jika mereka memiliki kesempatan untuk
mengemukakan apa yang mereka pikirkan dan mendengarkan gagasan- gagasan orang lain, maka mereka akan mampu membangun pengetahuannya
35
Ibid., h.29-30
sendiri yang didasarkan atas pemahaman mereka sendiri. Jika mereka merasa nyaman dan aman untuk mengemukakan gagasan-gagasannya, maka dialog
yang sangat bermakna akan terjadi dikelas. e.
Siswa terlibat dalam pengalaman yang menantang dan mendorong terjadinya diskusi.
Jika diberi kesempatan untuk membuat berbagai prediksi, seringkali siswa menghasilkan berbagai hipotesis tentang fenomena alam ini. Guru yang
menerapkan konstruktivisme dalam pembelajaran memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada siswa untuk menguji hipoteses yang mereka buat,
terutama melalui diskusi kelompok dan pengalaman nyata. f.
Guru menggunakan data mentah, sumber-sumber utama, dan materi- materi interaktif.
Proses pembelajaran yang menerapkan pendekatan konstruktivisme melibatkan para siswa dalam mengamati dan menganalisis fenomena alam
dalam dunia nyata. Kemudian guru membantu para siswa untuk menghasilkan abstraksi atau pemikiran-pemikiran tentang fenomena-fenomena alam tersebut
secara bersama-sama.
5. Format pelajaran konstruktivis
a. Fase start
Guru dapat
memulai dengan
pertanyaan umum
terbuka misalnya,”menurut kalian kimia itu ilmu tentang apa?” lalu mendorong
murid untuk memberikan jawaban-jawaban terbuka dan mendiskusikan tentang subjek ini. sebagai alternatif adalah mulai dengan sebuah masalah
yang relevan dengan kehidupan murid sehari-hari. Setalah itu pelajaran yang dimaksud dapat di indroduksikan. Guru mungkin juga mengintroduksikan
suatu situasi yang membingungkan atau mengejutkan, yang menyebabkan murid memikirkan tentang situasi tersebut.
36
36
Daniel Muijs dan David Reynolds, Effective Teaching Teori dan Aplikasi, Jogakarta: Pustaka Pelajar, 2008 h. 105-106
b. Fase eksplorasi
Murid mengerjakan kegiatan yang ditetapkan sesuai fase 1. Kegiatan biasanya bersifat eksploratik, melibatkan situasi atau bahan-bahan riil, dan
memberikan kesempatan untuk kerja kelompok. Kegiatannya harus di stukturisasikan sedemikian rupa sehingga para murid menghadapi isu-isu yang
memungkinkan mereka mengembangkan pemahaman, dan mestinya juga cukup menantang. Ada baiknya untuk meningatkan murid tentang proses-
peroses metakognitif yang mungkin inin mereka terapkan ketika menyelesaikan masalah.
37
c. Fase refleksi
Pada fase ini, murid mungkin diminta untuk menengok kembali kegiatan itu dan menganalisis serta mendiskusikan apa yang telah mereka kerjakan,
baik dengan kelompok-kelompok lain maupun dengan guru. Guru dapat memberikan scaffolding yang bermanfaat selama fase ini, melalui pertanyaan
dan komentar yang dirancang untuk mengaitkan eksprolasi itu dengan konsep kunci yang sedang di eksprorasi.
38
d. Fase aplikasi dan diskusi
Setelah itu guru dapat meminta seluruh kelas untuk mendiskusikan berbagai temuan yang menarik esimpulan. Langkah berikutnya dapat
diidentifikasi oleh guru atau murid, dan poin-poin kunci direkap.
39
Secara rinci dapat dikemukakan bahwa dalam kegiatan belajar mengajar konstruktivisme, seorang pendidik harus memperhatikan hal sebagai berikut
40
: a.
Mengakui adanya konsepsi awal yang dimiliki siswa melalui pengalaman sebelumnya.
b. Menekankan pada kemampuan awal minds-on dan hands-on.
c. Mengakui bahwa dalam proses pembelajaran terjadi perubahan
konseptual.
37
Ibid., h.106
38
Ibid.
39
Ibid.
40
Endang Widi Winarni, Op. cit., h.49
d. Mengetahui bahwa pengetahuan tidak dapat diperoleh secara pasif.
e. Mengutamakan terjadinya interaksi social
Implementasi konstruktivisme dalam pembelajaran meliputi 4 tahapan yaitu
41
: a.
Apersepsi Tahap pertama, siswa didorong agar mengemukanakan pengetahuan
awalnya tentang konsep yang akan dibahas. Bila perlu pendidik memancing dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan problematic tentang fenomena
yang sering ditemui sehari-hari dengan mengaitkan konsep yang akan dibahas. Siswa diberi kesempatan untuk mengomunikasikan, mengilustrasikan
pemahamannya tentang konsep itu. b.
Eksplorasi Tahap kedua, siswa diberi kesempatan untuk menyelidiki dan
menemukan konsep
melalui pengumpulan,
pengorganisasian, dan
penginterpretasian data dalam suatu kegiatan yang telah dirancang pendidik. c.
Diskusi dan penjelasan konsep Tahap ketiga, saat siswa memberikan penjelasan dan solusi didasarkan
hasil observasi ditambah dengan penguatan pendidik, maka siswa membangun pemahaman baru tentang konsep yang sedang dipelajari, sehingga siswa
memperoleh konsep secara bermakna. d.
Pengembangan dan aplikasi Tahap keempat, pendidik berusaha menciptakan iklim pembelajaran
yang memungkinkan
siswa dapat
mengaplikasikan pemahaman
konseptualnya, baik dengan kegiatan atau pemunculan dan pemecahan masalah-masalah yang berkaitan isu-isu di lingkungannya.
41
Ibid., h.49-50