Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab Prinsip tanggung jawab mutlak Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan

Henny Sekartati : Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Dalam Transaksi Melalui Multi Level Marketing Studi Kasus Pada Perusahaan MLM Elken, 2007. USU Repository © 2009 diperkara. Disini hakim harus memberi para pihak beban yang seimbang dan patut, sehingga masing-masing memiliki kesempatan yang sama untuk memenangkan perkara tersebut.

2. Prinsip praduga untuk selalu betanggung jawab

Prinsip ini menyatakan, Tergugat selalu dianggap bertanggung jawab presumption of liability principle, samapi ia membukt ikan, ia tidak bersalah. Jadi, beban pembuktian ada pada si Tergugat. Tampak beban pembuktian terbalik omkering van bewijslast diterima dalam prinsip tersebut. UUPK pun mengadopsi sistem pembukt ian terbalik ini, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 19, 22, 23, lihat ketentuan Pasal 28 UUPK. Dasar demikian dari Teori Pembalikan Beban Pembuktian adalah seseorang dianggap tidak bersalah sampai yang bersangkutan dapat membuktikan sebaliknya. Hal ini tentu bertentangan dengan asas hukum praduga tidak bersalah presumption of innocence yang lazim dikenal dalam hukum. Namun, jika diterapkan dalam kasus konsumen akan tampak asas demikian cukup relevan. Jika digunakan teori ini, maka yang berkewajiban untuk membuktikan kesalahan itu ada di pihak pelaku usaha yang digugat. Tergugat ini yang harus menghadikan bukti-bukti dirinya tidak bersalah. Tentu saja konsumen tidaklah berarti dapat sekehendak hati mengajukan gugatan- gugatan. Posisi konsumen sebagai Penggugat selalu terbuka untuk digugat balik oleh pelaku usaha, jika ia gagal menunjukkan kesalahan si Tergugat.

3. Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab

Prinsip inilah adalah kebalikan dari prinsip kedua. Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab presumption of non liability principlehanya dikenal dalam Henny Sekartati : Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Dalam Transaksi Melalui Multi Level Marketing Studi Kasus Pada Perusahaan MLM Elken, 2007. USU Repository © 2009 lingkup transaksi konsumen yang sangat terbatas dan pembatasan demikian biasanya secara common sense dapat dibenarkan.

4. Prinsip tanggung jawab mutlak

Prinsip tanggung jawab mutlak strict liability sering diidentikkan dengan prinsip tanggung jawab absolutabsolut liability. Kendati demikian ada pula para ahli yang membedakan kedua terminology diatas. Ada pendapat yang mengatakan, strict liability adalah prinsip tanggung jawab yang menetapkan kesalahan tidak sebagai factor yang menentukan. Namun ada pengecualian-pengecualian yang memungkinkan untuk dibebaskan dari tanggung jawab, misalnya keadaan force majeure. Sebaliknya, absolute liability adalah prinsip tanggung jawab tanpa kesalahan dan tidak ada pengecualiannya. Biasanya prinsip tanggung jawab mutlak ini diterapkan karena: 1 konsumen tidak dalam posisi menguntungkan untuk membuktikan adanya kesalahan dalam suatu proses produksi dan distribusi yang kompleks, 2 waktu ada gugatan atas kesalahannya, misalnya dengan asuransi atau menambah komponen biaya tertentu pada harga produknya, 3 asas ini dapat memaksa produsen lebih berhati-hati.

5. Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan

Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan limitation of liability principle sangat disenangi oleh pelaku usaha untuk dicantumkan sebagai klausul eksonerasi dalam perjanjian standar yang dibuatnya. Dalam perjanjian cuci cetak film misalnya, ditentukan bila film yang dicuci cetak itu hilang atau rusak termasuk akibat kesalahan petugas, maka si konsumen hanya dibatasi ganti kerugian sebesar sepuluh kali harga satu rol film baru. Prinsip tanggung jawab ini sangat merugikan konsumen, Henny Sekartati : Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Dalam Transaksi Melalui Multi Level Marketing Studi Kasus Pada Perusahaan MLM Elken, 2007. USU Repository © 2009 bila diterapkan secara sepihak oleh pelaku usaha. Dalam UUPK yang baru, seharusnya pelaku usaha tidak boleh secara sepihak menentukan kalusula yang merugikan konsumen, termasuk membatasi maksimal tanggung jawabnya. Jika ada pembatasan mutlak harus ada peraturan perundang-undangan yang jelas. 19

D. PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM HUKUM PERDATA