Mural pada Periode Oslo

Di awal abad millennium tahun 2000, perkembangan teknologi khususnya komunikasi menjadi media yang sangat dimanfaatkan, terlebih di Palestina. Alat komunikasi tersebut dimanfaatkan sebagai media pengganti mural dan graffiti dalam menyebarkan semangat perjuangan dan mengajak rakyat Palestina agar ikut terlibat ke dalam aksi Intifadha Kedua. Namun pada situasi ini, signal telepon merupakan hambatan dan resiko terbesar terhadap rakyat Palestina. Sebab, kekuatan signal akan memungkinkan militer Israel untuk mencari para pejuang. Akhirnya, opsi non-digital atau pesan lukis dinding datang kembali untuk melayani rakyat Palestina sebagai media short message service alternatif di masa Intifadha Kedua. Mural dan graffiti kembali menjadi media penting terhadap elemen perlawanan dengan alasan yang sama seperti sebelumnya; mobilisasi, resistensi, dan memorialisasi. 42 Akan tetapi, pada kesempatan kali ini budaya dari seni jalanan muncul dengan kekuatan penuh. Aktivis dan seniman lebih bebas dalam menarik mata audiens melalui eksistensi dinding di kota Gaza dan Tepi Barat. Kebebasan ini telah memicu bentuk baru dari gambar yang lebih modern dan berwarna. Namun, setelah terjadinya pembagian kekuasaan di wilayah Palestina pasca dibangunnya tembok pemisah antara Gaza dan Tepi Barat pada tahun 2002, di mana Hamas menguasai sepenuhnya wilayah Gaza sedangkan Fatah di Tepi Barat, mengakibatkan terjadinya perbedaan parsial di masing-masing wilayah, tak terkecuali mengenai dinding. 42 Sejak awal mula, mural Palestina telah melayani sejumlah fungsi utama: menentang pendudukan dan penindasan Israel, memvalidasi perlawanan rakyat palestina, termasuk melakukan perlawanan bersenjata, mengumpulkan penduduk untuk ikut berpartisipasi ke dalam aksi perlawanan, dan mengumumkan pejuang yang tewas dalam konflik tersebut. Mia Gröndahl, Gaza Graffiti: messages of love and politics, Cairo: The American University in Cairo Press, 2009, h. 8. Di Tepi Barat, Fatah memegang kendali atas munculnya mural dan graffiti terutama di area yang dikontrol oleh Otoritas Palestina seperti di kota Nablus dan Jenin, serta kamp-kamp pengungsi seperti Aida dan Dheisheh. Tema goresan dinding pun masih sama seperti sebelumnya. Akan tetapi pada Intifadha Kedua, mural mayoritas berisi tentang gugurnya seseorang, hal itu menunjukkan bahwa resistensi rakyat Palestina masih terus berjalan. Namun isi goresan dinding tidak jarang pula yang berisikan kecaman terhadap keberadaan dinding pemisah. Sementara itu, sebelum Hamas memegang kendali atas wilayah Gaza pada masa Intifadha Kedua, mural dan graffiti terlihat lebih banyak berisi kritikan terhadap Fatah yang merupakan bagian dari Otoritas resmi Palestina. Mereka menilai terjadinya Intifadha Kedua adalah bukti bahwa perundingan damai bukanlah jalan keluar untuk memerdekakan Palestina secara penuh, seperti yang terkandung dalam graffiti , “Hentikan negosiasi dengan musuh…”. 43 Kritikan Hamas yang selalu muncul pada dinding di wilayah Gaza, menyebabkan pihak Otoritas Palestina yang pada saat itu masih menguasai penuh seluruh tanah air, kembali menerapkan sensor terhadap agresifitas mural-mural Hamas. Namun setelah pengambilalihan kekuasaan oleh pihak Hamas, dinding menjadi kontrol Hamas. Hamas hanya mengizinkan satu tema untuk digoreskan pada dinding, hal tersebut menjadikan keanekaragaman graffiti dan mural menghilang. Tetapi dalam situasi seperti ini, seniman Hamas memiliki ruang untuk melukis mural dan graffiti secara terbuka. Di sisi lain, faksi Fatah yang berada di Gaza terdegradasi ke posisi kecil dalam kehidupan politik, mereka hanya diizinkan melukis mural terkait dengan tema peringatan kesyahidan atau ucapan untuk hari besar Islam, 43 Mia Gröndahl, Gaza Graffiti: messages of love and politics, Cairo: The American University in Cairo Press, 2009, h. 11. “Kami dari Fatah berharap semua orang merayakan Idul Fitri – Selamat hari libur”. 44 Pada satu waktu ketika pelukis Fatah ingin melukis pesan politik, maka mereka harus bekerja dengan cara yang relatif rahasia. Sebab jika tidak demikian, polisi Hamas akan memenjarakan mereka. 45

C. Makna dari Simbol Teks dan Gambar

Hampir setiap goresan dinding di Palestina selalu disertakan dengan tanda tangan, atau dalam seni jalanan disebut tagging. Tagging adalah simbol yang sering dipakai untuk menciptakan ketenaran seseorang atau kelompok. Semakin banyak graffiti atau mural yang disertakan dengan tagging serupa, maka semakin terkenal pula nama pembuatnya. Oleh sebab itu, tagging merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dari seni dinding. Di Palestina tagging merupakan standarisasi lukisan dinding yang telah terdaftar dalam afiliansi suatu faksi, dengan demikian akan dianugerahi otentisitas dan legitimasi. Selama terjadinya gerakan Intifadha Pertama, seluruh elemen kelompok pergerakan mempunyai seniman mural sendiri-sendiri. Masing-masing dari mereka mempunyai ciri khas untuk menandakan keberadaan atas mural tersebut. Tagging yang sering terlihat adalah akronim Fatah, simbol PFLP peta Palestina dilalui oleh panah horizontal yang diarahkan ke barat, simbol Partai Komunis palu merah dan sabit, akronim Hamas, UNL, dan aksara Arab dari 44 Mia Gröndahl, Gaza Graffiti: messages of love and politics, h. 53 45 Polisi Hamas sering memenjarakan seniman Fatah yang tertangkap sedang memproduksi mural politik, hal ini terjadi semenjak pengambilalihan Gaza oleh pihak Hamas. Lihat Bill Roston, Messages of allegiance and defiance: the murals of Gaza, London: Institute of Race relation, h. 50.