Komite Perempuan : Gerakan perempuan telah aktif dalam politik

pemberontakan tersebut melibatkan ratusan ribu orang dan sebagian dari mereka hampir tidak pernah memiliki pengalaman dalam aksi resistensi sebelumnya, termasuk anak-anak dan remaja. Menariknya, taktik Intifadha tidak dimulai atau diatur oleh kepemimpinan PLO pada saat itu merupakan organisasi paling dominan di Palestina. Sebaliknya, mobilisasi berasal dari inisiatif aktivis setempat serta institusi dan organisasi-organisasi lokal yang telah berkembang di bawah pendudukan. 21 Mereka bertindak atas instruksi yang diturunkan oleh kelompok- kelompok perlawanan terkemuka, seperti sekuler dan Islam. Selama tahun-tahun Intifadha, bentuk dari budaya perlawanan Palestina semakin berkembang dan yang paling dominan adalah semakin beragamnya bentuk pembangkangan sipil tanpa kekerasan, seperti menyebarkan leaflet, 22 demonstrasi besar-besaran, pemogokkan umum, menolak untuk membayar pajak, boikot produk Israel serta pendirian sekolah underground sebab sekolah regular ditutup oleh militer Israel sebagai pembalasan bagi pemberontakan. 23 Taktik tanpa kekerasan tersebut merupakan dasar-dasar dari upaya untuk menyingkirkan represi pendudukan Israel. Taktik ini disebut juga dengan strategi ju-jitsu, karena konsep utama dari perlawanan tersebut adalah menggunakan kekuatan penuh lawan, di mana kekuatan itu akan 21 Institusi dan organisasi tersebut terdiri dari komite perempuan, serikat buruh, kelompok mahasiswa, komite kerja medis, pendidikan, dan pertanian. Lihat, Mubarak E Awad. Non-Violent Resistance: A Strategy for the Occupied Territories , h. 34. 22 Selengkapnya lihat lampiran, 3.2 23 Penny Johnson. “Palestinian Universities under Occupation: 15 August-15 November”. Journal of Palestine Studies 18, no. 2, 1989, h. 93. dikembalikan kembali kepada dirinya dan sekaligus menjadi titik lemahnya. 24 Ketika awal Intifadha pertama, sebagian besar warga sipil Palestina tak bersenjata menghadapi pasukan bersenjata Israel, hal ini mengungkapkan perbedaan kekuatan yang besar antara sipil dan pendudukan, sehingga tampilan tersebut membuat pasukan militer Israel terlihat memalukan. Dalam konflik yang tidak simetris ini, metode perlawanan tanpa kekerasan dapat digunakan untuk membalikkan perbedaan kekuatan tersebut. 25 Namun, di balik semua metode perlawanan non kekerasan lainnya, terdapat satu kebudayaan baru yang paling mencolok mata, yaitu mural. Mural mampu mencangkup semua perlawanan tersebut dengan menggunakan taktik mobilisasi yang terlukiskan pada seluruh dinding di wilayah palestina guna merangkul masanya. Akibatnya, resistensi berbasis luas ini telah menarik perhatian dunia internasional, sebab model tersebut belum pernah dilakukan pada situasi yang dihadapi Palestina bahkan dunia Arab sebelumnya. 24 Maria J. Stephan. “People Power In The Holy Land: How Popular Nonviolent Struggle Can Transform The Israelipalestinian Conflict ”, Journal of Public and International Affairs, Vol. 14, 2003, h. 6. 25 Maria J. Stephan. People Power In The Holy Land: How Popular Nonviolent Struggle Can Transform The Israelipalestinian Conflict, h. 7.