Perlawanan Non Kekerasan Palestina

dasar pemerintahan militer atas rakyat Palestina yang tinggal di Gaza dan Tepi Barat. Akibatnya, kekerasan dan penindasan merupakan bagian yang konsisten dari pengalaman tersebut. Pemerintah militer Israel telah menangkap dan menahan lebih dari setengah rakyat Palestina di wilayah pendudukan. 14 Sekitar tahun 1967 – 1987 telah lebih dari 2.000 warga Palestina dideportasi dari wilayah pendudukan, lebih dari 1.560 rumah warga Palestina dihancurkan, dan segala bentuk kebebasan pendidikan dan kebudayaan yang erat dibatasi: sekolah secara rutin ditutup, dan lebih dari 1.600 buku dilarang oleh pemerintah Israel di wilayah Pendudukan. 15 Dalam menghadapi keadaan umum dari represi tersebut, tindakan sederhana dari kehidupan sehari-hari seperti, bekerja, pergi ke sekolah, serta merawat seorang keluarga akses rumah sakit ditutup oleh militer Israel, mereka tidak diizinkan beroperasi , menjadi tindakan pembangkangan sipil. Istilah sumuod kesabaran atau keteguhan merupakan kata yang sering didengungkan pada perjuangan sehari-hari untuk bertahan hidup dalam menghadapi pendudukan. Namun bagaimana pun, rakyat Palestina terus mencari outlet kreatif sebagai bentuk resistensi terhadap tindak kekerasan pendudukan. 16 14 Menurut pakar hukum Lisa Hajjar pada tahun 1967-1987 jumlah penduduk Palestina yang tinggal di wilayah Gaza dan Tepi Barat sekitar 1,5 juta jiwa. Dalam artikel, Joel Beinin dan Lisa Hajjar, Palestine, Israel and the Arab Conflict A Primer. The Middle East Research and Information Project, 2014, h. 2. 15 Periode tersebut muncul bersamaan dengan kebijakan pemukiman, agresif dilakukan pemerintah Israel. pada tahun 1967 hingga 1987, sekitar 135 pemukiman dengan total 175.000 pemukim, dibangun di Tepi Barat, bersamaan dengan 12 pemukiman dengan jumlah penduduk lebih dari 2.000 pemukim di Jalur Gaza. Disamping itu, kehadiran militer secara besar-besaran diperlukan untuk membuat pemukiman ini menjadi legal. Para pemukim sendiri mewakili paramiliter besar di wilayah pendudukan. Lihat, Joel Beinin dan Lisa Hajjar, Palestine, Israel and the Arab Conflict A Primer , h. 7. 16 Rashid Khalidi. Palestinian Identity. New York: Columbia University Press, 1998, h. 108 Bentuk besar dari perlawanan Palestina selanjutnya adalah dengan mengembangkan institusi dan kepemimpinan alternatif pada tahun 1970-an. 17 Sepanjang periode ini, sejumlah organisasi akar rumput yang berbeda juga muncul untuk menyediakan institusi dan kepemimpinan alternatif. Institusi muncul sebagai upaya melengkapi institusi resmi Palestina yang sedang berjuang memberikan pendidikan, perawatan kesehatan, dan kebutuhan dasar lainnya untuk rakyat Palestina yang tinggal di wilayah Pendudukan. Proyek perlawanan non-fisik semakin terlihat bergerak dari strategi protes, non-kerjasama, dan kesabaran, menuju strategi yang dirancang untuk membangun sesuatu kehidupan yang layak bagi Palestina. Berikut lembaga-lembaga yang muncul pada periode ini:

1. Komite Perempuan : Gerakan perempuan telah aktif dalam politik

Palestina sejak awal abad ke-20 kongres pertama perempuan Arab yang diadakan di Yerusalem pada tahun 1929, gerakan ini mengambil peran penting dalam protes terhadap kolonial inggris dan ikut serta pada aksi general strike 1936. 18 Namun, aksi brutal yang dilakukan Inggris membuat gerakan ini terpaksa dibubarkan. Dan pada tahun 1965, Gerakan Union Perempuan Palestina kembali dibentuk. Tetapi gerakan tersebut mulai berperan aktif pada tahun 1970-an. Gerakan ini bekerja berdasarkan 17 Terkadang hal ini membutuhkan semacam formulir resmi. Misalnya, dalam pemilihan daerah yang diselenggarakan pada tahun 1976, rakyat Palestina sangat banyak memilih anggota partai nasionalis untuk ditempatkan pada posisi kepala daerah. Meskipun demikian, banyak tokoh tersebut yang selanjutnya dipenjara atau diasingkan oleh pasukan Israel. Pada tahun 1981, badan-badan politik lokal membuat semacam lembaga baru, Lajnat al Tawjih Komite Bimbingan, sebagai langkah menyediakan kepemimpinan nasional untuk melakukan perlawanan terhadap pendudukan. Akan tetapi, sekali lagi Israel banyak menangkap anggota dari kelompok ini. Lihat Awad Mubarak, β€œNon-Violent Resistance: A Strategy for the Occupied Territories,” Journal of Palestine Studies 13 University of California Press, Summer 1984, h. 34. 18 Selengkapnya lihat lampiran 3.1 penguatan terhadap peran perempuan dalam perjuangan melawan pendudukan. Tujuan dari komite ini adalah untuk meningkatkan nilai produktifitas pendidikan bagi kaum perempuan. 2. Serikat Buruh dan Relawan Komite Kerja : Peran serikat buruh mulai tumbuh setelah tahun 1970-an, khususnya mengingat kesulitan yang dihadapi para pekerja Palestina. Serikat buruh berjuang untuk mendapatkan hak asuransi kesehatan, upah dan kondisi kerja yang lebih baik, serta hak untuk arbitrase bagi pekerja di wilayah Pendudukan. Upaya ini dilakukan untuk memperluas aktivitas serikat buruh untuk masyarakat Palestina yang bekerja di Israel, namun hal itu ditentang oleh serikat buruh Israel, Histadrut. Sementara itu, Komite Relawan Kerja dibentuk secara kolektif di seluruh wilayah pendudukan untuk menyediakan pemuda Palestina dengan memberikan kesempatan guna turut ambil bagian dalam proyek-proyek komunitas.

3. Pergerakan Pemuda dan Mahasiswa serta Organisasi Narapidana :

Basis pergerakan mahasiswa Palestina yang terorganisir dapat ditelusuri dari tahun 1950-an dengan pembentukan Federation of Palestinian Students di Kairo dan pengorganisasian mahasiswa di Gaza. Pada awal tahun 1980-an, mahasiswa berada di garis depan dalam pengorganisasian politik. Mahasiswa memperluas gerakan pemuda untuk ikut terlibat ke dalam kegiatan sosial dan mayarakat, klub, olahraga, dan permainan