Mural pada Intifadha Pertama

sipil. Sikap yang paling menonjol adalah menolak membayar pajak, pemboikotan barang Israel, dan mengibarkan bendera Palestina. Sebagai hasil budaya tangan manusia, mural merupakan usaha dalam mengekspresikan ide gagasan mereka secara global untuk menggulingkan hierarki kekuasaan Israel. Sejak kemunculannya, mural adalah salah satu cara untuk melawan pendudukan Israel dengan mengiringi strategi mobilisasi massa, mulai dari mengunjungi, mengajak, dan akhirnya ikut terlibat ke dalam konfrontasi. Dengan demikian mural mencoba memberikan sugesti dan menyerukan kepada audiens agar menolak kehadiran pendudukan Israel serta mengambil tindakan. 20 Oleh sebab itu, mereka yang memproduksi mural dengan genre dramatis dan mengakibatkan aksi massa, dapat dianggap sebagai tindakan ilegal bagi tentara Israel. Bahkan pada kesempatan lain tidak sedikit pemuda yang tewas ketika menulis dan menggambar di dinding. Selain itu, tentara Israel juga akan menahan siapa pun yang kedapatan memiliki bercak cat di tangan mereka. Namun, aksi kekerasan yang dilakukan tentara Israel tidak mengurangi langkah pemuda Palestina untuk terus aktif memploklamirkan goresan dinding. Dinding-dinding seperti toko, rumah, dinding publik, serta telepon umum tidak terlepas dari goresan campur aduk mural. Setiap lokasi memiliki beberapa koleksi mural dan graffiti, kuantitas merupakan barometer dari simbol ketidakpuasan dan kelompok sandiwara sebelum mengadakan pertunjukan di depan penonton. Lihat Yus Badudu. Kamus Kata-Kata Serapan Asing Dalam Bahasa Indonesia , Kompas, 2003. h. 302. 20 Strategi tersebut diberi nama days of confrontations dengan otoritas pendudukan yang dibentuk oleh pemimpin wilayah. Days of Confrontations merupakan hari di mana orang-orang didorong untuk mengambil bagian pada aksi yang dirancang untuk melibatkan tentara dalam konfrontasi, seperti pelemparan batu atau menyiapkan barikade. Mural dimaksudkan untuk memicu mobilisasi massa, menarik orang agar keluar dari rumahnya dan kehidupan sehari-hari berubah menjadi pergulatan aksi perlawanan. Lihat Julie Peteet, “The Writing on the Walls: The Graffiti of the Intifada ”, Cultural Anthropology, Vol. 11, No. 2 1996, h. 142. perlawanan rakyat. Pada satu kesempatan, dinding rumah sipil beserta tempat bisnis dikerahkan secara formal. Hal tersebut, sebagai aksi dukungan serta perlawanan mereka dengan Israel. Namun, pengambialihan dinding milik pribadi ini merupakan salah satu tindakan mobilisasi dari gerakan politik internal Palestina, sebab seniman mural tidak terlepas dari afiliansi gerakan politik di Palestina. Karenanya para pemilik dinding akan berhadapan dengan tentara Israel yang menuntut penghapusan dan pembayaran denda sebesar 700 Shekel Israel sekitar 350. 21 Dengan adanya sanksi tersebut, membuat beberapa pemilik dinding mengingkari kerjasama dengan para muralis. Pada satu kesempatan ketika terjadi huru-hara antara sipil Palestina dengan tentara Israel, beberapa pemilik dinding mencoba menutup penuh mural tersebut dengan cat untuk menyelamatkan diri mereka dari denda dan penghinaan penghapusan di bawah mata tentara Israel. Akibatnya, sikap tersebut membuat para seniman geram, dan untuk mengontrol hal tersebut, maka sikap tegas ditunjukkan lewat mural yang bertuliskan, “Dont paint over graffiti voluntarily. First Warning ”, sebuah instruksi yang ditujukan kepada warga Palestina agar menahan diri dari sikap main hakim sendiri demi keuntungan otoritas pendudukan. 22 Mural memang memiliki kemampuan untuk mengubah hubungan internal dan memanfaatkan mereka melakukan tindakan perlawanan. 21 Julie Peteet. “The Writing on the Walls: The Graffiti of the Intifada”, Cultural Anthropology, Vol. 11, No. 2 1996, h. 143. 22 Namun, pada tahun 1991, Unified National Leadership UNL mengeluarkan instruksi dalam bayan leaflet yang melarang menulis grafiti di dinding milik pribadi. Karena menanggap Israel telah mengumpulkan terlalu banyak pendapatan dari denda pemilik dinding yang dipenuhi mural. Lihat Julie Peteet. “The Writing on the Walls: The Graffiti of the Intifada”, Cultural Anthropology, Vol. 11, No. 2 1996, h. 144. Gerakan Intifadha pada hakikatnya merupakan perlawanan kaum muda Palestina. Sama dengan kasus Intifadha secara umum, aksi mural juga mengerahkan sebagian besar pemuda. Sehingga aksi tersebut dapat dikatakan seperti ritual kedua menuju kedewasaan. Sebab, bagi mereka yang ingin tergabung ke dalam barisan keanggotaan sebuah organisasi politik, menggores dinding menjadi salah satu syarat. 23 Singkatnya, tindakan yang membuat dinding berbicara tersebut merupakan salah satu syarat untuk memperoleh mandat revolusioner guna memasuki status keanggotaan dalam ranah politik atau afiliasi di Palestina. Tema tulisan dan gambar dinding pada dasarnya diarahkan oleh para pemimpin di masing-masing wilayah. Dan umumnya mural diproduksi pada malam hari lalu diblok dihapus dengan cat Israel pada siang hari. Karenanya, wajah dinding akan selalu berubah-ubah dalam setiap waktu, baik pagi, sore, dan malam hari. Isi konten mural sendiri selalu seragam dan riuh, sebanyak terjadinya pemberontakan. Retorika mereka sangat dituntut untuk menandakan persimpangan batas terlarang antara Palestina-Israel. 24 Melalui mural, suara rakyat Palestina secara luas mampu terwakilkan. Kehadiran suara pada sebuah ruang publik Palestina yang lolos dari sensor Israel dan bernada berani muncul bersamaan dengan tagging faksi politik untuk mengobarkan semangat perlawanan rakyat Palestina yang bertuliskan, ”Kematian 23 Menulis mural merupakan tugas pertama yang dilakukan seorang calon jika ingin tergabung dalam barisan. Selain itu, kesiapan dan mentalitas calon juga menjadi prioritas utama, dilihat dari komitmennya yang ikut terlibat ke dalam aksi perlawanan dan juga kapasitasnya dalam menghadapi bahaya. Julie Peteet. “The Writing on the Walls: The Graffiti of the Intifada”, Cultural Anthropology, Vol. 11, No. 2 1996, h. 144. 24 Ghazi Hamad, “Writings on the wall”, Palestine Report, vol. 10, no. 22, 2003, h. 179. bagi pemukim di mana pun mereka berada – PFLP” Popular Front for the Liberation of Palestine. 25 “Kami adalah orang-orang kuat terhadap semua model penyiksaan yang ada – PFLP”; “Cepat kembalikan kemerdekaan kami – UNL” Unified National Leadership, “Tidak untuk penjajahan”. Selain memberikan semangat perjuangan, mural juga mengarahkan rakyat untuk melakukan aksi pembangkangan terhadap Otoritas Pendudukan . “Tidak membayar pajak adalah kewajiban nasional dan tindakan perjuangan – UNL”. “Generasi yang bangkit di dalam ruang interogasi di bawah tongkat polisi menciptakan partai rakyat dan semua kamerad 26 - PCP ” Palestine Communist Party. 27 Kebanyakan dari mural memang menampilkan kalimat-kalimat dan makna yang tergolong tegas. Namun di balik semua itu, terdapat pula ilustrasi tulisan yang terlihat humoris, akan tetapi tetap pada koridor perjuangan. “Penjara adalah tempat relaksasi, kebijakan deportasi adalah pariwisata, melempar batu adalah olahraga – UNL”. 28 Tulisan tersebut, selain sebagai langkah untuk menunjukkan kapasitas mereka dalam menantang sanksi hukum Israel juga sebagai bentuk ketegasan akan sebuah cerita, bahwa rutinitas yang mereka jalani sehari-hari merupakan sesuatu yang menyenangkan. Pesan terhadap sikap keberanian yang 25 PFLP, Fatah, UNL, Hamas, PCP, dan QD umumnya digunakan dan akronim yang dituliskan semuanya muncul sebagai tanda tangan di akhir graffiti atau mural. PFLP singkatan Front Populer untuk Pembebasan Palestina, kelompok oposisi utama di PLO. Fatah, merupakan faksi terbesar dan paling kuat di PLO, sebagai sebuah kata, Fatah berarti “penaklukan” atau “pembukaan”. UNL mengacu pada Kepemimpinan Nasional Bersatu, merupakan pimpinan bawah tanah intifadha. Hamas adalah akronim dari Harakat al-Muqawama al-lslamiyya; sebagai sebuah kata, Hamas berarti semangat, gigih, sabar. PCP mengacu pada Partai Komunis Palestina Party Comunist Palestine , dan QD singkatan Pasukan Mogok Quwwat al-Darb. 26 Dalam KBBI Online, istilah Kamerad adalah panggilan sesama anggota Partai Komunis. Sumber : http:kbbi.web.idkamerad , akses: 7214. 27 Juliee Peteet. “The Writing on the Walls: The Graffiti of the Intifada”, Cultural Anthropology , Vol. 11, No. 2 1996, h. 145. 28 Julie Peteet. “The Writing on the Walls: The Graffiti of the Intifada”, h. 146. terbilang lugu tersebut merupakan sarana untuk mempersiapkan diri anak-anak muda Palestina akan kemungkinan pengalamannya menjadi tahanan. Secara keseluruhan graffiti dan mural selalu bersandingan dengan tagging dari gerakan politik, akan tetapi tidak jarang pula muncul tagging individu. Namun, rakyat Palestina lebih melihat goresan dinding yang muncul dengan tagging gerakan politik. Sebab, hal tersebut lebih membawa makna kebersamaan dan sikap nasionalisme serta menegaskan pembaca ikut terlibat ke dalam ruang lingkup politik. Itulah sebabnya Israel sangat responsif terhadap goresan dinding. Bagi tentara Israel tulisan atau gambar yang dibuat terburu-buru baca: singkat lebih penting daripada isi kandungan yang sebenarnya. Tentara Israel menanggapi praktik sosial tersebut serta dampak kemungkinan dari arahan mural yang dapat menimbulkan pembaca mengeksplorasi dan menegaskan identitas kolektif. Aksi penghapusan disertai tindak kekerasan menjadikan catatan akan ketakukan Israel terhadap kedua komunitas, yang memproduksi dan mensirkulasikan informasi, serta pengalaman dan sentimen yang ditulis dan dishared kepada masyarakat luas tanpa harus melalui kontak langsung atau face to face. 29 Di bawah pemerintahan tentara Israel, kehidupan sehari-hari masyarakat Palestina sangat diatur oleh izin, hampir pada setiap kegiatan, mulai dari membangun rumah, membawa buku-buku ataupun sekedar menanam pohon. Lebih dari 1.500 perintah tentara Israel mengatur kehidupan sehari-hari rakyat Palestina. Melukis dan menulis di dinding yang tidak memiliki izin didefinisikan 29 Sirkulasi sentimen dapat menimbulkan hasutan. Lihat Julie Peteet, “The Writing on the Walls: The Graffiti of the Intifada ”, Cultural Anthropology, Vol. 11, No. 2 1996, h. 146 sebagai tindakan illegal. 30 Jadi tentara Israel akan bergegas untuk memastikan bahwa mural dan graffiti telah diblok. Sebagian besar tentara Israel tidak dapat memahami isi sebenarnya, namun mereka menanggapinya hanya dengan melihat bahwa mencoret dinding merupakan sebuah praktik sosial dari aksi pembangkangan. Ikon yang paling dikenal, umumnya seperti; palu dan arit dari Partai Komunis Palestina, kepalan tangan dari QD atau Masjid of Rock Dome dari Hamas yang tidak memerlukan keaksaraan dalam bahasa Arab. Kondisi mural yang dilukis dan ditulis adalah inti untuk menemukan makna dan keberhasilan mereka. Mural merupakan cara menghindari penolakan terhadap suara mereka. Ia merupakan satu-satunya cara untuk mematahkan aturan yang membatasi mereka bersuara dan menjadi sarana utama dalam komunikasi kepada publik. Adanya penolakan akses media cetak oleh tentara Israel, membuat orang turun ke dinding guna menciptakan media cetak dari batu dan sekaligus pembaca batu. Dengan demikian mural merupakan bukti tentang upaya untuk mengembalikan suara dan fashion ruang publik, di mana arena seperti opini dapat dibentuk. 31 Akan tetapi, diakhir tahun 1980-an hingga awal tahun1990-an, dinding telah berubah dari yang berisi resistensi terhadap Israel menjadi media persaingan politik internal Palestina, baik berupa isu gender maupun konsep negara Palestina. 30 Hilterman menyatakan bahwa aturan Orde atau pasal Militer 101 1967, mengenai larangan aksi penghasutan dan propaganda, mencangkup pelarangan seperti kepemilikan dan distribusi bahan illegal, mengibarkan bendera Palestina, dan keanggotaan dalam organisasi yang dianggap illegal. Berdasarkan Orde Militer 101, “No publications can be brought in, sold, printed, or kept in someone s possession in the West Bank unless a permit has been obtained for them”, terjemahan bebas : “tidak ada publikasi yang dapat dibawa, dijual, dicetak, atau disimpan dalam kepemilikan seseorang di Tepi barat kecuali izin telah diperoleh mereka”. Lihat Joost Hiltermann, Behind the Intifada. Labor and Womens Movements in the Occupied Terri-tories, Princeton, NJ : Princeton University Press, 1991, h. 105-106. 31 Layoun mengatakan bahwa gagasan Habermas tentang ranah publik sebagai pidato yang ideal, situasi di mana komunikasi diskursif berlangsung. Lihat Mary Layoun, Telling Spaces: Palestinian Women and the Engendering of National Narra-tives. In Nationalisms and Sexualities. New York: Routledge, 1992, h. 422. Namun demikian, lanskap perlawanan terhadap Israel masih tetap terlihat, walaupun pada intensitas yang rendah. Setelah terjadinya perjanjian damai Oslo pada tahun 1993, sebuah instruksi keluar dengan mengatakan bahwa mural dan graffiti harus dicat baca: hapus sebelum kedatangan presiden Arafat. Instruksi tersebut sesuai dengan salah satu isi dari perjanjian damai Oslo. 32 Akibatnya, warna-warni dinding di setiap wilayah harus disapu bersih dari noda-noda coretan mural. 33 Pada masa ini tidak ada satupun kritik terhadap proses perdamaian yang terlihat di dinding, meskipun demikian, kritikan terus berkembang tanpa henti selama tahun 1990-an.

2. Mural pada Periode Oslo

Perlawanan rakyat Palestina selama Intifadha Pertama menyebabkan terjadinya negosiasi perdamaian serta perjanjian Oslo di tahun 1993. Namun selama periode Oslo dari tahun 1993-2000, pendudukan Israel yang berkelanjutan terus membatasi ekonomi dan pembangunan nasional Palestina. Akan tetapi, dalam periode ini, rakyat Palestina diizinkan untuk mendirikan media penyiaran mereka sendiri di wilayah pendudukan. Ini merupakan kesempatan bagi rakyat Palestina untuk mengembangkan media-media dalam bidang lainnya. 34 Otoritas Palestina mendirikan Voice of Palestina, sebuah stasiun radio dan Televisi Palestina pada tahun 1994. Palestina khususnya di Gaza, telah memiliki surat 32 Dasar dari munculnya instruksi tersebut adalah karena tentara Israel selalu terprovokasi oleh hiasan yang muncul pada dinding-dinding Palestina. sehingga tidak jarang tentara Israel menggunakan kekerasan untuk menghentikan aksi tersebut. Lihat Mia Gröndahl, Gaza Graffiti: messages of love and politics . Cairo : The American University in Cairo Press, 2009, h. 10. 33 Pada pertengahan 1990-an, secara menyeluruh mural dilukis untuk memperingati acara- acara nasional atau internasional di bawah pengawasan organisasi sipil. Lihat Asmaa Al-Ghoul “Palestinians in Gaza Express Love, Politic with Graffiti”. Al-monitor : 23 Oktober 2013. 34 Amal Jamal. Media, Politics and Democracy in Palestine. Sussex : Academic Press. 2005, h. 89. kabar sendiri untuk pertama kalinya sejak pendudukan Israel dimulai. Selain itu palestina juga mulai menggunakan proyek berita melalui internet. 35 Teknologi serta perkembangan politik telah berubah menjadi madiascapes 36 pada tahun 1994 – 2000, sehingga menghasilkan perkembangan besar terhadap media resmi non-aparat, salah satunya media Islam yang diprakarsai oleh Hamas. Publikasi Islam mulai beredar lebih luas dan bebas. 37 Media Islam membahas mengenai masalah agama dan sosial, namun fokus utama mereka adalah politik. Mereka memanfaatkan hal ini untuk menyampaikan wacana propaganda perlawanannya terhadap ideologi sekuler, seperti; hak asasi aanusia, pluralism, dan kritik terhadap otoritas resmi Palestina. Karena pemberitaan yang terus menerus mengkritik pemerintah, menyebabkan media kelompok Islam tersebut resmi dibatasi dan dilarang bila kedapatan ilegal. Untuk mencegah hal tersebut, Otoritas Palestina membagun lembaga sensor serta melakukan aksi terjun langsung dalam mengontrol institusi media. Dengan demikian persaingan antara Hamas dan Fatah Otoritas Palestina semakin terlihat. 38 Selama periode Oslo, legalitas atas media elektronik dan cetak telah membuat budaya dinding berbicara tersingkirkan. Namun perlu dicatat, pada periode ini media Palestina tidak dapat konsisten dalam mendorong percakapan 35 Amal Jamal. Media, Politics and Democracy in Palestine, h. 92. 36 Mediascapes adalah distribusi kapabilitas elektronik untuk menghasilkan dan menyebarkan informasi koran, majalah, televisi, studio pembuat film. 37 Amahl Bishara. “New Media and Political Change in the Occupied Palestinian Territories ”, Middle East Journal of Culture and Communication. Tufts University 2005, h. 69. 38 Amahl Bishara. “New Media and Political Change in the Occupied Palestinian Territories ”, h. 71. yang hidup dengan audiens terkait isu-isu Politik, ditambah sumber daya keuangan yang kurang menjadi faktor penyebabnya. 39

3. Mural pada Intifadha Kedua

Intifadha Kedua dimulai pada September 2000, pada aksi Intifadha kali ini mengambil bentuk yang sangat berbeda dari Intifadha Pertama karena konstelasi yang berbeda antara pemerintahan Israel dan Palestina. 40 Selain itu, legalitas atas penggunaan akses media menjadi sebuah hal yang paling menonjol. Namun hal tersebut tidak berlangsung lama, karena Israel kembali mengawasi akses media Palestina, seperti pada saat Intifadha Pertama. Bahkan aksi pelarangan media dibarengi dengan tindakan yang lebih brutal dari tentara Israel dengan menargetkan kantor media, baik milik pemerintah Palestina ataupun independen sebagai lokasi sasaran militer. Akibatnya, pada tahun 2000 pula Israel mengebom pemancar radio Voice of Palestine milik Otoritas Palestina. 41 Dengan demikian rakyat Palestina kembali mengalami krisis media, baik sebagai sumber informasi ataupun alat propaganda politik. 39 Akibatnya, media cetak seperti koran jarang mengirim wartawan ke lokasi kejadian. Dan sekitar 55 persen konten surat kabar merupakan terjemahan atau diterbitkan dari media internasional lainnya. Lihat Amahl Bishara, “New Media and Political Change in the Occupied Palestinian Territories: Assembling Med ia Worlds and Cultivating Networks of Care”, Middle East Journal of Culture and Communication , Tufts University, 2010, h. 70. 40 Tidak seperti Intifadha Pertama, ketika aksi protes terhadap pendudukan Israel yang secara geografis tersebar luas di wilayah perkotaan, baik besar maupun kecil. Selama masa Intifadha Kedua, bentrokan tidak lagi berlangsung di dalam wilayah tersebut karena adanya administrasi Otoritas Palestina. Bentrokan tersebut justru terjadi di perbatasan kota dan di jalan bypass, sedangkan Israel mengontrol tempat Ibadah. Lihat Amahl Bishara, “New Media and Political Change in the Occupied Palestinian Territories: Assembling Media Worlds and Cultivating Networks of Care”, Middle East Journal of Culture and Communication, Tufts University 2010, h. 71. 41 Aksi tersebut terus berlanjut, pada musim dingin 2001-2002 tentara Israel menyita peralatan media dan kemudian meledakkan bom di gedung pemerintah dan penyiaran TV Palestina Israel juga menggeledah salah satu stasiun televisi perdana milik independen, Al-Quds Television, dan stasiun independen lainnya. Lihat Amahl Bishara, “New Media and Political Change in the Occupied Palestinian Territories: Assembling Med ia Worlds and Cultivating Networks of Care”, Middle East Journal of Culture and Communication, Tufts University, 2010, h. 73. Di awal abad millennium tahun 2000, perkembangan teknologi khususnya komunikasi menjadi media yang sangat dimanfaatkan, terlebih di Palestina. Alat komunikasi tersebut dimanfaatkan sebagai media pengganti mural dan graffiti dalam menyebarkan semangat perjuangan dan mengajak rakyat Palestina agar ikut terlibat ke dalam aksi Intifadha Kedua. Namun pada situasi ini, signal telepon merupakan hambatan dan resiko terbesar terhadap rakyat Palestina. Sebab, kekuatan signal akan memungkinkan militer Israel untuk mencari para pejuang. Akhirnya, opsi non-digital atau pesan lukis dinding datang kembali untuk melayani rakyat Palestina sebagai media short message service alternatif di masa Intifadha Kedua. Mural dan graffiti kembali menjadi media penting terhadap elemen perlawanan dengan alasan yang sama seperti sebelumnya; mobilisasi, resistensi, dan memorialisasi. 42 Akan tetapi, pada kesempatan kali ini budaya dari seni jalanan muncul dengan kekuatan penuh. Aktivis dan seniman lebih bebas dalam menarik mata audiens melalui eksistensi dinding di kota Gaza dan Tepi Barat. Kebebasan ini telah memicu bentuk baru dari gambar yang lebih modern dan berwarna. Namun, setelah terjadinya pembagian kekuasaan di wilayah Palestina pasca dibangunnya tembok pemisah antara Gaza dan Tepi Barat pada tahun 2002, di mana Hamas menguasai sepenuhnya wilayah Gaza sedangkan Fatah di Tepi Barat, mengakibatkan terjadinya perbedaan parsial di masing-masing wilayah, tak terkecuali mengenai dinding. 42 Sejak awal mula, mural Palestina telah melayani sejumlah fungsi utama: menentang pendudukan dan penindasan Israel, memvalidasi perlawanan rakyat palestina, termasuk melakukan perlawanan bersenjata, mengumpulkan penduduk untuk ikut berpartisipasi ke dalam aksi perlawanan, dan mengumumkan pejuang yang tewas dalam konflik tersebut. Mia Gröndahl, Gaza Graffiti: messages of love and politics, Cairo: The American University in Cairo Press, 2009, h. 8.