Pesuteraan Alam Penelitian Terdahulu

21 namun bila tidak dibersihkan akan menjadi sumber penyakit dan hama bagi ulat sutera periode pemeliharaan selanjutnya.

2.3. Pesuteraan Alam

Kegiatan pesuteraan alam merupakan rangkaian kegiatan agroindustri yang meliputi kegiatan pembibitan ulat sutera, budidaya tanaman murbei, pemeliharaan ulat sutera, pemintalan benang sutera, penenunan kain sutera, pembatikanpencelupanpencapanpenyempurnaan, garmen dan pembuatan barang jadi lainnya yang berbahan sutera termasuk pemasarannya. Dalam sejarahnya, pembudidayaan ulat sutera berasal dari Negara Tiongkok, dimana sutera telah digunakan sebagai bahan pakaian tertera dalam sejarah sejak jaman Dinasti Han tahun 2600 B.C. Pada masa Dinasti Han, sudah dikenal adanya usaha pemintalan benang dan penenunan kain sutera. Kemudian setelah abad ke-4 sesudah Masehi, kain sutera mulai dikenal berbagai negara seperti Jepang, Korea, India, dan negara-negara Timur Tengah serta Eropa termasuk Indonesia melalui perdagangan antar negara Katsumata, 1964. Semakin berkembangnya perdagangan antar negara, maka dikenal istilah jalur sutera Silk Road. Peta Silk Road dapat dilihat pada Lampiran 2. Di Indonesia sendiri, perkembangan sutera alam sudah ada sejak abad ke-10. Pembudidayaan sutera alam berkembang pada zaman pemerintahan Hindia Belanda sejak tahun 1718, sedangkan setelah kemerdekaan industri pesuteraan alam, yaitu meliputi kegiatan penanaman murbei, pembibitan ulat sutera dan pemeliharaanya hingga menghasilkan kokon, proses pemintalan, dan proses penenunan dimulai sejak tahun 1961 di Kabupaten Garut, Jawa Barat.

2.4. Penelitian Terdahulu

Penelitian Afrilia pada tahun 2004 menganalisis kelayakan finansial usahaternak ulat sutera di Kecamatan Ngaglik, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Pada penelitian ini membedakan peternak ulat sutera di Kecamatan Ngaglik menjadi tiga kelompok menurut rata-rata luas lahan yang digunakan untuk usahaternak ulat sutera, yaitu rata-rata luas lahan 0,06 Ha 0,09 Ha; 0,15 Ha 0,09-0,20 Ha; dan 0,4 Ha 0,20 Ha. Dua kegiatan pokok dalam 22 usahaternak ulat sutera di Kecamatan Ngaglik adalah budidaya murbei dan pemeliharaan ulat sutera besar untuk produksi kokon. Umur usahaternak ulat sutera dianalisis selama 10 tahun didasarkan pada pertimbangan umur teknis tanaman murbei. Indikator kelayakan finansial usahaternak ulat sutera menggunakan nilai NPV, IRR, dan BCR dengan suku bunga tabungan sebesar 12 persen. Nilai NPV pada rata-rata luas lahan usahaternak 0,06 Ha; 0,15 Ha; dan 0,40 Ha masing-masing adalah Rp 747.653,39,- ; Rp 6.117.546,15,- ; dan Rp 11.443.982,51,- menunjukkan bahwa nilai NPV 0, jadi kriteria nilai NPV telah terpenuhi. Nilai BCR yang diperoleh masing-masing usahaternak juga menunjukkan bahwa usaha ini layak secara finansial untuk diusahakan BCR 1. Nilai BCR pada rata-rata luas lahan usahaternak 0,06 Ha; 0,15 Ha; dan 0,40 Ha masing-masing adalah1,16; 1,60; 1,51. Nilai IRR pada rata-rata luas lahan usahaternak 0,06 Ha; 0,15 Ha; dan 0,40 Ha masing-masing adalah 21,42 persen; 41,15 persen; dan 44,74 persen sehingga layak untuk diusahakan. Usahaternak ulat sutera tetap layak secara finansial untuk diusahakan pada sensitivitas harga input variabel naik 10 persen dan harga kokon turun 10 persen. Frimawati 2006 menganalisis kelayakan finansial budidaya ulat sutera studi kasus pada Koperasi petani pengrajin ulat sutera Sabilulungan III, Kecamatan Sukaresik, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Pada penelitian ini, peternak ulat sutera di KOPPUS Sabilulungan II dikelompokkan menjadi tiga skala usaha menurut luas lahan murbei yang dimiliki oleh peternak yaitu skala I dengan luas lahan 0,35 Ha; skala II dengan luas lahan 0,5 Ha dan skala III dengan luas lahan 1,00 Ha. Analisis yang digunakan pada penelitian ini adalah analisis kelayakan finansial NPV, IRR, BCR, dan Payback Period. Analisis kelayakan dilakukan dengan menggunakan dua asumsi untuk menentukan indikator yang menyebabkan peternak masih bertahan menjalankan budidaya ulat sutera. Asumsi I menunjukkan sewa lahan dan biaya tenaga kerja keluarga tidak diperhitungkan. Nilai NPV pada skala I, II, dan II masing-masing sebesar Rp 1.299.052,- ; Rp 1.352.750,- ; Rp 3.398.896,-. Nilai IRR pada sakal I, II, dan III masing-masing sebesar 23 persen, 21 persen, 26 persen. Nilai BCR pada skala I, II, dan II masing- 23 masing sebesar 1,27; 1,19; 1,29. Payback Period pada skala I, II, dan III masing- masing selama 5 tahun 6 bulan, 6 tahun 2 bulan, 4 tahun 9 bulan. Asumsi II menunjukkan sewa lahan dan biaya tenaga kerja keluarga diperhitungkan. Dengan menggunakan asumsi II, kriteria NPV dan BCR yang dihasilkan menunjukkan usaha ini tidak layak secara finansial. Nilai NPV pada skala I, II, dan III masing- masing sebesar Rp -2.110.701,- ; Rp -2.784.603,- ; Rp -5.295.016,-. Nilai BCR yang dihasilkan kurang dari 1, yaitu pada skala I, II, dan III nilainya masing- masing sbesar 0,74; 0,75; 0,74. Penelitian Nurlela 2006 menganalisis kelayakan finansial dan ekonomi usaha pemintalan dan pertenunan sutera alam di KOPPUS Sabilulungan III, Kecamatan Sukaresik, Kabupaten Tasikmalaya. KOPPUS Sabilulungan II merupakan koperasi yang terdiri dari unit usaha pemintalan dan unit pertenunan. Berdasarkan hasil perhitungan analisis finansial dapat disimpulkan bahwa unit usaha pemintalan dan pertenunan yang dilakukan layak untuk diusahakan. Hal ini terlihat dari nilai NPV yang positif, Net BC lebih dari satu, IRR yang lebih besar dari tingkat suku bunga yang berlaku, dan tingkat pengambalian investasi yang lebih kecil dari umur proyek. Namun hasil perhitungan analisis ekonomi menunjukkan bahwa usaha pemintalan dan pertenunan tidak layak untuk diusahakan. Hal tersebut dapat telihat dari NPV yang negatif, nilai IRR yang lebih kecil dari tingkat diskonto, nilai net BC lebih kecil dari nol dan payback period yang lebih besar dari umur proyek. Hasil analisis sensitivitas secara finansial menunjukkan bahwa pada unit pemintalan dan pertenunan tidak peka terhadap kenaikan harga input yaitu benang sutera sebanyak 16,6 persen, upah tenaga kerja 10 persen, dan penurunan harga benang sebesar 37,14 persen serta penurunan harga kain sutera sebanyak 6,25 persen. Sementara kepekaan yang tinggi didapat dari penurunan produksi benang sutera sebanyak 11,18 persen dan kain sutera. Analisis switching value finansial yang dilakukan menunjukkan perubahan yang dapat diterima yaitu apabila terjadi kenaikan upah tenaga kerja sebesar 87 persen dari upah normal, penurunan harga jual benang sutera sebesar 99 persen dari harga normal, penurunan produksi benang sutera sebesar 21 persen dari jumlah normal, dan penurunan harga jual kain sutera sebesar 17,5 persen dari harga normal. 24 Berdasarkan penelitian terdahulu yang telah dilakukan, perbedaan yang ada dengan penelitian ini adalah setiap penelitian terdahulu dilakukan dengan mengambil studi kasus di daerah yang menjadi sentra produksi benang sutera seperti Daerah Istimewa Yogyakarta dan Kabupaten Tasikmalaya, sedangkan penelitian ini mengambil studi kasus di Kabupaten Bogor yang hanya terdapat dua usaha peternakan ulat sutera. Peternakan ulat sutera yang menjadi objek penelitian memiliki skala usaha cukup besar bila dibandingkan dengan skala usaha pada penelitian yang dilakukan oleh Afrilia 2004 dan Frimawati 2006 yaitu dengan luas lahan murbei sebesar 2 Ha. Selain itu penelitian ini juga menganalisis kelayakan non finansial jika dilihat dari aspek pasar, teknis, manajemen, dan sosial. 25

III. KERANGKA PEMIKIRAN

3.1 Analisis Kelayakan Usaha

Proyek usaha merupakan suatu kegiatan yang mengeluarkan uangbiaya- biaya dengan harapan akan memperoleh hasil dan yang secara logika merupakan wadah untuk melakukan kegiatan-kegiatan perencanaan, pembiayaan, dan pelaksanaan dalam satu unit Gittinger, 1986. Studi kelayakan usaha merupakan suatu kegiatan yang mempelajari secara mendalam tentang suatu kegiatan atau usaha atau bisnis yang akan dijalankan, dalam rangka menentukan layak atau tidak usaha tersebut dijalankan Kasmir, 2003. Beberapa tujuan dilakukan analisis kelayakan usaha diantaranya adalah 1 Menghindari risiko kerugian, 2 Memudahkan perencanaan, 3 Memudahkan pelaksanaan pekerjaan, 4 Memudahkan pengawasan, dan 5 Memudahkan pengendalian. Dalam menganalisa suatu proyek yang efektif harus mempertimbangkan aspek-aspek yang saling berkaitan secara bersama-sama menentukan bagaimana keuntungan yang diperoleh dari suatu penanaman investasi tertentu dan mempertimbangkan seluruh aspek tersebut pada setiap tahap dalam perencanaan proyek dan siklus pelaksanaannya Gittinger, 1986. Aspek-aspek tersebut antara lain: 1. Aspek Pasar Aspek pasar meliputi permintaan, baik secara total ataupun diperinci menurut daerah, jenis konsumen, perusahaan, dan proyeksi permintaan. Kemudian penawaran, baik berasal dari dalam negeri maupun impor. Kemudian harga, program pemasaran dan perkiraan penjualan. Aspek pasar merupakan aspek penting yang terlebih dahulu harus dianalisis sebelum memutuskan untuk memulai atau mengembangkan suatu usaha. Kelayakan aspek pasar akan sangat berkaitan dengan besarnya penerimaan yang akan diperoleh dalam usaha, karena aspek ini akan menentukan besarnya penekanan biaya pemasaran dan peningkatan nilai jual output yang dapat diupayakan.