35
Gambar 5 Persentase jumlah hotspot per kabupaten di Kalimantan Barat Dalam penelitian ini pemodelan spasial di lakukan dengan menggunakan
data hotspot dari stasiun pengamatan ASMC. Hal ini didasarkan dari hasil penelitian Hadi 2006 dan Thoha 2006 yang menyatakan bahwa jarak rata-rata
titik hotspot pengamatan JICA terhadap hotspot lapangan berbeda sangat nyata. Jarak rata-rata titik hotspot stasiun pengamatan ASMC terhadap titik hotspot di
lapangan lebih dekat dibandingan dengan jarak rata-rata titik hotspot stasiun pengamatan JICA terhadap titik hotspot di lapangan.
Dengan menggunakan data hotspot dari stasiun pengamatan ASMC sebagai rujukan dalam pembangunan model spasial penelitian ini maka
diharapkan akurasi dari model tingkat kerawanan kebakaran yang dibangun akan memiliki bias yang lebih rendah.
B. Pola Hubungan Hotspot dan Curah Hujan
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kebakaran hutan dan lahan di Indonesia disebabkan oleh aktivitas pembakaran oleh manusia baik masyarakat
maupun perusahaan untuk kegiatan pembersihan lahan land clearing. Meskipun demikian, faktor-faktor alam terutama keadaan iklim sangat menentukan
terjadinya kebakaran hutan dan lahan. Rendahnya curah hujan merupakan salah satu kondisi iklim yang
mempengaruhi kejadian kebakaran hutan dan lahan. Sebaliknya bila tingkat curah hujan tinggi, kejadian kebakaran hutan dan lahan menjadi sangat rendah. Curah
Bengkayang 3
Kapuas Hulu 4
Ketapang 40
Kota Pontianak Kota
Singkawang Landak
4 Melawi
6 Kab. Pontianak
8 Sambas
4 Sanggau
8 Sekadau
8 Sintang
15
36 hujan memberikan kontribusi terhadap besar kecilnya kadar air dalam suatu bahan
bakar sehingga memperlambat proses terjadinya kebakaran. Penelitian Adiningsih 2005 mengungkapkan bahwa terdapat kecenderungan meningkatnya curah hujan
berkaitan dengan makin menurunnya jumlah hotspot. Demikian pula dengan penelitian Sukmawati 2006 di Kabupaten
Pontianak mengenai hubungan curah hujan dan titik hotspot sebagai indikator terjadinya kebakaran mengungkapkan bahwa parameter curah hujan berpengaruh
signifikan terhadap jumlah deteksi hotspot. Menurut Syaufina 2008, kadar air bahan bakar menunjukkan jumlah air
yang dikandung oleh partikel bahan bakar. Besar kecilnya bahan bakar merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap perilaku api, terutama dalam kecepatan
pembakaran dan kemampuan terbakar dari bahan bakar. Brown dan Davis 1973 menambahkan bahwa kadar air lebih besar atau sama dengan 30 dari bahan
bakar dianggap aman terhadap bahaya kebakaran. Untuk menjelaskan hubungan tingkat kerawanan hutan dan lahan di
Kalimantan Barat dengan curah hujan maka diperlukan data-data curah hujan yang ditunjukkan pada Tabel 6.
Tabel 6 Jumlah Curah Hujan Bulanan di Kalimantan Barat Tahun 2006
Bulan Curah Hujan Pada Stasiun Pencatat Cuaca
Rata- rata
Ptk Stg
Plh Ktp
Pts Nph
Januari
184 219
345 195
392 336
278
Februari
345 348
179 168
343 370
292
Maret
137 77
94 21
147 117
99
April
260 376
89 380
379 422
318
Mei
228 312
329 275
457 194
299
Juni
220 263
176 295
369 282
268
Juli
41 16
143 7
115 83
67
Agustus
57 92
190 129
41 85
Septembar
171 132
178 61
181 263
164
Oktober
130 60
434 27
334 140
187
November
297 368
361 270
473 278
341
Desember
477 308
421 443
654 486
465
Jumlah
2.547 2.573
2.939 2.142
3.973 3.011
2.864
Rata-rata
212 214
245 179
331 251
239
Sumber : Badan Meteorologi dan Geofisika Catatan : Ptk = Pontianak, Stg = Sintang, Plh = Paloh, Ktp = Ketapang, Pts = Putussibau
dan Nph = Nanga Pinoh
37 Pada Tabel 6 menunjukkan bahwa rata-rata curah hujan bulanan tahun
2006 berkisar antara 67 mm hingga 465 mm dengan curah hujan terendah pada bulan Agustus dan tertinggi pada bulan Desember. Rata-rata curah hujan tertinggi
tercatat pada stasiun pengamat cuaca Putussibau Pts sebesar 331 mm sedangkan yang terendah pada stasiun pengamat cuaca di Ketapang Ktp sebesar 179 mm.
Tabel 7 Jumlah hari hujan bulanan di Kalimantan Barat Tahun 2006
Bulan Jumlah Hari Hujan Pada Stasiun Pemantau Cuaca
Rata- rata
Ptk Stg
Plh Ktp
Pts Nph
Januari
13 19
14 16
18 19
17
Februari
14 18
14 17
20 20
17
Maret
7 13
16 12
14 16
13
April
14 26
14 21
19 27
20
Mei
23 20
16 16
25 21
20
Juni
14 15
16 19
16 18
16
Juli
7 5
12 2
9 5
7
Agustus
7 5
12 1
10 7
7
Septembar
14 13
11 8
14 15
13
Oktober
12 7
23 3
13 9
11
November
16 20
24 20
21 22
21
Desember
27 26
25 27
26 24
26
Rata-rata
14 16
16 14
17 17
16
Sumber : Badan Meteorologi dan Geofisika Catatan : Ptk = Pontianak, Stg = Sintang, Plh = Paloh, Ktp = Ketapang, Pts = Putussibau
dan Nanga Pinoh Nph
Dari data yang ditunjukkan pada Tabel 7, rata-rata hari hujan bulanan tahun 2006 berkisar antara 7 hari hingga 26 hari dengan rata-rata hari hujan
terendah pada bulan Agustus dan tertinggi pada bulan Desember. Rata-rata jumlah hari hujan tertinggi tercatat pada stasiun pengamat cuaca Putussibau Pts dan
Nanga Pinoh Nph yaitu 17 hari sedangkan yang terendah pada stasiun pengamat cuaca di Ketapang Ktp dan Pontianak Ptk dengan 14 hari hujan.
Pada Tabel 8 dapat diketahui bahwa rata-rata intensitas bulanan di Kalimantan Barat Tahun 2006 berkisar antara 10,4 mm per hari hingga 18,6 mm
per hari dengan rata-rata intensitas curah hujan terendah pada bulan Agustus dan tertinggi pada bulan Desember. Rata-rata intensitas curah hujan tertinggi tercatat
pada stasiun pengamat cuaca Putussibau Pts sebesar sedangkan yang terendah pada stasiun pengamat cuaca di Ketapang Ktp.
38 Tabel 8 Intensitas curah hujan bulanan di Kalimantan Barat Tahun 2006
Bulan Intensitas Curah Hujan Pada Stasiun Pencatat
Cuaca mmhari Rata-
rata
Ptk Stg
Plh Ktp
Pts Nph
Januari
14.2 11.5
24.6 12.2
21.8 17.7
17.0
Februari
24.6 19.4
12.8 9.9
17.2 18.5
17.1
Maret
19.6 6.0
5.9 1.8
10.5 7.3
8.5
April
19.0 14.0
6.0 18.0
20.0 15.6
15.4
Mei
9.9 15.6
20.6 17.2
18.3 9.2
15.1
Juni
15.7 17.5
11.0 15.5
23.3 15.7
16.5
Juli
5.9 3.2
11.9 3.4
12.7 16.5
8.9
Agustus
8.1 18.3
15.8 0.3
12.9 5.9
10.2
Septembar
12.2 10.2
16.2 7.6
12.9 17.5
12.8
Oktober
10.8 8.6
18.9 8.9
25.7 15.5
14.7
November
18.6 18.4
15.1 13.5
22.5 12.6
16.8
Desember
17.7 11.8
16.8 16.4
25.2 20.3
18.0
Jumlah
176.3 154.5
175.6 124.7
223.0 172.4
171.1
Rata-rata
14.7 12.9
14.6 10.4
18.6 14.4
14.3
Sumber : Badan Meteorologi dan Geofisika Catatan : Ptk = Pontianak, Stg = Sintang, Plh = Paloh, Ktp = Ketapang, Pts = Putussibau
dan Nanga Pinoh
Dari data cuaca pada tahun 2006, terlihat bahwa terjadi dua kali puncak jumlah curah hujan terendah di Kalimantan Barat yaitu pada bulan Juli dan bulan
Agustus sampai September. Kondisi ini agak berbeda dengan kondisi umum di mana musim penghujan berada pada bulan Oktober – Maret dan musim kemarau
berada pada bulan April – September.
Gambar 6 Jumlah curah hujan dan jumlah hotspot tahun 2006 di Provinsi Kalimantan Barat
Ju m
la h
h o
ts o
t
b u
la n
an ra
ta -r
at a
Ju m
la h
cu ra
h h
u ja
n B
la n
an ra
ta -ra
ta m
m b
u la
n
Jan Feb Mar Apr
Mei Jun Jul
Ags Sep Okt Nop Des
ASMC JICA
Curah Hujan mmbulan
39 Dari Gambar 6 terlihat bahwa tingkat curah hujan rata-rata bulanan
minimum tidak serta merta menyebabkan jumlah hotspot menjadi yang tertinggi. Curah hujan minimum terjadi pada bulan Juli namun jumlah hotspot tertinggi
berada pada bulan Agustus. Ada jangka waktu 1 bulan antara bulan Juli dan Agustus sebagai proses pengeringan bahan bakar.
Proses pengeringan mencapai puncaknya pada bulan Agustus yang merupakan kondisi ideal terjadinya kebakaran. Pada bulan Maret pengeringan
bahan bakar tidak menurunkan jumlah hotspot secara signifikan karena pada bulan berikutnya jumlah curah hujan cukup tinggi.
Puncak musim hujan di Kalimantan Barat terjadi pada bulan Desember yang memberikan kontribusi kandungan air yang cukup tinggi pada bahan bakar
sehingga kejadian kebakaran sulit untuk terjadi. Hal ini dibuktikan dengan jumlah hotspot
terendah selama tahun 2006 terjadi pada bulan Desember.
Gambar 7 Hubungan antara jumlah curah hujan dengan jumlah hotspot Dengan menggunakan analisis regresi Gambar 7 terlihat hubungan yang
nyata antara curah hujan dengan titik panas. Bentuk hubungan terbaik ditunjukkan dengan pola exponential yang memiliki koefisien determinasi R
2
regresi sebesar 63.5 sehingga dapat dikatakan bahwa curah hujan hanya dapat menjelaskan
sebagian dari kejadian hotspot. Hal ini menunjukkan adanya faktor-faktor lain yang juga mempengaruhi terjadinya hotspot di Kalimantan Barat.
40
Gambar 7 Hubungan antara jumlah hari hujan dengan jumlah hotspot Selain jumlah curah hujan, pengaruh lain yang perlu dipertimbangkan
adalah banyaknya hari hujan yang terjadi dalam satu bulan karena memiliki pengaruh yang nyata terhadap hotspot. Dalam Gambar 8 terlihat bahwa koefisien
determinasi R
2
regresi dengan model exponential memiliki nilai 72,8 persen. Nilai R
2
antara hari hujan bulanan dan titik hotspot lebih tinggi dibandingkan dengan nilai R
2
jumlah curah hujan bulanan.
Gambar 10 Hubungan antara intensitas curah hujan dengan jumlah hotspot
41 Berbeda dengan faktor curah hujan dan hari hujan, hubungan intensitas
curah hujan dan jumlah hotspot hanya memiliki koefisien determinasi R
2
sebesar 40.9 dengan model hubungan exponential. Gambar 9 menunjukkan bahwa
intensitas curah hujan tidak memiliki hubungan yang nyata dengan banyaknya jumlah hotpsot yang terjadi.
Selain curah hujan, peristiwa penyimpangan iklim menjadi faktor penting lain yang menentukan tingkat resiko terjadinya kebakaran hutan dan lahan.
Bentuk penyimpangan iklim tersebut antara lain fenomena El-Nino. Peristiwa El Nino
tahun 19971998 merupakan contoh penyimpangan iklim yang memberikan dampak kerusakan yang sangat besar. Pada tahun 2006, gejala El Nino juga terjadi
walaupun tidak sehebat kejadian kebakaran tahun 19971998. Gejala tersebut ditunjukkan dengan rendahnya curah hujan dan musim kemarau yang lebih
panjang. Hal ini diperkuat oleh data hotspot 5 tahun terakhir 2004-2008 di mana pada tahun 2006, jumlah hotspot merupakan yang terbanyak.
C. Hubungan Kepadatan Hotspot Dengan Beberapa Variabel Penyebab