61 -
Mereka enggan kembali ke desa karena di desa tidak ada harapan lagi untuk hidup;
b. Secara budaya:
- Mereka mempunyai aspirasi borjuis sebagaimana kelas
menengah atas, yaitu dalam hal kemauan untuk bekerja keras, bertekad meninggalkan kemiskinan, bersikap berdikari.
c. Secara ekonomi:
- Mereka memberi banyak kepada kotanya daripada apa-apa yang
mereka terima dari kota; -
Mereka mempunyai pekerjaan di kota, misalnya dengan membersihkan dan memanfaatkan sisa-sisa konsumsi orang lain
terutama bagi pemulung; d.
Secara politis: -
Mereka jauh dari sikap apatis, tidak aktif berpolitik, karena mereka menaruh perhatian pada isu-isu yang menyangkut kehidupan
mereka; -
Perilaku berpolitiknya pun seperti kebanyakan warga masyarakat lainnya, misalnya ikut memilih dalam pemilu atau ikut
berkampanye, ikut serta dalam kegiatan RTRW, dan membayar iuran sesuai dengan kemampuannya Surbakti, 1984: 68.
Secara singkat dapat dijelaskan, bahwa teori ketergantungan ini menyimpulkan adanya perkampungan miskin atau permukiman kumuh di
perkotaan tersebut. Secara sosial, mereka disisihkan oleh kehidupan masyarakat;
62 secara kultural, mereka dihina dan dijadikan kambing hitam sebagai pelaku
kriminal; secara ekonomi, mereka dieksploitasi dan diperas habis-habisan tenaganya dengan upah yang murah; secara politis, mereka terbelenggu dengan
tidak mempunyai posisi tawar bargaining position dalam pengambilan keputusan.
2.5 Klasifikasi Kawasan Permukiman Kumuh.
Untuk mengidentifikasi jenis atau tipe kawasan permukiman kumuh maka dilakukan penggolongan atau klasifikasi. Hal ini digunakan sebagai langkah
dalam penanganan selanjutnya pada kawasan tersebut agar mudah menemukenali dan mengidentifikasi permasalahan yang dihadapi di kawasan permukiman
kumuh. Kawasan kumuh diklasifikasikan berdasarkan pada karakter fisik dan
aspek legalitasnya. Ada dua jenis permukiman kumuh yaitu: a Kategori Slum, yaitu kawasan kumuh tetapi diakui absah sebagai daerah permukiman; b
Kategori Squatter Settlement, yaitu: pemukiman kumuh liar, yang menempati lahan yang tidak ditetapkan untuk kawasan hunian, misalnya: di sepanjang pinggir
rel kereta api, di pinggir kali, di kolong jembatan, di pasar, di kuburan, di tempat pembuangan sampah, dan lainnya. Dari segi legalitasnya, kategori permukiman
liar squatter ini umumnya menempati lahan yang bukan dalam hak penguasaanya, misalnya pada lahan kosong yang ditinggal pemiliknya atau pada
lahan kosong milik negara Budihardjo, 1997: 106.
63
2.6 Sistem Aktivitas
Adanya proses pemenuhan kebutuhan yang tidak dapat dipenuhi di tempat asal menyebabkan timbulnya pergerakan antara dua atau lebih lokasi guna
lahan yang berbeda pada suatu kawasan perkotaan Bourne, 1982:250. Pola guna lahan di daerah perkotaan mempunyai hubungan yang erat dengan pola
pergerakan penduduk. Pola guna lahan akan mempengaruhi pola pergerakan dan jarak. Gerak manusia kota dalam kegiatannya adalah dari rumah ke tempat kerja,
ke pasar, ke toko, ke tempat hiburan, kemudian bagi penduduk menjembatani jarak antara berbagai pusat kegiatan disebut aksesbilitas Jayadinata, 1999: 156.
Sistem pergerakan sistem aktivitas terjadi sebagai akibat dari adanya aktivitas yang dilakukan dengan didukung oleh tersedianya sistem jaringan
tranportasi. Sistem aktivitas merupakan fungsi dari penduduk dengan segala kegiatannya seperti perumahan, perkantoran, perdagangan, dan sebagainya.
Sedangkan sistem jaringan transportasi merupakan sarana dan prasarana yang dapat mendukung terjadinya pergerakan misalnya jaringan jalan, kereta api,
pesawat terbang, terminal, pelabuhan, dan sebagainya agar tercipta suatu sistem pergerakan yang lancar, aman, cepat, nyaman dan murah sesuai dengan
lingkungannnya.
2.7 Landasan Operasional Pelaksanaan Pendidikan Non Formal
2.7.1 Rencana Strategis Departemen Pendidikan Nasional
Pemerataan dan perluasan akses pendidikan diarahkan pada upaya memperluas daya tampung satuan pendidikan sesuai dengan prioritas nasional,
serta memberikan kesempatan yang sama bagi semua peserta didik dari berbagai