Bahasa Jawa Dialek Standar

3 Ekspresif yaitu tindak tutur yang merupakan pengungkapan perasaan, sikap, dan pendapat si penutur. Seperti, berterima kasih, mohon maaf, bersedih, berdukacita, mengucapkan selamat, dan lain-lain. Rumusannya adalah Ekspresif membuat U sesuai dengan dunia P merasa X. Contohnya: Aku sedih duitku ilang; 4 Direktif, yaitu tindak tutur yang pengungkapannya bertujuan mempengaruhi petutur untuk melakukan sesuatu. Seperti, memerintahkan, memohon, mengingatkan, memperingatkan, menyarankan, dan lain-lain. Rumusannya adalah Direktif membuat U sesuai dgn dunia P mauingin X. Contoh: Aku pingin kowe dadi dokter; 5 Komisif, yaitu tindak tutur yang mengikat penuturnya di dalam arti si penutur membuat komitmen untuk melakukan sesuatu bagi petutur. Seperti, menjanjikan, bersumpah, mengancam, dan lain-lain. Rumusannya adalah Komisif membuat U sesuai dgn dunia P bermaksud X. Contohnya: Aku janji sesuk tak bayar.

2.4.4 Bahasa Jawa Dialek Standar

Dialek Solo-Yogya ini dikenal sebagai bahasa Jawa Mataraman. Menurut sejarah, wilayah Solo dan Yogyakarta merupakan kesatuan wilayah yang terintegrasi pada masa kerajaan Surakarta Mataram. Namun, setelah diadakan perjanjian Giyanti pada tahun 1755, kerajaan Surakarta dibagi menjadi dua wilayah, yaitu wilayah Surakarta Hadiningrat Solo sekarang yang dipimpin oleh Sunan Universitas Sumatera Utara Pakubuwana dan wilayah Ngayogyakarta Hadiningrat Yogyakarta sekarang yang dipimpin oleh Pangeran Mangkubumi Hamengkubuwana. Bahasa Jawa dialek Surakarta adalah dialek bahasa Jawa yang diucapkan di daerah Surakarta dan sekitarnya. Sejak masa pemerintah Belanda, dialek ini telah menjadi acuan baku bagi pemakaian resmi bahasa Jawa bahasa Jawa Baku dan standar bagi pengajaran bahasa dan sastra Jawa. Maka sering disebut sebagai bahasa Jawa dialek standar. Selain dialek Surakarta, dialek Yogyakarta juga direpresentasikan juga sebagai dialek standar bahasa Jawa karena sebenarnya kedua wilayah itu masih merupakan satu dialek. Maka, dialek Solo-Yogya sering disebut sebagai dialek standar. Standarisasi dialek Solo-Yogya didasarkan pada anggapan bahwa daerah Solo- Yogya merupakan pusat kebudayaan Jawa-Kraton sebagai sumber dari nilai-nilai dan norma-norma Jawa. Dengan demikian, logat Solo-Yogya juga dianggap sebagai ”bahasa Jawa yang beradab”. Dengan logat ini penggunaan bahasa Jawa dengan sistem kesembilan gaya itu betul-betul sudah berkembang mencapai kerumitan yang luar biasa. Koentjaraningrat, 1984:23—24. Pada tahun 2006, Pujiati Suyata dan Suharti menguatkan anggapan tersebut. Mereka melakukan penelitian dengan judul penelitian ”Status Isolek Yogyakarta- Surakarta Dan Implikasinya Terhadap Bahasa Jawa Standar: Tinjauan Linguistik Komparatif Diakronis”. Penelitian ini menekankan aspek isolek Solo-Yogya yang merupakan alat komunikasi antar-anggota masyarakat di daerah Yogyakarta dan Surakarta yang belum ditentukan statusnya sebagai bahasa, dialek, atau subdialek. Universitas Sumatera Utara Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah pasangan kerabat mencapai 86,5, yang termasuk ke dalam kriteria hubungan antardialek dalam satu bahasa. Dengan demikian, status hubungan kedua isolek adalah hubungan antardialek. Hal itu diperkuat oleh hasil analisis sinkronis melalui kosakata 600 medan makna, tataran frase, dan kalimat. Bukti-bukti linguistis tersebut berimplikasi pada penetapan dialek Jawa Standar. Sesuai dengan statusnya sebagai dialek, dalam dialek Yogyakarta dan Surakarta ada unsur yang sama, selain ada yang khas. Unsur-unsur yang sama pada kedua dialek, merupakan dialek Jawa Standar.

2.4.5 Bahasa Jawa Dialek Deli Medan