Seputar Etnografi dan Wilayah Budaya

BAB II ETNOGRAFI DELI SERDANG DALAM KONTEKS DUNIA MELAYU

DAN SUMATERA UTARA, INDONESIA

2.1 Seputar Etnografi dan Wilayah Budaya

Deskripsi mengenai kebudayaan suatu suku bangsa biasanya merupakan isi dari sebuah karangan etnografi 55 . Namun karena ada suku bangsa yang besar sekali, yang terdiri dari berjuta-juta penduduk seperti suku bangsa Jawa, maka ahli antropologi yang mengarang sebuah etnografi sudah tentu tak dapat mencakup keseluruhan hal etnografis suku bangsa besar itu dalam deskripsinya. Maka biasanya ia hanya melukiskan sebahagian dari kebudayaan suku bangsa itu. Etnografi tentang kebudayaan Jawa misalnya hanya akan terbatas kepada kebudayaan Jawa dalam suatu desa atau beberapa desa tertentu. Atau kebudayaan Jawa dalam suatu daerah dialek dan sosiolek Jawa yang tertentu Pesisiran, Kasultanan, atau Kasunanan, kebudayaan Jawa dalam suatu kabupaten tertentu, 55 Etnografi berasal dari istilah ethnic yang arti harfiahnya suku bangsa dan graphein yang artinya mengambarkan atau mendeskripsikan. Etnografi adalah jenis karya antropologis khusus dan penting yang mengandung bahan-bahan kajian pokok dari pengolahan dan analisis terhadap kebdayaan satu suku bangsa atau kelompok etnik. Oleh karena di dunia ini ada suku-suku bangsa yang jumlahnya relatif kecil, dengan hanya beberapa ratus ribu warga, dan ada pula kelompok etnik yang berjumlah relatif besar, berjuta-juta jiwa, maka seorang antropolog yang membuat karya etnografi tidak dapat mengkaji keseluruhan aspek budaya suku bangsa yang besar ini. Oleh karena itu, untuk mengkaji budaya Melayu misalnya, yang mencakup berbagai negara bangsa, maka seorang antropolog boleh saja memilih etnografi masyarakat Melayu Desa Batang Kuis, atau lebih besar sedikit, masyarakat Melayu Kabupaten Serdang Bedagai, atau masyarakat Melayu Labuhan Batu, dan seterusnya. Ada pula istilah yang mirip dengan etnografi, yaitu etnologi. Arti etnologi berbeda dengan etnografi. Istilah etnologi adalah dipergunakan sebelum munculnya istilah antropologi. Etnologi adalah ilmu yang mempelajari manusia dan kebudayaannya di seluruh dunia, sama maknanya dengan antropologi, yang lebih lazim dipakai belakang hari oleh para ilmuwannya atau dalam konteks sejarah ilmu pengetahuan manusia. Universitas Sumatera Utara kebudayaan Jawa di pegunungan atau kebudayaan Jawa di pantai, atau kebudayaan Jawa dalam suatu lapisan sosial tertentu. Selain mengenai besar-kecilnya jumlah penduduk dalam kesatuan masyarakat suku bangsa, seorang ilmuwan antropologi tentu juga menghadapi soal perbedaan asas dan kompleksitas dari unsur kebudayaan yang menjadi pokok penelitian atau pokok deskripsi etnografinya. Dalam kaitan ini, para ilmuwan antropologi, biasanya membedakan kesatuan masyarakat suku-suku bangsa di dunia berdasarkan kepada kriteria mata pencaharian dan sistem ekonomi, yang mencakup enam macam 56 : 1 masyarakat pemburu dan peramu, atau hunting and gathering societies; 2 masyarakat peternak atau pastoral societies; 3 masyarakat peladang atau societies of shifting cultivators; 4 masyarakat nelayan, atau fishing communities, 5 masyarakat petani pedesaan, atau peasant communities; dan 6 masyarakat perkotaan yang kompleks, atau complex urban societies. Pembatasan deskripsi tentang sebuah kebudayaan suku bangsa dalam satu karya etnografi, memerlukan metode dalam menentukan asas-asas pembatasan. Selain itu, dibicarakan bagaimana unsur-unsur dalam kebudayaan suatu suku bangsa yang menunjukkan persamaan dengan unsur-unsur sejenis dalam kebudayaan suku-suku bangsa lain. Untuk itu dilakukan perbandingan satu dengan lain. Perlu membuat suatu konsep yang mencakup persamaan unsur-unsur kebudayaan antara suku-suku bangsa menjadi kesatuan-kesatuan yang lebih besar lagi. Konsep itu adalah konsep daerah kebudayaan atau culture area. 56 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta: Rineka Cipta, 1990, hal., 266. Universitas Sumatera Utara Sebuah daerah kebudayaan atau culture area merupakan penggabungan atau penggolongan yang dilakukan oleh ahli-ahli antropologi dari suku-suku bangsa yang dalam masing-masing kebudayaannya yang beraneka warna 57 . Namun mempunyai beberapa unsur dan ciri mencolok yang serupa. Satu sistem penggolongan daerah kebudayaan sebenarnya adalah suatu sistem klasifikasi yang mengkelaskan beraneka warna suku bangsa yang tersebar di suatu daerah atau benua besar, ke dalam golongan-golongan berdasarkan atas beberapa persaranaan unsur dalam kebudayaannya. Hal ini untuk memudahkan gambaran menyeluruh dalam rangka penelitian analisis atau penelitian komparatif terhadap suku-suku bangsa di daerah atau benua tertentu. Saran-saran pertama untuk perkembangan sistem culture area berasal dari seorang pelopor ilmu antropologi Amerika, Frans Boas. Namun demikian, para pengarang tentang kebudayaan masyarakat suku-suku bangsa Indian pribumi Benua Amerika abad ke-19 telah mempergunakan sistem klasifikasi berdasarkan daerah-daerah geografi di Benua Amerika yang menunjukkan banyak persamaan dengan sistem klasifikasi culture area di Amerika Utara yang kita kenal sekarang. Walaupun benih-benih untuk sistern klasifikasi culture area itu sudah lama ada pada para pengarang etnografi di Amerika Serikat, tetapi murid Boas, bernama Clark Wissler 58 , seorang ahli museum, adalah yang membuat konsep itu populer, terutama karena bukunya The American Indian 1920. Dalam karya ini Wissler membicarakan berbagai kebudayaan suku bangsa Indian Amerika Utara dalam sembilan buah culture area. 57 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta: Rineka Cipta, 1990, hal., 271-272. 58 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta: Rineka Cipta, 1990, hal., 272. Universitas Sumatera Utara Suatu daerah kebudayaan terbentuk berdasarkan atas persamaan dengan sejumlah ciri mencolok dalam kebudayaan- kebudayaan yang membentuknya. Ciri-ciri yang menjadi alasan untuk klasifikasi itu tidak hanya berwujud unsur kebudayaan fisik saja, seperti alat-alat berburu, alat-alat bertani, alat-alat transpor, senjata, bentuk-bentuk ornamen perhiasan, bentuk- bentuk dan gaya pakaian, bentuk-bentuk tempat kediaman, alat-alat musik, properti tari dan teater, dan sebagainya, tetapi juga unsur-unsur kebudayaan yang lebih abstrak dari sistem sosial atau sistem budaya, seperti unsur-unsur organisasi kemasyarakatan, sistem perekonomian, upacara-upacara keagamaan, cara berpikir, filsafat, adat-istiadat, dan lainnya. Ciri-ciri mencolok yang sama dalam berbagai kebudayaan menjadi alasan untuk klasifikasi. Biasanya hanya beberapa kebudayaan di pusat dari suatu culture area itu menunjukkan persamaan-persamaan besar dari unsur-unsur alasan tadi. Semakin kita menjauh dari pusat, makin berkurang pula jumlah unsur-unsur yang sama, dan akhirnya persamaan itu tidak ada lagi, sehingga pengkaji masuk ke dalam culture area tetangga. Dengan demikian, garis-garis yang membatasi dua culture area itu tidak pernah terang, karena pada daerah perbatasan itu unsur-unsur dari kedua culture area itu selalu tampak tercampur. Sifat kurang eksak dari metode klasifikasi culture area tadi telah menimbulkan banyak kritik dari kalangan ilmuwan antropologi sendiri. Kelemahan-kelemahan metode ini memang telah lama dirasakan oleh para sarjana, dan suatu verifikasi yang lebih mendalam rupa-rupanya tidak akan mempertajam batas-batas dari culture area, tetapi malah akan mengaburkannya. Walau demikian, metode klasifikasi diterapkan oleh para sarjana lain terhadap Universitas Sumatera Utara tempat-tempat lain di muka bumi, dan masih banyak dipakai sampai sekarang karena pembagian ke dalam culture area itu memudahkan gambaran keseluruhan dalam hal menghadapi suatu daerah luas dengan banyak aneka warna kebudayaan di dalamnya. Daerah kebudayaan ini boleh saja luas atau boleh juga lebih sempit. Contoh daerah kebudayaan Alam Melayu, mencakup Taiwan, Malaysia, Indonesia, Thailand, Vietnam, Kamboja, Filipina, Madagaskar, dan Polinesia. Daerah kebudayaan Dunia Melayu ini boleh diperkecil lagi menjadi daerah kebudayaan Kalimantan, daerah kebudayaan Pattani dan Kelantan, daerah kebudayaan Minangkabau Sumatera dan Negeri Sembilan, dan seterusnya. Kemudian perlu dideskripsikan tentang keberadaan suku bangsa di Indonesia. Indonesia wajib mengenal bentuk-bentuk masyarakat dan kebudayaan di wilayah Indonesia, di mana ia berada dan sebagai warganya. Wilayah Indonesia ini meliputi Papua. Mengapa demikan? Dalam ilmu antropologi Papua wilayah Indonesia dan Papua Niugini digolongkan menjadi satu dengan kebudayaan- kebudayaan penduduk Melanesia. Dipelajari secara mendalam oleh para ahli antropologi dengan kekhususan atau kejuruan Melanesia atau Oseania. Selain memfokuskan kajian terhadap wilayah Indonesia, seorang ilmuwan antropologi Indonesia wajib pula mengetahui dengan mendalam mengenai berbagai masyarakat dan kebudayaan di wilayah negara tetangga, yaitu: Malaysia, Singapura, Brunai Darussalam, Filipina, Kamboja, Laos, dan kawasan Asia Tenggara lainnya. Sampai sekarang ini, klasifikasi terhadap aneka warna suku bangsa di wilayah Indonesia, masih berdasarkan kepada sistem lingkaran-lingkaran hukum Universitas Sumatera Utara adat yang awalnya disusun oleh seorang ilmuwan pakar hukum adat Belanda Van Vollenhoven 59 . Menurutnya lingkaran hukum adat di Indonesia terdiri dari 19 kawasan, seperti pada Peta 2.1 dan keterangannya berikut ini. Peta 2.1 Lingkaran-lingkaran Hukum Adat di Indonesia sumber: Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi.Jakarta: Rineka Cipta, 1990, p.303. Keterangan Peta 2.1 1. Aceh 11. Sulawesi Selatan 2. Gayo-Alas dan Batak 12. Ternate 2a. Nias dan Batu 13. Ambon Maluku 3. Minangkabau 13a. Kepulauan Baratdaya 3a. Mentawai 14. Irian Papua 4. Sumatera Selatan 15. Timor 4a. Enggano 16. Bali dan Lombok 5. Melayu 17. Jawa Tengah dan Timur 6. Bangka dan Biliton 18. Surakarta dan Yogyakarta 7. Kalimantan 19. Jawa Barat 59 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta: Rineka Cipta, 1990, hal., 301. Universitas Sumatera Utara 8a. Sangir-Talaud 9. Gorontalo 10. Toraja Dari peta di atas dapat terlihat bahwa, setiap pulau besar di Indonesia, terdiri dari berbagai lingkaran hukum adat sekaligus suku bangsa, yang didukung oleh pulau-pulau kecil di sekitarnya. Di pulau Sumatera dan pulau-pulau kecil di sekitarnya, terdapat suku bangsa: Aceh, Gayo-Alas-Batak, Nias dan Batu, Minangkabau, Mentawai, Enggano, Melayu, serta Bangka dan Biliton. Di pulau Jawa dan pulau-pulau sekitarnya terdapat suku bangsa Jawa Tengah, Timur, Surakarta, Yogyakarta, dan Jawa Barat. Sementara Kalimantan hanya terdiri dari suku bangsa Kalimantan saja. Sulawesi dan pulau-pulau sekitarnya terdiri dari: Sangir-Talaud, Gorontalo, Toraja, Sulawesi Selatan, Ternate, Ambon Maluku, dan Kepulauan Barat Daya. Kemudian disusul oleh suku bangsa dalam lingkaran hukum adat Bali dan Lombok. Papua yang begitu besar pun hanya terdiri dari satu lingkaran hukum adat atau suku bangsa Papua Irian. Kemudian Nusa Timur didiami suku bangsa Timor yang sama etnisitasnya dengan orang di negara Timor Leste sekarang ini. Mengenai lokasi suku-suku bangsa di Indonesia yang masih berdasar kepada peta bahasa karya J. Esser 60 , mesti diperhatikan bahwa terutama untuk daerah-daerah seperti Kalimantan, Sulawesi, dan Indonesia Timur, bahkan untuk beberapa bagian Sumatera, masih menyisakan berbagai keragu-raguan. Biasanya dalam konteks penelitian antropologi tentang lokasi suku bangsa di Indonesia selalu terjadi perbedaan pendapat antara para ahlinya. Demikian sekilas tentang 60 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta: Rineka Cipta, 1990, hal., 301. Universitas Sumatera Utara keberadaan suku bangsa di Indonesia, yang mendukung keberadaan kesenian- kesenian yang begitu kaya dan eksotik dari Sabang sampai ke Merauke. Etnik Melayu Sumatera Utara khususnya dalam tulisan ini, menyadari bahwa mereka ialah bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam konteks berbangsa dan bernegara. Tetapi sebelumnya saya juga ingin menyampaikan beberapa konsep tentang masyarakat, ras, defenisi etnik. Istilah yang paling lazim dipakai untuk menyebut kesatuan-kesatuan hidup manusia, baik dalam tulisan ilmiah maupun dalam bahasa sehari-hari adalah masyarakat. Padanannya dalam bahasa Inggris adalah society yang berasal dari kata Latin socius, yang berarti kawan.” Istilah masyarakat sendiri berasal dari akar kata Arab syaraka yang berarti ikut serta, berpartisipasi.” 61 Masyarakat adalah memang sekumpulan manusia yang saling bergaul,” atau dengan istilah ilmiah, saling “berinteraksi.” Satu kesatuan manusia dapat mempunyai prasarana melalui apa warga-warganya dapat saling berinteraksi. Suatu negara modern misalnya, merupakan kesatuan manusia dengan berbagai macam prasarana, yang memungkinkan para warganya untuk berinteraksi secara intensif. lkatan sosiobudaya yang membuat suatu kesatuan manusia itu menjadi suatu masyarakat adalah pola tingkah laku behaviour yang khas mengenai semua faktor kehidupan. Pola itu harus bersifat mantap dan kontinu. Harus menjadi adat-istiadat yang khas. Selain ikatan adat-istiadat khas yang meliputi sektor kehidupan serta suatu kontinuitas dalam waktu, suatu masyarakat manusia harus juga mempunyai ciri lain, yaitu sebuah rasa identitas di antara para warga 61 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropolgi, Jakarta: Rineka Cipta, 1990, hal., 143- 144. Universitas Sumatera Utara atau anggotanya. Mereka memang merupakan suatu kesatuan khusus yang berbeda dari kesatuan-kesatuan manusia lainnya. Suatu negara, atau suatu kota, maupun desa, misalnya merupakan kesatuan manusia yang memiliki ciri-ciri: a interaksi antara warga-warganya, b adat-istiadat, c norma-norma, d hukum dan aturan-aturan khas yang mengatur seluruh pola tingkah laku warga negara kota atau desa; e kontinuitas dalam waktu; dan f memiliki rasa identitas kuat yang mengikat semua warga. Itulah sebabnya suatu negara atau desa dapat kita sebut masyarakat dan kita memang sering berbicara tentang masyarakat Indonesia, masyarakat Filipina, masyarakat Belanda, masyarakat Amerika, masyarakat Jakarta, masyarakat Medan, masyarakat Solo, masyarakat Balige, masyarakat Desa Ciamis, atau masyarakat desa Trunyan. Dari uraian di atas dapat didefenisikan istilah masyarakat dalam konteks antropologi: masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat-istiadat tertentu yang bersifiat kontinu, dan yang terikat oleh suatu rasa identitas bersama 62 . Defenisi itu menyerupai defenisi yang diajukan oleh J.L. Gillin dan J.P. Gillin dalam buku mereka Cultural Sociology 1954:139, yang merumuskan bahwa masyarakat atau society adalah: ... the largest grouping in which common customs, traditions, attitudes and feelings of unity are operative. Unsur grouping dalam defenisi itu menyerupai unsur kesatuan hidup dalam defenisi kita, unsur common customs, traditions, adalah unsur adat-istiadat, dan unsur kontinuitas dalam defenisi kita, serta unsur common attitudes and feelings of unity adalah 62 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta: Rineka Cipta, 1990, hal., 146-147. Universitas Sumatera Utara sama dengan unsur identitas bersama.” Sebuah tambahan dalam defenisi Gillin adalah unsur the largest, yang terbesar, yang memang tidak kita cantumkan dalam defenisi ini. Walaupun demikian konsep itu dapat diterapkan pada konsep masyarakat sesuatu bangsa atau negara, seperti misalnya konsep masyarakat Indonesia, masyarakat Filipina, masyarakat Belanda, masyarakat Amerika, dalam contoh di atas 63 . Kesatuan wilayah, kesatuan adat-istiadat, rasa identitas komunitas, dan rasa loyalitas terhadap komunitas sendiri, merupakan ciri-ciri suatu komunitas, dan pangkal dari perasaan seperti patriotisme, nasionalisme, dan sebagainya, yang biasanya bersangkutan dengan negara. Memang, suatu negara merupakan wujud dari suatu komunitas yang paling besar. Selain kesatuan-kesatuan seperti kota, desa, suatu Rukun Warga. atau Rukun Tetangga juga dapat cocok dengan defenisi mengenai komunitas, sebagai suatu kesatuan hidup manusia, yang menempati suatu wilayah yang nyata, dan yang berinteraksi menurut suatu sistem adat-istiadat, serta yang terikat oleh suatu rasa identitas komunitas 64 . Kesatuan hidup manusia di suatu negara, desa, atau kota, juga kita sebut masyarakat. Apakah dengan demikian konsep masyarakat sama dengan konsep komunitas? Kedua istilah itu memang bertumpang-tindih, tetapi istilah masyarakat adalah istilah umum bagi suatu kesatuan hidup manusia. Oleh karena itu, bersifat lebih luas dibandingkan istilah komunitas. Masyarakat adalah semua kesatuan hidup 63 Gillin, J.L., J.P. Gillin, Cultural Sociology, 1954, hal. 139, New York : The Mac Millan Company, dalam Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta: Rineka Cipta, 1990, hal., 147. 64 R.M. Maciver dan C.H. Page, An Intructory Analysis, 1937, hal. 8-9, New York : Rineheart and Company, dalam Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta: Rineka Cipta, 1990, hal., 148. Universitas Sumatera Utara manusia yang bersifat mantap dan yang terikat oleh satuan adat-istiadat dan rasa identitas bersama, tetapi komunitas bersifat khusus karena ciri tambahan ikatan lokasi dan kesadaran wilayah tadi. Jadi dari beberapa pendapat para ahli diatas dapat dikatakan bahwa etnik Melayu Sumatera Utara merasa bahwa mereka adalah bahagian dari Dunia Melayu, yang meliputi berbagai bangsa yang menggunakan kebudayaan Melayu. Oleh karena itu maka etnik Melayu yang ada di Sumatera Utara ini beranggapan bahwa mereka adalah satu kesatuan budaya dengan orang-orang Melayu yang ada di Malaysia, Singapura, Thailand Selatan, Filipina Selatan, dan Brunei Darussalam. Selanjutnya dalam ilmu antropologi, ras race mendapat perhatian serius dari para ahlinya. Yang dimaksud dengan ras adalah ciri-ciri umum fisik manusia 65 . Misalnya ras Kaukasoid, bermata biru, berkulit putih, ukuran badan yang relatif besar, dan seterusnya. Ras Mongoloid, berkulit sawo matang, ukuran badannya relatif sedang, berambut hitam lurus, bundaran biji mata hitam, dan seterusnya. Berdasarkan kajian-kajian para pakar ilmu antropologi, ras di dunia ini dibagi ke dalam 10 kelompok. 1 Yang pertama adalah ras Kaukasoid, terdiri dari: Indo-Iranian, Mediteranian, Dinarian, Alpin, Nordik, Baltik, Uralik, dan Armenik. 2 Kedua adalah ras Mongoloid yang terdiri dari: Mongoloid Tenggara Malayan Mongoloid, Mongoloid Siberia Selatan, Mongoloid Asia Timur Classic Mongoloid, Mongoloid Asia Utara, Mongoloid Kutub Arctic 65 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta: Rineka Cipta, 1990, hal., 90. Universitas Sumatera Utara Mongoloid, bersama dengan Mongoloid Asia Timur minus orang Tionghoa, dan Mongoloid Amerika. 3 selanjutnya ras Negroid yang terdiri atas: Negroid Umum, Nilote, dan Negrito di Afrika, Andaman, dan Filipina. 4 Ras Australoid yang terdiri dari: Australoid Khusus dan Weddoid. 5 Kelima adalah ras Polinesia. 6 Keenam adalah Ras Melanesia. 7 Yang ketujuh adalah Ras Mikronesia. 8 Kedelapan ras Ainu yang ada di Jepang. 9 Kesembilan adalah ras Dravida di India Selatan, dan 10 adalah ras Bushmen. Tabel 2.1 Sepuluh Ras Dunia 1. Kaukasoid Indo-Iranian Mediteranian Dinarian Alpin Nordik Baltik Uralik Armenik 3. Negroid 3.1 Negroid Umum 3.2 Nilote 3.3 Negrito Aftrika, Andaman, Filipina 4. Australoid 4.1 Australoid Khusus 4.2 Weddoid 2. Mongoloid 2.1 Mongoloid Tenggara Malayan Mongoloid Mongoloid Siberia Selatan Mongoloid Asia Timur Classic Mongoloid Mongoloid Asia Utara Mongoloid Kutub Arctic Mongoloid, sering disebut Classic Mongoloid Asia Timur minus Tionghoa Mongoloid Amerika 5. Polinesia 6. Melanesia 7. Mokronesia 8. Ainu 9. Dravidia 10. Bushmen sumber: Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta, 1990, p.321. Dalam konteks Indonesia atau Asia Tenggara pada umumnya, masyarakatnya memiliki ras Mongoloid Melayu. Namun seiring datangnya Universitas Sumatera Utara migrasi dari China ke wilayah ini ada juga mereka yang memiliki ras Mongoloid Asia Utara dan Timur. Sementara untuk wilayah budaya Papua mereka memiliki ras Melanesoid. Kadang orang-orang Indonesia secara umum disebut rasnya ras Melayu Tua dan Melayu Muda. Di mana istilah ini merujuk kepada gelombang migrasi mereka dari daratan Asia Tenggara ke Indonesia. Ras Melayu Tua migrasi lebih dahulu, baru disusul oleh ras Melayu Muda. Dalam penelitian-penelitian kebudayaan, terjadi penggunaan istilah-istilah yang agak berbeda antara satu disiplin ilmu dengan disiplin ilmu lainnya. Misalnya dalam ilmu linguistik kelompok ras Mongoloid Melayu dan kelompok ras Polinesia sering disatukan, karena secara linguistik mereka memiliki hubungan-hubungan baik dari kosa kata struktur gramatik, semantik, sintaksis, dan lainnya. Sehingga mereka disebut keluarga ras Melayu-Polinesia. Dalam ilmu arkeologi pula, kelompok ras Mongoloid Melayu dan ras Polinesia, sering disebut dengan kelompok ras Melayu-Austronesia, karena adanya berbagai alur budaya yang sama dalam artefak-artefak yang mereka tinggalkan. Selanjutnya kelompok etnik atau suku bangsa adalah suatu golongan manusia yang anggota-anggotanya mengidentifikasikan dirinya dengan sesamanya, biasanya berdasarkan garis keturunan yang dianggap sama. Identitas suku pun ditandai oleh pengakuan dari orang lain akan ciri khas kelompok tersebut dan oleh kesamaan budaya, bahasa, agama, perilaku atau ciri-ciri biologis. Menurut pertemuan internasional tentang tantangan-tantangan dalam mengukur dunia etnik pada tahun 1992, etnisitas adalah sebuah faktor Universitas Sumatera Utara fundamental dalam kehidupan manusia. Ini adalah sebuah gejala yang terkandung dalam pengalaman manusia. Meskipun defenisi ini seringkali mudah diubah-ubah. Yang lain, seperti antropolog Fredrik Barth dan Eric Wolf 66 , menganggap etnisitas adalah sebagai hasil interaksi, dan bukan sifat-sifat hakiki sebuah kelomp bungan dengan masa lalu itu pada dasarnya adalah temuan yang relatif baru. bumiputera yang muslim, orang Serani bagi yang beragama Nasrani peranakan ok. Proses-proses yang melahirkan identifikasi seperti itu disebut etnogenesis 67 . Secara keseluruhan, para anggota dari sebuah kelompok suku bangsa mengklaim kesinambungan budaya melintasi waktu, meskipun para sejarawan dan antropolog telah mendokumentasikan bahwa banyak dari nilai- nilai, praktek-praktek, dan norma-norma yang dianggap menunjukkan kesinam Anggota suatu suku bangsa pada umumnya ditentukan menurut garis keturunan ayah patrilinial seperti suku bangsa Batak, menurut garis keturunan ibu matrilineal seperti suku Minangkabau, atau menurut keduanya seperti suku Jawa, Sunda, dan Melayu. Adapula yang menentukan berdasarkan percampuran ras seperti sebutan orang peranakan untuk campuran bangsa Melayu dengan Tionghoa, orang Indo sebutan campuran bule kulit putih dengan bangsa Melayu, orang Mestiso untuk campuran Hispanik dengan bumiputera, orang Mulato campuran ras Negro dengan ras Kaukasoid, Eurosia, dan sebagainya. Adapula ditentukan menurut agamanya, sebutan Melayu di Malaysia untuk orang 66 Encyclopaedia Britannica, 2007. 67 Ibid. Universitas Sumatera Utara Portugis seperti orang Tugu, suku Muslim di Bosnia, orang Moro atau Bangsa Moro di Filipina Selatan, dan sebagainya 68 . Menurut Narroll 69 , kelompok etnik atau suku bangsa didefenisikan sebagai populasi yang: 1 secara biologis mampu berkembang biak dan bertahan; 2 mempunyai nilai-nilai budaya yang sama dan sadar akan rasa kebersamaan dalam sebuah bentuk budaya; 3 membentuk jaringan komunikasi dan interaksi sendiri; dan 4 menentukan ciri kelompoknya sendiri yang diterima oleh kelompok lain dan dapat dibedakan dari kelompok populasi lain. Dalam konteks menganalisis kelompok etnik ini adalah pentingnya asumsi bahwa mempertahankan batas etnik tidaklah penting, karena hal ini akan terjadi dengan sendirinya, akibat adanya faktor-faktor isolasi seperti: perbedaan ras, budaya, sosial, dan bahasa. Asumsi ini juga membatasi pemahaman berbagai faktor yang membentuk keragaman budaya. Ini mengakibatkan seorang ahli antropologi berkesimpulan bahwa setiap kelompok etnik mengembangkan budaya dan bentuk sosialnya dalam kondisi terisolasi. Ini terbentuk karena faktor ekologi setempat yang menyebabkan berkembangnya kondisi adaptasi dan daya cipta dalam kelompok tersebut. Kondisi seperti ini telah menghasilkan suku bangsa dan bangsa yang berbeda-beda di dunia. Setiap bangsa memiliki budaya dan masyarakat pendukung tersendiri. Setiap kebudayaan yang hidup dalam suatu masyarakat yang dapat berwujud sebagai satu komunitas desa, kota, kelompok kekerabatan, atau kelompok adat yang lain, bisa menampilkan suatu corak khas yang terutama 68 Encyclopaedia Britannica, 2007. 69 R. Naroll, 1965. “Ethnic Unit Classification”, Current Anthropology, volume 5, No. 4. hal. 32. Universitas Sumatera Utara terlihat oleh orang luar yang bukan warga masyarakat bersangkutan. Seorang warga dari suatu kebudayaan yang telah hidup dari hari ke hari di dalam lingkungan kebudayaannya biasanya tidak melihat lagi corak khas itu. Sebaliknya, terhadap kebudayaan tetangganya, ia dapat melihat corak khasnya, terutama mengenai unsur-unsur yang berbeda mencolok dengan kebudayaan miliknya sendiri. Corak khas sebuah kebudayaan dapat tampil karena kebudayaan itu menghasilkan satu unsur kecil berupa suatu unsur kebudayaan fisik dengan bentuk yang khusus. Atau karena di antara pranata-pranatanya ada suatu pola sosial yang khusus. Dapat juga karena warganya menganut suatu tema budaya yang khas. Sebaliknya, corak khas dapat disebabkan karena adanya kompleks unsur-unsur yang lebih besar. Berdasarkan atas corak khususnya tadi, suatu kebudayaan dapat dibedakan dari kebudayaan yang lain. Pokok perhatian dari suatu deskripsi etnografi adalah ke- budayaan-kebudayaan dengan corak khas seperti itu. Istilah etnografi untuk suatu kebudayaan dengan corak khas adalah suku bangsa,” atau dalam bahasa Inggris ethnic group kelompok etnik. Koentjaraningrat 70 menganjurkan untuk memakai istilah “suku bangsa saja, karena istilah kelompok di dalam hal ini kurang cocok. Sifat kesatuan dari suatu suku bangsa bukan sifat kesatuan kelompok, melainkan sifat kesatuan golongan. Konsep yang tercakup dalam istilah suku bangsa adalah suatu golongan manusia yang terikat oleh kesadaran dan identitas akan kesatuan kebudayaan, 70 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta: Rineka Cipta, 1990, hal., 263-264. Universitas Sumatera Utara sedangkan kesadaran dan identitas tadi seringkali tetapi tidak selalu dikuatkan oleh kesatuan bahasa juga. Dengan demikian kesatuan kebudayaan bukan suatu hal yang ditentukan oleh orang luar, misalnya oleh seorang ahli antropologi, ahli kebudayaan, atau lainnya, dengan metode-metode analisis ilmiah, tetapi oleh warga kebudayaan itu sendiri. Dengan demikian, misalnya kebudayaan Minangkabau merupakan suatu kesatuan, bukan karena ada peneliti-peneliti yang secara etnografi telah menentukan bahwa kebudayaan Minangkabau itu suatu kebudayaan tersendiri yang berbeda dari kebudayaan Jawa, Makasar, atau Bali, tetapi karena orang-orang Minangkabau sendiri sadar bahwa di antara mereka ada keseragaman budaya, yaitu budaya Minangkabau yang mempunyai kepribadian dan jati diri khusus. Berbeda dengan budaya-budaya etnik lainnya dalam wilayah Indonesia. Apalagi bahasa Minang berbeda dengan bahasa Jawa atau Bali, maka akan lebih mempertinggi kesadaran akan kepribadian khusus tadi. Dalam kenyataan, konsep suku bangsa lebih kompleks daripada apa yang terurai di atas. Ini disebabkan karena dalam kenyataan, batas kesatuan manusia yang merasakan diri terikat oleh keseragaman kebudayaan itu, dapat meluas atau menyempit, tergantung pada keadaan. Misalnya, penduduk native Sumatera Utara yang terdiri dari orang Karo, Simalungun, Toba, Pakpak-Dairi, Nias, Melayu, Pesisir, Lubu, Siladang, dan lainnya. Kepribadian khas dari setiap suku bangsa ini dikuatkan oleh bahasa-bahasa suku bangsa yang khusus. Walaupun demikian, kalau orang Sumatera Utara berada di Jakarta, yang menyebabkan mereka harus berhadapan dengan kelompok lain dalam konteks kekejaman perjuangan hidup di kota besar, maka mereka akan merasa bersatu Universitas Sumatera Utara sebagai Putra Sumatera Utara atau yang dikonsepkan sebagai anak Medan, dan tidak sebagai orang Karo, Simalungun, Toba, Pakpak-Dairi, Nias, Melayu, Pesisir, Lubu, dan Siladang.

2.2 Dunia Melayu

Dokumen yang terkait

Pengaruh Pengembangan Wilayah (Aspek Ekonomi Sosial Dan Budaya) Terhadap Pertahanan Negara Di Wilayah Pantai Timur Sumatera Utara

0 18 14

Perlindungan hukum atas hak cipta dari motif songket sebagai ekspresi budaya tradisional di wilayah Melayu Sumatera Timur (Studi di wilayah Batubara, Deli Serdang dan Langkat)

0 0 15

Perlindungan hukum atas hak cipta dari motif songket sebagai ekspresi budaya tradisional di wilayah Melayu Sumatera Timur (Studi di wilayah Batubara, Deli Serdang dan Langkat)

0 0 2

Perlindungan hukum atas hak cipta dari motif songket sebagai ekspresi budaya tradisional di wilayah Melayu Sumatera Timur (Studi di wilayah Batubara, Deli Serdang dan Langkat)

0 0 27

Perlindungan hukum atas hak cipta dari motif songket sebagai ekspresi budaya tradisional di wilayah Melayu Sumatera Timur (Studi di wilayah Batubara, Deli Serdang dan Langkat)

0 0 45

Perlindungan hukum atas hak cipta dari motif songket sebagai ekspresi budaya tradisional di wilayah Melayu Sumatera Timur (Studi di wilayah Batubara, Deli Serdang dan Langkat)

0 0 6

Perlindungan hukum atas hak cipta dari motif songket sebagai ekspresi budaya tradisional di wilayah Melayu Sumatera Timur (Studi di wilayah Batubara, Deli Serdang dan Langkat)

0 0 6

Satu Kajian Daripada Aspek Pensejarahan Budaya - Sejarah Melayu Suatu Kajian

0 0 247

Kata kunci: Islam, Melayu, dan Budaya Pendahuluan - ISLAM MELAYU DALAM PUSARAN SEJARAH Sebuah Transformasi Kebudayaan Melayu Nusantara

1 2 19

STRUKTUR DAN FUNGSI KALIMAT BAHASA MELAYU SAMBAS

0 1 100