dalam Al-Qur’an, Hadits, maupun pendapat-pendapat para ulama dari berbagai mazhab dalam Islam.
Kesenian dalam Islam berkembang seiring dengan perkembangan umat. Perkembangan kesenian ini dilandasi dengan hukum tertentu, selaras dengan
fungsinya. Mengikut Ibrahim Ismail kesenian Islam memiliki ciri-ciri khas yang membedakannya dengan kesenian lain. Kesenian Islam diciptakan sebagai
bahagian dari ibadah untuk mematuhi perintah Allah, selaras dengan perintahNya di dalam Al-Qur’an: “Aku menciptakan mereka untuk tunduk kepada-Ku.”
Sebahagian orang muslim mengatakan bahwa Islam tidak bertentangan, apalagi melarang seni. Namun sebahagian yang lain mengharamkannya. Pendapat
yang mendukung seni ini adalah berdasar kepada dalil aqliyah berpikir logis bahwa Al-Qur’an sendiri mengandung nilai-nilai keindahan dan kesejarahan yang
sangat tinggi. Hingga kini tilawah teknik membaca Al-Qur’an dan khat kaligrafi tersebar luas di dunia. Dalam memposisikan seni, umat Islam juga
berdasar kepada dalil naqliyah berdasar kepada wahyu Allah, dan Al-Qur’an maupun Hadits. Di antaranya adalah Hadits yang mengatakan.
“Sesungguhnya Allah itu indah dan menyukai keindahan.”
3.10 Kedudukan Lagu Musik dalam Islam
Di dalam Al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang secara implisit berkaitan dengan seni musik. Dibandingkan dengan Hadits, maka relatif sedikit Al-Qur’an
Universitas Sumatera Utara
yang menjelaskan kedudukan seni musik dalam Islam. Ayat-ayat Al-Qur’an itu di antaranya adalah seperti yang diturunkan berikut ini.
“Dan bacalah Al-Qur’an itu dengan perlahan-lahan.” Ayat di atas sangat berhubungan dengan seni bacaan Al-Qur’an.
Sehubungan dengan itu perlu pula dikutip Hadits yang berbunyi:
“Hiasilah Al-Qur’an dengan suaramu...” Ayat Al-Qur’an dan Hadits di atas, sama-sama membicarakan tentang seni
baca Al-Qur’an yang mengisyaratkan kepada umat Islam supaya membaca Al- Qur’an dengan sebaik-baiknya, dengan suara yang bagus, dan mengikut tajwid
233
yang benar. Apabila ada yang merusakkan, menambah, atau mengurangi huruf- huruf Al-Qur’an maka itu diangap suatu bid’ah.
Selanjutnya ada nash-nash yang menunjukkan atas diperbolehkannya mendengar suara yang bagus sebagai anugerah Allah kepada hambaNya, sebagai
berikut.
233
Tajwid bacaan al-Quran yang mengandungi berbagai hukum bacaan antaranya Izhar, Idgham, Iqlab dan sebagainya yang telah membuktikan bahwa al-Quran dibaca dengan menggunakan alunan dan
rentak tertentu. Alunan-alunan tersebut menggambarkan bacaan al-Quran adalah sebahagian daripada seni muzik. Terdapat tokoh ulama’ yang telah menghubungkaitkan kalimah ‘muzik’ dengan aspek ibadah
antaranya Syeikh Ahmad Hassan al-Baquri, bekas Mufti Mesir. Dalam satu tulisan beliau yang bertajuk ‘Seni Tajwid Adalah Suatu Muzik al-Qur’an” telah diterbitkan di dalam sebuah majalah Arab yang kemudiannya
telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Melayu dan diterbitkan pula di dalam majalah al-Manar, keluaran Akademi Pengajian Islam Universiti Malaya. Lihat Syeikh Ahmad Hassan al-Baquri 1997, “Seni Tajwid
Adalah Suatu Muzik al-Qur’an”, Prof Madya Wan Yahya Wan Ahmad terj., al-Manar, Akademi Pengajian Islam, UM, Edisi Jun 1997, hlm. 114.
Universitas Sumatera Utara
“Dan Allah S.W.T. menambah aada makhlukNya apa yang Dia Kehendaki.”
“Dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya sejelek-jelek suara adalah suara keledai.”
Berdasarkan pengertian yang dipahami dari kedua ayat di atas, bahwa Allah memberikan anugerah suara yang bagus kepada hambaNya, tentu saja
apabila suara tersebut dipergunakan kepada jalan yang dikehendaki Allah. Dengan demikian diisyaratkan juga bahwa baik dalam bernyanyi maupun berbicara
semestinya dengan suara yang lunak dan lembut, janganah memekik-mekik atau meringis seperti suara keledai, karena Al-Qur’an menganggap bahwa suara
keledai adalah sebagai suara yang paling buruk. Seterusnya terdapat sebuah firman Allah yang mengisyaratkan bahwa haramnya
bermain musik atau bernyanyi apabila dilakukan di luar batas kewajaran, seperti ayat berikut ini.
Universitas Sumatera Utara
“Dan desak serta bujuklah wahai iblis siapa yang engkau dapat membujuknya dengan shautika suaramu.”
Perkataan shautika suara engkau yang ditujukan kepada iblis, mengikut tafsiran mujahid yaitu nyanyian atau hiburan yang digunakan oleh iblis dalam
menggoda dan membujuk manusia untuk melakukan perbuatan maksiat. Berbeda dengan tafsiran mujahid tersebut, Al-Baghdadi mengkaitkan perkataan shautika
dengan berbagai jenis hiburan yang kadarnya melampaui batas-batas yang dibenarkan oleh syara’, seperti main musik dan beryanyi pada wktu shalat Jumat,
atau pada peristiwa-perisiwa yang disenangi setan seperti pada pesta yang bercampur antara kaum laki-laki dan perempuan, disertai dengan judi dan minum-
minuman keras. Pada dasarnya Allah S.W.T. mencintai keindahan, sebab Al-Jamil Yang
Indah itu sendiri adalah salah satu asma sekaligus sifat Allah. Sehubungan dengan ayat-ayat di atas, sesungguhnya Al-Qur’an tidak melarang musik, sejauh
musik tersebut tidak bertentangan dengan ajaran-ajaran yang ada di dalamnya. Bahkan Allah S.W.T. menyerukan untuk membaca Al-Qur’an dengan suara yang
merdu. Allah menerusi Al-Qur’an melarang umatNya untuk bermain musik apabila melampaui batas-batas yang telah ditentukan.
Universitas Sumatera Utara
3.11 Gambaran Umum Musik di Dunia Islam dan Melayu