BAB IV FUNGSI DAN GUNA ZAPIN
4.1 Pengertian Fungsi dan Guna dari Para Ilmuwan
Menurut Lorimer et al.
262
, teori fungsionalisme adalah salah satu teori yang digunakan dalam ilmu sosial, yang menekankan kepada kebergantungan
institusi dengan kebiasaan pada masyarakat tertentu. Analisis fungsi menjelaskan bagaimana susunan sosial didukung oleh fungsi institusi seperti: negara, agama,
keluarga, aliran, dan pasar. Dalam masyarakat yang lebih sederhana, masyarakat tribal, penyertaan dalam upacara keagamaan berfungsi untuk mendukung
kesatuan sosial dalam kelompok manusia yang berhubungan kekerabatannya. Sebagai contoh, masyarakat Melayu di wilayah budaya Serdang, agama dan pihak
kesultanan mendukung nilai-nilai seni yang ada pada kesenian zapin difungsikan untuk mendukung kegiatan politik kesultanan, hajatan perkawinan, dakwah
agama, proses sunatan, dan sebagainya. Dalam membicarakan fungsi dan guna zapin penulis tidak terlepas dari 2
pakar fungsionalisme yaitu, dalam bidang sosiologi ada Talcott Parson dan Robert Merton, kemudian dalam disiplin antropologi ada Malinowski dan Radcliffe-
Brown yang dipandang sebagai pendiri teori fungsionalisme, maka dalam etnomusikologi ada seorang tokoh fungsionalisme yang sangat penting, dan
menjadi rujukan utama jika mengkaji fungsi musik kesenian atau kebudayaan
262
Lawrence T. Lorimer et al., 1991, Grolier Encyclopedia of Knowledge vol 1-20. Danburry, Connecticut: Grolier Inc.hal., 112-113, dalam Ben.M.Pasaribu, “Arkeomusikologi”,
Balai Arkeologi Medan, 2008, hal., 64-64.
Universitas Sumatera Utara
dalam konteks masyarakat pendukungnya. Dia adalah Alan P. Merriam, etnomusikolog dari Amerika Serikat.
Malinowski membedakan fungsi sosial dalam tiga tingkat abstraksi, yaitu: 1 fungsi sosial dari suatu adat, institusi sosial atau unsur kebudayaan pada
tingkat abstraksi pertama mengenai pengaruh atau kesannya terhadap adat, prilaku manusia dan institusi sosial yang lain dalam masyarakat; 2 fungsi sosial dari
suatu adat, institusi sosial atau unsur kebudayaan pada tingkat abstraksi kedua mengenai pengaruh atau kesannya terhadap keperluan suatu adat atau institusi lain
untuk mencapai maksudnya, seperti yang dikonsepsikan oleh warga masyarakat yang terlibat; dan 3 fungsi sosial dari suatu adat atau institusi sosial pada tingkat
abstraksi ketiga mengenai pengaruh atau kesannya terhadap keperluan mutlak untuk berlangsungnya secara terintegrasi dari suatu sistem sosial tertentu.
263
Kemudian Malinowski
264
juga mengemukakan teori fungsional tentang kebudayaan. Kegemaran Malinowski terhadap ilmu psikologi juga tampak ketika
dia mengujungi University Yale di Amerika Serikat selama setahun, pada tahun 1935. Di sana dia bertemu dengan ahli-ahli psikologi seperti J. Dollard, yang
ketika itu sedang mengembangkan serangkaian penelitian mengenai proses belajar. Menurut sarjana psikologi dari Yale itu, dasar dari proses belajar adalah
tidak lain ulangan-ulangan dari reaksi-reaksi suatu organisme terhadap gejala- gejala dari luar dirinya, yang terjadi sedemikian rupa sehingga salah satu
keperluan naluri dari organisme tadi dapat dipuaskan. Teori belajar, atau learning
263
Malinowski, “Teori Fungsional dan Struktural,” dalam Sejarah Teori Antroplologi I Koentjaraningrat ed., Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1987, hal., 167.
264
Ibid, hal., 170.
Universitas Sumatera Utara
theory, ini sangat menarik perhatian Malinowski, sehingga dipakainya untuk memberi dasar pasti bagi pemikirannya terhadap hubungan-hubungan berfungsi
dari unsur-unsur sebuah kebudayaan. Seperti yang publik telah ketahui, ketika Malinowski awal kali menulis
karangan-karangannya tentang pelbagai aspek masyarakat Trobiand sebagai satu kesatuan, dia tidak sengaja mengenalkan pandangan yang baru dalam ilmu
antropologi. Namun reaksi dari kalangan ilmu itu memberinya dorongan untuk mengembangkan suatu teori tentang fungsi dari unsur-unsur kebudayaan manusia.
Oleh karena itu, dengan menggunakan learning theory sebagai dasarnya, Malinowski mengembangkan teori fungsionalismenya, yang baru terbit sesudah ia
meninggal dunia. Bukunya bertajuk A Scientific Theory of Culture and Other Essays 1944
265
. Dalam buku ini Malinowski mengembangkan teori tentang fungsi unsur-unsur kebudayaan yang sangat kompleks. Namun inti dari teori itu
adalah pendirian bahwa segala kegiatan kebudayaan itu sebenarnya bermaksud memuaskan satu rangkaian kebutuhan naluri makhluk manusia yang berhubungan
dengan seluruh kehidupannya. Kesenian sebagai contoh dari salah satu usur kebudayaan, terjadi karena manusia ingin memuaskan keperluan nalurinya akan
keindahan. Ilmu juga timbul karena keperluan naluri manusia untuk ingin tahu. Teknologi muncul karena manusia ingin mudah dalam melakukan aktivitasnya,
Namun banyak juga kegiatan kebudayaan terjadi karena kombinasi dari beberapa macam keperluan itu. Dengan paham ini, kata Malinowski, seseorang peneliti
dapat mengkaji dan menerangkan banyak masalah dalam kehidupan masyarakat
265
Ibid, hal., 171.
Universitas Sumatera Utara
dan kebudayaan manusia. Seterusnya, yang terpenting dari inti pemikiran Malinowski ini adalah aspek prilaku sosial yang berkembang adalah untuk
memuaskan keinginan individu. Dalam kaitannya dengan tulisan saya ini, di dalam zapin ini terdapat aspek
keindahan, terutama gerakan tarinya, jadi pada dasarnya masyarakat Melayu berzapin untuk memuaskan keinginannya akan menari, selain ingin dapat tampil
di hadapan Raja pada waktu dulunya dalam hal ini merupakan suatu kebanggaan jika dapat tampil di dalam Istana, sampai pada kebutuhan untuk perhelatan
perkawinan, sunat rasul, dakwah, dan sebagainya, dalam masyarakat Melayu wilayah budaya Serdang khususnya.
Sedangkan Arthur Reginald Radcliffe-Brown merasa bahwa pelbagai aspek prilaku sosial, bukanlah berkembang untuk memuaskan keinginan
individual, tetapi justru timbul untuk mempertahankan struktur sosial masyarakat. Struktur sosial sebuah masyarakat adalah keseluruhan jaringan dari hubungan-
hubungan sosial yang ada
266
. Sebuah contoh nyata pendekatan yang bersifat struktural-fungsional dari
Radcliffe-Brown adalah kajiannya mengenai cara penanggulangan ketegangan sosial yang terjadi di antara orang-orang yang terikat karena faktor perkawinan,
yang terdapat dalam pelbagai masyarakat yang berbeda. Untuk mengurangi kemungkinan ketegangan di antara orang-orang yang mempunyai hubungan
kekerabatan karena perkawinan, misalnya orang beripar atau berbesanan. Dia menjelaskan bahwa masyarakat bisa melakukan satu dari dua cara sebagai berikut:
266
A.R. Radcliffe-Brown, “Teori Fungsional dan Struktural,”
dalam Sejarah Teori
Antroplologi I, Koentjaraningrat ed., Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1987, hal., 180- 183.
Universitas Sumatera Utara
pertama dibuat peraturan yang ketat yang tidak membuka kesempatan bertemu muka antara orang yang mempunyai hubungan ipar atau mertua seperti halnya
pada suku Indian Navaho di Amerika Serikat
267
, yang melarang seorang menantu laki-laki bertemu muka dengan mertua perempuannya dan kasus seperti ini juga
sama persis terjadi di Indonesia khususnya pada etnik Karo di Sumatera Utara. Kemudian, yang kedua, hubungan itu dianggap sebagai hubungan berkelakar
seperti yang terdapat pada orang-orang Amerika kulit putih yang mengenal banyak lelucon tentang ibu mertua. Dengan begitu, konflik di antara anggota
keluarga dapat dihindarkan, dan norma budaya, yaitu aturan ketat pada orang Navaho dan lelucon pada orang kulit putih Amerika, berfungsi dalam menjaga
kesatuan sosial masyarakatnya. Dan kaitannya pada tulisan saya ini dengan diadakannya zapin pada perhelatan perkawinan, sunat rasul, dakwah, dan
sebagainya, adalah untuk mempererat dan menjaga kesatuan sistem kekerabatan pada masyarakat Melayu dalam wilayah budaya Serdang khususnya.
Selanjutnya penulis juga menggunakan teori fungsi Talcott Parsons. Ia melahirkan teori fungsional tentang perubahan. Seperti para pendahulunya,
Parsons juga menganalogikan perubahan sosial pada masyarakat seperti halnya pertumbuhan pada mahkluk hidup. Komponen utama pemikiran Parsons adalah
adanya proses diferensiasi. Parsons berasumsi bahwa setiap masyarakat tersusun dari sekelompok subsistem yang berbeda berdasarkan strukturnya maupun
berdasarkan makna fungsionalnya bagi masyarakat yang lebih luas. Ketika
267
www.google.com
Universitas Sumatera Utara
masyarakat berubah, umumnya masyarakat tersebut akan tumbuh dengan kemampuan yang lebih baik untuk menanggulangi permasalahan hidupnya.
Dapat dikatakan Parsons termasuk dalam golongan yang memandang optimis sebuah proses perubahan. Bahasan tentang struktural fungsional
Parsons
268
ini akan diawali dengan empat fungsi yang penting untuk semua sistem tindakan. Suatu fungsi adalah kelompok kegiatan yang ditujukan pada pemenuhan
kebutuhan tertentu atau kebutuhan sistem. Parsons menyampaikan empat fungsi yang harus dimiliki oleh sebuah sistem agar mampu bertahan, yaitu:
5. Adaptasi, sebuah sistem harus mampu menanggulangi situasi eksternal
yang gawat. Sistem harus dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan. 6.
Pencapaian, sebuah sistem harus mendefinisikan dan mencapai tujuan utamanya.
7. Integrasi, sebuah sistem harus mengatur hubungan antar bagian yang
menjadi komponennya. Sistem juga harus dapat mengelola hubungan antara ketiga fungsi penting lainnya.
8. Pemeliharaan pola, sebuah sistem harus melengkapi, memelihara dan
memperbaiki motivasi individual maupun pola-pola kultural yang menciptakan dan menopang motivasi.
Kaitannya dalam tulisan saya ini adalah dalam hal adaptasi, zapin yang berasal dari Arab Yaman telah beradaptasi ketika sampai di Nusantara ini, sesuai
dengan di wilayah mana ia masuk. Kemudian zapin juga terintegrasi dengan baik
268
www.wikipedia.org
Universitas Sumatera Utara
pada masyarakat Melayu di Dunia Melayu maupun dalam wilayah budaya Serdang khususnya.
Alan P. Merriam yaitu, etnomusikolog dari Amerika Serikat, dengan tetap bertolak dari teori fungsi, yang kemudian mencoba menerapkannya dalam
etnomusikologi, lebih lanjut secara tegas Merriam membedakan pengertian fungsi ini dalam dua istilah, yaitu penggunaan dan fungsi. Menurutnya, membedakan
pengertian penggunaan dan fungsi adalah sangat penting. Para ahli etnomusikologi pada masa lampau tidak begitu teliti terhadap perbedaan ini. Jika
kita berbicara tentang penggunaan musik, maka kita menunjuk kepada kebiasaan the ways musik dipergunakan dalam masyarakat, sebagai praktek yang biasa
dilakukan, atau sebagai bagian dari pelaksanaan adat istiadat, baik ditinjau dari aktivitas itu sendiri maupun kaitannya dengan aktivitas-aktivitas lain. Lebih jauh
Merriam
269
menjelaskan perbedaan pengertian antara penggunaan dan fungsi sebagai berikut,
Music is used in certain situations and becomes a part of them, but it may or may not also have a deeper function. If the
lover uses song to w[h]o his love, the function of such music may be analyzed as the continuity and perpetuation of the biological
group. When the supplicant uses music to the approach his god, he is employing a particular mechanism in conjunction with other
mechanism as such as dance, prayer, organized ritual, and ceremonial acts. The function of music, on the other hand, is
enseparable here from the function of religion which may perhaps be interpreted as the establishment of a sense of security vis-á-vis
the universe. “Use” them, refers to the situation in which music is employed in human action; “function” concerns the reason for its
employment and particularly the broader purpose which it serves.
269
Allan. P Merriam, The Anthropology of Music. Chicago Nortwestern University, 1964, hal., 210.
Universitas Sumatera Utara
Dari kutipan di atas terlihat bahwa Merriam membedakan pengertian penggunaan dan fungsi musik berasaskan kepada tahap dan pengaruhnya dalam
sebuah masyarakat. Musik dipergunakan dalam situasi tertentu dan menjadi bagiannya. Penggunaan bisa atau tidak bisa menjadi fungsi yang lebih dalam. Dia
memberikan contoh, jika seeorang menggunakan nyanyian yang ditujukan untuk kekasihnya, maka fungsi musik seperti itu dapat dianalisis sebagai perwujudan
dari kontinuitas dan kesinambungan keturunan manusia—[yaitu untuk memenuhi keinginan biologis bercinta, kawin dan berumah tangga dan pada akhirnya
menjaga kesinambungan keturunan manusia]. Jika seseorang menggunakan musik untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, maka mekanisme tersebut behubungan
dengan mekanisme lain, seperti menari, berdoa, mengorganisasikan ritual dan kegiatan-kegiatan upacara.
“Penggunaan” menunjukkan situasi musik yang dipakai dalam kegiatan manusia; sedangkan “fungsi” berkaitan dengan alasan mengapa si pemakai
melakukan, dan terutama tujuan-tujuan yang lebih jauh dari sekedar apa yang dapat dilayaninya. Dengan demikian, selaras dengan Merriam, menurut penulis
penggunaan lebih berkaitan dengan sisi praktis, sedangkan fungsi lebih berkaitan dengan sisi integrasi dan konsistensi internal budaya.
Dari kerangka berpikir di atas, selanjutnya Merriam mendeskripsikan bahwa sampai tahun 1964, penelitian yang dilakukan para etnomusikolog tentang
fungsi musik dalam kehidupan masyarakat, memperlihatkan adanya 10 fungsi. Kesepuluh fungsi musik itu adalah: 1 sebagai pengungkapan emosional, 2
sebagai penghayatan estetika, 3 sebagai hiburan, 4 sebagai komunikasi, 5
Universitas Sumatera Utara
sebagai perlambangan, 6 sebagai reaksi jasmani, 7 sebagai yang berkaitan dengan norma-norma sosial, 8 sebagai pengabsahan lembaga sosial dan upacara
agama, 9 sebagai kesinambungan kebudayaan, dan 10 sebagai pengintegrasian masyarakat
270
. Merriam menyatakan bahwa fungsi musik termasuk genre musik mungkin kurang dari sepuluh fungsinya atau boleh saja meluas lebih dari sepuluh
fungsi tersebut. Selain itu fungsi seni juga dikaji di bidang etnokoreologi antropologi
tari. Soedarsono seorang pakar sejarah seni dan ahli etnokoreologi, yang melihat fungsi seni, terutama dari hubungan praktis dan integratifnya, mereduksi tiga
fungsi utama seni pertunjukan
271
, yaitu: 1 untuk kepentingan sosial atau sarana upacara; 2 sebagai ungkapan perasaan pribadi yang dapat menghibur diri dan 3
sebagai penyajian estetika. Pendapat Soedarsono ini sifatnya adalah induktif dan dia menggeneralisasikan pelbagai fungsi sosiobudaya seni.
Dalam bidang tari dan teater pula, fungsi tari bisa saja kita lihat sebagai ritual pubertas, sarana memohon hujan turun kepada Tuhan, menunjukkan
keberadaan jenis kelamin tertentu, sebagai sarana komunikasi dengan roh-roh nenek moyang atau dunia gaib, sebagai simbol status sosial, sebagai pengiring
ritual kelahiran, perkawinan, berkhitan, kematian, sarana perkenalan, ekspresi dorongan seksual, upacara kesuburan perempuan atau tanah, dan masih banyak
270
Ibid, hal., 219-226.
271
Soedarsono, R.M., 1985. “Peranan Seni Budaya dalam Sejarah Kebudayaan Manusia Kontinuitas dan Perubahannya”. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Sastra,
Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, 9 Oktober 1985. hal. 18-21. dalam Etnomusikologi, Jurnal Ilmu Pengetahuan Seni, Nomor 7, Medan : Departemen Etnomusikologi, Universitas Sumatera
Utara, 4 Maret, 2008. hal., 44.
Universitas Sumatera Utara
lagi yang lainnya. Demikian sekilas tentang teori fungsi di bidang etnomusikologi dan ilmu pertunjukan budaya lainnya.
4.2 Penggunaan Zapin