Dalam penghitungan Produk Domestik Bruto PDB yang dilakukan oleh BPS, sektor pertambangan dan penggalian merupakan salah satu dari 9 sektor
usaha dalam perekonomian di Indonesia. Menurut BPS 2009b, pertambangan adalah suatu kegiatan yang meliputi pengambilan dan persiapan untuk pengolahan
lanjutan dari benda padat, benda cair, dan gas. Pertambangan dapat dilakukan di atas permukaan bumi tambang terbuka maupun di bawah tanah tambang dalam
termasuk penggalian, pengerukan, dan penyedotan dengan tujuan mengambil benda padat, cair atau gas yang ada di dalamnya. Hasil kegiatan ini antara lain,
minyak dan gas bumi, batubara, pasir besi, bijih timah, bijih nikel, bijih bauksit, bijih tembaga, bijih emas dan perak, dan bijih mangan.
Penggalian adalah suatu kegiatan yang meliputi pengambilan segala jenis barang galian. Barang galian adalah unsur kimia, mineral dan segala macam
batuan yang merupakan endapan alam tidak termasuk logam, batubara, minyak bumi dan bahan radio aktif. Bahan galian ini biasanya digunakan sebagai bahan
baku atau bahan penolong sektor industri maupun konstruksi. Hasil kegiatan penggalian antara lain, batu gunung, batu kali, batu kapur, koral, kerikil, batu
marmer, pasir, pasir silika, pasir kuarsa, kaolin, tanah liat, dan lain-lain. Batu kapur gamping dapat terjadi dengan beberapa cara, yaitu secara
organik, secara mekanik, atau secara kimia. Sebagian besar batu kapur yang terdapat di alam terjadi secara organik, jenis ini berasal dari pengendapan
cangkangrumah kerang dan siput, foraminifera atau ganggang, atau berasal dari kerangka binatang koralkerang. Batu kapur dapat berwarna putih susu, abu muda,
abu tua, coklat bahkan hitam, tergantung keberadaan mineral pengotornya. Penggunaan batu kapur sudah beragam diantaranya untuk bahan kaptan, bahan
campuran bangunan, industri karet dan ban, kertas, dan lain-lain. Potensi batu kapur di Indonesia sangat besar dan tersebar hampir merata di
seluruh kepulauan Indonesia. Sebagian besar cadangan batu kapur Indonesia terdapat di Sumatera Barat Departemen ESDM 2005.
2.4. Model Ekonomi Sumberdaya Non Renewable
Sumberdaya alam tidak dapat terbarukan atau sering juga disebut sebagai sumberdaya terhabiskan adalah sumberdaya alam yang tidak memiliki kemam-
puan regenerasi secara biologis. Sumberdaya alam ini terbentuk melalui proses
geologi yang memerlukan waktu sangat lama untuk dapat dijadikan sebagai sumberdaya alam yang siap diolah atau siap pakai. Jika diambil eksploitasi
sebagian, maka jumlah yang tinggal tidak akan pulih kembali seperti semula. Salah satu yang termasuk dalam golongan sumberdaya tidak dapat
terbarukan adalah batu kapur untuk bahan baku semen. Batu kapur memerlukan waktu ribuan bahkan jutaan tahun untuk terbentuk karena ketidakmampuan
sumberdaya tersebut untuk melakukan regenerasi. Sumberdaya ini sering kita sebut juga sebagai sumberdaya yang mempunyai stok yang tetap.
Sifat-sifat tersebut menyebabkan masalah eksploitasi sumberdaya alam tidak terbarukan non renewable berbeda dengan ekstrasi sumberdaya terbarukan
renewable. Pengusaha pertambangan, harus memutuskan kombinasi yang tepat dari berbagai faktor produksi untuk menentukan produksi yang optimal, dan juga
seberapa cepat stok harus diekstraksi dengan kendala stok yang terbatas. Teori ekonomi sumber daya alam tidak terbarukan pertama kali diperke-
nalkan oleh Hotelling 1931. Levhari dan Liviatan 1977 melakukan kajian apa- kah ekstraksi sumber daya alam akan dilakukan hingga benar-benar terkuras habis
atau tidak. Masalah utama dari problem pemanfaatan sumber daya alam yang ti- dak dapat diperbaharui adalah menentukan ekstraksi optimal.
Dasar dari teori ekstraksi sumberdaya tidak terbarukan secara optimal ada- lah model Hotelling yang dikembangkan oleh Harold Hotelling pada tahun 1931.
Problem dasar Hotelling dapat dimodifikasi lebih lanjut ke berbagai arah, seperti menambah efek kumulatif pada biaya Levhari dan Liviatan 1977; Livernois dan
Martin 2001, harga komoditas sumber daya yang stokastik Pindyck 1981, keti- dakpastian cadangan dan biaya Hoel 1978 dan perubahan aspek lainnya.
Hukum Hotelling mengatakan bahwa ekstraksi sumberdaya tidak terbarukan yang efisien dan optimal mengharuskan manfaat bersih dari
sumberdaya harus tumbuh secara proporsional sesuai dengan tingkat suku bunga. Jika suka bunga adalah 15 , maka berdasarkan hukum Hotelling ekstraksi yang
efesien dan optimal mengharuskan manfaat dan dari sumberdaya harus tumbuh secara proporsional sebesar 15 setiap tahun Fauzi 2006; Sahat 2006 dalam
Nahib 2006.
Agar pemilik sumberdaya indifferent antara mengekstrasi kini dan masa mendatang, manfaat yang diperoleh kini capital gain harus sama dengan
discount rate . Penentuan kapan ekstraksi dilakukan dengan optimal tergantung
opportunity, yang dicerminkan oleh tingkat suku bunga bank. Penghargaan terhadap pentingnya keberadaan sumberdaya tak pulih berbanding terbalik dengan
besaran suku bunga.
2.5. Hutan