Pembahasan individual C. Hasil Uji Hipotetis

Peningkatan pengetahuan orangtua mengenai bagaimana menjadi orangtua pelatih emosi setelah mengikuti parental emotional coaching yang diharapkan juga disertai dengan peningkatan kemampuan anak dalam hal regulasi emosi, menjadi indikator keberhasilan. Selain faktor diatas hal yang juga ikut menentukan efektifitas parental emotional coaching adalah faktor eksternal berupa dukungan dari pihak sekolah dalam proses pelatihan. Dukungan dari pihak sekolah antara lain menyediakan tempat proses pelatihan, kepala sekolah yang dalam pembukaannya menyatakan dukungannya terhadap program ini dan mendorong orangtua sebagai peserta untuk dapat mengikuti semua proses dari awal hingga selesai karena akan berguna untuk anak-anak mereka yang merupakan peserta didiknya. Pihak sekolah juga membantu peneliti dalam hal mengenalkan kepada ibu yang menjadi kepala komite sekolah untuk berhubungan, mengenalkan, dan mengumpulkan orangtua baik untuk menghadiri pelatihan dan juga membantu di dalam kelas.

2. Pembahasan individual

Pembahasan data individual dilakukan dengan cara melakukan analisis terhadap data yang diperoleh secara individual dari peserta program parental emotional coaching. Subjek A Subjek A ibu A menikah pada saat berusia 23 tahun dan saat ini dikaruniai dua orang anak. Anaknya yang pertama berjenis kelamin laki-laki yang saat ini berusia 8.5 tahun dan yang kedua adalah perempuan, NA, yang Universitas Sumatera Utara berusia 6.5 tahun mengalami tunarungu. Ibu A melahirkan secara normal dengan bantuan seorang bidan, saat baru dilahirkan tidak ada terlihat kejanggalan karena NA langsung menangis. Begitu juga selama kehamilan, ibu A tidak mengalami permasalahan kandungan yang berarti. Ibu A mengetahui anaknya mengalami tunarungu pada saat berusia 2 tahun. Hal ini disebabkan pada kecurigaan ibu A karena saat anaknya dipanggil ia seolah-olah cuek atau saat bermain kerincingan ia tidak merespon suara. Sebelumnya ibu A juga sudah mencurigai adanya masalah pada diri anaknya terutama masalah keterlambatan berbicara namun saat dia bertanya kepada orang-orang sekitarnya mereka hanya mengatakan merupakan hal yang wajar karena terkadang ada anak yang bisa berbicara atau berjalan terlebih dahulu. Saat anaknya berusia 2 tahun barulah ibu A memeriksakan kondisi pendengaran anaknya ke dokter THT dan melakukan pemeriksaan BERA sehingga diketahui anaknya mengalami kondisi hilang pendengaran karena banyaknya cairan di telinga. Pada usia sekitar 3 tahun ibu A memasangkan alat bantu dengar kepada anaknya dan menurutnya ada perubahan yang baik saat anaknya memakai alat bantu dengar karena dia lebih mudah diberi pengertian. Ibu A bersyukur karena suaminya tetap mendukung dan menyayangi NA seperti anak normal. Subjek mengikuti parental emotional coaching untuk menambah pengetahuan untuk perkembangan anaknya. Selain itu, ia juga agar ia bisa mengetahui kondisi anaknya sehingga bisa menemukan cara untuk memberikan perlakuan yang tepat. Secara umum, NA memiliki emosi marah yang tinggi saat keinginannya tidak dilaksanakan, terkadang bahkan Universitas Sumatera Utara ia bisa membanting pintu dan membentak. Ibu A biasanya akan membujuk anak agar marahnya reda. Namun, saat dia merasa sedih maka yang dilakukan adalah berdiam diri dan mengurung diri di kamarnya yang juga bisa disebabkan karena permintaanya tidak dikabulkan ataupun saat dia sedang sakit dan biasa diatasi ibu A dengan cara menunjukan rasa sayang kepada NA. Emosi takut biasanya muncul karena mati lampu atau gelap, ditakuti dan saat mendengar suara petir. Ibu A akan memeluk atau mengendong NA saat ia merasa takut. Emosi cemburu biasanya disebabkan karena orangtuanya terlihat lebih sayang kepada abangnya dan melihat mainan milik orang lain. Hal yang biasanya dilakukan NA adalah memasang wajah yang cemberut sehingga ibu A akan memberikan perhatian juga kepada NA. Gembira biasanya dia kaan tertawa dan membangga-banggakan dirinya sendiri, disaat dibelikan jajan atau mainan dan saat PR nya selesai dan biasanya ibu A akan mendukung agar NA semakin senang. Selama mengikuti parental emotional coaching, ibu A memiliki lebih sering datang terlambat dan harus ditelepon terlebih dahulu untuk memintanya masuk kedalam ruangan pelatihan namun ia tidak pernah ketinggalan materi. Ibu A juga pada hari kedua tidak membawa tugas rumah dan modul dengan alasan lupa namun dia selalu mengisi lembar kerja dengan sungguh-sungguh. Ibu A fokus dalam mendengarkan materi dan jarang terlihat mengobrol dengan teman-temannya walaupun dia tidak begitu aktif memberikan pendapat. Universitas Sumatera Utara Berdasarkan hasil dari Coping With Chidren’s Negative Emotion Scale CCNES terdapat perubahan reaksi dalam menghadapi emosi negatif anaknya yang tunarungu skor yang paling tinggi adalah distress reaction dan emotional focused reaction dengan skor 48 dan saat harus menghadapi emosi negatif anak. Hal ini berarti ibu A, lebih sering akan mengalami stres saat anaknya mengekspresikan emosi negatifnya. Selain itu, reaksi lain yang dimunculkannya adalah dengan membuat strategi-strategi bagaimana anak bisa merasa lebih baik. Setelah mengikuti parental emotional coaching maka terjadi perubahan pada ibu A dengan bereaksi menjadi problem skor 56 dan emotional focused reaction 46 sehingga ibu A sudah meningkatkan kemampuannya dalam menghadapi emosi negatif anak. Kedua reaksi ini menunjukan respon yang suportif sehingga berfokus dalam membantu anak mengatasi emosi negatif sebagai suatu respon dan penyebab munculnya. Namun, perubahan yang terjadi masih berada di bawah skor rata-rata kelompok. Hal ini juga sejalan dengan hasil wawawancara dan lembar kerja. Berdasarkan hasil wawancara terdapat perubahan ke arah yang lebih pada ibu A dalam menangapi emosi negatif anaknya. Subjek mulai menerapkan agar bisa menjadi orangtua yang melatih emosi anaknya dengan mulai terjadi peningkatan untuk memberikan solusi terhadap apa yang menjadi masalah anak. Namun, hal ini juga menurut subjek masih baru beberapa kali dilakukan karena terkadang ibu A merasakan terlalu lama untuk menanyai anak dengan sabar. Universitas Sumatera Utara Berdasarkan beberapa uraian diatas peneliti menyimpulkan bahwa ada beberapa hal yang membuat parental emotional coaching cukup efektif dalam meningkatkan kemampuan untuk menghadapi emosi negatif anak tunarungu, yaitu: 1. Subjek mengikuti parental emotional coaching memiliki keinginan untuk mengetahui informasi demi kemajuan anaknya. Walaupun saat berada di dalam kelas ia sering datang terlambat namun hal ini karena dia tidak terlalu akrab dengan ibu-ibu yang lain sehingga tidak datang bersamaan. Namun, dia benar-benar memperhatikan apa yang sedang dijelaskan. Saat ia sudah berada di ruangan maka ia tidak terganggu dengan hal yang lain. 2. Selama ini, informasi yang diperoleh ibu A masih kurang mengenai gaya pengasuhan atau kondisi anaknya yang tunarungu sehingga saat diberikan informasi baru maka ia merasa senang dan semangat untuk bisa mempelajarinya. Subjek B Subjek B yaitu ibu LW berusia 32 tahun dan anak perempuannya yaitu K mengalami tunarungu dan dicurigai saat anak berusia 8-9 bulan karena K tidak terganggu dengan bunyi petir, musik yang keras. Tingkat penurunan pendengaran pada telinga kanan dan kiri sama yaitu sebesar 70Db. Saat ini sudah berusia 6 tahun dan bersekolah di TK SLB Pembina. Setelah pulang sekolah maka K dan abangnya akan dititipkan ke tempat neneknya karena ibu LW harus membuka tokonya. Universitas Sumatera Utara Ibu LW mengikuti pelatihan ini karena selain diminta oleh peneliti dan dia merasa tidak ada salahnya juga untuk mengikuti pelatihan ini. Namun, ia juga mengatakan bahwa program parental emotional coaching ini juga memberikan manfaat untuk mengetahui kondisi anaknya yang tunarungu. Hal ini dirasakan penting karena memang terkadang dia merasa kurang kesabaran dalam menangani emosi anak. Emosi negatif yang bermasalah muncul yaitu emosi marah anak yang timbul apabila ada keinginannya tidak dipenuhi. Hal ini terkadang membuat ibu LW juga marah sehingga terkadang ia juga bisa mencubit anaknya. Emosi marah anak biasanya muncul pada saat ia sedang diganggu oleh abangnya, meminta sesuatu namun tidak diberikan atau saat ia dilarang. Respon ibu LW dalam menghadapinya adalah dengan cara memberitahu anak agar tidak marah lagi. Selain itu emosi sedih yang muncul karena sakit, tidak diajak bermain oleh temannya, kehilangan benda miliknya yang biasanya direspon dengan cara menghibur anak agar tidak menjadi sedih. Cemburu biasanya pada saat dia merasa mamanya lebih memperhatikan abangnya ataupun saat dia tidak dibelikan barang sementara abangnya dibelikan maka ibu LW akan menjelaskan bahwa abangnya adalah saudara dia sendiri dan juga harus disayang. Emosi takut yang biasanya terjadi karena petir, gelap dan melihat binatang buas maka respon yang biasanya dilakukan adalah memeluk untuk menenangkan anak dan mengatakan kepada anak agar jangan takut. Emosi gembira muncul pada saat ia mendapatkan mainan, diajak berpergian, diikuti keinginannya, dan saat bermain bersama teman maka biasanya ibu Universitas Sumatera Utara LW juga akan tersenyum dan mengangkat kedua jempol menandakan bahwa ia juga senang bersama anak. Saat pelatihan subjek terlihat aktif dan secara blak-blakan memberikan komentar terutama dalam pengasuhannya terhadap anak selama ini. Ibu LW selalu berada di ruangan pelatihan dari awal hingga akhir walaupun terkadang terlihat dia menjawab panggilan telepon atau membalas sms atau BBM. Saat pengisian lembar kerja diawal instruksi terkadang ibu LW berkomentar bahwa seperti sekolah saat harus mengerjakan latihan namun setelah itu dia akan mengerjakannya hingga selesai. Berdasarkan dari Coping With Chidren’s Negative Emotion Scale CCNES skor skor yang paling tinggi saat sebelum mengikuti parental emotional coaching adalah punitive reaction 56 dan juga emotion-focused reaction dalam menghadapi emosi negatif anak tunarungu. Namun, setelah mengikuti parental emotional coaching terjadi perubahan reaksi dari subjek B yaitu menjadi emotion focused reaction yang mendapatkan skor tertinggi yaitu 63 dan diikuti dengan problem focused reaction dengan skor 57. Adanya perubahan ini menunjukan adanya peningkatan kemampuan subjek B dalam menghadapi emosi negatif anaknya yang tunarungu. Namun, masih skor subjek masih berada dibawah rata-rata skor kelompok baik sebelum mengikuti parental emotional coaching 102 menjadi 120. Pada saat wawancara setelah program parental emotional coaching berakhir subjek mengatakan terdapat perubahan dalam cara ibu LW untuk Universitas Sumatera Utara mengatasi emosi negatif anaknya walaupun terkadang memang susah untuk menjadi orangtua pelatih emosi anak, karena dia merasa tidak sabaran harus menjelaskan kepada anak. Namun, terkadang apa yang diajarkan sudah juga dilaksanakannya sebelum diajarkan namun memang perilaku yang dikerjakan hanya sebagian dan tidak konsisten, bergantung pada situasi. Berdasarkan dari uraian diatas maka peneliti menyimpulkan bahwa setelah mengikuti parental emotional coaching ada beberapa hal yang menyebabkan adanya perubahan kemampuan dalam bereaksi menghadapi emosi negatif anak tunarungu adalah pada awalnya, Ibu LW sudah memiliki pendapat bahwa terkadang perilaku anak menjadi susah untuk diarahkan jika tidak memakai hukuman. Sehingga masih adanya ketidakkonsistenan ibu LW dalam menerapakan bagaimana cara menangapi emosi negatif anak. Hal ini masih bergantung kepada situasi dimana saat dia sedang merasa memiliki waktu untuk mengajak anak berbicara. Namun, setelah mengikuti parental emotional coaching adanya niat dari ibu LW untuk menjadi lebih sabar. Subjek C Ibu C adalah ibu EW yang saat ini berusia 37 tahun dan memiliki empat orang anak. Anak ibu EW yang ketiga yaitu MR mengalami tunarungu semenjak bayi. Diagnosa mengalami tunarungu diperoleh saat melakukan pemeriksaan BERA pada usia 8 bulan. Ibu EW melahirkan secara normal dan tidak ada mengalami gangguan yang berarti selama masa kandungan. MR sebelum bersekolah di SLB Pembina sudah mengikuti TK Universitas Sumatera Utara di Karya Murni selama 1 tahun namun karena lokasi rumah yang jauh dengan sekolah akhirnya diputuskan untuk pindah sekolah. Ibu EW mengakui bahwa ia merasa beruntung karena suaminya mau diajak bekerja sama dalam mengurusi anak, bahkan MR bisa dikatakan lebih dekat dengan ayahnya dibandingkan dengan ibu. Sebelumnya ibu EW adalah seorang pedagang pakaian dan memiliki toko di dekat rumahnya. Namun, semenjak lebaran tahun ini dia sudah menutup tokonya untuk lebih fokus dalam mengasuh anak-anaknya terutama MR dan adiknya yang masih berusia 2 tahun. MR akan marah dan sulit diberikan masukan saat orangtuanya sudah menawar barang untuk dia namun tidak jadi membelinya. Hal ini bisa menyebabkan MR akan selalu menanyai barang tersebut hingga dapat dan juga akan marah atau menangis. Kebiasaan buruk MR lainnya saat marah adalah suka menarik rambutnya hingga rontok. Hal ini dulu sering dilakukannya namun saat ini sudah mulai berkurang karena ibu EW akan mencubit tangan MR saat mulai terlihat menarik rambut. Saat anaknya marah maka ibu EW akan menanyakan alasan kenapa MR marah jika karena berebut mainan dengan adiknya maka ibu EW akan juga meminjamkan mainan dari adiknya. Emosi sedih MR biasanya saat tidak dibelikan mainan atau dimarahi sehingga ibu EW akan mencoba menanyainya. Apabila alasan ia menangis karena bertengkar dengan kakaknya maka ibu EW akan memarahi kakaknya sedangkan kalau ia bertengkar dengan adiknya maka ia akan mengatakan kepada adiknya agar tidak memukul balik MR. MR akan cemburu saat ayahnya sedang Universitas Sumatera Utara mengendong adiknya maka biasanya ibu EW hanya tersenyum melihat kelakuan MR. Sedangkan rasa takut yang biasanya muncul saat mati lampu maka ibu EW akan memegang tangannya sambil mencari lampu emergency. Tujuan ibu EW untuk mengikuti pelatihan ini adalah untuk menambah pengetahuan yang akan bermanfaat bagi anaknya sehingga ia lebih mengerti karakter anaknya sebagai anak tunarungu. Selama mengikuti pelatihan ibu EW ini ia selalu hadir ke ruangan tepat waktu, selalu mengerjakan dan membawa tugas rumah dan lembar kerja juga dikerjakannya dengan selesai. Atensi ibu EW saat mengikuti pelatihan cukup baik walaupun terkadang dia juga harus mengurusi anak bungsunya. Berdasarkan dari Coping With Chidren’s Negative Emotion Scale CCNES sebelum mengikuti parental emotional coaching memakai cara distress reaction dan emotion focused reaction dalam menghadapi emosi negatif anaknya yang tunarungu ditunjukkan dengan perolehan skor yaitu 50. Setelah mengikuti parental emotional coaching terjadi perubahan menjadi bereaksi dengan cara emotion focused reaction dengan skor 57 dan diikuti dengan problem focused reaction dengan skor nilai 55. Hal ini menunjukan adanya peningkatan kemampuan ibu EW dalam menghadapi emosi negatif anak tunarungu. Ia sudah mengurangi respon stres yang juga terjadi pada dirinya untuk bisa mengatasi masalah anak dan menjadikan anak memiliki perasaan yang lebih baik walaupun skor yang diperolehnya masih berada dibawah skor rata-rata kelompok. Berdasarkan hasil pembahasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa pada subjek C, parental emotional coaching dapat mengubah reaksi Universitas Sumatera Utara dalam menghadapi emosi negatif pada anak tuna rungu, yaitu subjek memiliki semangat yang baik untuk mengikuti parental emotional coaching, subjek menyadari bahwa apa yang diajarkan akan bisa memberikan dampak positif bagi anak. Hal ini terlihat dari kedisplinan subjek dalam mengikuti pelatiha secara tepat waktu. Anak subjek MR sudah pernah bersekolah sebelumnya sehingga anaknya sudah lebih mengerti aturan. Selain itu, subjek juga memiliki anak-anak yang sudah remaja yaitu kelas I SMA dan I SMP sehingga bisa membantu adiknya, MR. Subjek D Subjek D adalah ibu M yang saat ini memiliki dua orang anak perempuan. A adalah anak sulungnya yang mengalami tunarungu. Ibu M mengaku tidak mengalami kendala yang berarti pada saat mengandung A hanya saja dia pernah mengalami “kerumunan” pada saat kandungan berusia 7-8 bulan. Ibu M melahirkan secara normal di bidan. Pada usia sekitar 1 tahunan ibu M mencurigai ada sesuatu hal yang ganjil pada A karena seolah-olah A tidak memiliki perhatian saat dipanggil namanya ataupun saat banyak orang berbicara disekitarnya. Kemudian A dibawa ke dokter THT dengan diagnosa dokter bahwa ada banyak cairan di gendang telinga yang terjadi karena dia demam. Setelah dilakukan pemeriksaan BERA diketahui bahwa A mengalami penurunan pendengaran sekitar 80Db. A termasuk anak yang cengeng karena ia sering menangis untuk mengekspresikan emosi-emosi negatifnya terutama pada saat marah dan sedih maka ibu M akan menasehati A untuk tidak marah-marah ataupun A Universitas Sumatera Utara akan diabaikan atau dibiarkan sejenak sampai dia tenang sehingga setelah tenang barulah ibu M akan membujuknya. Hal yang membuatnya marah adalah saat dilarang atau diganggu saat dia menonton televisi. Sementara itu, yang membuat A sedih adalah pada saat dimarahi atau orangtuanya sakit maka ibu M akan memeluknya. A akan merasa cemburu pada saat adiknya dibelikan mainan atau saat ibunya tidak memperhatikannya maka biasanya dia akan cemberut maka ibu M akan membujuk dan memberikan pengertian bahwa adiknya itu masih kecil. A akan takut pada saat mati lampu atau saat ia merasa bersalah dan biasanya dia akan terlungkup atau menutup matanya maka ibu M biasanya akan menenangkannya dengan cara memeluk dan membujuk A. Keinginan ibu M mengikuti parental emotional coaching ini juga hampir sama dengan ibu-ibu yang lain untuk memperoleh pengetahuan mengenai kondisi anak mereka sehingga bisa memberikan manfaat bagi kemajuan anak. Berdasarkan hasil observasi ibu M selama mengikuti pelatihan merupakan peserta yang kurang fokus saat disampaikannya materi karena dia juga harus mengasuh anaknya sehingga sering meminta ijin permisi. Namun, ibu M ini juga selalu menghadiri pelatihan tepat waktu. Saat mengerjakan lembar kerja ibu M juga lama untuk merespon langsung mengerjakannya. Biasanya dia akan melihat atau meminta penjelasan dari temannya untuk mengetahui apa yang harus dikerjakan. Berdasarkan hasil Coping With Chidren’s Negative Emotion Scale CCNES diketahui bahwa ibu M menggunakan emotion focused reaction dalam menghadapi emosi negatif anak dengan skor 70. Hal ini memang Universitas Sumatera Utara dilakukan oleh ibu M bagaimana agar anak dapat merasa lebih baik dengan perasaannya. Selain itu, reaksi lain yang juga tinggi adalah problem-focused reaction dengan skor 66. Namun, setelah pelatihan tetap dengan reaksi yang sama namun hanya terjadi perubahan skor. Secara keseluruhan kemampuan ibu M sudah baik dalam menghadapi emosi negatif anak yang juga terlihat nilai rata-rata ibu M lebih tinggi daripada rata-rata kelompok. Berdasarkan uraian diatas maka peneliti menyimpulkan tidak adanya perubahan yang cukup signifikan pada reaksi subjek untuk menghadapi emosi negatif anak dengan kemampuannya yang sudah cukup baik dalam menghadapi emosi negatif anak tunarungu karena kurangnya atensi saat pemberian materi karena kesibukan subjek mengurus anaknya yang kecil sehingga membuat dia ketinggalan informasi dan terlihat subjek selalu bertanya kepada temannya sebelum mengisi lembar jawaban. Subjek E Subjek E bernama ibu N dan dari semua peserta hanya anak ibu N yang berjenis kelamin laki-laki. Ibu N ini juga tergolong yang paling muda dibandingkan dengan orangtua lainnya. Ibu N saat ini berusia 26 tahun dan sudah memiliki 2 orang anak. Hubungan adiknya dengan F cukup baik dia mengerti bagaimana cara berkomunikasi dengan abangnya seperti yang dilihatnya saat ibu N berkomunikasi. Ia menikah saat berusia 18 tahun dan suaminya 24 tahun. Ayah F juga menyayangi F dengan lebih memanjakan dan jarang memarahi. Universitas Sumatera Utara F akan marah saat siaran TV yang sedang dia tonton ditukar, adiknya sulit untuk dikasih tahu, dilarang bermain keluar rumah, memakai baju yang tidak disukainya dan tidak diberikan mainan baru maka ibu N akan menanyakan alasan mengapa anak marah dan kemudian menasehatinya bahwa marah itu tidak baik atau baik. Anak biasanya bersedih karena melihat ayahibu sakit, dilarang menonton televisi, tidak diberi uang jajan atau saat harus tidak hadir ke sekolah maka ibu N akan merangkul dan menenangkannya sampai anak tidak sedih lagi. F biasanya cemburu saat ibuayahnya terlihat lebih menyayangi adinya sehingga ia akan memeluk ayahibunya dan ibu N akan juga memberikan perhatian kepada F. Rasa takut biasanya muncul saat mati lampu dan melihat petir maka ibu N akan menenangkan perasaanya dan berusaha untuk menasehatinya agar ia menjadi lebih berani. Pada saat kehamilan ibu N tidak memiliki masalah yang berarti dengan kandungannya. Ia hanya pernah terjatuh pada saat kandungan berusia 6 bulan. Dari segi keturunan, pamannya juga mengalami tunarungu. Pada usia 4 bulan biasanya anak sudah mulai mengoceh namun pada saat itu, ibu N berpendapat mungkin anaknnya yang bukan tipe anak periang. Pada usia 1 tahun baru mencurigai bahwa anak tidak mendengar suara apapun dan tidak juga bisa mengatakan “ma.. ma..’ seperti anak lainnya. F pernah mengalami step pada usia 45 hari dan 2 tahun. Pada usia 2 tahun ini step yang parah hingga sampai mengeluarkan buih, badannya biru, mengigit lidah hingga berdarah. Pada usia 3 tahun ibu N memeriksakan kondisi pendengaran F sehingga diketahui bahwa F mengalami tunarungu. Universitas Sumatera Utara Berdasarkan hasil Coping With Chidren’s Negative Emotion Scale CCNES skor emotion focused reaction dan minimization reaction dengan skor 74. Hal ini menunjukan bahwa ibu N berfokus pada bagaimana mengembalikan perasaan anak seperti semula sehingga sering menggurangi keseriusan dalam merespon emosi negatif anak. Setelah diadakan parental emotional coaching perubahan terjadi sehingga ibu N menjadi bereaksi selain dengan menggunakan emotion focused reaction dan juga adanya problem focused reaction. Skor yang diperoleh oleh ibu N cukup tinggi berada diatas rata-rata skor kelompok sehingga ibu N sudah bisa meningkatkan kemampuannya dalam menghadapi emosi negatif anaknya yang tunarungu. Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa ibu E, parental emotional coaching yang dijalani bisa dikatakan efektif karena pada dasarnya regulasi emosi yang dimiliki oleh F memang sudah baik. Materi yang disampaikan mulai dipraktekan kepada F seperti lebih memperhatikan dan mendengarkan emosi anak namun perlu adanya adaptasi perubahan reaksi yang diterima F. Selain itu, ibu N merupakan ibu yang memiliki motivasi yang tinggi untuk mengikuti pelatihan dengan indikator perilaku menghadiri pelatihan tepat waktu, selalu mengerjakan tugas rumah dan lembar kerja dengan serius, memberikan atensi saat penyampaian materi berlangsung walaupun secara keaktifan menjawab ibu N hanya menjawab atau memberikan pendapat saat ditanya. Universitas Sumatera Utara

3. Kelebihan dan kekurangan penelitian