seterusnya, bahkan perubahan-perubahan dalam bentuk serta aturan-aturan organisasi sosial.
Perubahan-perubahan sosial dan kebudayaan mempunyai aspek yang sama yaitu keduanya bersangkut paut dengan suatu penerimaan cara-cara baru atau
suatu perbaikan dalam cara suatu masyarakat memenuhi kebutuhannya. Pada dewasa ini proses-proses pada perubahan-perubahan sosial dapat diketahui dari
adanya ciri-ciri tertentu seperti dibawah ini Soekanto, 2002 : 1. Tidak ada masyarakat yang berhenti perkembangannya, karena setiap
masyarakat mengalami perubahan yang terjadi secara lambat atau secara cepat.
2. Perubahan yang terjadi pada lembaga kemasyarakatan tertentu, akan diikuti
dengan perubahan-perubahan
pada lembaga-lembaga
sosial lainnya.
3. Perubahan-perubahan sosial
yang cepat
biasanya mengakibatkan
disorganisasi yang bersifat sementara karena berada di dalam proses penyesuaian diri.
4. Perubahan-perubahan tidak dapat dibatasi pada bidang kebendaan atau bidang spiritual saja, karena kedua bidang tersebut mempunyai kaitan
timbal balik yang sangat kuat.
2.9 Lembaga Kemasyarakatan
Lembaga kemasyarakatan merupakan terjemahan langsung dari istilah social institution. Akan tetapi ada pula yang menggunakan istilah pranata sosial untuk
istilah social institution tersebut, yang menunjuk pada adanya unsur-unsur yang
mengatur perilaku anggota masyarakat. Menurut Koentjaraningrat 1979 mengatakan bahwa pranata sosial adalah “suatu sistem tata kelakuan dan
hubungan yang berpusat pada aktivitas-aktivitas untuk memenuhi kompleks kebutuhan khusus dalam kehidupan masyarakat. Definisi tersebut menekankan
pada sistem tata kelakuan atau norma-norma untuk memenuhi kebutuhan. Polak dalam Nasdian 2003 memberikan pengertian bahwa kelembagaan
merupakan suatu kompleks atau sistem peraturan-peraturan dan adat-istiadat yang mempertahankan nilai-nilai yang penting. Kelembagaan itu memiliki tujuan untuk
mengatur antar hubungan yang diadakan untuk memenuhi kebutuhan manusia yang paling penting.
Kelembagaan sosial pada dasarnya menyangkut seperangkat norma atau tata kelakuan . konsisten dengan itu maka fungsi kelembagaan sosial adalah Soekanto
2002 : a. Memberi pedoman berperilaku pada individumasyarakat: bagaimana
mereka harus bertingkah laku atau bersikap di dalam menghadapi masalah-masalah
dalam masyarakat,
terutama yang
menyangkut kebutuhan-kebutuhan.
b. Menjaga keutuhan: dengan adanya pedoman yang diterima bersama, maka kesatuan masyarakat dapat dipelihara.
c. Memberi pegangan kepada masyarakat untuk mengadakan kontrol sosial, artinya sistem pengawasan masyarakat terhadap perilaku anggotanya
d. Memenuhi kebutuhan pokok manusiamasyarakat. Fungsi-fungsi tersebut menegaskan bahwa apabila seseorang hendak
mempelajari kebudayaan dan masyarakat tertentu maka harus pula diperhatikan
dengan teliti kelembagaan-kelembagaan sosial di dalam masyarakat yang bersangkutan.
Terdapat dua perspektif tentang kelembagaan sosial. Pertama, suatu perspektif yang memandang baik kelembagaan dan asosiasi sebagai bentuk
organisasi sosial, yakni sebagai kelompok-kelompok, hanya kelembagaan bersifat lebih universal dan penting. Asosiasi bersifat kurang penting dan bertujuan lebih
spesifik. Kedua, perspektif yang memandang kelembagaan sosial secara abstrak dan memandang asosiasi-asosiasi sebagai bentuk organisasi yang kongkrit.
Terlepas dari perbedaan dari kedua perspektif tersebut, kunci dalam memahami kelembagaan sosial terletak pada tekanan akan kebutuhan manusia.
Ciri-ciri tersebut antara lain : 1. Merupakan pengorganisasian pola pemikiran dan perilaku yang terwujud
melalui aktivitas masyarakat dan hasil-hasilnya. 2. Memiliki kekekalan tertentu: pekelembagaan suatu norma memerlukan
waktu yang lama karena itu cenderung dipertahankan. 3. Mempunyai satu atau lebih tujuan tertentu.
4. Mempunyai lambang-lambang yang secara simbolik menggambarkan tujuan.
5. Mempunyai alat untuk mencapai tujuan tertentu. 6. Mempunyai tradisi tertulis atau tidak tertulis.
2.9.1 Pelembagaan Sosial
Kelembagaan sosial dalam masyarakat berkembang melalui proses pekelembagaan sosial, yaitu suatu proses pengaturan dan pembinaan pola-pola
prosedur tata cara disertai beragam sanksi dalam masyarakat. Proses
pekelembagaan dimulai dari masyarakat mengenal, mengakui, menghargai, menaati, dan menerima norma-norma dalam kehidupan sehari-hari. Setelah
norma-norma diterima
berlanjut sampai
ke tahap
mendarah daging
internalization atau menghargai norma-norma tersebut. Tingkat
internalisasi norma-norma
tersebut dapat
dinilai dengan
menggunakan tingkatan norma yang melembaga berdasarkan kuat lemahnya ikatan yang dimiliki oleh norma tersebut. Tingkatan norma-norma tersebut dapat
diukur berdasarkan sanksi moral dan sanksi masyarakat atas pelanggaran yang dilakukan Tabel 2.
Secara konseptual ada empat tingkatan norma, mulai dari yang terlemah sampai dengan terkuat sanksinya, yaitu cara usage, kebiasaan folkways, tata
kelakuan mores, dan adat customs. Masing-masing tingkatan memiliki dasar yang sama, yakni masing-masing merupakan norma-norma kemasyarakatan yang
memberikan petunjuk bagi perilaku seseorang yang hidup di dalam masyarakat.
Tabel 2. Tingkatan Norma Berdasarkan Sanksi Atas Pelanggarannya
Sanksi Tingkatan Norma
Moral Masyarakat
Cara usage Tidak pantas
Dianggap janggal Kebiasaan folkways
Malu Dicela
Tata kelakuan mores Bersalah
Dihukum Adat customs
Berdosa Dikeluarkan
Sumber : Nasdian 2003
Perincian keempat tingkatan norma tersebut adalah sebagai berikut: a. Cara usage, lebih menonjol di dalam hubungan antar individu dalam
masyarakat atau
menunjuk pada
suatu bentuk
perbuatan. Suatu
penyimpangan terhadapnya, secara moral dirasakan sebagai suatu yang tidak pantas oleh pelakunya. Penyimpangan tersebut oleh masyarakat
hanya dinilai sebagai sesuatu perbuatan yang dianggap janggal. b. Kebiasaan folkways, mempunyai kekuatan mengikat yang lebih besar
dibandingkan cara. Kebiasaan diartikan sebagai perbuatan yang diulang- ulang dalam bentuk yang sama.
c. Tata kelakuan mores, merupakan kebiasaan yang dianggap sebagai cara berperilaku dan diterima sebagi norma-norma pengatur. Tata kelakuan
tersebut mencerminkan sifat-sifat yang hidup dari kelompok manusia yang dilaksanakan sebagai alat pengawas, secara sadar maupun tidak sadar oleh
masyarakat terhadap anggota-anggotanya. d. Adat customs, adalah tata kelakuan yang kekal serta kuat integrasinya
dengan pola-pola perilaku masyarakat. Bila adat istiadat dilanggar, secara moral,
pelanggar akan
merasa berdosa
kemudian masyarakat
mengeluarkan dari komunitasnya.
2.9.2 Penggolongan Kelembagaan Sosial
Karena kelembagaan sosial bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pokok manusia, maka ia dapat dikategorikan berdasarkan jenis-jenis kebutuhan pokok
tersebut. Koentjaraningrat 1979 mengkategorikannya ke dalam delapan golongan, sebagai berikut :
a. Kelembagaan kekerabatandomestik: memenuhi kebutuhan kekerabatan. Contoh pelamaran, poligami, perceraian, tolong menolong, sopan santun
dan lain-lain. b. Kelembagaan ekonomi: memenuhi pencaharian hidup, memproduksi,
menimbun, mendistribusikan harta benda. Contoh: pertanian, peternakan, industri, koperasi, perdagangan, pergudangan, sambatan dan lain-lain.
c. Kelembagaan pendidikan:
memenuhi kebutuhan
penerangan dan
pendidikan manusia agar menjadi anggota masyarakat yang berguna. Contoh: pendidikan dasar, menengahtinggi, pers, perpustakaan umum dan
lain-lain. d. Kelembagaan
ilmiah: memenuhi
kebutuhan ilmiah
manusia dan
menyelami alam semesta. Contoh: pendidikan ilmiah, penelitian, metode ilmiah dan lain-lain.
e. Kelembagaan estetika dan rekreasi; kebutuhan manusia untuk menyatakan rasa keindahannya dan rekreasi. Contoh: seni rupa, seni suara, seni gerak,
kesusasteraan dan lain-lainnya. f.
Kelembagaan keagaamaan:
memenuhi kebutuhan
manusia untuk
berhubungan dengan Tuhan atau alam gaib. Contoh: upacara, selamatan, pantangan, penyiaran, bertapa, semedi, penyiaran agama dan lain-lain.
g. Kelembagaan politik: memenuhi kebutuhan manusia untuk mengatur kehidupan kelompok secara besar-besaran atau kehidupan bernegara.
Contoh: pemerintahan, kepartaian, demokrasi, kepolisian, kehakiman dan lain-lain.
h. Kelembagaan sematik: memenuhi kebutuhan jasmaniah manusia. Contoh: pemeliharaan kesehatan, pemeliharaan kecantikan dan lain-lain.
Disamping penggolongan
tersebut, Uphoff
dalam Nasdian
2003 melakukan penggolongan kelembagaan berdasarkan sektor-sektor sosial di tingkat
lokalitas. Ketiga sektor tersebut adalah sektor publik public sektor, sektor partisipatori participatory sector, sektor swasta private sector lihat Tabel 3.
Tabel 3. Penggolongan Kelembagaan Berdasarkan Sektor Di Tingkat Lokalitas
Sektor Publik Sektor participatory
Sektor private Administra
si Lokal Pemerintah
Lokal Organisasi
Sukarela Koperasi
Organisasi Pelayanan
Bisnis Private
Bentuk Organisasi Birokrasi
Politik Organisasi
Swadaya Nirlaba
laba Peranan Individu Dalam Hubungannya Dengan Ragam Bentuk Organisasi Lokal
Warga Negara
Pemilih Anggota
Anggota Klien
Langganan
Sumber : N. Uphoff dalam Nasdian 2003
Kelembagaan sektor publik di tingkat lokal mencakup administrasi dan pemerintahan lokal dengan birokrasi dan organisasi politik sebagai bentuk
organisasi yang mutakhir. Kelembagaan sektor partisipatori, sesuai dengan namanya, tumbuh dan dibangkitkan oleh masyarakat secara sukarela. Misalnya
organisasi non pemerintah. Kelembagaan ini aktif berdasarkan tujuan sesuai minat para pendukungnya, misalnya pada bidang kesehatan, lingkungan dan sebagainya.
Terakhir adalah kelembagaan sektor swasta yang berorientasi pada upaya mencari keuntungan yakni dalam bidang jasa, perdagangan, dan industri.
2.9 Kerangka Pemikiran