utama dalam memainkan berbagai lagu dari etnis atau sub-etnis di luar Batak Toba. Kemudian diantara berbagai instrumen yang dimainkan dalam gondang hasapi,
sulim merupakan instrumen yang tidak hanya berperan sebagai instrumen melodis tetapi juga mampu menghasilkan improvisasi nada-nada tanpa menghilangkan inti
dari melodi lagu. Dilihat dari segi fungsinya, sulim dalam pertunjukan opera Batak
merupakan sebuah instrumen yang paling komplit dibandingkan yang lain, sebab sulim mampu memaksimalkan perannya sebagai instrumen melodis dalam kajian
yang lebih luas, baik dari segi konteks penggunaannya dalam bentuk solo dan ensambel maupun segi pengembangan nada-nada atau alur melodi musik yang
dimainkan.
4.2.2.2 Konteks ensambel musik tiup
Sejarah munculnya ensambel brass band di tanah Batak sesungguhnya dimulai dari masuknya pengaruh agama Kristen. Sebelum kekristenan muncul di
tanah Batak, musik yang digunakan di dalam acara adat tradisi, ataupun acara ritual lainnya adalah gondang sabangunan dan gondang hasapi yang digunakan
memanggil arwah nenek moyang dan dalam konteks acara adat lainnya. Masuknya agama Kristen ke tanah Batak membawa pengaruh yang
mengakibatkan adanya
perubahan mendasar dalam kehidupan tradisi margondang menyajikan gondang oleh masyarakat Batak Toba. Beberapa aturan yang diterbitkan
oleh badan zending, membatasi bahkan melarang kegiatan pertunjukan gondang dalam beberapa konteks upacara adat Batak Toba yang memeluk agama Kristen, dan gereja
sebagai perpanjangan tangan badan misi ini membuat aturan kebijakan yang dilegalisasi melalui hukum yang harus dipatuhi masyarakat Batak Toba pemeluk
Universitas Sumatera Utara
agama Kristen Purba, 2000:32-35. Kebijakan-kebijakan yang diambil gereja sebagai sikap menolak keberadaan tradisi musik gondang ini, memiliki alasan bahwa praktek
pertunjukan gondang adalah elemen budaya yang terkait dengan upacara ritual dalam kepercayaan lama sebelum Kristen, hal ini merupakan bagian dari upaya kristenisasi
misi Rheinische Mission-Gessellschaft RMG dari Jerman pada tahun 1860-an di seluruh kawasan tanah Batak. Masyarakat ini yang sudah memeluk agama ‘baru”
mereka, tidak mau menerima resiko dikeluarkan di-ban, istilah yang digunakan dalam Tata Gereja dari keanggotaan komunitas gereja, hanya karena terlibat dalam praktek
margondang. Pembatasan dan bahkan pelarangan yang dilakukan pihak gereja membawa
konsekuensi kepada sebuah perubahan kegiatan pertunjukan musikal masyarakat. Missionaris yang membawa paham agama Kristen dalam kesempatan ini mulai
memperkenalkan musik Barat, diawali dengan satu alat tiup terompet dan selanjutnya menjadi sebuah ensembel musik tiup brass music yang dipergunakan untuk kegiatan
ibadah di gereja sebagai pengiring dalam ibadah. Berbagai alat musik tiup tersebut terbuat dari logam yang terdiri dari terompet, saxofon, trombon, tuba dan 1 satu set
drum. H
al ini menunjukkan terjadinya infiltrasi memasukkan sebagian unsur budaya asing ke dalam budaya sendiri dari Budaya Barat ke Budaya Batak, hal ini
dapat kita lihat dari adanya perubahan yang membentuk orang Batak dalam ajaran kepercayaan lama beralih menjadi penganut ajaran agama Kristen Protestan dengan
segala akibat yang ditimbulkan. Pendekatan sistematis budaya Barat ini dilakukan dalam dua hal pokok, yakni membawa ajaran agama ini di satu pihak, dan
terbangunnya sistem tata tertib sosial kemasyarakatan menurut metoda Barat, menyentuh ke seluruh sendi kehidupan, salah satunya adalah tradisi musikal
gondang. Para missionaris dalam penginjilannya membawa tradisi Barat yaitu
Universitas Sumatera Utara
tradisi yang dipergunakan dalam mengimplementasikan misi kekristenan sebagai sarana pendukung di dalam penyampaian pelayanan pengabaran Injil di tanah
Batak.
35
Dengan kondisi tersebut, musik tiup yang dikenal sebagai musik yang sebelumnya dekat dengan gedung gereja saja, bergeser keluar transpalanted dari
lingkungan gereja menuju ranah kehidupan adat religi dan ritual masyarakat Batak Toba dan mengikis peranan dan aktivitas gondang Batak sebagai kearifan lokal,
yang sengaja ditinggalkan akibat perubahan sosial oleh tekanan budaya asing dan diterima masyarakat Batak Toba sebagai tindakan kemapanan dalam merespon
kebudayaan baru. Hal ini mendapat tempat akibat adanya pemahaman bahwa gondang yang dulunya dianggap sakral dan memiliki aspek mistis sebagai bagian
dari kegiatan kebudayaan, dapat digantikan oleh peranan musik tiup sebagai komoditas baru untuk menyelenggarakan posisi fungsi dan kegunaan gondang.
Sejak itu, masyarakat ini mulai mengalami hal baru dan asing sebagai tatanan hidup baru perihal kehidupan sosial masyarakat dan keagamaan. Terjadinya
proses transmisi dua budaya yang berbeda pada pokoknya adalah dimana satu kebudayaan menerima nilai-nilai kebudayaan lain, nilai baru masuk bercampur
dalam kebudayaan lama. Dua kebudaya
an yang berbeda bertemu dan memberi pengaruh satu sama lain.
36
Selain mengalami perubahan penggunaannya dari musik gereja kepada musik adat masyarakat Batak Toba, musik tiup yang awalnya dikenal sebagai
35 Lihat J.R. Hutauruk, 2010 hal. 26.
36 Sebagian masyarakat memiliki budaya lokal yang kuat dan dilatari oleh agama suku atau
agama tribal menaruh lex non scripta bahwa semua yang milik sendiri adalah yang paling mulia dan semua yang di luar lingkungannya dianggap buruk. Lihat selanjutnya, penekanan oleh kolonial
Belanda terhadap upacara-upacara ritual parugamo Batak Toba menunjukkan legimitasi dari misi kekristenan oleh badan zending dan pelarangan yang terjadi secara periodik dan setengah hati oleh
gereja, karena bagian-bagian tertentu dari upacara adatnya dianggap bertentangan dengan kepercayaan Kristen Van Den End, 1989:308
Universitas Sumatera Utara
ensambel musik yang terdiri atas istrumen logam, lambat laun mengalami perkembangan dengan mengkolaborasikan berbagai alat musik tiup logam tersebut
dengan berbagai alat musik tradisional Batak Toba. Di antara musik tradisional Batak Toba, instrumen yang paling sering dikolaborasikan dengan ensambel
tersebut adalah sulim, hasapi, garantung dan taganing. Namun di antara keempat instrumen tersebut, yang paling instens digunakan dan masih tetap bertahan hingga
saat ini adalah sulim. Pada tahun 1980-an, masa kejayaan Opera Batak mulai meredup dan
hampir tidak kedengaran lagi. Meski Opera Batak semakin redup namun tidak demikian halnya dengan eksistensi sulim sebagai salah satu instrumen
pendukungnya. Setelah habisnya masa kejayaan Opera Batak di akhir tahun 1970- an, eksistensi sulim masih terus berlanjut hingga kepada lahirnya fenomena musik
tiup yang sangat dikenal pada era tahun 1980-an. Menurut Marsius Sitohang, tidak diketahui secara pasti siapa yang pertama
sekali yang mempopulerkan instrumen sulim ke dalam ensambel musik tiup. Beliau mengatakan bahwa awal tahun 1980-an sudah ada group musik yang memadukan
ensambel musik tiup logam dengan alat musik tradisional Batak Toba. Namun awalnya keberadaan group tersebut masih kurang diterima di tengah-tengah
masyarakat Batak Toba. Hal ini terjadi karena adanya anggapan bahwa masyarakat Batak Toba yang telah menganut kepercayaan Kekristenan kembali lagi kepada
kepercayaan tradisional yang menggunakan alat musik tradisi yang identik dengan kemagisan. Hingga pada tahun 1987, dibentuklah sebuah group musik Batak yang
bernama Horas Musik, dimana Marsius Sitohang juga turut menjadi salah satu personil yang mempopulerkan sulim pada masa itu.
Universitas Sumatera Utara
Beliau juga menambahkan bahwa dengan kehadiran Horas Musik sebagai group musik baru yang berperan sebagai pengiring acara-acara adat masyarakat
Batak Toba ternyata memberikan dampak yang cukup besar bagi eksistensi group musik Batak Toba pada masa itu. Dengan hadirnya konsep baru yang ditawarkan
oleh Horas Musik, penggabungan alat musik tradisional dengan ensambel musik tiup mulai diterima. Menurut beliau, hal ini disebabkan oleh penyajian musik yang
mereka tampilkan memiliki keunikan tersendiri dibandingkan group musik Batak Toba yang lain. Keunikan tersebut terlihat ketika mereka menyuguhkan musik yang
memadukan musik modern dengan musik tradisional dengan membawakan berbagai lagu populer pada masa itu dan ditambah dengan masuknya lagu-lagu
gereja yang juga mampu dibawakan oleh alat musik tradisional yang akhirnya menghilangkan paradigma bahwa alat musik tradisi hanya mampu membawakan
lagu-lagu Batak Toba saja.
37
Sulim sebagai salah satu instrumen tradisional menjadi sebuah sosok yang paling disorot pada masa itu. Sebab di antara alat musik tradisional yang lain, sulim
merupakan instrumen utama yang berfungsi membawakan melodi dari setiap lagu atau repertoar yang disajikan. Di samping ada berbagai instrumen lain yang juga
mampu sebagai instrumen melodis, sulim seakan menjadi instrumen yang paling menonjol di antara berbagai instrumen melodis lainnya. Karena sulim biasa
ditampilkan dengan improvisasi nada yang unik dan berbeda serta menjadi daya tarik tersendiri bagi pendengarnya. Tentunya kemahiran serta profesionalitas
37 Tidak dapat dipungkiri bahwa populariitas Marsius Sitohang yang mendunia pada saat
itu juga berpengaruh terhadap pola pikir sebagaian masyarakat Batak Toba yang kemudian secara perlahan dapat menerima keberadaan sulim ini dalam konteks adat, agama, maupun hiburan. Pada
masa ini, Marsius juga dikenal sebagai Si Raja Seruling Batak.
Universitas Sumatera Utara
sipemain juga menjadi salah satu faktor yang menyebabkan sulim menjadi perhatian bagi barang siapa yang menyaksikan penampilan musik tersebut.
Banyak orang bahkan berbagai musisi tradisional Batak Toba menganggap bahwa Marsius Sitohang merupakan salah satu pencetus masuknya sulim ke dalam
ensambel musik tiup logam yang kemudian menjadikan Horas Musik menjadi barometer group musik Batak Toba pada masa itu. Sehingga dengan kehadiran
group Horas Musik tersebut, seiring perkembangan zaman banyaklah bermunculan berbagai group musik Batak Toba yang lain dengan sajian yang sama dengan porsi
yang berbeda-beda. Perkembangan musik tiup dari era 1980-an hingga pada masa kini sudah
menunjukkan berbagai fenomena perubahan baik dari segi komposisi musik maupun formasi alat musik yang disajikan. Jika kita membandingkan dengan musik
tiup yang disuguhkan pada masa kini, sudah merupakan hal yang wajar apabila hanya menampilkan tiga instrumen saja dalam satu ensembel seperti sulim,
keyboard kibot, taganing, dan sulim yang bahkan sesungguhnya tidak ada satupun diantara beberapa instrumen tiup logam tersebut ditampilkan yang harusnya
menjadi ciri khas dari musik tiup itu sendiri. Oleh karena itu, seiring perkembangan zaman pandangan masyarakat Batak Toba terhadap eksistensi musisi Batak Toba
juga berubah, yakni walau hanya biasa menggunakan ketiga instrumen seperti keyboard, taganing, dan sulim tanpa didukung adanya beberapa alat musik tiup
logam para musisi tersebut kadang-kadang juga masih dianggap sebagai pemusik tiup.
38
38 Sebagaimana sudah disebutkan pada bab-I, nama lain dari formasi sulim, kibot, taganing
ini disebut Sulkibta Sulim, Kibot, Taganing.
Universitas Sumatera Utara
4.2.3 Konteks pengiring lagu