Ketiga, Pola hubungan antar manusia dalam kelompok masyarakat Batak Toba berubah secara terus menerus, sehingga pelaksanaan adatnya juga mengalami
perubahan sesuai kebutuhan tanpa melihat sisi ruang dan waktu. Keempat, pandangan dan nilai yang diberikan terhadap adat itu juga
mengalami perubahan, akibat dari pengaruh teknologi dalam penyebaranluasan informasi. Hal itu tampak dalam praktek adat yang dilakukan oleh masyarakat
pendukungnya. Lebih jauh, adat adalah sebuah sistem yang mengatur kehidupan manusia.
Sehingga, orang Batak yang bertindak dan bertingkah laku tidak sesuai dengan adat disebut dengan na so maradat orang yang tidak memiliki adat dan akan ada
sanksi sosial terhadap orang-orang yang melanggar adat. Pelanggaran adat yang dilakukan dapat berbentuk perkawinan terlarang. Misalnya, perkawinan semarga
incest. Pencurian, pencemaran nama baik dan hal lain yang diyakini sebagai tatanan sosial masyarakat yang tidak dapat dilanggar bandingkan, Bruner
1961:510. Sanksi bagi pelanggar hukum adat, diyakini datang dari kutukan ilahi yang mereka percayai. Misalnya, tidak mendapatkan keturunan, penyakit menahun
yang tidak kunjung sembuh, kerugian ekonomis dalam setiap pekerjaan bahkan sanksi kematian. Hukuman ini berlaku bagi pelanggar adat hingga keturunan
selanjutnya dalam beberapa generasi. Karena prinsip adat Batak bersumber dari keilahian yang
diturunkan nenek moyang orang Batak, maka setiap orang Batak yang menjalankan adat adalah orang-orang yang bersekutu dengan nenek moyangnya.
2.2 Religi atau Kepercayaan
Menurut kepercayaan orang Batak dalam mitologinya, persoalan kehidupan selalu ada sangkut pautnya dengan keilahian yang dipercaya sebagai karya Mula
Universitas Sumatera Utara
Jadi Nabolon. Mite yang mirip dengan mitologi dalam kepercayaan Hindu dalam cerita turun temurun masyarakat Batak Toba ini, yaitu adanya tiga oknum dewa
masing-masing Batara Guru, Soripada dan Mangala Bulan sebagai aspek dari Mulajadi Nabolon yang memiliki otoritas di bumi untuk mengatur kehidupan
manusia Situmorang, 2009:21. Dalam beberapa tulisan konsep mitologi ini berbeda dengan konsep yang
diungkapkan oleh Sitor Situmorang tentang “tri tunggal” Dewa orang Batak. Dalam tulisan lain, Tampubolon menyebut ketiga Dewa itu bukanlah implisit dari jelmaan
Mula Jadi Nabolon, melainkan tiga dewa yang berdiri sendiri yaitu 1 Mulajadi Nabolon, 2 Debata Asi-asi dan 3 Batara Guru yang sesuai dengan pekerjaannya
di Bumi. Mulajadi Nabolon diyakini sebagai pencipta dari alam semesta untuk alam yang besar Nabolon, dan menciptakan dewa-dewa yang lebih rendah. Debata Asi-
asi sebagai dewa yang menurunkan berkat dan kasih melalui oknum perantara roh leluhur, roh penghuni suatu tempat. Batara Guru berarti maha guru yang memberi
ilmu pengetahuan, ilmu-ilmu gaib, pengobatan dan penangkalan roh-roh jahat. Tampubolon, 1978:9-10.
Mitologi Batak pada umumnya disampaikan melalui cerita dari mulut ke mulut tradisi lisan, biasanya pemberitaan seperti ini sukar untuk dipercaya. Hal ini
terbukti dari banyaknya beredar cerita-cerita dongeng di kalangan bangsa Batak. Lebih lanjut Warneck membenarkan bahwa hampir semua suku bangsa memiliki
dongeng, yang tidak memiliki hubungan satu sama lain. Masing-masing berdiri sendiri Hutauruk, 2006:8
Ajaran agama Batak yang terdapat dalam mitologi Batak ini, diperjelas oleh Batara Sangti menyebut ketiga dewa sama dengan versi Situmorang pemilik
otoritas kedewaan dengan konsep pekerjaan ketiga dewa tersebut mengatur tata
Universitas Sumatera Utara
kehidupan manusia. Dalam legenda Siboru Deak Deang Parujar dalam tonggo- tonggo doa yang disampaikan pada Mula Jadi Nabolon menyebut: Debata Natolu,
Natolu Suhu, Naopat Harajaon. Sangti menguraikan pekerjaan dan tugas keempat oleh Debata Asi-asi yaitu menolong manusia dengan bersusah payah dan
berkorban. Dewa ini berfungsi sebagai: naso pinele jala naso sinomba yang tidak disaji dan tidak disembah sebagai tugas keempat dimaksud dari na opat harajaon
Sangti, 1977:279. Dalam konteks kepercayaan tradisional “agama Batak” itu, terdapat konsep
bahwa kehidupan manusia tetap berlangsung walaupun sudah meninggal. Kehidupan itu berada pada dunia maya, kehidupan para roh-roh yang sudah
meninggal. Anggapan bahwa roh-roh itu memiliki komunitas dan aktivitas sendiri. Itu sebabnya, hingga kini masih terdapat kepercayaan bagi masyarakat Batak untuk
ikut menyertakan berbagai perlengkapan orang yang sudah mati, dikubur bersama jasadnya. Misalnya, pahean pakaian yang dikenakan dipergunakan nantinya
setelah roh sebagai pakaian yang membungkus dari rasa dingin, dan ringgit sitio suara uang untuk kebutuhan perjalanan menempuh perjalanan ‘jauh’ dari dunia
nyata ke dunia maya atau benda-benda lainnya yang dibutuhkan dalam dunia roh. ibid. 1978:10.
Dari beberapa versi cerita kehidupan orang Batak dapat disimpulkan, bahwa orang Batak pada zaman keberhalaan sudah mempercayai adanya Allah yang satu
yang disebut Mulajadi Na Bolon yang menjadi sumber dari segala yang ada. Orang Batak kala itu percaya ada kekuatan besar Debata yang menjadikan langit dan bumi
dan segala isinya. Juga memelihara kehidupan secara terus menerus. Debata Mulajadi Na Bolon adalah sebagai ilahi yang tidak bermula dan tidak berakhir. Dia
adalah awal dari semua yang ada.
Universitas Sumatera Utara
Dalam konsep Batak, seluruh kehidupan tertuju pada daya dan upaya untuk mencapai kepemilikan sahala. Sahala dalam filsafat Batak sangat besar
pengaruhnya
dalam segala gerak hidup orang Batak, dan semua orang Batak harus mempunyai sahala. Penafsiran sahala menurut Warneck adalah kewibawaan hidup,
kekayaan akan harta benda dan keturunan, kemuliaan yang mencakup kebijaksanaan, kecerdikan, kecerdasan, kekuasaan, keluhuran budi pekerti. Hal ini terus dilakukan
oleh orang Batak secara turun temurun. Implementasinya, nampak pada setiap pekerjaan adat dan hubungan kehidupan antara orang Batak. Sehingga sahala adalah
wujud dari hagabeon, hamoraon dan hasangapon.
Sahala adalah perwujudan roh tondi dalam kehidupan manusia di dunia. Dia merujuk pada sebuah kekuatan nyata yang menjadi milik orang-orang penting
dan kuat. Tanda utama kepemilikan sahala yang besar adalah dimana seseorang memiliki keberhasilan duniawi. Sahala merupakan sebuah kualitas yang bisa
diperoleh atau hilang. Masyarakat Batak Toba memberi tingkatan hidup pada nilai- nilai kebudayaan dalam tiga kata, yaitu harajaon kuasa, hamoraon kekayaan
dan hasangapon kehormatan. Harajaon menunjukkan bahwa tujuan setiap manusia adalah berdiri sendiri
secara merdeka dan mengelola hidup dengan wibawa dan kuasanya. Setiap orang Batak laki-laki, selalu mempunyai keinginan menjadi seorang raja. Pengertian
menjadi raja adalah seorang yang dapat mengatur hidupnya sendiri tanpa bantuan orang lain. Oleh karena itu dianggap penting untuk membentuk rumah tangga
sendiri, karena rumah tangganya adalah awal dari usaha-usaha untuk mendirikan ke”raja”annya sendiri. Manusia harus menghormati sanak saudaranya dan marga
yang dia miliki.
Universitas Sumatera Utara
Hamoraon menunjukkan bahwa tujuan dalam hidup seorang Batak adalah mensejahterakan kehidupan. Anggapan tradisional, pengertian kesejahteraan lebih
dianggap sama dengan banyak memiliki istri dan anak, ladang yang luas dan ternak yang banyak. Kepemilikan ini dianggap sebagai hasil karena memiliki seorang
Batak memiliki sahala sebagai raja. Hasangapon merupakan tujuan dari usaha-usaha untuk mewujudkan
gagasan-gagasan harajaon dan hamoraon. Perjuangan untuk mencapai hasangapon digambarkan sebagai motivasi fundamental suku Batak. Dalam mencapai harajaon,
hamoraon, dan hasangapon, ketegangan seringkali muncul antara kakak beradik dalam satu marga. Dalam hal ini, seseorang yang memiliki status yang tinggi akan
mencoba menengahi, tetapi bila usaha-usaha ini tidak berhasil, sebuah kelompok bisa pergi untuk mendirikan pemukiman baru.
Sistem dalihan na tolu mencegah pembentukan kelas-kelas sosial yang kaku. Selalu ada hula-hula yang harus dipelihara dan dihormati. Oleh karena itu,
masyarakat Toba memiliki ciri egaliter yang kuat, dibandingkan misalnya dengan masyarakat jawa. Sifat ini tidak berarti bahwa masyarakat Toba bebas dari hirarki
gender, pada umumnya perempuan menempati posisi rendah dibanding laki-laki.
2.3 Konsep Kemasyarakatan