Gambar-1: Daerah Pemukiman Orang Batak Toba
Sumber: Koentjaraningrat, 1995:97
2.7 Persebaran Masyarakat Batak Toba
Persebaran masyarakat Batak Toba dimulai ketika badan zending masuk ke tanah Batak yang membuka isolasi wilayah Batak. Keterkungkungan yang lama
menyelimuti tanah Batak selama berabad-abad yang diterima sebagai suatu kebiasaan oleh masyarakat ini. Bahkan mereka memproteksi diri dari kehidupan
lain diluar sistem sosio kemasyarakatan yang sudah terbangun pada orang Batak Toba. Badan zending yang membuka isolasi ini melalui pendidikan yang ditularkan
melalui pengajaran agama Kristen, akhirnya membuahkan hasil dengan timbulnya minat orang Batak melakukan persebaran ke seluruh pelosok.
Pendidikan yang ditanamkan oleh missionaris agama Kristen di tanah Batak diyakini sebagai satu cara membuka cakrawala baru untuk mengenal dunia
luar lebih jauh yang sekaligus dapat memberikan hasil dalam meningkatkan
Universitas Sumatera Utara
kesejahteraan hidupnya, dan pendidikan itu dipandang sebagai sarana untuk mengatasi kemiskinan dan meningkatkan status ekonomi dan sosial.
Status sosial bagi masyarakat Batak Toba yang dianggap paling mendasar, membuat orang Batak selalu suka bekerja keras sehingga pekerjaan adalah sesuatu
yang penting. Adakalanya, pekerjaan sebagai guru jemaat dengan gaji yang kecil akan dilakukan untuk mengejar status sosial. Karena anggapan bahwa seorang guru
lebih tinggi kedudukan sosialnya dari seorang petani. Dengan terbetiknya berita dari para missionaris tentang adanya kehidupan
lain yang lebih layak di luar wilayah Batak, orang-orang Batak yang sudah mengecap pendidikan dari pihak zending ini, mencoba mengadu nasib dan mencari
pengalaman baru di tempat yang mereka cari parserahan. Mereka melakukan perjalanan dengan menyusuri jalan setapak. Untuk tiba di sekitar Sumatera Timur
penyebutan untuk wilayah tanah Simalungun dan pesisir timur Sumatera, orang- orang Batak yang tinggal di Toba Na Sae tanah Batak Toba yang luas harus
dengan menyusuri tepian Danau Toba dengan sampan dari Balige menuju Tigaras dan berjalan kaki menuju Pematang Siantar melalui Tiga Dolok.
Selain pilihan untuk dapat keluar dari tanah Batak menuju Sumatera Timur, masih ada peluang untuk keluar walau dengan resiko perjalanan yang berat
dan berbahaya. Misalnya, alternatif jalan menuju Padang sebagai pelabuhan internasional ketika itu, dapat dilalui dari Sibolga dengan kapal barang. Hal ini
pernah terjadi dengan adanya orang-orang Batak Toba berkediaman di tanah Minang pada tahun 1900-an dan orang Batak yang ada di Jawa diyakini berangkat
dengan kapal api dari Padang, atau dengan masuknya tentera Paderi pada tahun 1820-an ke tanah Batak pada saat perang PaderiBonjol.
Universitas Sumatera Utara
Akses jalan dari Sumatera Timur ke tanah Batak, awalnya dijalani melalui beberapa titik persinggahan yang memakan waktu berhari-hari. Rute-rute kecil dari
tengah hutan sebagai jalan setapak yang dirintis oleh pedagang-pedagang lokal perlanja sira-penjual garam, adalah pilihan untuk dapat keluar dari tanah Batak.
Rute lain yang dipilih adalah melalui jalan menyusuri sungai Asahan dari pesisir timur menuju kawasan Danau Toba di Porsea.
Jalan raya yang menghubungkan tanah Batak ke Sumatera Timur baru dibuka pada tahun 1915 melalui Sibolga, Sipirok, Tarutung, Balige, Porsea,
Parapat, Tiga Dolok menuju Pematang Siantar Cunningham, 1958:85. Dengan dibukanya jalan raya itu, percepatan perpindahan orang Batak menuju daerah lain
semakin tampak. Salah satu sumbernya adalah informasi dari anggota keluarga Batak yang sudah tiba lebih dahulu di tanah-tanah garapan mereka.
Persebaran masyarakat Batak Toba ke daerah lain untuk mengejar tingkat perekonomian yang lebih baik, tidak hanya dilakukan oleh kalangan yang
berpendidikan saja, tetapi adalah juga para petani-petani yang hanya mengandalkan semangat dan pengetahuan pertaniannya. Mereka rela meninggalkan kampung
halamannya, dan kewajiban bekerja sebagai rodi yang diterapkan pemerintah kolonial Belanda di kampungnya. Untuk kepergiannya, mereka mau membayar
pajak rodi sebesar 3 tiga gulden ditambah pajak dan ongkos ganti rugi pekerjaan rodi selama setahun. Perpindahan orang Batak ke daerah lain untuk menetap adalah
pilihan untuk meningkatkan taraf ekonomi mereka Sangti, 1977:180 Bagi orang-orang Batak yang tinggal menetap di daerah-daerah
parserahan selanjutnya membentuk komuni-komuni baru dengan membawa segala aspek kebudayaannya. Adat istiadat yang dipakai mereka tidak dihilangkan begitu
saja. Mereka berpegang pada konsep adat yang sudah dibangun nenek moyang
Universitas Sumatera Utara
mereka terdahulu. Karena beragamnya orang Batak dari berbagai latar belakang daerah di bona pasogit, mereka menyatukan persepsi untuk membuat adat Batak itu
dapat diterima oleh komunitas mereka sendiri, tanpa melihat daerah asal mereka. Mereka menjalankan adat Batak dengan seperti apa yang dilakukan orang Batak di
bona pasogit, termasuk dalam pemakaian musik untuk mengiringi upacara-upacara adat Batak mereka.
Masyarakat Batak Toba dewasa ini yang berada di Simalungun, menempati hampir semua daerah yang ada di Simalungun. Mereka hidup berkelompok di
Pematang Siantar, Perdagangan, Kerasaan, Serbelawan, Dolok Sinumbah, Bah Jambi, Maria Bandar, Panei Tongah, Saribudolok, Tiga Dolok, Tiga Balata, Tanah
Jawa, Parapat dan daerah lain. Di Medan, sekitar tahun 1920-an perubahan dominasi etnik mulai berubah.
Orang-orang Batak yang ada di Medan mulai memunculkan diri dengan hasil pekerjaan mereka yang cukup memuaskan sekaligus memperlihatkan identitas
mereka. Selain di Medan, di kota besar lainnya, seperti Jakarta, orang Batak juga
menunjukkan identitas mereka. Mereka-merka ini adalah orang-orang yang ulet dan pekerja keras, sehingga kelompok etnis lain heran mendapati bahwa orang-orang
yang tertib dan pandai yang mereka kenal ternyata adalah orang Batak. Walaupun orang Batak merupakan kaum minoritas kecil di kota-kota, tetapi sangat
berpengaruh pada saat itu, hal ini juga menyebar ke Tapanuli Utara dan Selatan. lihat Hasselgren, 2008:48
Keberadaan orang Batak Toba di Jakarta Batavia diperkirakan sekitar tahun 1900-an, yang dibawa oleh pihak kolonial Belanda sebagai pembantu utama
mereka. Dapat dicatat, orang Batak pertama yang sudah ada di Jakarta adalah
Universitas Sumatera Utara
seorang pemuda Batak Kristen alumni sekolah Seminari Pansurnapitu Tarutung yang menjadi guru di Batavia bernama Simon Hasibuan, dia sudah berada di
Batavia pada tahun 1907 Sihombing, 1962:65. Setahun kemudian terjadi eksodus orang Batak dalam mencari pekerjaan ke Batavia dengan menempuh perjalanan
sendiri. Komunitas pertama orang Batak yang tinggal di Batavia, berada di kawasan
Sawah Besar dengan membentuk perkumpulan Batak Kristen Protestan sebagaimana mereka dahulunya di Tapanuli Hasibuan, 1922:61. Bagi orang Batak
yang datang ke Batavia, awalnya ditampung oleh orang Batak pertama datang ke daerah itu, secara estafet perlakuan itu tetap dipergunakan dalam menyatukan dan
membentuk komunitas Batak di Jakarta. Hingga pada tahun 1917, kumpulan orang Batak Kristen sudah melakukan kebaktian sebagai upaya penyatuan semua orang
Batak yang berada di Jakarta sebanyak 50 orang, dan berkembang sangat pesat hingga saat ini.
Di Kalimantan orang Batak sudah mendiami daerah itu pada tahun 1923, mereka berada di sekitar Singkawang, Pontianak dan Mempawah. Sedang di pulau
Sulawesi, orang Batak sudah bermukim mulai tahun 1920-an, seperti ditempatkannya beberapa orang Batak menjadi anggota militer. Di Papua dimulai
pada tahun 1942, dengan masuknya orang Batak sebagai tentara Heiho dan Romusha yang dibawa oleh tentara Jepang. Tahun 1961, seorang petinggi militer
Batak telah menjumpai orang Batak di pulau Morotai Papua. Hal yang perlu dicatat, adalah adanya orang Batak yang sudah bermukim di
luar negeri. Orang Batak pertama yang berada di Eropa tercatat pada tahun 1876 bernama Djaogot, dia dibeli oleh Pdt. Van Asselt sebagai budak yang kemudian
dikirim ke luar negeri untuk menimba ilmu di sana.
Universitas Sumatera Utara
Setelah itu terdapat beberapa nama yang juga menetap di luar negeri baik itu dengan alasan untuk melanjutkan studi ataupun mencari pekerjaan misalnya, M.H
Manullang seorang putra Tarutung melanjutkan sekolahnya di Senior Cambridge Singapura antara tahun 1907-1909. Tahun 1920-an sudah ada beberapa orang Batak
yang menjadi guru di sana. Tahun 1927 seorang Kristen Batak tamatan sekolah Zending asal Sipirok, yakni A. Batubara berangkat ke Singapura untuk mencari
pekerjaan. Tahun 1930, Bintatar W.F Napitupulu asal Sangkarnihuta Balige pindah ke Malaya dan bekerja di Ipoh sebagai pegawai Lindeteves.
Sementara itu, pulau Batam juga menjadi tujuan orang-orang Batak Toba dalam mencari pekerjaan. Berdasarkan statistik HKBP, warga HKBP di pulau
Batam dan Singapura tahun 1991 sebanyak 5.629 jiwa Almanak HKBP 1994:370. Pada tahun 2011, masyarakat Batak yang bermukim di pulau Batam dan Tanjung
Pinang dengan statistik terdaftar sebagai penduduk menetap sebanyak 68.126 jiwa.
13
2.8 Budaya Musikal Batak Toba 2.8.1 Musik vokal