Manusia terlahir di dunia telah dilengkapi dengan berbagai unsur yang sekaligus merupakan potensi yang sangat penting bagi diri dan kehidupannya.
Secara garis besar, manusia terdiri dari jasmani dan rohani.
39
Manusia telah dibekali dengan berbagai potensi, berupa indera, akal pikiran, dan hati.
40
Potensi yang lain adalah kejahatan dan takwa yang Allah ilhamkan kepadanya.
41
Ketika dilahirkan ke dunia, manusia dalam keadaan tidak mengetahui apapun. Ibn Khaldun mengatakan bahwa semula, manusia hanyalah materi belaka,
karena dia tidak mengetahui apapun; ia tadinya merupakan segumpal darah dan daging. Kemudian dengan segala potensinya manusia berusaha mengembangkan
diri, sehingga diantaranya menjadi orang yang berpikir dan berilmu pengetahuan. Jika manusia mengetahui akan keberadaan dirinya di alam semesta ini dan
bersikap secara konsekuen sesuai dengan pengetahuannya, ia menjadi makhluk yang bersyukur,
42
mensyukuri bahwa semuanya adalah pemberian Allah SWT. Oleh karena itu, berpikir sesungguhnya suatu kebutuhan insani yang tak
terelakkan untuk tumbuh dan berkembang, yang sekaligus merupakan kebutuhan akan aktualisasi fitrahnya. Tegasnya, manusia tidak akan lepas dari berpikir,
seberapa pun intensitas dan kuantitasnya.
2. Makna Pemikiran Dakwah
Berpikir merupakan aktivitas yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia. Selama kesadaran terjadi, selama itu pula aktivitas berpikir berlangsung.
39
Dalam Al-Qur’an Surat Al-Hijr: 28-29
40
Dalam Al-Qur’an, indera diwakili dengan pendengaran dan penglihatan. Dua sarana yang secara efektif dapat mengakses informasi dan langsung berkait dengan pemikiran. Akal pikiran dan hati
diwakili oleh fuad dan qalb.
41
Asy-Syams: 8
42
An-Nahl: 78
Objek pemikiran pun sangat luas, seluas wilayah jagad raya ini. Untuk itu, otak yang dipandu nilai, ibarat pengembara di padang luas berjalan tanpa arah tentu
saja lebih mungkin tersesat daripada selamat. Sesuai dengan potensi yang telah Allah berikan kepada manusia maka
konsekuensi logisnya adalah manusia harus memanfaatkan dan mengaktualisasikannya semaksimal mungkin. Dengan demikian, jika kita berpikir
akan dakwah, di sana kita diperintahkan oleh Allah SWT untuk menunaikan kewajiban-kewajibannya.
Sekarang bagaimana pemikiran tentang dakwah ini yang kita harapkan tidak hanya pada tatanan pemikiran, namun bagaimana kita bisa merealisasikan
pada bentuk yang konkrit nyata. Dalam merealisasikan dakwah yang telah kita terima dalam kehidupan
sehari-hari tidak semudah membalikkan telapak tangan, namun harus ada usaha- usaha agar semua itu tercapai dengan memuaskan. Tentu dalam melaksanakan hal
tersebut membutuhkan pemikiran sehat serta jernih yang tentunya pemikiran tersebut tidak melenceng dari aturan yang ada dalam sumber-sumber Islam.
Karena bagaimanapun juga sumber Islam adalah suatu yang sangat mendasar dan patut dijadikan sebuah pedoman.
Sumber-Sumber Pemikiran Dakwah :
Kita hidup di dunia pasti tidak luput dari peraturan-peraturan, dalam peraturan tersebut pasti ada sumbernya, sama halnya dengan sumber pemikiran
dakwah. Tujuannya agar kita lebih terarah ke jalan yang lebih baik dan sempurna. a.
Al-Qur’an
Al-Quran menyuruh kita berpikir dan mengelola alam semesta serta memanfaatkannya bagi kemaslahatan diri kita dan kehidupan umumnya, karena
alam semesta memang ditundukkan kepada manusia untuk dikelola. Ini seiring manusia sebagai khilfah fil ardh, yang harus menjaga kehidupan dan
memakmurkan bumi.
43
Menurut Ustman Najati 1985 Allah telah memberi dorongan kepada manusia untuk memikirkan alam semesta, mengadakan pengamatan,
merenungkan ciptaan-Nya di alam semesta; mengadakan penelitian ilmiah terhadap apa yang ada di bumi dan di langit, seluruh makhluk hidup dan
manusia sendiri. Manusia memahami apa yang ada di luar dirinya dengan kekuatan
pemahaman melalui pemikirannya. Akal merupakan rahmat Allah SWT khusus untuk manusia, dan karena akal pula jati diri manusia dibedakan dengan makhluk
lainnya. Dalam pandangan Islam, akal merupakan prasyarat kemanusiaan yang hakiki.
Oleh karena itu manusia yang tidak menggunakan akal pikiran atau menggunakannya secara salah, tidak sesuai dengan ketentuan Dzat yang memberi
akal itu kepadanya – karena mengabdi kepada hawa nafsu – maka status kemanusiaannya akan meluncur kederajat yang serendah-rendahnya. Manusia
seperti ini tak ubahnya dengan binatang ternak atau bahkan lebih rendah lagi. Ayat lain tentang dakwah dalam Al-Qur’an berbunyi:
☺ ⌧
☺
43
Al-Baqarah: 30, Hud:61
☺ ⌧
Artinya : Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang maruf, dan mencegah dari yang munkar, dan
beriman kepada Allah. sekiranya ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan
mereka adalah orang-orang yang fasik. QS: Al-Imran:110
Al-Qur’an sendiri sebagai sebuah ajaran bersifat autentik dan murni, terjaga dari tangan-tangan manusia yang ingin mengubah isi maupun naskahnya
seperti disebutkan dalam surat Al-Hijr ayat 9 :
Artinya : Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan Sesungguhnya kami benar-benar memeliharanya.
Ajaran yang terkandung di dalam Al-Qur’an meliputi seluruh aspek
kehidupan manusia, jasmani maupun rohaniah, tentang dunia sekarang dan yang akan dating. Al-Qur’an memiliki ciri dan sistem tersendiri dalam memaparkan
ajaran-ajaran yang terkandung di dalamnya: • Tidak sukar, gampang namun padat dan mantap, baik dalam teori maupun
implementasinya. • Tidak banyak memberikan perintah atau larangan, karena manusia sebagai
makhluk rasional hanya memerlukan petunjuk pokok yang paling sulit baginya untuk menemukannya.
• Cara penerapan syariat sebagai pedoman hidup manusia selalu membuat gradasi kemampuan manusia sendiri, tidak memberatkan.
44
b. Al-Hadits
44
M. Syafa’at Habib, Buku Pedoman Dakwah, Jakarta: Penerbit Widjaya, 1982, h. 45.
Di samping ayat-ayat Al-Quran, salah satu hadits Nabi yang mewajibkan umatnya untuk berbuat baik dan mencegah yang dilarang, antara lain:
Hadits riwayat Imam Muslim: “Dari Abi Sa’id Al-khudhariyyi ra. berkata: Aku telah mendengar Rasulullah bersabda: Barang siapa di antara kamu melihat
kemunkaran, maka hendaklah dia mencegah dengan tangannya dengan kekuatan atau kekuasaan; jika ia tidak sanggup dengan demikian sebab tidak memiliki
kekuatan dan kekuasaan; maka dengan lidahnya; dan jika dengan lidahnya tidak sanggup, maka cegahlah dengan hatinya, dan dengan yang demikian itu
adalah selemah-lemahnya iman”. HR. Muslim.
Dalam pernyataan di atas, akal manusia perlu metode dan arah dalam
berpikir. Ketika Islam menyinggung aspek pemikiran, bukan berarti ia memasung potensi akal pikiran, namun mengarahkan dan membimbingnya menuju hidup
yang maslahat. Bagaimana berpikir islami, adalah upaya menjelaskan hakikat, rambu-rambu, dan arah berpikir, agar sesuai dengan kaidah ilmiah obyektif, dan
itu berarti sesuai dengan nilai-nilai Islam.
J. PENGERTIAN HABIB