Pesan Pemikiran Dakwah Habib Muhammad al-Athas

hanya oleh satu kesalahan fatal. Dalam hal ini keberhasilan membangun komunitas Islam, meski kecil akan sangat efektif untuk dakwah. g. Da’i harus memperhatikan tertib urutan pusat perhatian dakwah, yaitu prioritas pertama berdakwah sehubungan dengan hal-hal yang bersifat universal, yakni al-khair kebajikan, yad’una ila al-khair, baru kepada amar ma’ruf dan baru kemudian nahi munkar QS. 3 : 104.. 74

2. Pesan

Peran dakwah di masa saat sekarang ini sangat strategis kedudukannya, karena ada fenomena di tengah masyarakat, sedangkan orang sudah bisa memenuhi kebutuhan fisiknya dan terkadang dia lemah memenuhi kebutuhan rohaninya dengan hal-hal yang berkaitan dengan keagamaan yang mereka anut. Peranan ini adalah tugas para da’i untuk menyadarkan mereka agar dalam kondisi bagaimanapun pelaksanaan ibadah harus sesuai dengan ajaran agama, itulah strategisnya dakwah dengan peranan dakwah di tengah masyarakat ini. Masalah yang dihadapi oleh umat adalah masalah krisis kepercayaan, krisis aqidah, dan krisis mental yang buruk karena banyak saat ini orang menyelesaikan masalah bukan menyelesaikan masalah bahkan menambah masalah yang baru seperti ketika orang ingin terburu-buru mewujudkan keinginannya ketika dia mempunyai sengketa dengan orang lain bukan melalui jalur hukum tapi dia mengambil jalan pintas yaitu dengan membunuh atau dibunuh. 75 74 Faizah, S.AG., MA. H. Lalu Muchsin Effendi, LC., MA, Psikologi Dakwah, Jakarta, Prenada Media, 2006, cet. Ke-1, h. xii 75 Habib Muhammad al-Athas, Pengasuh Pondok Pesantren Ainurrahmah, Wawancara Pribadi , Tangerang, 15 Agustus 2008. Krisis kepercayaan gambarannya mereka sekarang sudah mempunyai image berbalik tontonan jadi tuntunan dan tuntunan jadi tontonan. Tontonan artinya sesuatu yang dilihat oleh kita yang berupa hiburan yang berlakunya hanya sesaat dan ini terkadang menjadi lebih dominan menjadi tuntunan bagi mereka. Sedangkan tuntunan yang di dalamnya ada ayat, hadits, dan maqalah ucapan para ulama yang disebut dengan dakwah nyaris menjadi tontonan. Karena adanya ketidakpercayaan dari sebagian masyarakat terhadap juru dakwah sebab banyak yang didakwahkannya sendiri tidak bisa mengamalkan apalagi umat yang didakwahi, artinya dakwah yang mereka terapkan tidak menuntut dirinya memberikan contoh akan tetapi lebih kecendrungannya dakwah itu hanya mencari sesuap nasi atau di lisan mereka yang bagus disisipi humor-humor jenaka sehingga orang kagum sebatas mengagumi serta mengatakan hebat dan amaliah yang didakwahkan sulit untuk mengaplikasikannya. Pada prinsipnya aqidah itu satu, baik yang disampaikan oleh para rasul. Ketika ada kesan aqidah itu berbeda, itu berangkat dari orang-orang yang mencoba membahas aqidah itu sesuai dengan daya kemampuan otaknya. Sehingga kesannya aqidah itu macam-macam dan memang kesan yang demikian itu otentik bahkan ada orang yang menganggap bahwa apa yang diajarkan olehnya itu merupakan aqidah buat orang lain kemudian dijadikan patokan dalam hidupnya dengan menjalankan ajaran agama seperti contohnya aqidah mu’tazilah, aqidah jabariyah, dan orang ada keterpihakan ajaran ini aqidah konsep yang dibawa oleh Atha’ bin Washil. Hingga pada akhirnya orang menganggap bahwa aqidah Islam itu aqidahnya Atha’ bin Washil dan itu mu’tazilah dan kalau kita mengikuti mu’tazilah kita selamat. Demikian juga aqidah Jabariyah dan aqidah Qodariyah, mereka ada kecendrungan terhadap guru yang mengajarkan konsep qodariyah dan jabariyah. kemudian dia mengatakan aqidah kita yang benar adalah aqidah qodariyah atau jabariyah. Bagi Islam dan bagi Allah yang namanya Mu’tazilah, Qodariyah, Jabariyah, Murjiah, sebetulnya adalah cabang dari aqidah yang satu yaitu aqidah Islam dan aqidah islamiah ini berasal dari Allah diajarkan kepada rasul, sahabat, ulama. Itulah yang dikatakan oleh nabi bahwa aqidah itu yang akan membawa keselamatan kita dari dunia dan akhirat. Dalam hal ini Abu Mansyur al-Mathuridi dan Abu Hasan al-Asy’ari mengatakan Alaa wahiyaa Ahlussunnah Waljamaah. 76 Ahlussunnah waljamaah adalah sebutan baru dari aqidah Islam yang akan membawa keselamatan dari dunia dan akhirat, dengan itu berarti Abu Mansyur al-Maturidi dan Abu Hasan al- Asyari telah telah mengkritisi ilmu kalam yang sebelumnya dengan konsep berkeseimbangan antara naqli dan daya nalar dengan itu berarti tidak semua konsep aqidah akan membawa keselamatan kepada para pengikutnya akan tetapi hanya satu yang disebut dengan ahlussunnah wal jamaah sebagaimana sabda nabi : bahwa umatku akan berpecah menjadi 73 golongan dan semuanya masuk neraka kecuali satu mereka adalah yang berpegang teguh dengan apa yang dibawa olehku, sahabatku, dan dicontoh oleh para ulama, sebagaimana dikutip oleh Habib Muhammad al-Athas. 77 berdasarkan pernyataan di atas krisis kepercayaan, krisis aqidah, krisis mental merupakan proyek terbesar dalam berdakwah, oleh sebab itu harus 76 Habib Muhammad al-Athas, Pengasuh Pondok Pesantren Ainurrahmah, Wawancara Pribadi , Tangerang, 15 Agustus 2008. 77 Habib Muhammad al-Athas, Pengasuh Pondok Pesantren Ainurrahmah, Wawancara Pribadi , Tangerang, 06 September 2008. diselesaikan masalah tersebut. Solusi untuk menghadapi krisis tersebut adalah bahwa kurikulum agama yang sudah baik diterapkan oleh nabi, sahabat, ataupun ulama kita adopsi di zaman sekarang dan seyogyanya seorang ulama harus siap turun ke bawah bukan umat yang sering datang kepada mereka karena umat sangat mendambakan kedatangan para ulama agar merekapun bisa mendapatkan pencerahan agama secara berkeseinambungan dari strata yang paling tinggi sampai kepada strata yang paling rendah. Di dalam menghadapi era globalisasi yang menyangkut persoalan yang berkaitan dengan persoalan hajat hidup manusia yang sekarang lebih mudah diterima dan diadopsi dengan adanya berbagai media komunikasi. Sehingga keterbukaan itu semakin nampak dan hal ini mempunyai pengaruh positif tanpa adanya dampak negatif. Dalam menghadapi globalisasi dari segi kontek pemikiran dakwah harus menyentuh kepada globalisasi politik, ekonomi dan budaya. 78 Mengenai politik dengan adanya globalisasi politik maka akan terjadi pergeseran nilai politik yang bersifat kedaerahan, nasional akan menuju kepada politik yang bersifat aktif dan bebas tanpa kendali. Dengan adanya globalisasi dalam bidang politik, maka tampilan-tampilan politikus dihadapan para simpatisannya berbeda dari 20 tahun yang lalu dengan saat sekarang ini. ketika globalisasi sudah begitu hebat, ada diantara mereka yang sudah berani debat politik dengan lawan politiknya dengan tarik urat yang kemudian tidak bersalaman, tapi adapula sesudahnya yang menjadi musuh hal ini harus kita sikapi dengan konsep dakwah yang bisa menyentuh kepada para politikus untuk berpolitik secara santun, berakhlak dan tidak dengan tipu daya atau istilahnya 78 Habib Muhammad al-Athas, Pengasuh Pondok Pesantren Ainurrahmah, Wawancara Pribadi , Tangerang, 06 September 2008. adalah pembohongan publik. Dakwah ini sangat dianjurkan kepada politikus yang sudah terkontaminasi dengan globalisasi tadi hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan politiknya seperti yang disebutkan di atas. Demikian halnya ekonomi ada World Bank, IMF, ada IDB International Development Bank yang mereka adalah saling bersaing untuk mengumpulkan uang sebanyak-banyak dan kemudian mengolah uang tersebut. Islam sangat mengatur ekonomi secara berkeadilan. Maka dakwah untuk pelaku ekonomi di saat globalisasi ekonomi yang tampak terkendali ini, seharusnya kita arahkan kepada pengaturan ekonomi yang berkeseimbangan, tidak ada yang dirugikan maupun diuntungkan. Akan tetapi dengan konsep kebersamaan, untung rugi ditanggung bersama. Kemudian bagi para juru da’i menganjurkan untuk lebih banyak lagi para pelaku ekonomi, dan para pemilik modal untuk membentuk bank-bank syariah sebagai tandingan dari bank-bank konvensional yang sudah sangat menjamur di tengah masyarakat. Berbeda dengan globalisasi budaya, sering terjadi pergeseran nilai karena hubungan yang serba terbuka antar negara yang mempunyai budaya masing- masing tidak bisa ditahan memaparkan kebudayaan mereka masing-masing. Kemudian dakwah menjadi penting baik dengan tulisan maupun dengan lisan, baik dengan propaganda melalui informasi-informasi yang akurat agar kita tetap ada di koridor budaya yang sesuai dengan harkat martabat kemanusiaan yang ada di Indonesia, sehingga tidak begitu mudah terbujuk dan kemudian mengikuti budaya asing yang belum tentu itu sesuai di negeri kita. Mengingat bahwa retorika dakwah Islam harus memperhatikan sisi-sisi penting, seperti; kedudukan orang yang diajak bicara atau yang didakwahi, situasi dan kondisi mereka, bahasa yang digunakan, dan kesungguhan dalam menerangkan sehingga seperti penyampaian para rasul Alaihimussalam, yang dibakukan dalam firman Allah Ta’ala, “Maka tidak ada kewajiban atas para rasul, selain dari menyampaikan amanat Allah dengan terang.” An-Nahl:35 Mengingat hal di atas, maka retorika di era globalisasi ini harus menimbang juga unsur-unsur penting, seperti; sifat kedekatan yang menjadikan seluruh dunia seolah-olah menjadi satu kampung saja, karakteristik yang dimiliki oleh era globalisasi sendiri dengan cepatnya perpindahan informasi dari satu benua ke benua lain bagai cepatnya kilat, dan percepatan komunikasi sehingga seorang yang berbicara di Qatar umpamanya, dapat didengar, dilihat, dan di pantau dari berbagai penjuru dunia. Padahal sebelumnya, ketika Anda berbicara di salah satu masjid, mungkin jamaah yang hadir tidak semuanya bisa melihat wajah Anda, dan barangkali juga tidak mendengar suara Anda. 79 Dengan begitu, akhirnya para ahli retorika atau pelaku dakwah Islam harus berhati-hati dalam menyampaikan misi dan amanat yang diembannya. Tidak berbicara serampangan tanpa pertimbangan terlebih dahulu. Karena telinga dunia akan mendengar, lalu menganalisanya. Dari pernyataan tersebut, maka retorika Islam masa kini, selayaknya harus memiliki karakteristik mendasar, yang mampu mengantarkan substansinya kepada segenap manusia. Dapat memuaskan nalar mereka dengan hujjah yang nyata, melunakkan hatinya dengan mau’izhah yang baik, tidak menyimpang dari hikmah, dan tidak melenceng dari dialog dengan terbaik. 79 Dr. Yusuf Al-Qaradhawi, Retorika Islam, Jakarta, Pustaka Al-Kautsar, 2004, cet.ke-1, h.55

3. Mad’u