2.7 Spektroskopi Serapan Atom SSA
Metode spektroskopi serapan atom SSA pertama kali diperkenalkan oleh Wals pada tahun 1953. Alat ini kemudian dikembangkan di Exhibition Melbourne of
Physical Institute dan dipublikasi pada tahun 1954. Wals menyatakan bahwa unsur logam lebih mudah dan akurat ditentukan kadarnya dengan proses atomik
dibandingkan dengan proses emisi. Metode ini dapat menentukan 67 unsur logam. Spektroskopi Serapan Atom SSA dan Flame Emision Spectrophotometer
FES adalah dua instrumen yang sangat potensial untuk menganalisa mineral. Meskipun kegunaannya sama, masing-masing instrumen bekerja dengan prinsip yang
berbeda dan dengan kepekaan yang berbeda pula. Di dalam penetapan mineral suatu bahan pangan dengan instrumen ini, terlebih dahulu bahan pangan harus diabukan
kemudian mineralnya diekstrak dengan asam. Larutan sampel yang mengandung mineral kemudian dapat dianalisa langsung dengan SSA maupun FES Vesilin et al.
1994 Dalam analisis logam dengan menggunakan sistem flame, sampel diatomisasi
pada alat atomizer melalui nyala api dengan bahan bakar asetilen murni. Biasanya logam yang dianalisis dengan flame AAS adalah Ca, Cd, Cu, dan Cr. Sedangkan
untuk analisis Hg dilakukan tanpa nyala, tetapi larutan sampel harus direduksi lebih dahulu dengan SnCl. Uap hasil reduksi ditampung dalam tabung bercendela yang
diletakkan di atas atomizer.
Universitas Sumatera Utara
Metode spektroskopi serapan atom berprinsip pada absorpsi cahaya oleh atom. Atom-atom menyerap cahaya tersebut pada panjang gelombang tertentu,
tergantung pada unsurnya Hutabarat, 1987.
2.8 Faktor Fisik Kimia Perairan
Faktor fisik dan kimia merupakan dua faktor pembatas distribusi populasi selain faktor tingkah laku dan interaksi antara organisme. Setiap organisme
mempunyai kisaran toleransi faktor fisik dan kimia tertentu dalam menunjang kehidupannya tergantung spesies dan lingkungannya serta keterkaitan antara
keduanya. Beberapa faktor fisik dan kimia antara lain: 1.
Suhu Suhu air di daerah estuaria biasanya memperlihatkan fluktuasi annual dan diurnal
yang lebih besar daripada di laut, terutama apabila estuaria tersebut dangkal dan air yang masuk pada saat pasang naik ke perairan estuaria tersebut kontak
dengan daerah yang subtratnya terekspos Supriharyono, 2006. Suhu merupakan salah satu parameter penting dalam pertumbuhan dan perkembangan bivalvia.
Kerang Anodonta woodiana menyukai lingkungan dengan temperatur 24 – 29 °C. Thana, 1976 dalam Suwignyo, 1981. Selanjutnya menurut Winanto 2004 suhu
yang baik untuk kelangsungan hidup mutiara berkisar 25 – 30 °C. Suhu air pada kisaran 27 – 31 °C juga dianggap cukup layak untuk kehidupan tiran mutiara
japing-japing.
Universitas Sumatera Utara
2. Kecerahan
Kejernihan air sangat ditentukan oleh partikel-partikel terlarut. Semakin banyak partikel atau bahan organik terlarut maka kekeruhan akan meningkat. Kekeruhan
atau konsentrasi bahan tersuspensi dalam perairan akan menurunkan efisiensi makan dari organisme pemakan suspensi Levinton, 1982. Selanjutnya menurut
Romimohtarto 1991, kekeruhan tidak hanya membahayakan ikan tetapi juga menyebabkan air tidak produktif karena menghalangi masuknya sinar matahari
untuk fotosintesa. 3.
Biological Oxygen Demand BOD Nilai BOD menyatakan jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme
aerobik dalam proses penguraian senyawa organik yang diukur pada temperatur 20 °C. Pengukuran yang umum dilakukan adalah pengukuran selama 5 hari atau
BOD5 Forstner, 1990 dalam Barus, 2004. Angka BOD tinggi menunjukkan terjadinya pencemaran organik di perairan. Brower et al 1990 menyatakan nilai
konsentrasi BOD5 menunjukkan kualitas suatu perairan masih tergolong baik apabila konsumsi O
2
selama 5 hari berkisar sampai 5 mgl. 4.
Chemical Oxygen Demand COD Yaitu kebutuhan oksigen kimia untuk reaksi oksidasi terhadap bahan buangan di
dalam air, atau jumlah oksigen yang diperlukan agar bahan buangan yang ada di dalam air dapat teroksidasi melalui reaksi kimia Wardhana, 2001.
Universitas Sumatera Utara
5. Salinitas
Salinitas merupakan nilai yang menunjukkan jumlah garam-garam terlarut dalam satuan volum air biasanya dinyatakan dalam satuan per mil ‰. Berdasarkan nilai
salinitas air diklasifikasikan sebagai berikut: air tawar 0,5 ‰, air payau 0,5 – 30 ‰ laut 30 – 40 ‰ dan hiperhialin 40 ‰ Barus, 2004. Selanjutnya
komponen fauna di estuaria berdasarkan salinitasnya dikelompokkan menjadi 3 tiga yakni fauna air tawar, payau dan laut Dahuri, 2003. Menurut
Romimohtarto, 1985 menyatakan pada salinitas 18‰ keberhasilan menempel kerang darah Anadara granosa lebih tinggi. Tiram dapat hidup dalam perairan
dengan salinitas yang lebih rendah daripada salinitas untuk kerang hijau dan kerang darah.
6. pH
Nilai pH menyatakan konsentrasi ion hydrogen dalam suatu larutan. pH sangat penting sabagai parameter kualitas air karena mengontrol tipe dan laju kecepatan
reaksi di dalam air. Nilai pH yang ideal bagi kehidupan organisme pada umumnya antara 7-8,5. Kodisi perairan yang sangat asam maupun sangat basa akan
membahayakan kelangsungan hidup organisme karena akan menyebabkan terjadinya gangguan metabolisme dan respirasi Barus, 2004. Menurut
Romimohtarto 1985, pH permukaan laut Indonesia pada umumnya antara 6,0– 8,5. Perubahan nilai pH mempunyai akibat buruk terhadap kehidupan biota laut.
Universitas Sumatera Utara
7. Substrat
Hewan bivalvia sebagai makrozobentos umumnya hidup pada dasar perairan. Substrat yang disukai, berpasir dan berlumpur. Pennak 1989 dalam Prihatini
1999 menyatakan bahwa lingkungan yang disukai kerang famili Anodontidae adalah substrat pasir atau campuran dengan material lain, namun beberapa jenis
Anodonta menyukai lumpur. 8.
Oksigen terlarut Disolved Oxigen Distribusi oksigen terlarut di laut dikendalikan oleh 1 pertukaran dengan atmosfir
secara difusi, 2 proses fotosintesis oleh fitoplankton oleh tumbuhan air, 3 respirasi oleh organisme autotrof dan heterotrof serta proses perombakan bahan
organik Levinton, 1982.
Universitas Sumatera Utara
BAB III BAHAN DAN METODE
3.1 Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus 2009 di Muara Sungai Asahan, Tanjung Balai, Kabupaten Asahan, yang secara geografis terletak pada
03
o
01’00”LU dan 99
o
51’30” BT.
3.2 Metoda Penelitian
Metode yang digunakan dalam penentuan lokasi sampling untuk pengambilan sampel ikan adalah ”Purposive Random Sampling” pada 3 tiga stasiun pengamatan.
Pada masing-masing stasiun dilakukan 3 kali ulangan pengambilan sampel.
3.3 Deskripsi Area
Di perairan Muara Sungai Asahan ini banyak terdapat aktivitas, seperti pelabuhan, pemukiman, daerah mangrove, dan berbagai aktivitas lain yang dapat
berpengaruh terhadap perairan.
3.3.1 Stasiun 1
Stasiun ini secara geografis terletak pada 0,3
o
3
,
33,8”LU dan 99
o
51’22,3” BT, daerah ini merupakan muara berjarak 3 mil dari pantai. Denah dan lokasi penelitian
dapat dilihat pada Lampiran I.
Universitas Sumatera Utara