telah menurun drastis; telah terdapat zona inti dan kawasan konservasi kampung seluas 20 ha; terbentuknya 10 Kelompok Penggiat Konservasi Kampung KPKK
se-Distrik Telma dengan jumlah personil sebanyak 175 orang.
5.3 Daerah Perlindungan Laut DPL
Setiap kampung dapat membuat DPL yang diatur dalam peraturan kampung, dengan tujuan menjaga dan melindungi sumberdaya laut di masing-masing
wilayah. Pengelolaan DPL dilakukan secara terpadu dengan tetap memperhatikan kondisi ekologi dan melibatkan peran serta masyarakat. Berdasarkan data terakhir
Tahun 2009, jumlah Daerah Perlindungan Laut yang dibentuk di Kabupaten Raja Ampat berjumlah 19 DPL, dan menyebar di kampung-kampung. Adapun daftar
nama DPL, luas, dan lokasinya dapat terlihat pada tabel berikut.
Tabel 12 . Luas Daerah Perlindungan Laut Kabupaten Raja Ampat
No. Nama DPL
Kampung Lokasi
Luas Ha
1. Fiaduru
Yenbeser Waigeo Selatan
65,000 2.
Gurabessy Saonek
Waigeo Selatan 168,155
3. Yenmangkwan
Saporkren Waigeo Selatan
32,200 4.
Kordiris Friwen
Waigeo Selatan 155,013
5. Mursika
Mutus Waigeo Barat
791,790 6.
Bianci Bianci
Waigeo Barat 60,605
7. Kapsarau
Waisilip Waigeo Barat
84,987 8.
Masadimmawa Meosmanggara
Waigeo Barat 111,777
9. Manfakwak
Manyaifun Waigeo Barat
47,999 10.
Mansilo Selpele
Waigeo Barat 39,512
11. Warasmus
Yenbuba Meosmansar
43,000 12.
Yendersner Kurkapa
Meosmansar 37,000
13. Imburnos
Sawandarek Meosmansar
15,000 14.
Tanadi Kapisawar
Meosmansar 33,000
15. Kormansiwin
Yenwaupnor Meosmansar
80,000 16.
Mansaswar Sawinggrai
Meosmansar 85,000
17. Ikwan Iba
Yenbekwan Meosmansar
65,000 18.
Indip Arborek
Meosmansar 32,500
19. Mambarayup
Arborek Meosmansar
32,500 Sumber : Coremap II Raja Ampat 2009
Kampung Saporkren memiliki satu Daerah Perlindungan Laut DPL yang diberi nama DPL Yenmangkwan. Luas kawasan ini adalah 32,2 ha dan berada
tidak jauh dari kawasan perkampungan masyarakat. Jika dianalisis, rezim
kepemilikan sumberdaya laut di Kampung Saporkren tergolong rezim komunal atau masyarakat. Hal ini ditandai dengan hak kepemilikan yang sifatnya sudah
turun temurun di dalam masyarakat Saporkren. Sebelum adanya DPL, masyarakat lokal telah menerapkan sistem pengelolaan laut yang dikenal dengan istilah Sasi
Gereja. Model pengelolaan tersebut dipercaya sebagai salah satu tindakan untuk menjaga hasil laut dan dengan menerapkan aturan-aturan lokal yang bersifat
keagamaan, masyarakat dituntut untuk mematuhinya. Hal ini didukung dengan pernyataan salah satu tokoh adat, PD 67 tahun :
“…sebelum ada DPL, kami juga sudah buat aturan sendiri yang sering kami bilang Sasi Gereja. Semua dilarang untuk mengambil hasil laut kalo
Sasi itu jalan, tapi biasanya tong hanya atur sampe 1 tahun, habis itu boleh lagi ambil. Kalo pas mau Sasi dilakukan, torang buat acara adat
trus doa juga biar berhasil”.
Kemudian pada Tahun 2006, pihak Pemerintah Daerah bersama pihak konservasi mendatangi kampung ini dan memulai dengan tahap Mensosialisasikan
program DPL. Adapun tahapan pembentukan dan pengelolaan DPL Yenmangkwan meliputi Sosialisasi pembentukan DPL, survai lokasi calon DPL,
dan penetapan DPL.
Gambar 9.
Tahapan Pembentukan DPL Yenmangkwan Kampung Saporkren
5.3.1 Sosialisasi Awal Pembentukan DPL
Sosialisasi awal pembentukan Daerah Perlindungan Laut Yenmangkwan dilakukan dalam bentuk Sosialisasi kepada masyarakat tentang materi potensi laut
yang ada di Kampung Saporkren, permasalahan kerusakan terumbu karang dan sumberdaya laut lainnya, serta pentingnya suatu cara penjagaan yang sifatnya
berkelanjutan dan berbasis masyarakat. Saat itu pula diadakan pemutaran video tentang terumbu karang dan kerusakan yang terjadi saat-saat ini. Kegiatan ini
dilaksanakan pada Tahun 2006 sebagai langkah awal pendekatan kepada Sosialisasi
pembentukan DPL
Survai lokasi calon
DPL Penetapan
DPL
masyarakat. Selain itu, diperkenalkan pula konsep Daerah Perlindungan Laut. yang meliputi, pengertian DPL, tujuan dan manfaat DPL, sistem pengelolaan
DPL, dan topik lainnya yang berkaitan dengan materi DPL.
5.3.2 Survei Lokasi Calon DPL dan Penentuan Lokasi DPL
Tahap ini diawali dengan Forum Group Discussion FGD dimana Coremap bersama masyarakat duduk bersama membicarakan kesepakatan lokasi yang akan
ditetapkan sebagai area DPL. Agenda utama yang dibicarakan antara lain penggambaran bersama calon lokasi DPL, penentuan besar luasan lokasi tersebut,
pemetaan sumberdaya yang akan dilindungi dan stakeholder yang bertanggung jawab terhadap lokasi DPL, serta penandatanganan penyerahan lokasi sebagai
wilayah DPL. Survai lokasi calon DPL dilakukan berdasarkan pemetaan potensi yang telah
dilakukan oleh masyarakat. Lokasi yang dipilih adalah lokasi dengan tutupan karang yang baik dan cukup baik, tidak jauh dari pemukiman masyarakat agar
memudahkan masyarakat dalam pengawasan terhadap lokasi DPL. Lokasi yang dipilih ditetapkan sebagai daerah larang ambil atau no take zone.
5.3.3 Penetapan DPL
Setelah dilakukan survai lokasi DPL, maka ditetapkanlah Daerah Perlindungan Laut dan diberi suatu nama yakni Yenmangkwan yang artinya
adalah pasir panjang. Penetapan DPL dikukuhkan dengan peraturan kampung No. 001DPLKP-SPKRN2010 tentang Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut
Berbasis Masyarakat DPL-BM. Berdasarkan peraturan kampung
yang telah disepakati bersama,
pembentukan DPL ini bertujuan untuk menjaga terumbu karang dan ekosistem di dalam laut serta mensejahterakan masyarakat. Proses penetapan DPL melibatkan
beberapa pihak khususnya masyarakat, dan saat itu masyarakat diminta menandatangani surat persetujuan atau kesepakatan bersama sebagai bukti
pengesahan pembentukan DPL.
5.4 Institusi Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut 5.4.1 Batasan Wilayah