Dampak DPL terhadap Seperangkat Hak Bundles of right Nelayan

6.3 Dampak DPL terhadap Seperangkat Hak Bundles of right Nelayan

Pada umumnya masyarakat Raja Ampat bermata pencaharian sebagai nelayan dan menggantungkan hidup mereka pada laut. Laut dianggap sebagai warisan nenek moyang yang sangat berharga dan wajib dijaga dan dilindungi. Berdasarkan hasil wawancara dengan responden, sebagian besar menyatakan bahwa laut adalah hidup mereka karena warisan leluhur dan sejak jaman dahulu nelayan bebas melaut di daerah mana pun, sebagaimana seperti pendapat YM 55 tahun: “…saya punya nenek moyang bilang laut itu punya bersama dan bisa ambil ikan sepuasnya dimana saja dan kapan saja kita suka. ” Pernyataan di atas menunjukkan bahwa kebebasan memiliki dan mengelola sumberdaya pesisir adalah milik bersama artinya siapapun berhak mengambil hasil laut tanpa batasan dan tanpa memperhitungkan waktu. Nelayan Saporkren mayoritas adalah nelayan lokal dan telah ada di kampung ini sejak mereka dilahirkan. Berdasarkan hasil wawancara rata-rata responden merupakan penduduk asli Kampung Saporkren dan telah menetap lebih dari 10 tahun. Oleh karena itu, setiap nelayan merasa memiliki hak yang besar untuk mengatur, menjaga, memanfaatkan, dan mengelola sumberdaya yang terkandung di dalamnya. Hak kepemilikan seseorang atas sumberdaya menjadi hal yang penting untuk diketahui dengan tujuan untuk mengurangi konflik kepentingan atau konflik pemanfaatan atas sumberdaya yang ada. Teori Ostrom dan Schlager tentang hak pengelolaan yang dikutip oleh Satria 2009, menyatakan bahwa terdapat lima tipe hak yaitu, a hak akses, b hak pemanfataan, c hak pengelolaan, d hak ekslusi, dan e hak pengalihan. Secara teori, kelima hak tersebut semestinya dimiliki oleh pemilik sumberdaya, tetapi bisa mengalami perubahan ketika suatu program diberikan. Nelayan pun memiliki hak-hak tersebut walau tidak semuanya, sifatnya tergantung pada tipe sumberdaya alam yang berada di masing-masing daerah. Artinya, hak nelayan bisa berbeda dengan hak petani, tergantung pada tipe sumberdaya yang dimiliki, apakah sifatnya yang mudah dikelola, seperti lahan dan sifatnya cenderung individu, atau sifatnya yang sulit untuk dikeloladijaga seperti laut dan cenderung milik bersama.

6.3.1 Sebelum adanya DPL

Area yang dijadikan Daerah Perlindungan Laut Yenmangkwan adalah area yang merupakan wilayah tangkapan nelayan Saporkren sehari-hari. Posisi DPL tidak jauh dari perkampungan nelayan dan merupakan kawasan perlintasan perahu-perahu masyarakat menuju Waisai. Sebelum pembentukan Daerah Perlindungan Laut para nelayan Saporkren bebas menangkap di area mana saja termasuk area yang menjadi DPL saat ini. Jika dianalisis berdasarkan teori hak Ostrom dan Schlager dikutip Satria 2009, nelayan Saporkren memiliki empat tipe hak yaitu hak untuk mengakses, hak untuk memanfaatkan sumberdaya, hak untuk mengelola sumberdaya alam, dan hak ekslusi, sedangkan tipe hak kelima tidak dimiliki oleh nelayan karena terkait hak menjual atau menyewakan sumberdaya laut tidak berlaku di kampung ini. Hal ini juga didukung dengan keterkaitan hak kepemilikan dengan rezim kepemilikan yang berlaku di Kampung Saporkren yakni rezim komunal atau masyarakat. Masyarakat setempat menganggap sumberdaya laut adalah warisan turun temurun dari nenek moyang dan peraturan yang berlaku adalah peraturan lokal berdasarkan pengetahuan lokal sasi, oleh karena itu hak pengelolaan adalah milik bersama dan bukan individu. Tidak ada seorang pun yang memiliki hak individu untuk menjual atau menyewakan seluruh atau sebagian hak akses, hak pemanfaatan, hak pengelolaan, dan hak ekslusi. Masyarakat Saporkren terlebih dahulu telah memiliki sistem pengelolaan sumberdaya laut sebelum adanya DPL. Sistem pengelolaan tersebut dikenal dengan Sasi. Sasi laut yang diterapkan di kampung ini merupakan Sasi Gereja, artinya peraturan terkait pengelolaan laut ditentukan atau dibuat oleh tokoh-tokoh Gereja. Sasi Gereja adalah model sistem pengelolaan laut tradisional yang diterapkan bagi semua masyarakat Saporkren dengan tujuan menjaga kelestarian sumberdaya laut dan ekosistemnya. Aturan Sasi melarang masyarakat untuk mengambil sumberdaya laut secara khusus teripang dan lola, karena banyak kasus yang terjadi terkait pengambilan berlebihan yang dilakukan oleh nelayan dengan menggunakan akar bore sejenis tanaman beracun. Teripang dan lola dianggap memiliki nilai jual yang sangat tinggi dan kuantitasnya yang lebih sedikit dibandingkan ikan tangkapan sehari-hari, sehingga menjadi incaran para nelayan. Ketika Sasi diterapkan, nelayan Saporkren dapat mengakses, dapat memanfaatkan terkecuali s aat laut “ditutup”, mengelola, dan dapat menentukan siapa yang boleh mengakses, mengambil hasil laut di wilayah perairan Kampung Saporkren. Penerapan Sasi membuat nelayan terbatas untuk mengambil hasil laut di wilayah yang telah ditetapkan untuk “ditutup”. Laut akan “ditutup” selama setahun tetapi tidak menutup kemungkinan melebihi waktu tersebut, semua tergantung kesepakatan bersama dan melihat kondisi hasil laut, apakah semakin sedikit jumlah hasil laut atau tidak. Jika hasil laut semakin berkurang jumlahnya, maka laut akan ditutup lebih dari satu tahun. Laut ditutup artinya kegiatan mengambil hasil laut dihentikan pada wilayah laut tertentu dan dikhususkan pada jenis hasil laut yang akan dilindungi, misalnya nelayan selama setahun dilarang mengambil teripang dan lola boleh mengambil jenis ikan apapun, tetapi aturan itu bisa berubah di tahun akan datang tergantung pada kondisi hasil laut.

6.3.2 Setelah adanya DPL

Daerah Perlindungan Laut Yenmangkwan yang berlokasi di Kampung Saporkren dibentuk pada Tahun 2007 dengan luas 32,2 ha. Berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu anggota MD di kampung, alasan pembentukan DPL di kampung ini adalah adanya jenis terumbu karang terbaik di wilayah laut Kampung Saporkren. Hal tersebut didukung pula dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh pihak Coremap II untuk melihat tutupan karang yang ada di Raja Ampat, dan ternyata potensi karang di DPL ini termasuk dal am kategori “sedang”, oleh karena itu diperlukan adanya kegiatan perlindungan demi menjamin keberlanjutan terumbu karang dan hasil laut lainnya.. Penetapan suatu kawasan yang awalnya bebas untuk diakses kemudian menjadi area larangan ambil tentu berdampak terhadap perubahan seperangkat hak-hak para nelayan. Hasil penelitian menunjukkan adanya perubahan seperangkat hak bundles of right para nelayan di Saporkren sejak adanya Daerah Perlindungan Laut. Perubahan hak tersebut sangat dirasakan oleh nelayan yang sejak awalnya menjadikan area itu sebagai daerah tangkapan mereka. Para nelayan yang awalnya memiliki empat tipe hak yaitu hak akses, hak pemanfaatan, hak pengelolaan, dan hak ekslusi menjadi tiga tipe hak yaitu hak akses, hak pengelolaan, dan hak ekslusi. Perubahan hak yang terjadi adalah perubahan tipe hak kedua, dimana masyarakat tidak lagi memiliki hak untuk memanfaatkan sumberdaya di area DPL. Seluruh masyarakat Saporkren dilarang untuk melakukan berbagai kegiatan yang sifatnya mengambil ataupun memanfaatkan sumberdaya laut yang ada. Hal yang menarik disini adalah perubahan hak pemanfaatan tidak menyebabkan konflik yang besar terkait kepemilikan sumberdaya laut diantara para aktor yang terlibat. Hal ini didasarkan pada beberapa hal yaitu : 1. Sifat pengelolaan Daerah Perlindungan Laut yang berbasis pada masyarakat lokal. Prinsip yang diterapkan dalam pengelolaan DPL adalah dari masyarakat, oleh masyarakat, dan untuk masyarakat. 2. Dukungan pemerintah daerah dan kampung melalui penglegitimasian Perkam DPL Yenmangkwan No.001DPLKP-SPKRN2010 tentang Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat. 3. Adanya kompensasi dari DKP melalui Coremap II bagi kampung untuk mendukung penyediaan fasilitas-fasilitas umum, seperti mendirikan pondok informasi, mendirikan beberapa MCK, dan pembuatan pagar di depan rumah penduduk. Menurut koordinator Coremap II, pemberian dana baru diberikan pada akhir tahun lalu sebesar Rp. 80 juta untuk kegiatan penyediaan sarana dan prasarana di kampung. 4. Pengalaman sistem pengelolaan laut tradisional yakni Sasi yang telah diterapkan masyarakat lokal. Hal ini telah membiasakan masyarakat untuk tidak melakukan kegiatan penangkapan di area yang telah dilarang. Alhasil ketika DPL dibentuk, nelayan tidak mengalami kesulitan untuk menerapkannya. 5. Dukungan positif oleh tokoh-tokoh masyarakat termasuk tokoh agama sebagai penanggung jawab dari sistem pengelolaan Sasi. Saat pembentukan DPL, sistem Sasi tidak berjalan lagi, tetapi larangan untuk tidak mengambil Lola dan Teripang tetap berlangsung karena menjadi salah satu larangan dalam Perkam DPL Yenmangkwan. Walaupun Sasi tidak diterapkan lagi, tidak menimbulkan dampak yang negatif bagi proses penerapan DPL, karena masyarakat dan pihak Gereja sebagai penanggung jawab saat Sasi diterapkan ikut mendukung pengelolaan DPL. Secara ringkas perbandingan model pengelolaan Sasi sebelum DPL dan model pengelolaan DPL dapat dilihat pada tabel berikut ini : Tabel 15. Perbandingan Model Pengelolaan Sasi dan Model Pengelolaan DPL di Kampung Saporkren No. Indikator Sasi DPL 1. Sistem Tradisional Modern 2. Tujuan Melindungi hasil-hasil laut dan menjaga kelestarian sumberdaya laut Melindungi hasil laut baik karang, ikan, dan lain-lain guna menjamin ekosistem yang berkelanjutan 3. Latar belakang pembentukan - Berkurangnya hasil laut khususnya Lola dan Teripang - Kerusakan laut akibat penggunaan akar bore dan potassium Kondisi tutupan karang di daerah DPL termasuk dalam kategori “sedang” 4. Penanggung jawab Pihak Gereja Pihak Pemda Raja Ampat, Coremap II, MK, LPSTK, Pokmaswas, dan masyarakat 5. Aturan yang berlaku Dilarang mengambil lola dan teripang serta hasil laut yang mulai berkurang jumlahnya selama waktu yang ditentukan biasanya satu tahun “laut ditutup” Dilarang melakukan aktivitas apapun di dalam area DPL terkecuali melintas di atas DPL 6. Sanksi - Hasil tangkapan diambil - Dilarang melaut untuk beberapa hari sesuai keputusan pihak Gereja Diberikan tiga kali teguran oleh penanggung jawab DPL di lapangan, dan jika tetap melakukan akan dilakukan penyitaan alat tangkap 7. Bundles of rights - Hak akses - Hak pemanfaatan - Hak pengelolaan - Hak ekslusi - Hak akses - Hak pengelolaan - Hak ekslusi Jika dibandingkan antara sistem pengelolaan sebelum DPL dengan sistem pengelolaan DPL, keduanya memiliki tujuan yang sama yakni melindungi sumberdaya laut demi keberlanjutan ekosistem dimasa akan datang. Perbedaan yang ada hanya pada penerapan dari masing-masing model pengelolaan tersebut. Tetapi perubahan model tersebut memberi dampak terhadap perubahan seperangkat hak nelayan bundles of rights. Adapun perubahan seperangkat hak para nelayan dapat terlihat pada gambar 13. Gambar 13. Seperangkat Hak Nelayan Sebelum dan Setelah Penetapan DPL Gambar 13 menunjukkan seperangkat hak-hak nelayan sejak sebelum penetapan DPL dan sesudah DPL. Sebanyak 39 orang responden menyatakan bahwa sebelum dan sesudah adanya DPL, mereka memiliki kebebasan untuk melintas di atas lokasi DPL dengan menggunakan perahu. Artinya hak akses yang dimiliki nelayan tidak mengalami perubahan. Pada kategori hak kedua yaitu hak pemanfaatan, terlihat sangat jelas perubahan yang terjadi. Sebesar 39 orang menyatakan dahulu sebelum adanya DPL mereka dapat mengambil hasil laut apa saja yang ada di lokasi DPL, dan mereka dapat berenang tanpa ada larangan. Tetapi setelah adanya DPL, hak tersebut tidak dimiliki lagi, hal ini diperkuat dengan tidak adanya pernyataan bahwa mereka dapat mengambil hasil laut. Kategori ketiga adalah hak pengelolaan, dimana seluruh responden menyatakan bahwa mereka terlibat dalam pengelolaan sumberdaya laut baik sebelum dan Hak Akses Hak Pemanfaatan Hak Pengelolaan Hak Ekslusi Sebelum DPL 100 100 100 100 Setelah DPL 100 100 100 20 40 60 80 100 120 P res e n ta se R e sp o n d e n setelah adanya DPL. Masyarakatlah yang menjaga, membuat aturan pengelolaan, dan menegur jika ada yang melanggar aturan. Hal ini didorong dengan alasan laut telah menjadi bagian hidup mereka dari dahulu kala, jadi sistem pengelolaan harus melibatkan masyarakat. Tipe hak terakhir yang berlaku di kampung ini adalah hak ekslusi. Sebanyak 39 responden atau seluruh responden menyatakan bahwa hak ekslusi itu dimiliki oleh masyarakat. Mereka memiliki kewenangan untuk menentukan siapa yang boleh melintas di atas DPL, berhak memberikan ijin jika ada pihak yang hendak melakukan kegiatan yang diperbolehkan dilakukan di DPL seperti studi penelitian ilmiah, dan kegiatan penyelaman terbatas. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perubahan hak para nelayan hanya mengalami perubahan pada tipe hak kedua yaitu hak pemanfaatan, sedangkan untuk tipe hak akses, hak pengelolaan, dan hak ekslusi tetap dimiliki oleh seluruh nelayan dan semua masyarakat pada umumnya.

6.4 Konflik